Skip to content

TEXT: AL-IHSAN – Kedudukan, Implementasi & Tingkatannya

13 July 2023

(Resume CeramahMasjid Baytul Mukhlishin 14/01/2023)

AL-IHSAN – KEDUDUKAN, IMPLEMENTASI & TINGKATANNYA

Oleh: Ustadz Dr. Achmad Rofi’i, Lc.M.M.Pd.

بسم الله الرحمن الرحيم

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allōh سبحانه وتعالى,

Pada kajian yang lalu, telah kita bahas tentang perkara Islam dan Iman; maka pada kajian hari ini kita akan membahas tentang Al-Ihsan.

Menurut ‘Ulama Ahlus Sunnah, terdapat peringkat/tingkatan-tingkatan dalam menjalankan dĩn/agama kita ini. Tingkatan awal/pertama adalah Islam, tingkatan kedua adalah Iman dan tingkatan ketiga/tertinggi adalah Ihsan. Hal ini adalah sebagaimana penjelasan Rosũlullōh shollallōhu ‘alaihi wasallam dalam Hadits Riwayat Muslim no: 8, yang dapat dilihat pada Tabel-1 berikut ini.

Tabel-1. Peringkat/Kualitas Dĩn

Jika seseorang bersyahadat: أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ الله (Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah/tuhan yang berhak diibadahi dengan sebenar-benarnya kecuali hanyalah Allōh, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allōh), maka pada hakekatnya ia telah masuk kedalam peringkat/tingkatan yang pertama yakni: Islam.

Meskipun demikian, belum tentu semua orang yang berada dalam tingkatan yang pertama (Islam) otomatis dapat masuk ke derajat yang kedua (Iman); namun ia harus berusaha untuk mengupayakan agar dirinya bisa naik ke derajat kedua (Iman) tersebut. Adanya tingkatan ini adalah sebagaimana firman Allōh Subhãnahu Wa Ta’ãlã dalam QS. Al-Hujurot/49:14:

قَالَتِ الْأَعْرَابُ آمَنَّا قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ وَإِنْ تُطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ لَا يَلِتْكُمْ مِنْ أَعْمَالِكُمْ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Orang-orang Arab Badui berkata, ‘Kami telah beriman’. Katakanlah (kepada mereka), ‘Kamu belum beriman, tetapi katakanlah: Kami telah tunduk (Islam)’, karena iman belum masuk ke dalam hatimu. Dan jika kamu taat kepada Allōh dan Rosũl-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikit pun (pahala) amal perbuatanmu. Sungguh, Allōh Maha Pengampun, Maha Penyayang’.”

Perbedaan mendasar antara Islam dan Iman adalah bahwa: Islam berkaitan dengan amalan-amalan dzohir/lahiriyah; sedangkan Iman berkaitan dengan amalan-amalan hati/bathin.

Oleh karena itu, sebagaimana dalam Hadits Riwayat Al-Imam Muslim no: 8 diatas, ketika menjelaskan Islam, maka setelah bersyahadat Rosũlullōh shollallōhu ‘alaihi wasallam menyebutkan amalan-amalan dzohir / lahiriyah yakni: “menegakkan sholat; menunaikan zakat; shoum / berpuasa di bulan Romadhōn, dan engkau menunaikan haji ke Baitullōh, jika engkau telah mampu melakukannya.

Kemudian, ketika menjelaskan Iman, maka Rosũlullōh shollallōhu ‘alaihi wasallam menyebutkan amalan-amalan hati/bathin yakni: “beriman kepada Allōh; malaikat-Nya; kitab-kitab-Nya; para Rosũl-Nya; Hari Akhir, dan beriman kepada takdir Allōh yang baik dan yang buruk.

Tingkatan berikutnya setelah ber-Islam dan ber-Iman adalah ber-Ihsan; dimana Ihsan adalah tingkatan tertinggi dalam mengamalkan agama kita ini. Adapun seorang yang telah ber-Islam disebut sebagai “Muslim”; dan seorang yang telah ber-Iman disebut sebagai “Mukmin”; sedangkan seorang yang telah ber-Ihsan disebut sebagai “Muhsin”.

I. APA ITU IHSAN & DALIL-DALILNYA

Ihsan” adalah kedudukan yang tertinggi dalam beribadah kepada Allōh Subhãnahu Wa Ta’ãlã; ia merupakan perpaduan antara amalan-amalan lahir/dzohir dan bathin/hati. Maka “Ihsan” adalah sebagaimana yang disabdakan Rosũlullōh shollallōhu ‘alaihi wasallam dalam HR. Muslim no: 8, dari ‘Umar bin al-Khoththōb rodhiyallohu ‘anhu berikut ini:

بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ, لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ, حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم, فأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ, وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ, وَ قَالَ : يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِسْلاَمِ, فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم : اَلإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَإِ لَهَ إِلاَّ اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ, وَتُقِيْمُ الصَّلاَةَ, وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ, وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ, وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً. قَالَ : صَدَقْتُ. فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْئَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ. قَالَ : فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِيْمَانِ, قَالَ : أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ, وَمَلاَئِكَتِهِ, وَكُتُبِهِ, وَرُسُلِهِ, وَالْيَوْمِ الآخِرِ, وَ تُؤْمِنَ بِالْقَدْرِ خَيْرِهِ وَ شَرِّهِ. قَالَ : صَدَقْتَ. قَالَ : فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِحْسَانِ, قَالَ : أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ. قَالَ : فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ السَّاعَةِ قَالَ : مَا الْمَسْؤُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ. قَالَ : فَأَخْبِرْنِيْ عَنْ أَمَارَاتِهَا, قَالَ : أَنْ تَلِدَ الأَمَةُ رَبَّتَهَا, وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُوْنَ فِيْ الْبُنْيَانِ, ثم اَنْطَلَقَ, فَلَبِثْتُ مَلِيًّا, ثُمَّ قَالَ : يَا عُمَرُ, أَتَدْرِيْ مَنِ السَّائِل؟ قُلْتُ : اللهُ وَ رَسُوْلُهُ أَعْلَمُ. قَالَ : فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ

Suatu ketika, para Shohabat duduk di dekat Rosũlullōh shollallōhu ‘alaihi wasallam. Tiba-tiba muncul kepada kami seorang lelaki mengenakan pakaian yang sangat putih dan rambutnya amat hitam. Tak terlihat padanya tanda-tanda bekas perjalanan, dan tak ada seorang pun di antara kami yang mengenalnya. Ia segera duduk di hadapan Nabi shollallōhu ‘alaihi wasallam, lalu lututnya disandarkan kepada lutut Nabi dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua paha Nabi shollallōhu ‘alaihi wasallam, kemudian ia berkata: “Hai, Muhammad! Beritahukan kepadaku tentang Islam.

Rosũlullōh shollallōhu ‘alaihi wasallam menjawab, “Islam adalah engkau bersaksi tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allōh, dan sesungguhnya Muhammad adalah Rosũl Allōh; menegakkan sholat; menunaikan zakat; shoum/berpuasa di bulan Romadhōn, dan engkau menunaikan haji ke Baitullōh, jika engkau telah mampu melakukannya,” Lelaki itu berkata, “Engkau benar,” maka kami heran, ia yang bertanya ia pula yang membenarkannya.

Kemudian ia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang Iman.

Nabi menjawab, “Iman adalah, engkau beriman kepada Allōh; malaikat-Nya; kitab-kitab-Nya; para Rosũl-Nya; Hari Akhir, dan beriman kepada takdir Allōh yang baik dan yang buruk.”

Ia berkata, “Engkau benar.” Dia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang Ihsan.

Nabi shollallōhu ‘alaihi wasallam menjawab, “Hendaklah engkau beribadah kepada Allōh seakan-akan engkau melihat-Nya. Kalaupun engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.”

Lelaki itu berkata lagi: “Beritahukan kepadaku kapan terjadi Kiamat?

Nabi menjawab, “Yang ditanya tidaklah lebih tahu daripada yang bertanya.”

Dia pun bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang tanda-tandanya!

Nabi menjawab, “Jika seorang budak wanita telah melahirkan tuannya; jika engkau melihat orang yang bertelanjang kaki, tanpa memakai baju (miskin papa) serta penggembala kambing telah saling berlomba dalam mendirikan bangunan megah yang menjulang tinggi.”

Kemudian lelaki tersebut segera pergi. Aku pun terdiam, sehingga Nabi bertanya kepadaku: “Wahai ‘Umar! Tahukah engkau, siapa yang bertanya tadi?

Aku menjawab, “Allōh dan Rosũl-Nya lebih mengetahui.

Beliau bersabda, “Dia adalah Jibril yang mengajarkan kalian tentang agama kalian.

(HR Muslim)[1]

Sebagaimana dalam Hadits diatas, maka Rosũlullōh shollallōhu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa ada 2 tingkatan Ihsan:

1) Tingkat tertinggi dalam Ihsan adalah “Musyahadah”, yakni: seorang hamba beribadah kepada Allōh seakan-akan ia melihat-Nya, ia beramal menurut tuntutan penyaksiannya kepada Allōh Subhãnahu Wa Ta’ãlã dengan hati/qolbunya.

Cara ber-Musyahadah adalah: dengan senantiasa memikirkan tentang Keagungan dan Kebesaran Allōh Subhãnahu Wa Ta’ãlã; bahwa Allōh lah yang Menciptakan-Memerintah-Mengatur segenap alam semesta ini termasuk dirinya sebagai hamba-Nya yang lemah yang senantiasa membutuhkan-Nya. Ketika ia menghadirkan Keagungan Allōh di dalam hati/qolbunya, maka ia merasa dekat dengan Allōh dan senantiasa ingin beribadah dan ber-amal shōlih dengan cara yang terbaik untuk-Nya.

2) Tingkatan yang lebih rendah dalam Ihsan adalah “Muroqobah”, yakni: seorang hamba beribadah kepada Allōh seolah-olah Allōh melihatnya, ia beramal dengan merasa seolah-olah ibadah/amal perbuatannya selalu diawasi dan dilihat oleh Allōh Subhãnahu Wa Ta’ãlã.

Tabel-2. Tingkatan Ihsan & Dalil-Dalilnya

Berikut ini berbagai dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menjelaskan tentang:

(1) Perintah Berbuat Ihsan:

Allōh Subhãnahu Wa Ta’ãlã berfirman dalam QS. Al-Bãqoroh/2:195:

وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ ۛ وَأَحْسِنُوا ۛ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allōh, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baik (ihsan) lah, karena sesungguhnya Allōh menyukai orang-orang yang berbuat baik (ihsan).

Allōh Subhãnahu Wa Ta’ãlã juga berfirman dalam QS. Al-Mã’idah/5:93:

لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا إِذَا مَا اتَّقَوْا وَآمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ ثُمَّ اتَّقَوْا وَآمَنُوا ثُمَّ اتَّقَوْا وَأَحْسَنُوا ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang shōlih karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertaqwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang shōlih, kemudian mereka tetap bertaqwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan (ihsan). Dan Allōh menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.

(2) Berbuat Ihsan itu dalam Segala Perkara/ Segala Sesuatu:

Dari Syaddad bin Aus rodhiyallōhu ‘anhu berkata, bahwa Rosũlullōh shollallōhu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ

Sesungguhnya Allōh memerintahkan untuk berbuat baik (ihsan) terhadap segala sesuatu.

(HR. Muslim)[2]

(3) Manfa’at dari Berbuat Ihsan:

a) Orang yang Berbuat Ihsan, maka ia akan Dibersamai oleh Allōh:

Allōh Subhãnahu Wa Ta’ãlã berfirman dalam QS. An-Nahl/16:128:

إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُمْ مُحْسِنُونَ

Sesungguhnya Allōh beserta orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan (ihsan).

b) Orang yang Berbuat Ihsan, berarti ia Berpegangteguh pada tali (dĩn/agama) Allōh:

Allōh Subhãnahu Wa Ta’ãlã berfirman dalam QS. Luqman/31:128:

۞ وَمَنْ يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ ۗ وَإِلَى اللَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ

Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allōh, sedang dia orang yang berbuat kebaikan (ihsan), maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Allōh -lah kesudahan segala urusan.

c) Orang yang Berbuat Ihsan, maka ia akan dibalas setimpal oleh Allōh:

Allōh Subhãnahu Wa Ta’ãlã berfirman dalam QS. Ar-Rohmãn/55:60:

هَلْ جَزَاءُ الْإِحْسَانِ إِلَّا الْإِحْسَانُ

Tidak ada balasan kebaikan, kecuali kebaikan (pula).

d) Orang yang Berbuat Ihsan, maka ia akan dibalas pahala oleh Allōh:

Allōh Subhãnahu Wa Ta’ãlã berfirman dalam QS. Al-Bãqoroh/2:112:

بَلَىٰ مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ عِنْدَ رَبِّهِ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

“(Tidak demikian), bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allōh, sedang ia berbuat kebajikan (ihsan), maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

e) Orang yang Berbuat Ihsan, maka ia akan dibalas Allōh dengan pahala yang lebih; bahkan tidak hanya sekedar itu, (sebagai tambahannya) ia akan dapat memandang Allōh di Hari Kiamat:

Allōh Subhãnahu Wa Ta’ãlã berfirman dalam QS. Yunus/10:26:

۞ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَىٰ وَزِيَادَةٌ ۖ وَلَا يَرْهَقُ وُجُوهَهُمْ قَتَرٌ وَلَا ذِلَّةٌ ۚ أُولَٰئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

Bagi orang-orang yang berbuat baik (ihsan), ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya.

Dalam Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim karya Ibnu Katsir, yang dimaksud dengan “al-husna (pahala yang terbaik)” adalah “surga”, sedangkan yang dimaksud dengan “az-ziyãdah (tambahannya)” adalah “melihat wajah Allōh pada Hari Kiamat”.

Hal tersebut adalah juga sebagaimana dari Shuhaib bin Sinan rodhiyallōhu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rosũlullōh shollallōhu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِذَا دَخَلَ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ قَالَ يَقُولُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى تُرِيدُونَ شَيْئًا أَزِيدُكُمْ فَيَقُولُونَ أَلَمْ تُبَيِّضْ وُجُوهَنَا أَلَمْ تُدْخِلْنَا الْجَنَّةَ وَتُنَجِّنَا مِنْ النَّارِ قَالَ فَيَكْشِفُ الْحِجَابَ فَمَا أُعْطُوا شَيْئًا أَحَبَّ إِلَيْهِمْ مِنْ النَّظَرِ إِلَى رَبِّهِمْ عَزَّ وَجَلَّ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ عَنْ حَمَّادِ بْنِ سَلَمَةَ بِهَذَا الْإِسْنَادِ وَزَادَ ثُمَّ تَلَا هَذِهِ الْآيَةَ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ

Jika penghuni surga telah masuk surga, Allōh Tabãroka Wa Ta’ãlã berfirman, Apakah kalian (wahai penghuni surga) menginginkan sesuatu sebagai tambahan (dari kenikmatan surga)? Maka mereka menjawab, Bukankah Engkau telah memutihkan wajah-wajah kami? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari (adzab) neraka? Maka (pada waktu itu) Allōh membuka hijab (yang menutupi wajah-Nya Yang Maha Mulia), dan penghuni surga tidak pernah mendapatkan suatu (kenikmatan) yang lebih mereka sukai daripada melihat (wajah) Allōh ‘azza wa jalla.” Kemudian Rosũlullōh shollallōhu ‘alaihi wasallam membaca ayat tersebut di atas (Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya).” (HR. Muslim)[3]

II. IHSAN & TOLOK UKUR SIKAP SEORANG HAMBA ALLOH

Tabel-3. Ihsan & Tolok Ukur Sikap Seorang Hamba Allōh

Dalam Tabel-3 diatas, adalah merupakan contoh bagaimana sikap Ihsan yang muncul sebagai bentuk ma’rifah seorang hamba terhadap Robb-nya, Allōh Subhãnahu Wa Ta’ãlã, akan memunculkan sikap batin yang akan berpengaruh pada diri seseorang dalam beramal terhadap Allōh.

Seseorang yang sadar betul bahwa Allōh adalah Pencipta dirinya, maka ia akan memiliki sikap Ta’dzim terhadap Allōh; seseorang yang sadar bahwa Allōh adalah Maha Pengasih, maka dalam dirinya akan muncul sikap berharap pada ampunan dan rahmat Allōh Subhãnahu Wa Ta’ãlã, bila ia berbuat dosa dan kesalahan maka ia akan selalu kembali kepada Allōh dengan Taubat dan Istighfar kepada-Nya. Seseorang yang sadar bahwa Allōh itu Maha Mengawasi, maka ia akan bersikap Waro’, sangat berhati-hati agar ia tidak berma’shiyat kepada Allōh Subhãnahu Wa Ta’ãlã.

Seseorang yang sampai pada derajat “Ihsan”, maka ia akan lebih sibuk memikirkan bagaimana “pandangan/penilaian Allōh Subhãnahu Wa Ta’ãlã” terhadap dirinya (baik ibadahnya, maupun amalannya), karena ia yakin bahwa Allōh senantiasa mengawasinya; dan ia tidak sibuk memikirkan bagaimana pandangan/ penilaian manusia terhadap dirinya; karena yang terpenting baginya adalah mencari ridho Allōh Subhãnahu Wa Ta’ãlã. Ia tahu bahwa yang memberi balasan baginya, baik di dunia maupun di akherat kelak, adalah Allōh Subhãnahu Wa Ta’ãlã. Allōh lah yang Memiliki Surga (dan dapat memasukkan dirinya kedalamnya) dan Allōh lah yang Memiliki Neraka (dan dapat menghindarkan dirinya daripadanya); maka bila ia beramal, amalannya itu pun ditujukan semata-mata kepada Allōh dengan usaha terbaiknya (Ihsan). Dengan demikian, sikap Ihsan ini pun juga bermanfaat dalam membantu seorang hamba untuk ikhlas dalam ber-amal shōlih; karena ketika ia menghadirkan sikap Ihsan tersebut di dalam dirinya, maka ia tidak lagi butuh pujian manusia, ia hanya ingin memberi yang terbaik untuk Allōh. Sebaliknya pula, seseorang akan sulit untuk ikhlas manakala sikap ihsan tersebut telah menghilang dari dalam dirinya.

Kemudian patut pula kita renungkan bahwa di dalam kehidupan duniawi saja, seseorang itu dituntut untuk bersikap profesionalisme dalam pekerjaannya; maka bukankah ia selayaknya menerapkan hal tersebut dengan bersikap Ihsan dalam kehidupan beragamanya, baik dalam ibadah maupun dalam amalan lainnya, kepada Allōh Subhãnahu Wa Ta’ãlã?

III. KEDUDUKAN AL-IHSAN

Al-Imam An-Nawawy (wafat 676 Hijriyyah) menjelaskan bahwa kedudukan Al-Ihsan itu sangatlah agung dalam ‘Aqidah / Ushuluddĩn, dan bagi siapapun yang menjadikannya sebagai target pencapaiannya, maka hendaklah ia mengetahui bahwa terdapat derajat-derajat dalam kualitasnya: 1) Shiddĩqĩn, 2) Sãlikĩn, 3) ‘Aarifĩn, dan 4) Shōlihĩn. Al-Imam An-Nawawy berkata:

هذا أصل عظيم من أصول الدين وقاعدة مهمة من قواعد الإسلام ‌وهو ‌عمدة ‌الصديقين ‌وبغية ‌السالكين وكنز العارفين ودأب الصالحين

Ini adalah merupakan pokok yang sangat agung dari pokok-pokok Islam (Ushuluddĩn) dan diantara kaidah-kaidah yang sangat penting (dari kaidah-kaidah Islam), bahkan merupakan: 1) tumpuan bagi orang-orang yang Shiddĩqĩn (orang-orang yang benar), 2) tujuan bagi orang-orang Sãlikĩn (orang-orang yang meniti jalan lurus), serta 3) simpanan berharga bagi orang-orang ‘Aarifĩn (orang-orang yang sangat mengenal Allōh), dan 4) jalan bagi orang-orang Shōlihĩn (orang-orang yang shōlih).[4]

Shiddĩqĩn menurut Al-Imam An-Nawawy rohimahullōh, adalah merupakan derajat Al-Ihsan tertinggi, mereka adalah para Wali Allōh di muka bumi yang bahkan tingkatannya berada dibawah derajat Nabi; hal ini adalah juga sebagaimana yang Allōh Subhãnahu Wa Ta’ãlã firmankan dalam QS. An-Nisã’/4:69:

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيقًا

Dan barangsiapa yang mentaati Allōh dan Rosũl-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allōh, yaitu: 1) Nabi-Nabi, 2) Shiddĩqĩn, 3) Syuhadã (orang-orang yang mati syahid), dan 4) Shōlihĩn (orang-orang shōlih). Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.

Dengan demikian, Al-Ihsan yang merupakan puncak amalan seorang hamba terhadap Robb-nya, Allōh Subhãnahu Wa Ta’ãlã, tentulah derajat ini tidak dicapai dengan mudah, melainkan haruslah dengan segala pengorbanan, dengan segala ketulusan penghambaan kepada Allōh Subhãnahu Wa Ta’ãlã, serta dengan segala upaya untuk menyelaraskan antara amalan lahiriyah/dzohir maupun amalan batiniyah/hatinya agar tertuju untuk selalu pasrah-tunduk-patuh-taat pada Allōh dan Rosũl-Nya, serta menjadikan Syari’at-Nya sebagai pedoman yang dijunjungnya dalam hidup kesehariannya.

Adapun Al-Imam al-Ashfahãny (wafat 502 H) di dalam Kitabnya yang berjudul “AlMufrodãt fĩ Ghorib al-Qur’ãnmenjelaskan bahwa Al-Ihsan itu dapat dilaksanakan dengan 2 (dua) cara:

الإحسان يقال على وجهين: أحدهما: ‌الإنعام ‌على ‌الغير، يقال: أحسن إلى فلان. والثاني: إحسان في فعله، وذلك إذا علم علما حسنا، أو عمل عملا حسنا

“1) Gemar berbuat kebaikan pada orang lain; 2) Berbuat kebaikan dan atau beramal kebajikan itu adalah dengan upaya yang semaksimal mungkin (kualitas amalannya).[5]

Jadi, apabila ada seseorang yang gemar berbuat kebaikan pada orang lain, gemar menebar manfaat pada orang di sekitarnya; kemudian ia juga memiliki sifat empati – sifat peduli pada orang lain, serta tidak suka menyakiti orang lain; maka itu adalah diantara ciri-ciri orang yang memiliki sikap Al-Ihsan. Adapun orang yang memiliki sikap Al-Ihsan ini disebut sebagai: Muhsin. Seorang Muhsin bukanlah orang yang mencari-cari kebaikan dari orang lain; namun justru sebaliknya, dialah orang yang gemar berkorban tanpa pamrih untuk menebar kebaikan yang ada pada dirinya terhadap orang-orang disekitarnya.

Pengertian yang kedua, Muhsin ini adalah orang yang bukan sekedar beramal, namun ia adalah tipe orang yang selalu berusaha untukmembaguskan/membaikkan kualitas amalan-amalannya”, karena ia merasa bahwa Allōh senantiasa mengawasi dirinya sehingga ia selalu berusaha mempersembahkan amalan yang terbaik untuk Allōh.

Kemudian beliau, Al-Imam al-Ashfahãny, juga menjelaskan kedudukan Al-Ihsan sebagai berikut:

هو التحقق بالعبودية على مشاهدة حضرة الربوبية بنور البصيرة، أي رؤية الحق موصوفًا بصفاته بعين صفته، فهو يراه يقينًا ولا يراه حقيقة

Dia (Al-Ihsan) merupakan wujud penghambaan seorang hamba (terhadap Robb-nya), seakan-akan Allōh hadir di kedalaman ilmunya sebagai pandangan kebenaran terhadap shifat Allōh; sehingga dia melihat Allōh itu adalah dengan keyakinan (hatinya), bukan sekedar melihatnya dengan (mata) sebenarnya.

Al-Imam al-Ashfahãny lalu menjelaskan bahwa kedudukan Al-Ihsan itu bahkan lebih tinggi diatas Keadilan, beliau berkata:

الإحسان فوق العدل، وذلك أن العدل هو أن يعطي ما عليه ويأخذ ماله، والإحسان أن يعطَي أكثر مما عليه ويأخذ أقل مما له

Al-Ihsan adalah memiliki posisi lebih tinggi diatas keadilan; karena keadilan itu adalah memberikan yang sesuai kewajibannya dan mengambil yang sesuai dengan haknya; sedangkan Al-Ihsan adalah memberi yang lebih banyak dari kewajibannya serta mengambil yang lebih sedikit dari haknya.

Adapun Al-Imam Ibnu Taimiyyah (wafat 728 H) menjelaskan kedudukan Al-Ihsan sebagai berikut:

جعل النبي صلى الله عليه وسلم ‌الدين ‌ثلاث ‌درجات أعلاها: الإحسان، وأوسطها: الإيمان، ويليه: الإسلام، فكل محسن مؤمن، وكل مؤمن مسلم، وليس كل مؤمن محسناً، ولا كل مسلم مؤمنا

Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wasallam menjadikan Islam dalam tiga tingkatan: (tingkatan) yang tertinggi adalah Al-Ihsan, (tingkatan) ditengahnya adalah Al-Iman, dan (tingkatan) dibawahnya lagi adalah Al-Islam. Maka setiap Muhsin adalah Mu’min, dan setiap Mu’min adalah Muslim; namun tidak setiap Mu’min adalah Muhsin, demikian pula tidak setiap Muslim adalah Mu’min.[6]

Jadi jelaslah, bahwa setiap Muhsin sudah pasti ia Mu’min, apalagi Muslim. Karena Muhsin adalah derajat tertinggi dalam penghambaan kepada Allōh Subhãnahu Wa Ta’ãlã. Namun, setiap Muslim, maka belum tentu ia Mu’min, apalagi Muhsin. Penjelasan Al-Imam Ibnu Taimiyyah ini adalah sebagaimana yang telah tergambarkan dalam Tabel-1. Peringkat/ Kualitas Dĩn diatas.

Kalau kita renungkan, betapa banyak orang di zaman sekarang, yang mereka adalah lebih sibuk mencari kedudukan duniawi, namun lalai dari mencari “kedudukan penghambaan dirinya agar baik di dalam pandangan Allōh Subhãnahu Wa Ta’ãlã”.

 IV. IMPLEMENTASI AL-IHSAN

Agar Al-Ihsan dapat diterapkan / diwujudkan secara nyata dalam kehidupan ummat Muhammad shollallōhu ‘alaihi wasallam, dan bukan hanya sekedar dijadikan sebagai teori / nilai yang tergores di dalam syari’at; maka Rosũlullōh shollallōhu ‘alaihi wasallam telah memberikan panduannya kepada ummat ini.

Seorang Shohabat Rosũlullōh yakni Abu ‘Inabah al-Khoulãny rodhiyallōhu ‘anhu yang pernah mengalami sholat menghadap dua kiblat bersama Rosũlullōh shollallōhu ‘alaihi wasallam, ia berkata bahwa ia mendengar Rosũlullōh shollallōhu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَا يَزَالُ اللَّهُ يَغْرِسُ فِي هَذَا الدِّينِ ‌غَرْسًا ‌يَسْتَعْمِلُهُمْ ‌فِي ‌طَاعَتِهِ

Allōh akan senantiasa membangkitkan seorang pembaharu dalam agama ini, yang akan Allōh arahkan untuk ketaatan kepada-Nya.

(HR. Ibnu Majah)[7]

Seorang Shohabat Rosũlullōh yang lain yakni Anas bin Mãlik rodhiyallōhu ‘anhu berkata bahwa ia mendengar Rosũlullōh shollallōhu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدٍ ‌خَيْرًا ‌اسْتَعْمَلَهُ,  فَقِيلَ: كَيْفَ يَسْتَعْمِلُهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: يُوَفِّقُهُ لِعَمَلٍ صَالِحٍ قَبْلَ المَوْتِ

Jika Allōh menghendaki kebaikan untuk seorang hamba maka Allōh akan mempergunakannya, lalu beliau ditanya, Bagaimana Allōh akan mempergunakannya, wahai Rosũlullōh?”, maka beliau pun menjawab: “Allōh akan memberinya petunjuk untuk beramal shōlih sebelum ia mati.” (HR. At-Turmudzy)[8]

Dengan demikian, agar kita dapat masuk kedalam golongan orang yang disebutkan sebagaimana dalam Hadits diatas, maka harus kita sadari bahwa ada beberapa poin yang perlu diperhatikan dan diupayakan, yakni: 1) Kebaikan, 2) Amal Shōlih, 3) Taufiq Allōh, dan terutama: 4) Do’a.

Apabila kita ingin meraih peluang masuk kedalam golongan Al-Ihsan, maka pertama kali hendaknya kita bertanya pada diri kita sendiri: “Apakah kita ingin memperoleh Kebaikan disisi Allōh?” Bila kita benar-benar ingin memperolehnya, maka berikutnya: “Identifikasi apa saja yang disebut baik menurut Allōh” itu.

Lalu Langkah selanjutnya: “Supaya kita memperoleh kebaikan disisi Alloh, maka Amal Shōlih apa saja yang mampu kita lakukan”; dan dalam hal ini tentu dibutuhkan pengorbanan, kesungguhan, kesabaran dan keteguhan serta keikhlasan dalam beramal. Karena Islam itu bukan sekedarAgama Teori belaka”; namun ia harus diwujudkan dalam bentuk amal yang nyata.

Namun perlu kita sadari bahwa: “Agar mampu untuk beramal shōlih, maka seseorang sangat butuh kepada Taufiq dari Allōh Subhãnahu Wa Ta’ãlã”. Tanpa Taufiq dari Allōh, seseorang akan sulit untuk beramal.

Adapun, Taufiq itu adalah Absolut milik Allōh Subhãnahu Wa Ta’ãlã; maka untuk mendapatkan Taufiq tersebut, kuncinya adalah: “Berdo’a memohon kepada Allōh agar diberi Taufiq untuk dimudahkan berbuat kebaikan disisi-Nya”.

Rosũlullōh shollallōhu ‘alaihi wasallam telah mengajarkan ummatnya suatu Do’a agar dimudahkan untuk mendapatkan Taufiq dari Allōh Subhãnahu Wa Ta’ãlã berupa al-huda/ petunjuk dalam berilmu dan beramal, sifat ‘afaf / ‘iffah yakni bersih hati (berusaha) menghindar dan menjauhi perkara-perkara yang harom dan atau yang syubhat, dan al-ghina yakni kaya hati (hati yang qona’ah yang merasa cukup dengan pemberian Allōh dan tidak butuh/tidak rakus pada apa yang ada disisi manusia):

اللَّهُمَّ إنِّي أسْألُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى

Allōhumma inni as-alukal huda wat tuqo wal ‘afaf wal ghina

(Ya Allōh, aku memohon pada-Mu petunjuk, ketaqwaan, bersih hati dan kaya hati (hati yang qona’ah / al-ghina – pent.).

(HR. Muslim)[9]

Berikut ini adalah berbagai contoh bentuk sikap Ihsan yang diperintahkan Allōh Subhãnahu Wa Ta’ãlã dan Rosul-Nya shollallōhu ‘alaihi wasallam sebagai panduan bagi ummatnya:

Tabel-4. Implementasi Ihsan & Dalil-Dalilnya

(1) Sikap Ihsan kepada Allōh dengan ber-Tauhid pada-Nya:

Sikap Ihsan kepada Allōh Subhãnahu Wa Ta’ãlã ini adalah sebagaimana firman-Nya dalam QS. An-Nisã’/4:36:

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا

Sembahlah Allōh dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun….

Allōh Subhãnahu Wa Ta’ãlã juga berfirman dalam QS. Al-Isrō’/17:23:

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia…

(2) Sikap Ihsan Anak kepada Kedua Orangtua:

Sikap Ihsan Anak kepada Kedua Orangtua adalah sebagaimana yang diperintahkan oleh Allōh Subhãnahu Wa Ta’ãlã dalam QS. Al-Isrō’/17:23:

وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ah dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.

Kemudian, dalam suatu Hadits dari Abu Hurairoh rodhiyallōhu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rosũlullōh shollallōhu ‘alaihi wasallam bersabda:

إن الرجل لترفع درجته في الجنة فيقول أنى هذا ؟ فيقال باستغفار ولدك لك 

Sungguh derajat seseorang diangkat di dalam surga, lalu dia bertanya, Darimana aku mendapatkan seperti ini?” Lalu dijawab, “Karena istighfar (permohonan ampun) dari anakmu terhadapmu.

(Shohĩh Sunnan Ibnu Mãjah)[10]

(3) Sikap Ihsan Orangtua terhadap Anak:

Berkenaan dengan sikap Ihsan Orangtua terhadap Anak, maka dari Jãbir rodhiyallōhu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rosũlullōh shollallōhu ‘alaihi wasallam bersabda:

لا تَدْعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ وَلَا تَدْعُوا عَلَى أَوْلَادِكُمْ وَلَا تَدْعُوا عَلَى أَمْوَالِكُمْ لَا تُوَافِقُوا مِنْ اللهِ سَاعَةً يُسْأَلُ فِيهَا عَطَاءٌ فَيَسْتَجِيبُ لَكُمْ

Janganlah kalian mendoakan kejelekan untuk diri kalian sendiri, dan janganlah kalian mendoakan kejelekan untuk anak-anak kalian, serta jangan mendoakan kejelekan untuk harta kalian. Janganlah kalian berdoa seperti itu, karena bisa jadi bersesuaian dengan suatu waktu dari Allōh yang jika Dia diminta pada waktu itu, Dia pasti mengabulkannya untuk kalian.

(HR. Muslim)[11]

Dalam Hadits yang lain dari An-Nu’man bin Basyir rodhiyallōhu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rosũlullōh shollallōhu ‘alaihi wasallam juga bersabda:

‌اتَّقُوا ‌اللهَ، وَاعْدِلُوا فِي أَوْلَادِكُمْ

Berbuat adillah kalian terhadap anak-anak kalian.

(HR. Muslim)[12]

(4) Sikap Ihsan kepada Kerabat, Anak Yatim, Orang Miskin, Tetangga dan Manusia secara Umum:

Adapun bagaimana bersikap Ihsan terhadap Kerabat, Anak-anak Yatim, Orang-orang (fakir) miskin, Tetangga, maupun Manusia secara umum, maka Allōh Subhãnahu Wa Ta’ãlã telah memberikan pertintah-Nya sebagaimana dalam QS. An-Nisã’/4:36:

وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا

Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allōh tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri,

Allōh Subhãnahu Wa Ta’ãlã juga berfirman dalam QS. Al-Bãqoroh/2:83:

 …وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا

“… dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia,..”

Dan Allōh Subhãnahu Wa Ta’ãlã berfirman pula dalam QS. Al-Isrō’/17:53:

وَقُلْ لِعِبَادِي يَقُولُوا الَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْزَغُ بَيْنَهُمْ ۚ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلْإِنْسَانِ عَدُوًّا مُبِينًا

Dan katakanlah kepada hamha-hamba-Ku: Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya syaithon itu menimbulkan perselisihan diantara mereka. Sesungguhnya syaithon itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.”

Dan Allōh Subhãnahu Wa Ta’ãlã berfirman dalam QS. Al-Isrō’/17:34:

وَلَا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّىٰ يَبْلُغَ أَشُدَّهُ ۚ وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ ۖ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولًا

Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.”

Berkenaan dengan sikap terhadap tetangga, bahkan sebagaimana dari Abu Syuraih rodhiyallōhu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rosũlullōh shollallōhu ‘alaihi wasallam bersabda:

وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ، وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ. قِيلَ: وَمَنْ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: الَّذِي لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَايِقَهُ

Demi Allōh, tidak beriman. Demi Allōh, tidak beriman. Demi Allōh, tidak beriman”, Shohabat bertanya,Siapakah itu, wahai Rosũlullōh?” Beliau menjawab, “Orang yang menjadikan tetangganya tidak aman karena keburukannya.” (HR. Al-Bukhōry)[13]

Dan dalam Hadits yang lain:

عن أَبي هُرَيْرَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ: قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ فُلَانَةَ تُصَلِّي اللَّيْلَ وَتَصُومُ النَّهَارَ وَفِي لِسَانُهَا شَيْءٌ يُؤْذِي جِيرَانَهَا سَلِيطَةٌ، قَالَ: ‌لَا ‌خَيْرَ ‌فِيهَا ‌هِيَ ‌فِي ‌النَّارِ. وَقِيلَ لَهُ: إِنَّ فُلَانَةَ تُصَلِّي الْمَكْتُوبَةَ وَتَصُومُ رَمَضَانَ وَتَتَصَدَّقُ بِالْأَثْوَارِ وَلَيْسَ لَهَا شَيْءٌ غَيْرُهُ وَلَا تُؤْذِي أَحَدًا قَالَ: هِيَ فِي الْجَنَّةِ

Dari Abu Hurairoh rodhiyallōhu ‘anhu, ia berkata, “Ada seseorang bertanya pada Rosũlullōh shollallōhu ‘alaihi wasallam, “Wahai Rosũlullōh, si fulanah sholat malam dan berpuasa sunnah di siang hari, tetapi mulutnya menyakiti tetangganya.” Rosũlullōh shollallōhu ‘alaihi wasallam menjawab, “Tidak ada kebaikan padanya, bahkan dia (di Akherat akan menjadi) penduduk neraka.” Para Shohabat lalu berkata, “Terdapat wanita lain, dia (hanya melaksanakan) sholat fardhu dan bershodaqoh dengan gandum, namun ia tidak mengganggu tetangganya.Beliau bersabda, “Dia adalah dari penduduk surga.

(HR. Al-Hakim)[14]

(5) Sikap Ihsan terhadap Diri Sendiri:

Adapun sikap Ihsan terhadap Diri Sendiri adalah hendaknya sebagaimana yang Allōh Subhãnahu Wa Ta’ãlã firmankan dalam QS. Al-Isrō’/17:7:

إِنْ أَحْسَنْتُمْ أَحْسَنْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ…

Jika kamu berbuat baik, (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri …”

(6) Sikap Ihsan terhadap Kebaikan Orang Lain:

Sikap Ihsan terhadap Kebaikan Orang Lain, adalah sebagaimana firman Allōh Subhãnahu Wa Ta’ãlã dalam QS. An-Nisã’/4:86:

وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا

Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allōh memperhitungankan segala sesuatu.

(7) Sikap Ihsan terhadap Alam Semesta:

Sikap Ihsan terhadap Alam Semesta, dijelaskan oleh Allōh Subhãnahu Wa Ta’ãlã dengan firman-Nya dalam QS. Al-A’rōf/7:56:

وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا ۚ إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ

Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allōh) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allōh amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.

(8) Sikap Ihsan terhadap Lawan Bicara dari kalangan Ahlul Kitab:

Ketika berdakwah dengan Ihsan kepada Ahlul Kitab, maka Allōh Subhãnahu Wa Ta’ãlã berfirman dalam QS. Al-Ankabut/29:46:

وَلَا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ ۖ وَقُولُوا آمَنَّا بِالَّذِي أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَأُنْزِلَ إِلَيْكُمْ وَإِلَٰهُنَا وَإِلَٰهُكُمْ وَاحِدٌ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ

Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang dzolim diantara mereka, dan katakanlah: “Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri”.”

(9) Sikap Ihsan terhadap Orang Kafir/Musyrik:

Bagaimana bersikap Ihsan manakala menghadapi orang-orang Kafir/Musyrik, maka Allōh Subhãnahu Wa Ta’ãlã telah berfirman dalam QS. Al-Mã’idah/5:8:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allōh, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allōh, sesungguhnya Allōh Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Dan Allōh Subhãnahu Wa Ta’ãlã juga berfirman dalam QS. Al-Kahfi/18:86-88:

حَتَّى إِذَا بَلَغَ مَغْرِبَ الشَّمْسِ وَجَدَهَا تَغْرُبُ فِي عَيْنٍ حَمِئَةٍ وَوَجَدَ عِنْدَهَا قَوْمًا قُلْنَا يَا ذَا الْقَرْنَيْنِ إِمَّا أَنْ تُعَذِّبَ وَإِمَّا أَنْ تَتَّخِذَ فِيهِمْ حُسْنًا (٨٦) قَالَ أَمَّا مَنْ ظَلَمَ فَسَوْفَ نُعَذِّبُهُ ثُمَّ يُرَدُّ إِلَى رَبِّهِ فَيُعَذِّبُهُ عَذَابًا نُكْرًا (٨٧) وَأَمَّا مَنْ آمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُ جَزَاءً الْحُسْنَى وَسَنَقُولُ لَهُ مِنْ أَمْرِنَا يُسْرًا (٨٨)

Hingga ketika dia telah sampai di tempat matahari terbenam, dia melihat matahari terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam, dan di sana ditemukannya suatu kaum (tidak beragama). Kami berfirman, “Wahai Dzulkarnain! Engkau boleh menghukum atau berbuat kebaikan kepada mereka. Dia (Dzulkarnain) berkata, “Barangsiapa berbuat dzolim, Kami akan menghukumnya, lalu Dia akan dikembalikan kepada Tuhannya, kemudian Tuhan mengadzabnya dengan adzab yang sangat keras. Adapun orang yang beriman dan beramal shōlih, maka dia mendapat (pahala yang terbaik) sebagai balasan, dan akan Kami sampaikan kepadanya perintah Kami yang mudah.”

(10) Sikap Ihsan terhadap Orang yang Memusuhi:

Allōh Subhãnahu Wa Ta’ãlã memerintahkan untuk bersikap Ihsan terhadap Orang yang Memusuhi, difirmankan-Nya dalam QS. Fushshilat/41:34:

وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ۚ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ

Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.

 (11) Sikap Ihsan Suami terhadap Istri yang Dicerai:

Dalam perkara rumahtangga, Allōh Subhãnahu Wa Ta’ãlã memerintahkan agar Suami yang menceraikan Istrinya hendaknya bersikap Ihsan, dengan cara sebagaimana dalam QS. Al-Bãqoroh/2:229:

الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ ۗ وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا ۚ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allōh. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allōh, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allōh, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allōh mereka itulah orang-orang yang dzolim.”

 (12) Sikap Ihsan terhadap Saudara Muslim:

Dalam suatu Hadits dari Ibnu ‘Umar rodhiyallōhu ‘anhuma, beliau berkata bahwa Rosũlullōh shollallōhu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ , وَأَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى سُرُورٌ تُدْخِلُهُ عَلَى مُسْلِمٍ , أَوْ تَكَشِفُ عَنْهُ كُرْبَةً , أَوْ تَقْضِي عَنْهُ دَيْنًا , أَوْ تَطْرُدُ عَنْهُ جُوعًا , وَلأَنْ أَمْشِيَ مَعَ أَخِ فِي حَاجَةٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ يَعْنِي مَسْجِدَ الْمَدِينَةِ شَهْرًا

Manusia yang paling dicintai Allōh adalah yang paling memberikan manfaat bagi manusia lainnya. Adapun amalan paling dicintai Allōh adalah membuat muslim lain bahagia, mengangkat kesusahan orang lain, membayarkan hutangnya atau menghilangkan rasa laparnya. Sungguh aku berjalan bersama saudaraku muslim untuk sebuah keperluannya lebih aku cintai daripada beri’tikaf di masjid ini (–masjid Nabawi–) selama sebulan penuh.” 

(HR. Ath-Thobrony)[15]

Kemudian dalam Hadits yang lain dari Abu Hurairoh rodhiyallōhu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rosũlullōh shollallōhu ‘alaihi wasallam juga bersabda:

لا تحاسدوا، ولا تناجشوا، ولا تباغضوا، ولا تدابروا، ولا يبعْ أحدكم علي بيع أخيه، وكونوا عباد الله إخوانًا، المسلم أخو المسلم، لا يظلمهُ ولا يخذلُه ولا يَحْقرُه، ‌التقوى ‌ها ‌هنا، وأشار بيده إلى صدره، ثلاث مراتٍ، حسبُ امرئٍ مسَلمٍ من الشر أن يَحْقِرَ أخاه المسلم، كل المسلم على المسلم حرام، دمُه، وماله، وعرضه

Janganlah kalian saling dengki, saling mempersulit, saling benci, saling memalingkan wajah; janganlah seorang dari kalian membeli barang yang masih ditawar saudaranya; jadilah kalian hamba-hamba Allōh yang bersaudara; muslim itu saudara bagi muslim lainnya; janganlah berbuat aniaya terhadap saudaranya, merendahkan ataupun menghinanya. Taqwa itu di sini (kemudian beliau mengisyaratkan ke dadanya 3X); cukuplah seseorang disebut jahat disaat dia menghina saudaranya. Muslim itu harom bagi muslim lainnya, baik darahnya, hartanya maupun harga dirinya.

(HR. Ahmad, HR. al-Bazzar dan HR. Abu Ya’la)[16]

(13) Sikap Ihsan sebagai Dakwah bil Hãl (Dakwah dengan Amalan Nyata):

قَالَ: ابْنُ هِشَامٍ: وَكَانَ حَكِيمُ بْنُ حِزَامٍ قَدِمَ مِنَ الشَّامِ بِزَيْدِ بْنِ حَارِثَةَ وَصَيْفًا، فَاسْتَوْهَبَتْهُ مِنْهُ عَمَّتُهُ خَدِيجَةُ، وَهِي يَوْمَئِذٍ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَهَبَهُ لَهَا، فَوَهَبَتْهُ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَعْتَقَهُ وَتَبَنَّاهُ، وَذَلِكَ قَبْلَ أَنْ يُوحَى إِلَيْهِ، وَقَدِمَ عَلَيْهِ أَبُوهُ وَهُوَ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنْ شِئْتَ فَأَقِمْ عِنْدِي، وَإِنْ شِئْتَ فَانْطَلِقْ مَعَ أَبِيكَ» قَالَ: ‌بَلْ ‌أُقِيمُ ‌عِنْدَكَ، فَلَمْ يَزَلْ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَعَثَهُ اللهُ، فَصَدَّقَهُ وَأَسْلَمَ وَصَلَّى مَعَهُ، فَلَمَّا أَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ {ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ} [الأحزاب: 5] قَالَ: أَنَا زَيْدُ بْنُ حَارِثَةَ رواه الطبراني في الكبير وقال الهيثمي: وَإِسْنَادُهُ حَسَنٌ

Ibnu Hisyam berkata bahwa Hakim bin Hizam telah datang dari Suriah membawa Zaid bin Haritsah dan Shoif, maka Khodijah (– bibinya Hakim bin Hizam –) meminta agar dia (Hakim bin Hizam) menghibahkan Zaid bin Haritsah kepadanya; (dimana) disaat itu Rosũlullōh shollallōhu ‘alaihi wasallam (sedang) berada di dekatnya. Maka Hakim bin Hizam pun memberikannya, kemudian Khodijah memberikannya kepada Rosũlullōh shollallōhu ‘alaihi wasallam, lalu Rosũlullōh shollallōhu ‘alaihi wasallam pun memerdekakannya dan menjadikannya sebagai anak angkatnya; yang demikian itu adalah sebelum turunnya Wahyu larangan tentang adopsi (mengambil anak angkat). Kemudian, ayahnya Zaid datang, sedangkan Zaid berada di dekat Rosũlullōh shollallōhu ‘alaihi wasallam, maka Rosũlullōh memberikan pilihan pada Zaid dengan berkata, “Kalau engkau mau, engkau tinggal bersamaku, dan kalau engkau mau, engkau boleh pergi bersama bapakmmu.” Zaid pun menjawab, “Aku memilih tinggal bersamamu.” Yang demikian itu terus berlangsung hingga Allōh Subhãnahu Wa Ta’ãlã mengangkatnya (Muhammad shollallōhu ‘alaihi wasallam) sebagai Rosũl; maka Zaid pun membenarkan kerosũlannya, masuk Islam dan sholat bersama Rosũlullōh shollallōhu ‘alaihi wasallam. Ketika Allōh Subhãnahu Wa Ta’ãlã menurunkan ayat, “Panggillah mereka (anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka” (QS. Al-Ahzab/33:5), maka Zaid pun berkata, “Aku adalah Zaid bin Haritsah.” – (HR. Ath-Thobrony)[17]

(14) Sikap Ihsan terhadap Tanaman / Tumbuh-Tumbuhan:

Berkenaan dengan sikap Ihsan terhadap Tanam-tanaman/Tumbuh-bumuhan adalah sebagaimana dalam Hadits dari Abu Hurairoh rodhiyallōhu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rosũlullōh shollallōhu ‘alaihi wasallam bersabda:

لقد رأيت رجلا يتقلب في الجنة، في ‌شجرة ‌قطعها من ظهر الطريق. كانت تؤذي الناس

Sungguh aku melihat seseorang di dalam surga karena ia memotong pohon yang menghalangi dan menyakiti orang-orang (para pengguna jalan).”

(HR. Muslim)[18]

Kemudian dalam Hadits yang lain, dari Anas bin Mãlik rodhiyallōhu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rosũlullōh shollallōhu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنْ قَامَتِ السَّاعَةُ وَبِيَدِ ‌أَحَدِكُمْ ‌فَسِيلَةٌ، فَإِنْ اسْتَطَاعَ أَنْ لَا يَقُومَ حَتَّى يَغْرِسَهَا فَلْيَفْعَلْ

Jika Kiamat terjadi, sedangkan pada tangan seorang dari kalian (ada) sebiji benih, maka jika ia mampu untuk menanamnya, maka lakukanlah.

(HR. Ahmad dan HR. Al-Bukhōry)[19]

(15) Sikap Ihsan terhadap Binatang:

Adapun sikap Ihsan terhadap Binatang adalah sebagaimana dari Abu Shōlih as-Sammãn rodhiyallōhu ‘anhu, beliau berkata, “Sungguh Rosũlullōh shollallōhu ‘alaihi wasallam telah bersabda:

بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِي بِطَرِيقٍ، اشْتَدَّ عَلَيْهِ الْعَطَشُ. فَوَجَدَ بِئْرًا فَنَزَلَ فِيهَا فَشَرِبَ. ثُمَّ خَرَجَ. فَإِذَا كَلْبٌ يَلْهَثُ يَأْكُلُ الثَّرَى مِنَ الْعَطَشِ. فَقَالَ الرَّجُلُ: لَقَدْ بَلَغَ هَذَا الْكَلْبَ مِنَ الْعَطَشِ مِثْلُ الَّذِي كَانَ بَلَغَ مِنِّي. فَنَزَلَ الْبِئْرَ فَمَلَأَ خُفَّهُ مَاءً ثُمَّ أَمْسَكَهُ بِفِيهِ حَتَّى رَقِيَ. ‌فَسَقَى ‌الْكَلْبَ فَشَكَرَ اللَّهُ لَهُ. فَغَفَرَ لَهُ ” قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ! وَإِنَّ لَنَا فِي هَذِهِ الْبَهَائِمِ لَأَجْرًا؟ فَقَالَ” في كل كبد رطبة أجر

Suatu saat (ada) seorang laki-laki berjalan dan ia mengalami kehausan yang amat sangat, tiba-tiba ia menemukan sebuah sumur, maka ia pun turun kedalam sumur tersebut serta meminum airnya, kemudian (sesudahnya) ia keluar dari dalam sumur dan menemukan seekor anjing yang menjulurkan lidahnya karena kehausan, maka laki-laki tersebut pun berkata, “Sungguh (anjing ini) telah mengalami kehausan seperti yang telah kualami, maka ia pun masuk kembali kedalam sumur seraya memenuhi sepatunya dengan air, kemudian digigitnya sepatunya dengan mulutnya, sampai ia (berhasil memanjat) keatas sumur. Lalu ia pun menyuguhkan (air dalam sepatunya) kepada anjing tersebut; maka karena perbuatannya itu, Allōh Subhãnahu Wa Ta’ãlã berterimakasih kepadanya dan mengampuni dosa-dosanya. Maka para Shohabat Rosũlullōh bertanya, “Wahai Rosũlullōh, apakah kita mendapat kebaikan dari berbuat baik pada binatang?” Rosũlullōh shollallōhu ‘alaihi wasallam pun menjawab, “Pada setiap hati yang basah terdapat pahala.

(Muttafaqun ‘Alaihi)[20]

Demikianlah berbagai contoh Bentuk Sikap Ihsan yang diperintahkan Allōh Subhãnahu Wa Ta’ãlã dan Rosũl-Nya shollallōhu ‘alaihi wasallam, yang seandainya kita kaum Muslimin melaksanakannya, maka in syã Allōh kita akan menjadi ummat yang terbaik.

Alhamdulillah, kiranya cukup sekian dulu bahasan kita kali ini, mudah-mudahan bermanfaat. Kita akhiri dengan Do’a Kafaratul Majlis:

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Masjid Baytul Mukhlishin, Cinere, Sabtu ba’da shubuh, 21 Jumadil Akhir 1444 H – 14 Januari 2023 M.


[1] HR Muslim no: 8, dari ‘Umar bin al-Khoththōb rodhiyallohu ‘anhu

[2] HR. Muslim no: 1955, dari Syaddad bin Aus rodhiyallōhu ‘anhu

[3] HR. Muslim no: 181, dari Shuhaib bin Sinan rodhiyallōhu ‘anhu

[4] Al-Karmani (wafat 786 H), “Al-Kawakib al-Darari dalam penjelasan Shohĩh al-Bukhōry” (1/196)

[5] Al-Imam al-Ashfahãny (wafat 502 H), AlMufrodãt fĩ Ghorib al-Qur’ãn, hal. 236.

[6] Ibnu Taimiyyah (wafat 728 H), Al-Iman li Ibn Taimiyyah, hal. 8.

[7] HR. Ibnu Majah no: 8, dari Abu ‘Inabah al-Khoulãny rodhiyallōhu ‘anhu, di-Hasankan oleh Al-Albãny

[8] HR. At-Turmudzy no: 2142, dari Anas bin Mãlik rodhiyallōhu ‘anhu, di-shohihkan oleh Al-Albãny

[9] HR. Muslim no: 2721, dari ‘Abdullōh bin Mas’ũd rodhiyallōhu ‘anhu

[10] Shohĩh Sunnan Ibnu Mãjah no: 3650, dari Abu Hurairoh rodhiyallōhu ‘anhu, di-Hasankan oleh Nashiruddĩn Al-Albãny

[11] HR. Muslim no: 309, dari Jãbir rodhiyallōhu ‘anhu

[12] HR. Muslim no: 1623, dari An-Nu’man bin Basyir rodhiyallōhu ‘anhu

[13] HR. Al-Bukhōry no: 6016, dari Abu Syuraih rodhiyallōhu ‘anhu

[14] HR. Al-Hakim no: 7304, Al-Mustadrok, 4/183

[15] HR. Ath-Thobrony no: 13280, Al-Mu’jam al-Kabĩr, 12/453, dari Ibnu ‘Umar rodhiyallōhu ‘anhuma, di-Hasankan oleh Al-Albãny dalam Shohĩh al-Jãmi’ no: 176

[16] HR. Ahmad no: 7713, dari Abu Hurairoh rodhiyallōhu ‘anhu, menurut Ahmad Syakir: “sanadnya shohĩh“, HR. al-Bazzar no: 8891, HR. Abu Ya’la no: 6228, menurut Husen Salim: “rijalnya terpercaya

[17] HR. Ath-Thobrony no: 15507 dalam Al-Mu’jamul Kabĩr (5/83), dan Al-Haitsami mengatakan sanad Hadits ini Hasan dalam Majma’u Az-Zawa’id wa Manba’u Al-Fawa’id (9/274)

[18] HR. Muslim no: 1914, dari Abu Hurairoh rodhiyallōhu ‘anhu

[19] HR. Ahmad no: 12981, dalam Musnad Ahmad (20/296), menurut Al-Arna’uth sanadnya shohĩh memenuhi syarat Imam Muslim; dan HR. Al-Bukhōry no: 479, dalam Al-Adabul Mufrod, hal.168, di-shohĩhkan oleh Al-Albãny

[20] Muttafaqun ‘Alaihi — HR. Al-Bukhōry no: 6009, no: 2363, no: 2466; dan HR. Muslim no: 2244, dari Abu Shōlih as-Sammãn rodhiyallōhu ‘anhu

*****o0o*****

Silakan download PDF : AL-IHSAN: KEDUDUKAN, IMPLEMENTASI & TINGKATANNYA

No comments yet

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.