Skip to content

Akherat Menyambut Kita

8 May 2019

AKHERAT MENYAMBUT KITA

Oleh: Ustadz Dr. Achmad Rofi’i, Lc. M., M. Pd.

بسم الله الرحمن الرحيم

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allooh سبحانه وتعالى,

Diantara yang harus kita maknai pada bulan Ramadhan ini adalah bahwa kita melakukan sesuatu yang luar biasa dibanding dengan 11 bulan diluar bulan Ramadhan. Setiap hari kita shaum, setiap malam kita melakukan tarawih berjama’ah beramai-ramai di masjid dan seterusnya, dan seterusnya. Kenapa semua itu kita lakukan? Tentu kita harus memaknai itu adalah bentuk dari ketaatan dan kepatuhan seorang muslim kepada Allah Azza wa Jalla.

Kenapa Seorang muslim harus taat dan patuh kepada Allah? Jawabannya adalah karena dia harus selalu menyadari bahwa hidupnya adalah untuk beribadah dan dunia adalah kesempatannya. Setelah dunia, pastilah ada akhirat; dan dia harus bersiap mempertanggungjawabkannya dihadapan Allah.


قَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ: «ارْتَحَلَتِ الدُّنْيَا مُدْبِرَةً، وَارْتَحَلَتِ الآخِرَةُ مُقْبِلَةً، وَلِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا بَنُونَ، فَكُونُوا مِنْ أَبْنَاءِ الآخِرَةِ، وَلاَ تَكُونُوا مِنْ أَبْنَاءِ الدُّنْيَا، فَإِنَّ اليَوْمَ عَمَلٌ وَلاَ حِسَابَ، وَغَدًا حِسَابٌ وَلاَ عَمَلٌ»

 

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata [1]: “Dunia pergi membelakangi, sedangkan akhirat pergi menyambut. Setiap dari dunia maupun akhirat, keduanya memiliki anak, maka jadilah kalian anak-anak dari akhirat, dan janganlah kalian menjadi anak-anak dari dunia. Sungguh hari ini adalah kesempatan untuk beramal dan tidak ada perhitungan; sementara besok yang ada adalah perhitungan dan tidak ada kesempatan untuk beramal.”

“Mudbiroh” berasal dari kata “dubur”, sedangkan “dubur” disebut demikian adalah karena “berada di posisi belakang”. “Mudbiroh” adalah merupakan pelaku; berarti bisa diartikan maknanya adalah “membelakangi”. Demikian pula dengan “muqbilah”, berasal dari kata “iqbal”; dan kalimat ini berarti “menyambut”. Berarti “muqbilah” bisa diartikan “menyambut”.

Dengan demikian, bisa diartikan bahwa: “dunia itu selalu membelakangi kita dan akhirat itu selalu berada di hadapan kita.”

Oleh karena itu, “orang yang berada di belakang dunia” dapat diartikan sebagai “orang yang mengikuti dunia / mengejar dunia / hina di belakang dunia”.

“Akhirat itu di depan kita” bisa diartikan: “menantang kita, menunggu kita, menyambut kita.”
Dengan demikian, dapat dipahami apa yang dimaksud oleh pernyataan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu ini: Semakin orang mengejar dunia dan menikmati dunia selama itu bukan di jalan Allah dan bukan dalam kepatuhan terhadap Allah; maka dia adalah berada dalam kelalaian, diperbudak dunia, dan pada akhirnya adalah kehinaan.

Dan semakin seseorang menghadap ke depan, mengingat akhirat, mempersiapkan akhirat; maka dia akan selalu menyadari bahwa cepat atau lambat dia akan mati, dia akan meninggalkan dunia, dan dia akan mempertanggungjawabkan perkataan dan perbuatannya kepada Allah.

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu telah mengingatkan kita, bahwa kita hendaknya selalu sadar dan ingat bahwa dunia betapapun kita kejar, tetap dia akan meninggalkan kita atau kita meninggalkannya; sebaliknya akhirat itu pasti kita akan menghadapinya dan mengalaminya, betapapun kita berusaha untuk lari dan menghindar darinya.

Tidak sedikit dari muslim yang lalai bahwa dunia adalah kesempatan untuk beriman, kesempatan untuk beramal shalih, dan bukan kesempatan untuk dihisab atau dibalas. Betapapun tidak bisa dipungkiri, Allah membalas segala ucapan dan perbuatan manusia, walaupun dia masih di dunia ini. Sebaliknya, beliau pun menyatakan bahwa: akhirat adalah hanya ada kesempatan untuk seluruh pernyataan dan perbuatan hamba akan diperhitungkan, akan dimintai pertanggungjawaban, kemudian diadili; dan tidak ada lagi kesempatan untuk beramal, bahkan memperbaiki amalan.

Oleh karena itu, setidaknya 3 (tiga) sikap yang harus diserap oleh seorang umat Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassallam dari pernyataan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu ini, yaitu:

1) Adalah sudah merupakan takdir yang Allah putuskan bagi manusia; bahwa manusia berkesempatan menikmati dunia ini untuk kemudian mempergunakannya dalam beribadah, ta’at dan patuh kepada Allah yang telah mengaruniainya, menganugerahinya; kemudian dia harus menyadari selalu bahwa dia akan mati, akan menghadap Allah, akan mengakhiri dunia ini, dan akan meninggalkannya. Bahkan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallam telah mengingatkan kita agar kita sering-sering mengingat mati :


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَادِمِ اللَّذَّاتِ

 

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Perbanyaklah oleh kalian mengingat mati.” (HR. At-Turmudzi dan Ibnu Majah, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)[2]

Oleh karena itu, seorang muslim harus tertancap benar kayakinan ini dalam hatinya, dan tidak menjadikan dunia sebagai tujuan hidupnya.

2) Beramallah untuk akhiratmu

Pelajaran terpenting yang juga harus kita serap dari pernyataan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu ini adalah bahwa: hendaknya manusia bergegas untuk beramal shalih di dunia ini.

Beramal untuk menjadi bekal di Hari Akhir, dan tidak melulu bergegas peras-keringat dan banting tulang hanya untuk mengejar dan menikmati dunia ini, Adapun pernyataan: “Bekerjalah kamu untuk duniamu seolah-olah kamu akan hidup selama-lamanya, dan bekerjalah kamu untuk akhiratmu seolah-olah kamu akan mati besok”, maka pernyataan ini adalah tidak dapat dijadikan sebagai landasan. Pernyataan itu adalah:


قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ: احْرِزْ لِدُنْيَاكَ كَأَنَّكَ تَعِيشُ أَبَدًا وَاعْمَلْ لِآخِرَتِكَ كَأَنَّكَ تَمُوتُ غَدًا

 

Abdullah bin Amr bin al-‘Ash radhiyallahu ‘anhu berkata: “Beramallah kamu untuk duniamu seakan-akan kamu akan hidup selama-lamanya, dan beramallah kamu untuk akhiratmu seakan-akan kamu akan mati esok hari.” (diriwayatkan oleh al-Haris al-Baghdadi radhiyallahu ‘anhu)[3]

Justru telah dicontohkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam, sebagaimana istri beliau meriwayatkan ketika Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam sedemikian berdiri Shalat Tahajud di malam hari sehingga kedua kakinya memar, kemudian dikatakannya: “Allah telah mengampuni dosa-dosamu yang dahulu maupun yang akan datang”, tetapi justru Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam mengatakan: “Tidakkah sepantasnya jika justru aku ini menjadi seorang hamba yang bersyukur?” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu)[4]

Oleh karena itu, kalau Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam yang ma’shum (terjaga dari salah dan maksiat) telah diampuni dosanya yang lalu dan yang akan datang, sedemikian gigihnya beribadah kepada Allah dalam rangka bersyukur atas anugerah yang dilimpahkan kepadanya; maka seorang muslim sudah sepantasnya untuk juga beramal. Dan Ramadhan adalah suasana latihan yang sangat kondusif untuk membiasakan seorang hamba bersungguh-sungguh dalam memperbanyak ibadah kepada Allah Subahanahu Wa Ta’ala.

3) Wajar jika sikap hidup muslim berbeda dengan sikap hidup kafir

Sebagai orang yang beriman, wajar apabila menjadikan orientasi hidupnya adalah Akherat, kemudian dibuktikan dengan segala usahanya untuk menggapai apa yang ada di sisi Allah, sebagaimana firman-Nya:


{وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ وَسَعَى لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ كَانَ سَعْيُهُمْ مَشْكُورًا}

 

“Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedangkan ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik.” (QS. Al-Isra/19:19)

Sebaliknya, tidak perlu aneh jika perikehidupan orang yang tidak beriman adalah melulu orientasinya adalah dunia dan dunia, materi dan materi, karena memang surga mereka adalah di dunia ini :


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ، وَجَنَّةُ الْكَافِرِ»

 

Abu Hurairah berkata, “Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda: “Dunia itu adalah penjara bagi orang yang beriman, dan surga bagi orang kafir.” (HR. Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu) [5]

Sebaliknya pula, wajar jika seorang yang beriman menjadikan orientasi hidupnya adalah Akhirat, dan karenanya dunia bagi dia adalah penuh dengan rambu dan norma. Bisa jadi banyak perkara yang dikehendaki oleh hawa nafsunya menjadi harus dia kekang dan dia kendalikan karena aturan yang harus dipatuhi, sebagai bentuk kepatuhannya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Mudah-mudahan kita berdoa kepada Allah, agar kita dijadikan sebagai hamba-hamba-Nya yang senantiasa taat dan patuh kepada-Nya; betapapun menyelisihi dan harus mengalahkan kehendak hawa nafsu dirinya sendiri.

Sekian bahasan kita, semoga bermanfaat,

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

*****

[1] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, 8/ 89.
[2] At-Turmudzi, Sunan at-Turmudzi, jilid. 4, hal. 553, no: 2307, dan Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, jilid. 2, hal. 14202, no: 42008, dan menurut Syaikh Nashiruddin al-Albani: hadits ini Hasan Shahih.
[3] Al-Haris al-Baghdadi, Musnad Al-Haris, jilid. 2, hal. 983, no: 1093. Pernyataan ini sering didengar oleh kita bahwa yang menyatakannya adalah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam, padahal yang demikian itu tidak tepat, karena walaupun ada riwayat yang menashabkan pernyataan ini kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam, tetapi derajatnya adalah lemah, yaitu dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam Sunan-nya bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda: “Maka bekerjalah kamu seperti seseorang yang mengira bahwa dia tidak akan mati selama-lamanya; waspadalah sebagaimana waspadanya orang yang akan mati besok.” (Al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubra, jilid. 3, hal. 28, no: 4744). Hadis ini dikeluarkan juga oleh As-Suyuthi dalam Al-Jami’ush Shaghir no: 2893, tetapi didha’ifkan oleh Nashiruddin al-Albani dalam Shahih al-Jami’ ash- Shaghir, hal. 138, no: 968; karena itu dengan tegas ‘Abdullah bin al-Mubarok menyatakan bahwa pernyataan ini adalah pernyataan ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash dan bukan pernyataan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam (‘Abdullah bin Al-Mubarok, Az-Zuhdu war-Raqaiq, jilid. 1, hal. 469, no: 1334. Bahkan di dalam Silsilah Hadits Dha’if, Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini adalah tidak ada asalnya secara marfu (Al-Albani, Silsilah Hadits Dha’if, jilid. 1, hal. 63, no: 8).
[4] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, jilid. 6, hal. 135, no: 4836, dan Muslim, Shahih Muslim, jilid. 4, hal. 2171, no:2819.
[5] Muslim, Shahih Muslim, jilid. 4, hal. 2272, no: 2956.

Silakan download PDF : Akherat Menyambut Kita 7052019 FNL

No comments yet

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.