TEXT: Iman menurut Ahlus Sunnah Versus Iman menurut Firqoh-Firqoh/Sekte Menyimpang
(Resume Ceramah – Masjid Baytul Mukhlishin 10/12/2022)
“IMAN” MENURUT AHLUS SUNNAH VERSUS
“IMAN” MENURUT FIRQOH-FIRQOH/SEKTE MENYIMPANG
Oleh: Ustadz Dr. Achmad Rofi’i, Lc.M.M.Pd.
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allōh سبحانه وتعالى,
Pada kajian yang lalu, telah kita kaji tentang “Dalil Rukun-Rukun Iman”, dan juga tentang “Kualitas Manusia dalam Timbangan Iman”; maka pada kajian hari ini — sebagai kelanjutan dari kajian-kajian yang lalu; kita akan membahas perbedaan diantara “Iman menurut Ahlus Sunnah versus Iman menurut Firqoh-Firqoh/Sekte yang Menyimpang”.
Perhatikanlah Bagan-1. “Iman menurut Ahlus Sunnah” versus “Iman menurut beberapa Firqoh/Sekte Menyimpang” di bawah.

Bagan-1. “Iman menurut Ahlus Sunnah” versus “Iman menurut beberapa Firqoh/Sekte Menyimpang”
I. “IMAN” MENURUT “AHLUS SUNNAH”
Sedikit kita ulang/muroja’ah bahwa: Iman itu haruslah bermakna, bukan sekedar mengatakan “Aku beriman kepada Allōh”, lalu titik; sementara perbuatannya menyelisihi perkataannya itu, misalkan: ia justru kerap pergi ke dukun, ia gemar berpihak kepada orang-orang yang memusuhi Islam, bahkan ia suka mengolok-olok syariat Islam, dan lain sebagainya. Maka yang seperti ini justru tidak menunjukkan keimanan pada orang tersebut
Karena sebagaimana yang dikatakan oleh Ali bin Abi Tholib رضي الله عنه dalam Kitab berjudul “Al-Ibaanah An Syari’atil Firqotin Naajiyyah wa Mujaanabatu Al-Firoqil Madzmuumah” karya Al-Imaam Ibnu Baththoh رحمه الله:
لَا يَنْفَعُ قَوْلٌ إِلَّا بِعَمَلٍ، وَلَا عَمَلٌ إِلَّا بِقَوْلٍ، وَلَا قَوْلٌ وَعَمَلٌ إِلَّا بِنِيَّةٍ، وَلَا نِيَّةٌ إِلَّا بِمُوَافَقَةِ السُّنَّةِ
“Tidak ada manfaatnya suatu perkataan (pernyataan), kecuali disertai dengan amal. Tidak bermanfaat suatu amalan, apabila tidak disertai dengan perkataan. Tidak bermanfaat pula perkataan dan perbuatan, bila tidak disertai niat. Tidak bermanfaat pula perkataan, perbuatan dan niat, kecuali bersesuaian dengan Sunnah Rosuulullooh.”[1]
Dengan demikian, ada 4 unsur yaitu: Perkataan, Perbuatan, Niat dan Sesuai dengan Sunnah. Itulah bila kita ingin benar-benar beriman. Oleh karena itu, ketika kita beriman kepada Allooh سبحانه وتعالى, kita ungkapkan dengan perkataan: “Asyhadu an laa ilaaha illallooh wa asyhadu anna Muhammadur Rosuulullooh”,lalu hati kita membenarkannya dengan Niat yang tulus hanya untuk Allooh سبحانه وتعالى lalu diikuti dengan amal perbuatan seluruh anggota tubuh yang sesuai dengan Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Bila 4 unsur tersebut tidak kita miliki, maka iman kita tidak benar, tidak sesuai, tercela, atau ada cacatnya.
Kemudian di dalam kitab “Syarah Ushul I’tiqod Ahlis Sunnah wal Jama’ah”, ketika menjelaskan tentang “Iman” maka ‘Ulama Ahlus Sunnah Al-Imam Asy-Syafi’i rohimahullōh berkata:
وَكَانَ الْإِجْمَاعُ مِنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ مِنْ بَعْدِهِمْ مِمَّنْ أَدْرَكْنَاهُمْ أَنَّ الْإِيمَانَ قَوْلٌ وَعَمَلٌ وَنِيَّةٌ، لَا يُجْزِئُ وَاحِدٌ مِنَ الثَّلَاثَةِ بِالْآخَرِ
“Adalah sudah menjadi Ijma’ (kesepakatan) para Shohabat dan Tabi’in yang mereka itu kutemui bahwa: Iman adalah Perkataan, Perbuatan dan Niat. Tidak bernilai jika terpisah yang satu dengan yang lainnya.”[2]
Al-Imam Muhammad bin Husain Al-Ajurri Asy-Syafi’i رحمه الله yang hidup pada awal abad ke-3 Hijriyah, bila dirunut madzhabnya, beliau adalah juga Madzab Syafi’i, beliau رحمه الله mengatakan di dalam Kitab “Asy-Syari’ah”sebagai berikut:
اعْمَلُوا رَحِمَنَا اللَّهُ وَإِيَّاكُمْ أَنَّ الَّذِيَ عَلَيْهِ عُلَمَاءُ الْمُسْلِمِينَ أَنَّ الْإِيمَانَ وَاجِبٌ عَلَى جَمِيعِ الْخَلْقِ، وَهُوَ تَصْدِيقٌ بِالْقَلْبِ، وَإِقْرَارٌ بِاللِّسَانِ، وَعَمَلٌ بِالْجَوَارِحِ
“Ketahuilah oleh kalian (kaum Muslimin), mudah-mudahan Allōh menyayangiku dan menyayangi kalian, yang diyakini oleh ulama kaum muslimin bahwa beriman adalah kewajibandari seluruh makhluq. Semua manusia wajib beriman, yaitu: membenarkan dalam hati, menyatakan dengan lisan dan mengamalkan dengan amal / perbuatan”.[3]
Dengan demikian, Iman itu adalah satu paket (bulat/utuh) yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya, yaitu berupa:
1. Qoul / Ucapan, terdiri dari:
– Ucapan “Bathin” melalui Keyakinan di Hati (dengan segenap Hatinya men-Tauhid-kan Allooh); dan
– Ucapan “Dzohir” melalui Mulut / Lisannya (dengan meng-Ikrarkan dua kalimat syahadat)
2. Amalan, terdiri dari:
– Amalan “Bathin” di Hati (contohnya antara lain: adanya rasa takut pada Allooh, cinta padaAllooh, berharap padaAllooh, benci pada thoghut/yang diibadahi selain Allōh, bertawakkul kepadaAllōh, bersyukur padaAllōh, malu berma’shiyat padaAllōh, ridho pada ketentuan Allōh, dan lain sebagainya); dan
– Amalan “Dzohir”melalui perbuatan Anggota Tubuhnya (seluruh anggota tubuhnya digunakan untuk taat kepada Allooh, beramal nyata di jalan Allooh,dan lain sebagainya)
Indikator Iman (Keyakinan / Niat di Hati, Perkataan / Ucapan Lisan dan Amal / Perbuatan seluruh Anggota Tubuh) ini harus lengkap, karenamerupakan satu paket yang bulat/utuh, tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya! Apabila Hatinya ber-Iman, maka perkataan lisan yang keluar dari mulutnya dan perbuatan amal anggota tubuhnya adalah selaras menunjukkan Iman yang ada di hatinya itu pula; itulah Ahlus Sunnah. Tidak ada kontradiksi diantara Hati – Mulut – Amal perbuatan anggota tubuhnya.
Berikutnya, Ahlus Sunnah juga meyakini bahwa “Iman dapat Bertambah (bila melakukan ketaatan pada Allōh dan Rosuul-Nya)” dan “Iman dapat Berkurang (bila melakukan kemaksiatan)”; atau bahkan “Iman dapat pula hilang/batal (bila melakukan perkara-perkara Pembatal keImanan)”.
Dalil-dalilnya adalah sebagai berikut:
IMAN DAPAT BERTAMBAH & BERKURANG
1) Iman dapat bertambah dan berkurang; sebagaimana dalam kitab “Syarah Ushul I’tiqod Ahlis-Sunnah” salah seorang Shohabat Nabi yakni Abud Darda’ rodhiyalloohu ‘anhu berkata:
إِنَّ مِنْ فِقْهِ الْعَبْدِ أَنْ يَتَعَاهَدَ إِيمَانَهُ وَمَا نَقَصَ مِنْهُ، وَمِنْ فِقْهِ الْعَبْدِ أَنْ يَعْلَمَ أَمُزْدَادٌ هُوَ أَمْ مُنْتَقِصٌ، وَإِنَّ مِنْ فِقْهِ الرَّجُلِ أَنْ يَعْلَمَ نَزَغَاتِ الشَّيْطَانِ أَنَّى تَأْتِيهِ
“Sesungguhnya diantara tanda kefaqihan seseorang, ia memperhatikan kondisi imannya ketika berkurang, dan diantara tanda kefaqihan seseorang ia mengetahui ketika imannya sedang bertambah dan ketika sedang berkurang, dan diantara tanda kefaqihan seseorang ia mengetahui kapan godaan syaithon datang kepadanya.”[4]
IMAN DAPAT BERTAMBAH (KARENA KETAATAN PADA ALLOH & ROSUL-NYA), BAHKAN BISA SEMPURNA
2) Iman dapat bertambah adalah sebagaimana firman Allōh Subhaanahu Wa Ta’aalaa dalam QS. Al-Fath/48:4:
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَعَ إِيمَانِهِمْ ۗ وَلِلَّهِ جُنُودُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا
“Dialah (Allōh) yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allōh -lah tentara langit dan bumi dan adalah Allōh Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
3) Iman dapat bertambah adalah sebagaimana firman Allōh Subhaanahu Wa Ta’aalaa dalam QS. Al-Anfal/8:2:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allōh gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.”
4) Iman dapat bertambah adalah sebagaimana firman Allōh Subhaanahu Wa Ta’aalaa dalam QS. Al-Muddatstsir/74:31:
وَمَا جَعَلْنَا أَصْحَابَ النَّارِ إِلَّا مَلَائِكَةً ۙ وَمَا جَعَلْنَا عِدَّتَهُمْ إِلَّا فِتْنَةً لِلَّذِينَ كَفَرُوا لِيَسْتَيْقِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ وَيَزْدَادَ الَّذِينَ آمَنُوا إِيمَانًا ۙ وَلَا يَرْتَابَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ وَالْمُؤْمِنُونَ ۙ وَلِيَقُولَ الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ وَالْكَافِرُونَ مَاذَا أَرَادَ اللَّهُ بِهَٰذَا مَثَلًا ۚ كَذَٰلِكَ يُضِلُّ اللَّهُ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَا يَعْلَمُ جُنُودَ رَبِّكَ إِلَّا هُوَ ۚ وَمَا هِيَ إِلَّا ذِكْرَىٰ لِلْبَشَرِ
“Dan tiada Kami jadikan penjaga neraka itu melainkan dari malaikat: dan tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan untuk jadi cobaan bagi orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab menjadi yakin dan supaya orang yang beriman bertambah imannya dan supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab dan orng-orang mukmin itu tidak ragu-ragu dan supaya orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan orang-orang kafir (mengatakan): “Apakah yang dikehendaki Allōh dengan bilangan ini sebagai suatu perumpamaan?” Demikianlah Allōh membiarkan sesat orang-orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan Dia sendiri. Dan Saqar itu tiada lain hanyalah peringatan bagi manusia.”
5) Iman dapat bertambah adalah sebagaimana firman Allōh Subhaanahu Wa Ta’aalaa dalam QS. Ali ‘Imron/3:173:
الَّذِينَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ
“(Yaitu) orang-orang (yang mentaati Allōh dan Rosuul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: “Cukuplah Allōh menjadi Penolong kami dan Allōh adalah sebaik-baik Pelindung”.”
6) Iman dapat bertambah adalah sebagaimana firman Allōh Subhaanahu Wa Ta’aalaa dalam QS. At-Taubah/9:124:
وَإِذَا مَا أُنْزِلَتْ سُورَةٌ فَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ أَيُّكُمْ زَادَتْهُ هَٰذِهِ إِيمَانًا ۚ فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا فَزَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَهُمْ يَسْتَبْشِرُونَ
“Dan apabila diturunkan suatu surat, maka diantara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: “Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turannya) surat ini?” Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, dan mereka merasa gembira.”
7) Iman dapat bertambah adalah sebagaimana firman Allōh Subhaanahu Wa Ta’aalaa dalam QS. Al-Ahzab/33:22:
وَلَمَّا رَأَى الْمُؤْمِنُونَ الْأَحْزَابَ قَالُوا هَٰذَا مَا وَعَدَنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَصَدَقَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ ۚ وَمَا زَادَهُمْ إِلَّا إِيمَانًا وَتَسْلِيمًا
“Dan tatkala orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata: “Inilah yang dijanjikan Allōh dan Rosuul-Nya kepada kita”. Dan benarlah Allōh dan Rosuul-Nya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan.”
8) Bahkan Iman dapat menjadi sempurna/kokoh adalah sebagaimana dalam Hadits dari shohabat Abu Umamah rodhiyalloohu ‘anhu berikut ini, bahwa Rosuulullooh shollalloohu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ أَحَبَّ لِلهِ وَأَبْغَضَ لِلهِ وَأَعْطَى لِلهِ وَمَنَعَ لِلهِ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ الْإِيْمَانَ
“Barang siapa mencintai karena Allōh, dan membenci karena Allōh, memberi karena Allōh dan tidak memberi juga karena Allōh, sungguh dia telah menyempurnakan keimanan.”
(HR. Abu Dawud)[5]
Juga dalam Hadits dari shohabat ‘Abdullooh bin ‘Abbas rodhiyalloohu ‘anhu berikut, bahwa Rosuulullooh shollalloohu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَوْثَقُ عُرَى الْإِيْمَانِ الْحُبُّ فِي اللهِ وَالْبُغْضُ فِي اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Tali iman yang paling kokoh adalah cinta karena Allōh dan benci karena Allōh.” (HR. Ath-Thobroni)[6]
IMAN DAPAT BERKURANG (KARENA KEMAKSIATAN PADA ALLOH & ROSUL-NYA), BAHKAN BISA MENJADI LEMAH
9) Iman dapat berkurang karena melakukan maksiat kepada Allōh Ta’aalaa adalah sebagaimana dalam Hadits Shohiih dari Abu Hurairoh rodhiyalloohu ‘anhu berikut, bahwa Rosuulullooh shollalloohu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَسْرِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَنْتَهِبُ نُهْبَةً يَرْفَعُ النَّاسُ إِلَيْهِ فِيهَا أَبْصَارَهُمْ حِينَ يَنْتَهِبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ
“Tidaklah seorang pezina berzina dalam keadaan Mukmin, dan tidaklah peminum khomr ketika meminum (khomr) itu dalam keadaan Mukmin, dan tidaklah seorang pencuri ketika mencuri dalam keadaan Mukmin, dan tidaklah seorang perampas barang yang manusia (orang banyak) melihat kepadanya dengan mata mereka ketika ia merampas barang tersebut dalam keadaan Mukmin.”
(HR. Al-Bukhory dan HR. Muslim)[7]
Dalam kitab “As-Sunnah” dijelaskan bahwa Ishaaq bin ‘Ibrohiim an-Naisaaburi rohimahullooh berkata, “Abu ‘Abdillaah (Imam Ahmad rohimahullooh) pernah ditanya tentang Iman dan berkurangnya Iman. Beliau rohimahullooh menjawab, “Berkurangnya Iman ada pada sabda Rosuulullooh shollalloohu ‘alaihi wasallam, “Tidaklah seorang pezina berzina dalam keadaan Mukmin dan tidaklah seorang pencuri mencuri dalam keadaan Mukmin.”[8]
10) Bahkan Iman dapat menjadi selemah-lemah Iman adalah sebagaimana dalam Hadits dari Abu Sa’id al-Khudry rodhiyalloohu ‘anhu berikut, bahwa Rosuulullooh shollalloohu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ
“Barangsiapa diantara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah kemungkaran itu dengan tangannya. Dan jika ia tidak mampu, maka ingkarilah dengan lisannya. Dan jika tidak mampu juga dengan lisannya, maka ingkarilah dengan hatinya. Dan mengingkari dengan hati itu adalah selemah-lemahnya iman.”
(HR. Muslim)[9]
IMAN DAPAT PULA BATAL (KARENA MELAKUKAN PERKARA-PERKARA PEMBATAL KEIMANAN)
11) Iman dapat batal karena mengolok-olok Allōh, ayat-ayat Allōh dan mengolok-olok Rosuul-Nya (ajaran Islam), adalah sebagaimana firman Allōh Subhaanahu Wa Ta’aalaa dalam QS. At-Taubah/9: 65-66:
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ (65) لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ (66)
(65) “Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Allōh, ayat-ayat-Nya dan Rosuul-Nya kamu selalu berolok-olok?”
(66) “Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengadzab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.”
12) Iman dapat pula batal adalah sebagaimana firman Allōh Subhaanahu Wa Ta’aalaa dalam QS. An-Nahl/16:106:
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَٰكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Barangsiapa yang kafir kepada Allōh sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allōh), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allōh menimpanya dan baginya adzab yang besar.”
13) Iman dapat pula batal bila hanya beriman pada sebagian ayat (aturan Allōh dan Rosuul-Nya), lalu mengingkari/menolak sebagian lainnya, adalah sebagaimana firman Allōh Subhaanahu Wa Ta’aalaa dalam QS. An-Nisa’/4:150-151:
إِنَّ الَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيُرِيدُونَ أَنْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ اللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيَقُولُونَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ وَيُرِيدُونَ أَنْ يَتَّخِذُوا بَيْنَ ذَٰلِكَ سَبِيلًا (150) أُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ حَقًّا ۚ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا (151)
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allōh dan rosuul-rosuul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allōh dan rosuul-rosuul-Nya, dengan mengatakan: “Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)”, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) diantara yang demikian (iman atau kafir), merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan.”
14) Iman dapat pula batal adalah sebagaimana firman Allōh Subhaanahu Wa Ta’aalaa dalam QS. Muhammad/47:25-28:
إِنَّ الَّذِينَ ارْتَدُّوا عَلَى أَدْبَارِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْهُدَى الشَّيْطَانُ سَوَّلَ لَهُمْ وَأَمْلَى لَهُمْ (25) ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا لِلَّذِينَ كَرِهُوا مَا نَزَّلَ اللَّهُ سَنُطِيعُكُمْ فِي بَعْضِ الْأَمْرِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِسْرَارَهُمْ (26) فَكَيْفَ إِذَا تَوَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ يَضْرِبُونَ وُجُوهَهُمْ وَأَدْبَارَهُمْ (27) ذَلِكَ بِأَنَّهُمُ اتَّبَعُوا مَا أَسْخَطَ اللَّهَ وَكَرِهُوا رِضْوَانَهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ(28)
“Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, syaithon telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka (orang-orang munafik) itu berkata kepada orang-orang yang benci kepada apa yang diturunkan Allōh (orang-orang Yahudi): “Kami akan mematuhi kamu dalam beberapa urusan“, sedang Allōh mengetahui rahasia mereka. Bagaimanakah (keadaan mereka) apabila malaikat (maut) mencabut nyawa mereka seraya memukul muka mereka dan punggung mereka? Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan Allōh dan (karena) mereka membenci (apa yang menimbulkan) keridho’an-Nya; sebab itu Allōh menghapus (pahala) amal-amal mereka.”
15) Iman dapat pula batal adalah sebagaimana firman Allōh Subhaanahu Wa Ta’aalaa dalam QS. Al-Ma’idah/5:5:
…وَمَنْ يَكْفُرْ بِالْإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“… Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.”
16) Iman dapat pula batal adalah sebagaimana firman Allōh Subhaanahu Wa Ta’aalaa dalam QS. Al-Ma’idah/5:54:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ ۚ ذَٰلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa diantara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allōh akan mendatangkan suatu kaum yang Allōh mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allōh, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allōh, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allōh Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.”
Dan masih banyak lagi ayat-ayat lainnya, silahkan membaca ulang kajian tentang “Pembatal Syahadat” dan “Pembatal keIslaman” yang ada di Website ini.[10]
Perhatikanlah di bawah, Bagan-2. “Iman” menurut Ahlus Sunnah dapat Bertambah, Berkurang, bahkan Batal/Hilang.
Dengan demikian, ketika menghukumi status seseorang, Ahlus Sunnah tidak langsung memvonis “Kafir” kepada “Pelaku Dosa Besar” (sebagaimana firqoh / sekte menyimpang seperti: Khowarij), namun Ahlus Sunnah membagi statusnya berdasarkan tingkatan-tingkatan dosa, mana dosa/kemaksiatan yang dapat menjadi “Pengurang Iman” (sehingga pelakunya masih termasuk Muslim, namun ada kekurangan/cacat pada Imannya) dan mana dosa yang tergolong kepada perkara-perkara “Pembatal Iman” (sehingga pelakunya dapat menjadi murtad/keluar dari Islam dan menjadi orang Kafir karenanya), sebagaimana telah kita bahas dalam kajian yang lalu. (Silahkan baca kembali kajian tentang “Iman, Hakekat dan Peruntuhnya” yang ada di Website ini[11])
Bagan-2. “Iman” menurut Ahlus Sunnah, dapat Bertambah, Berkurang, bahkan Batal/Hilang
Dan lihat di bawah Bagan-3. Tingkatan Kemaksiatan & Dosa yang dapat menjadi Faktor “Pengurang Iman” dan “Pembatal Iman”
Bagan-3. Tingkatan Kemaksiatan & Dosa yang dapat menjadi Faktor “Pengurang Iman” dan “Pembatal Iman”
Dengan demikian, Ahlus Sunnah (suatu kelompok yang diberi Hidayah dan Taufiq oleh Allōh sehingga berada diatas Kebenaran/Al-Haq) menyatakan bahwa: “Iman adalah satu kesatuan yang selaras, berupa ucapan dengan lisan, diamalkan dengan perbuatan nyata, dan diyakini didalam hatinya. Bisa bertambah karena ketaatan, dan bisa berkurang karena maksiat, bahkan bisa batal/hilang (bila melakukan perkara-perkara Pembatal Keimanan”.
Ahlus Sunnah membedakan diantara dua jenis “dosa/maksiat”:
a) “Dosa/maksiat yang terjadi akibat Menyepelekan/Menggampangkan dosa (Tahawun/Tasahul)” maka dosa/maksiat jenis ini dapat mengurangi kadar Iman seseorang, namun tidak sampai membatalkan Imannya;
b) “Dosa/maksiat yang terjadi akibat Menghalalkan yang diharomkan Allōh atau Mengharomkan yang dihalalkan Allōh (Tahlil/Tahrim)” maka dosa/maksiat jenis ini dapat membatalkan Iman seseorang.
Ahlus Sunnah tidak sampai mengingkari keimanan secara total dari “pelaku dosa besar jenis Tahawun/Tasahul” ini; berbeda dengan kaum Khowarij dan Mu’tazilah yang langsung menganggap hilang Iman secara total pada setiap pelaku dosa besar. Dan berbeda pula dengan kaum Murji’ah dan Jahmiyyah, yang beranggapan bahwa pelaku dosa besar masih tetap sempurna Imannya.
Bagi kaum Khowarij, seseorang yang melakukan dosa besar (berzina, mencuri, dll) langsung saja divonisnya “kafir”, tanpa memperrinci lebih lanjut bahwa ternyata si pelaku dosa besar itu tidaklah ia sampai ke tahapan menghalalkan perbuatan dosa/maksiatnya itu.
Kebalikannya adalah kaum Murji’ah dan Jahmiyyah.
Bagi kaum Murji’ah dan Jahmiyyah, bahkan seseorang yang sudah melakukan dosa besar/maksiat dianggapnya masih tetap sempurna Imannya. Bahkan lebih ekstrim lagi, di zaman sekarang, betapa banyak kaum Murji’ah dan Jahmiyyah yang bagi mereka itu seseorang yang melakukan perkara-perkara pembatal Iman sekalipun seperti: gemar berbuat kesyirikan (mempercayai para dukun/peramal, suka memberi sesajen pada “tuhan-tuhan selain Allōh berupa dewa-dewi penjaga gunung/lautan”), menolak/ mengingkari hukum-hukum Allōh dan menganggap Hukum Buatan Manusia lebih baik dari Hukum Allōh, mengolok-olok/mencela syariat Islam, loyal ke orang-orang kafir yang jelas-jelas membawa kemudhorotan bagi Islam dan kaum Muslimin, dll); tetap saja oleh kaum Murji’ah dan Jahmiyyah ini para pelaku Pembatal Iman tersebut dianggapnya bagaikan Mukmin sempurna imannya.
Hal ini terjadi karena kaum Murji’ah maupun Jahmiyyah hanya mengambil dalil-dalil tentang ampunan/pahala; sedangkan kaum Khowarij dan Mu’tazilah hanya mengambil dalil-dalil tentang ancaman/adzab, Adapun Ahlus Sunnah adalah bersikap di pertengahan, dengan menggabungkan (mengambil) dalil-dalil tentang ampunan/pahala maupun dalil-dalil tentang ancaman/adzab.
Ahlus Sunnah juga meyakini bahwa Hukuman Akherat bagi “pelaku dosa/maksiat yang dosanya tidak sampai ke perkara Pembatal Iman” adalah: tergantung Kehendak Allōh, Allōh bisa mengampuninya bila Allōh berkehendak demikian serta memasukkannya ke surga karena rahmat dan karunia-Nya. Namun Allōh bisa pula menghukumnya terlebih dahulu secara Adil dengan memasukkannya ke Neraka, sesuai kadar kemaksiatannya; dan bila telah disucikan dari dosanya barulah ia dimasukkan ke Surga sesudahnya.
Jadi, Ahlus Sunnah menyatakan bahwa: “Pelaku dosa besar/maksiat (yang dosanya tidak sampai ke perkara Pembatal Iman), bila Allōh hendak menghukumnya maka ia tidaklah kekal di Neraka”.
Ahlus Sunnah adalah pertengahan, diantara kelompok Khowarij dan Mu’tazilah yang menyatakan bahwa pelaku dosa besar/maksiat kekal di Neraka, dengan kelompok Murji’ah dan Jahmiyyah yang menyatakan bahwa pelaku dosa besar/maksiat tidak akan mendapat Hukuman Neraka.
Perhatikanlah Bagan-4 berikut ini:
Bagan-4. Sepuluh Golongan yang Diancam Menjadi Penghuni Neraka menurut Ahlus Sunnah
Berikut dalil-dalil yang menjadi landasan pernyataan Ahlus Sunnah terhadap “Tidak kekalnya Neraka bagi pelaku dosa besar/maksiat”:
1) Orang yang mati diatas perkara Pembatal Iman (Syirik dan semisalnya), maka Alloh tidak akan mengampuninya; sedangkan dosa yang dibawah derajat Pembatal Iman maka tergantung Kehendak Allōh (bisa diampuni, bisa pula tidak); adalah sebagaimana firman-Nya dalam QS. An-Nisa’/4:48 berikut ini:
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاء وَمَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya Allōh tidak akan mengampuni dosa Syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allōh, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.”
2) Pelaku dosa/maksiat (yang tidak sampai ke derajat Pembatal Iman semisal Syirik dan sejenisnya), terancam masuk ke Neraka meskipun tidak kekal; adalah sebagaimana dalam Hadits Riwayat Al-Imam al-Bukhoory dan Al-Imam Muslim, dari Shohabat Ibnu Mas’uud رضي الله عنه, bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
إِنِّى لأَعْلَمُ آخِرَ أَهْلِ النَّارِ خُرُوجًا مِنْهَا وَآخِرَ أَهْلِ الْجَنَّةِ دُخُولاً الْجَنَّةَ رَجُلٌ يَخْرُجُ مِنَ النَّارِ حَبْوًا فَيَقُولُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى لَهُ اذْهَبْ فَادْخُلِ الْجَنَّةَ فَيَأْتِيهَا فَيُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّهَا مَلأَى فَيَرْجِعُ فَيَقُولُ يَا رَبِّ وَجَدْتُهَا مَلأَى. فَيَقُولُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى لَهُ اذْهَبْ فَادْخُلِ الْجَنَّةَ – قَالَ – فَيَأْتِيهَا فَيُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّهَا مَلأَى فَيَرْجِعُ فَيَقُولُ يَا رَبِّ وَجَدْتُهَا مَلأَى فَيَقُولُ اللَّهُ لَهُ اذْهَبْ فَادْخُلِ الْجَنَّةَ فَإِنَّ لَكَ مِثْلَ الدُّنْيَا وَعَشَرَةَ أَمْثَالِهَا أَوْ إِنَّ لَكَ عَشَرَةَ أَمْثَالِ الدُّنْيَا – قَالَ – فَيَقُولُ أَتَسْخَرُ بِى – أَوْ أَتَضْحَكُ بِى – وَأَنْتَ الْمَلِكُ » قَالَ لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ضَحِكَ حَتَّى بَدَتْ نَوَاجِذُهُ. قَالَ فَكَانَ يُقَالُ ذَاكَ أَدْنَى أَهْلِ الْجَنَّةِ مَنْزِلَةً
“Sesungguhnya aku tahu siapa orang yang paling terakhir dikeluarkan dari Neraka dan paling terakhir masuk ke Surga. Yaitu seorang laki-laki yang keluar dari Neraka dengan merangkak.”
Kemudian Allōh berfirman kepadanya, “Pergilah engkau, masuklah engkau ke Surga.”
Ia pun mendatangi surga, tetapi ia membayangkan bahwa surga itu telah penuh.
Ia kembali dan berkata, “Wahai Robbku, aku mendatangi surga, tetapi sepertinya telah penuh.”
Allōh berfirman kepadanya, “Pergilah engkau dan masuklah surga.”
Ia pun mendatangi surga, tetapi ia masih membayangkan bahwa surga itu telah penuh.
Kemudian ia kembali dan berkata, “Wahai Robbku, aku mendatangi surga tetapi sepertinya telah penuh.”
Allōh berfirman kepadanya, “Pergilah engkau dan masuklah surga, karena untukmu surga seperti dunia dan sepuluh kali lipat darinya.”
Orang tersebut berkata, “Apakah Engkau memperolok-olokku atau menertawakanku, sedangkan Engkau adalah Raja Diraja?”
Ibnu Mas’uud berkata, “Aku melihat Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم tertawa sampai tampak gigi geraham beliau. Kemudian beliau bersabda, “Itulah penghuni surga yang paling rendah derajatnya.”
(HR. Al-Bukhoory dan HR. Muslim)[12]
Demikianlah, “Hubungan antara dosa dan pengaruhnya pada Iman, serta Hukuman Akheratnya” menurut Ahlus Sunnah adalah telah kita bahas beserta dalil-dalilnya. Berikut ini, kita perlu pula mengetahui bahwa ada beberapa firqoh/sekte menyimpang yang memiliki kekeliruan dalam memahami hal tersebut.
II. BEBERAPA FIRQOH/SEKTE MENYIMPANG
Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allōh سبحانه وتعالى,
Munculnya berbagai firqoh/sekte menyimpang (keluar dari pemahaman Ahlus Sunnah), telah terjadi sejak lama. Bahkan dalam kitab berjudul “Maushũ’ah Tauhĩdi Robbil ‘Abĩd”, yang ditulis oleh Syaikh Shõlih bin Fauzan Ali Fauzan, beliau menjelaskan bahwa sesungguhnya berbagai firqoh/sekte menyimpang itu telah muncul bukan hanya pada zaman sekarang, namun telah muncuk sejak zaman Khulafã Ar-Rõsyidĩn.
Syaikh Shõlih Fauzan dalam Kitabnya tersebut berkata sebagai berikut:
وأول بدعة ظهرت بدعة القدر وبدعة الإرجاء، وبدعة التشيع والخوارج ولما حدثت الفرقة بعد مقتل عثمان ظهرت بدعة الحرورية، ثم في أواخر عصر الصحابة حدثَ القدرية في آخر عصر ابن عمر وابن عباس وجابر وأمثالهم من الصحابة، وحدثت المرجئة قريبا من ذلك. وأما الجهمية فإنها حدثت في أواخر عصر التابعين بعد موت عمر بن عبد العزيز، وقد روي أنه أنذر بهم، وكان ظهور جهم بخراسان في خلافة هشام بن عبد الملك
“Bid’ah yang pertama kali muncul adalah Bid’ah Qodariyah, lalu Bid’ah Murji’ah, lalu Bid’ah Syi’ah, kemudian Bid’ah Khowarij. Perpecahan terjadi setelah terbunuhnya ‘Utsman bin Affan رضي الله عنه. Muncullah Bid’ah Al-Harũriyyah (– Khowarij –). Kemudian pada akhir masa Shohabat terjadilah Bid’ah Qodariyyah, yaitu pada akhir masa Ibnu ‘Umar dan Ibnu Abbas, Jãbir رضي الله عنهم dan semisal mereka dari kalangan Shohabat. Kemudian muncullah Bid’ah Murji’ah tidak lama setelah itu. Adapun Jahmiyyah, maka kelompok ini muncul di akhir masa Tabi’iin setelah meninggalnya ‘Umar bin Abdul Azĩz رحمه الله. Dan terdapat riwayat bahwa beliau (‘Umar bin Abdul Azĩz رحمه الله)memberi peringatan agar berhati-hati terhadap mereka. Dan munculnya Jahmiyyah ini adalah di negeri Khurosan, pada masa Khilãfah Hisyam bin ‘Abdul Mãlik.”[13]
Kemudian Al-Imãm Al Ajurry رحمه الله dalam Kitab berjudul “Asy-Syarĩ’ah, beliau berkata:
المسيب بن واضح قال : سمعت يوسف بن أسباط يقول : أصول البدع أربع : الروافض ، والخوارج ، والقدرية ، والمرجئة ، ثم تتشعب كل فرقة ثماني عشرة طائفة ، فتلك اثنتان وسبعون فرقة ، والثالثة والسبعون الجماعة التي قال النبي صلى الله عليه وسلم : إنها الناجية
“Al-Musayyib bin Wãdhihmengatakan, “Aku mendengar Yusuf bin Asbath berkata, “Pokok-pokok kebid’ahan itu ada 4 (empat): Rõfidhoh, Khowarij, Qodariyyah dan Murji’ah. Kemudian bercabanglah dari setiap firqoh menjadi 18 (delapan belas) kelompok, maka semua menjadi 72 (tujuh puluh dua) kelompok. Sedangkan kelompok yang ke-73 adalah Al-Jamã’ah, atau yang dimaksudkan oleh Nabi صلى الله عليه وسلم sebagai “Kelompok yang Selamat” (Al-Firqoh An-Nãjiyah).”[14]
Apabila sebelumnya kita telah membahas tentang bagaimana “Pengaruh Dosa terhadap Iman” itu menurut Ahlus Sunnah; maka berikut ini akan dijelaskan bagaimana beberapa firqoh/sekte menyimpang (Murji’ah, Karromiyyah, Jahmiyyah, Khowarij, Mu’tazilah) menyikapi “Hubungan antara dosa dan pengaruhnya pada Iman, serta Hukuman Akheratnya” (lihat Bagan-1. “Iman menurut Ahlus Sunnah” versus “Iman menurut beberapa Firqoh/Sekte Menyimpang” diatas).
III. “IMAN” MENURUT FIRQOH/SEKTE MENYIMPANG “MURJI’AH”
Al-Murji’ah adalah =
a) Mereka yang menyatakan bahwa dosa tidak akan membawa akibat buruk bagi keimanan seseorang, disisi lainbagi mereka ketaatan tidak pula membawa manfaat bagi iman seseorang;
b) Mereka beranggapan bahwa Iman itu hanyalah dibenarkan di Hati dan Lisan saja;
c) Mereka beranggapan bahwa Amal Perbuatan tidak termasuk bagian dari Iman;
d) Bagi kaum Murji’ah, para pelaku dosa besar itu Imannya tetap sempurna, tidak mungkin dimasukkan ke dalam Neraka. Akibat pandangan kelirunya ini maka bagi kaumMurji’ah, keimanan seseorang yang sangat fasiq atau bahkan lebih ekstrim lagi seseorang yang telah terperosok berulang kali kedalam dosa yang tergolong pembatal-pembatal keImanan sekalipun, dianggapnya sama saja dengan keimanan Mukmin yang shoolih.
Hal ini terjadi akibat kaum Murji’ah memandang Iman itu hanya cukup sekedar di hati dan diucapkan di lisan saja, serta Murji’ah tidak menganggap Amal Perbuatan sebagai bagian dari Iman; sehingga bahkan seseorang yang berbuat sekaliber dosa pembatal-pembatal Iman sekalipun maka dianggapnya Iman orang tersebut tetap stabil sempurna. Akibat pandangan rusaknya ini maka bahkan bagi kaum Murji’ah, para pengolok-olok / peruntuh syari’at Islam disamakannya dengan Imannya para Mujahidin / Mushlihun para penolong agama Allōh.
Berikut ini, berbagai pernyataan para ‘Ulama Ahlus Sunnah menyikapi fenomena kaum Murji’ah ini:
1) Iman menurut kebanyakan kaum Murji’ah hanya di Hati dan di Lisan saja, mereka mengeluarkan Amal Perbuatan dari Iman. Dalam Kitab “Al-Iman”, Ibnu Mandah rohimahullooh berkata tentang kaum Murji’ahsebagai berikut:
قَالَ جُمْهُورُ أَهْلِ الْإِرْجَاءِ: الْإِيمَانُ هُوَ فِعْلُ الْقَلْبِ وَاللِّسَانِ جَمِيعًا
“Jumhur (kebanyakan) kaum Murji’ah menyatakan bahwa Iman itu pekerjaan Hati sekaligus perkataan Lisan.”[15]
2) Murji’ah bukan Ahlus Sunnah. Dalam Kitab “As-Sunnah”, Al-Imam Yahya dan Qotadah rohimahullōh berkata tentang firqoh Murji’ah:
لَيْسَ مِنَ الْأَهْوَاءِ شَيْءٌ أَخْوَفُ عِنْدَهُمْ عَلَى الْأُمَّةِ مِنَ الْإِرْجَاءِ
“Tidak ada Hawa Nafsu yang sangat kami takuti keberadaannya dalam ummat (Islam), (melainkan adalah) dari firqoh/sekte Murji’ah.”[16]
Sedangkan Al-Imam Ibrohim an-Nakho’i rohimahullōh dalam Kitab “Al-Ibanah al-Kubro” juga mengatakan tentang Murji’ah:
لَفِتْنَتُهُمْ عِنْدِي أَخْوَفُ عَلَى هَذِهِ الْأُمَّةِ مِنْ فِتْنَةِ الْأَزَارِقَةِ ، يَعْنِي الْمُرْجِئَةَ
“Tidak ada Hawa Nafsu yang sangat kami takuti keberadaannya dalam ummat (Islam), (melainkan adalah) dari firqoh/sekte Murji’ah.”[17]
3) Bid’ah Murji’ah sangat berbahaya. Dalam Kitab “Al-Iman”, Al-Imam az-Zuhri rohimahullōh berkata:
مَا ابْتُدِعَتْ فِي الْإِسْلَامِ بِدْعَةٌ أَعَزُّ عَلَى أَهْلِهَا مِنْ هَذَا الْإِرْجَاءِ
“Tidak ada kebid’ahan yang (sangat) berbahaya bagi ummat Islam, selain (adalah dari firqoh/sekte) Murji’ah.”[18]
4) Murji’ah telah Keluar dari Syari’at Islam.Al-Imam Ibnu Baththoh rohimahullōh dalam Kitab “Al-Ibanah al-Kubro” berkata:
وَإِنَّ الْمُؤْمِنَ بِلِسَانِهِ وَالْعَارِفَ بِقَلْبِهِ مُؤْمِنٌ كَامِلُ الْإِيمَانِ كَإِيمَانِ جِبْرِيلَ ، وَإِنَّ الْإِيمَانَ لَا يَتَفَاضَلُ وَلَا يَزِيدُ وَلَا يَنْقُصُ ، وَلَيْسَ لِأَحَدٍ عَلَى أَحَدٍ فَضْلٌ ، وَإِنَّ الْمُجْتَهِدَ وَالْمُقَصِّرَ وَالْمُطِيعَ وَالْعَاصِيَ جَمِيعًا سِيَّانِ. قَالَ الشَّيْخُ: وَكُلُّ هَذَا كُفْرٌ وَضَلَالٌ ، وَخَارِجٌ بِأَهْلِهِ عَنْ شَرِيعَةِ الْإِسْلَامِ
“Murji’ah meyakini bahwa: “Seorang Mu’min yang mengenal Allōh dengan hatinya dan berikrar dengan mulut/lisannya itu adalah sempurna Imannya bagaikan Jibril ‘alaihissalam; Iman itu (menurutnya) tidak bertingkat-tingkat, tidak bertambah dan tidak berkurang, Tidak ada seorang yang lebih utama dari yang lain; (karena) orang yang bersungguh-sungguh dalam Ibadah dengan orang yang tidak ta’at, begitupun dengan orang yang berbuat maksiat itu (dianggapnya) sama dan tidak berbeda”; semua keyakinan ini adalah merupakan Kekufuran dan Kesesatan, pelakunya keluar dari Syari’at Islam.”[19]
5) Murji’ah bahkan lebih berbahaya dari Khowarij. Al-Imam Ibrohim bin Yazid bin Qois an-Nakho’i rohimahullōh (wafat 96 H) berkata:
لأنا لفتنة المرجئة أخوف على هذه الأمة من فتنة الأزارقة
“Sungguh, fitnahnya firqoh/sekte Murji’ah lebih aku takutkan terhadap ummat ini daripada fitnah Azzariqoh (Khowarij).“[20]
6) Akibat mengeluarkan Amal Perbuatan dari Iman, maka diserupakan dengan perilaku kaum Yahudi. Dalam Kitab “Syarah Ushul I’tiqod Ahlis Sunnah wal Jama’ah”, Abu Ja’far bin Ali bin Husein rohimahullōh berkata tentang Murji’ah:
مَا لَيْلٌ بِلَيْلٍ، وَلَا نَهَارٌ بِنَهَارٍ مِنَ الْمُرْجِئَةِ بِالْيَهُودِ
“Tidak ada malam dengan siang, seperti serupanya Murji’ah dengan Yahudi.”[21]
7) Murji’ah ciri-cirinya adalah menyepakati para Penguasa sekalipun (Penguasa itu) tidaklah diatas Al-Haq / Kebenaran. Al-Imam Ibnu Katsir rohimahullōh menceritakan dari An-Nadhr bin Syamil di dalam Kitab “Al-Bidayah wan Nihayah”, ia berkata:
سألني المأمون: ما الإرجاء؟ فقلت: “دين يوافق الملوك، يصيبون به من دنياهم، وينقصون به من دينهم
Al-Ma’mun bertanya kepadaku: “Apakah Al-Irja’?” Aku menjawab: “Agama yang menyepakati para Penguasa, yang dengan hal itu maka mereka mendapatkan kekayaan dunianya, namun dengan itu pulalah (sebagai akibatnya) agama mereka terkurangi.”[22]
Juga seorang Ulama Ahlus Sunnah yakni Al-Imam Ibnu Taimiyyah rohimahullōh di dalam Kitab “Majmu’ Al-Fatawa”, beliau berkata ketika menjelaskan tentang firqoh Murji’ah:
المرجئة وأمثالهم ممن يسلك مسلك طاعة الأمراء مطلقاً وإن لم يكونوا أبراراً
“Murji’ah dan yang sepertinya, mereka itu adalah orang-orang yang memberikan ketaatan kepada Penguasa secara mutlak, walaupun Penguasa itu tidaklah diatas kebaikan.”[23]
Dari berbagai penjelasan diatas, maka jelaslah betapa Bid’ahnya kaum Murji’ah ini sangat berbahaya; karena paham Sekulerisme – Pluralisme – Liberalisme mendapat tempat dikalangan masyarakat diantaranya adalah akibat pertolongan kaum Murji’ah; disisi lain banyak dari Syari’at Islam yang diredupkan oleh para Mulkan Jabriyyah (Para Penguasa Tirani di era Fase ke-4, sebagaimana Hadits Nabi ketika menjelaskan tentang Lima Fase Eksistensi Ummat Islam[24]), namun merupakan kenyataan yang menyedihkan karena justru (para Penguasa Tirani itu) mendapat pembelaan dari kaum Murji’ah; lalu sebaliknya para pejuang Syari’at Allōh lah yang kerap justru mendapat penentangan keras dari kalangan kaum Murji’ah. Allōhul musta’aan (Allōh lah tempat kita meminta pertolongan atas fitnah ini).
Silahkan membaca ulang: Fatwa Lajnah Ad-Daa’imah no: 21436 tanggal 8/4/1421 H tentang Bahaya Pemikiran Irja’ yang pernah dimuat di website ini.[25]
IV. “IMAN” MENURUT FIRQOH/SEKTE MENYIMPANG “KARROMIYYAH”
Karromiyyah adalah firqoh/sekte yang menyimpang yang muncul pada awal pertengahan abad ke-3 H. Salah satu pencetusnya adalah Ibnu Kilaab atau Abu ‘Abdillah Muhammad bin Karrom As-Sijistaani [wafat 225 H].
Al-Imam Abul Hasan al-‘Asy’ary rohimahullōh di dalam Kitab “Maqolatul Islamiyyin”, berkata tentang firqoh Al-Karromiyyah sebagai berikut:
الإيمان هو الإقرار والتصديق باللسان دون القلب
“Menurut firqoh/sekte Al-Karromiyyah (– sekte ini Bukan Ahlus Sunnah – pent.): Iman itu cukup ikrar (keimanan) melalui mulut/lisan belaka.”[26]
Jadi, apabila Murji’ah mencukupkan Iman hanya sekedar pembenaran di Hati dan Lisan saja; maka Al-Karromiyyah mencukupkan Iman hanya sekedar ucapan di lisan belaka. Keduanya telah menyelisihi pemahaman Ahlus Sunnah Wal Jama’ah tentang perkara “Iman”.
V. “IMAN” MENURUT FIRQOH/SEKTE MENYIMPANG “JAHMIYYAH”
Adapun Jahmiyyah adalah firqoh/sekte yang menyimpang yang muncul pada sekitar abad ke-2 H di kota Tirmizh (wilayah Utara Iran). Pencetusnya adalah Jahm bin Shofwan.
Juga di dalam Kitab “Maqolatul Islamiyyin”, Al-Imam Abul Hasan al-‘Asy’ary rohimahullōh ketika menjelaskan tentang firqoh Jahmiyyah, beliau berkata:
وزعمت الجهمية أن الإنسان إذا أتى بالمعرفة ثم جحد بلسانه أنه لا يكفر بجحده وأن الإيمان لا يتبعض ولا يتفاضل أهله فيه وأن الإيمان والكفر لا يكونان إلا في القلب دون غيره من الجوارح
“Menurut firqoh (sekte menyimpang) Jahmiyyah, jika seseorang mengetahui tentang (keberadaan) Allōh kemudian mulutnya menentang (syari’at Islam), ia tidak dihukumi kafir. Iman itu tidak berupa kepingan, dan tidak bertingkat-tingkat; dan bahwa Iman dan Kufur itu hanya ada dalam hati, tidak pada yang lainnya.”[27]
Jadi, menurut firqoh/sekte menyimpang “Jahmiyyah”, Iman itu hanya sekedar mengenal (ma’rifah) keberadaan Allōh di dalam Hati saja. Jahmiyyah adalah kaum yang paling ekstrim dan paling rusak dalam memaknai “Iman”. Kalau “Iman” hanya sebatas pengenalan terhadap keberadaan Allōh di Hati, lantas apa bedanya dengan Iblis? Iblis juga mengetahui keberadaan Allōh سبحانه وتعالى, namun Iblis enggan untuk mengikuti perintah-Nya; bahkan Iblis membangkang pada-Nya.
VI. “IMAN” MENURUT FIRQOH/SEKTE MENYIMPANG “KHOWARIJ” & “MU’TAZILAH”
Khowarij / Al-Haruriyyah =
- Dinisbatkan kepada daerah Harura’ (dekat Kufah – Irak); karena kemunculan mereka pertama kali adalah di daerah tersebut, dimana mereka berkumpul disana untuk keluar dari kepemimpinan Kholiifah Ali bin Abi Thoolib rodhiyalloohu ‘anhu.
- Bagi kaum Khowarij, “Iman” adalah keyakinan, ucapan dan amal perbuatan tetapi tidak bisa bertambah dan berkurang; sehingga barangsiapa melakukan dosa besar maka langsung divonisnya “kafir di dunia, dan di akherat kekal di Neraka”.
Al-Mu’tazilah =
- Pencetusnya adalah Washil bin ‘Atho di kota Bashroh – Irak pada abad 2 Hijriyyah.
- Dinamakan demikian karena: i’tazala annâ / “memisahkan diri“; jadi Washil bin ‘Atho memisahkan diri dari majelis ilmu gurunya (seorang ‘Ulama Ahlus Sunnah) yang bernama Al-Imam Hasan al-Bashri rohimahullooh karena adanya perbedaan pendapat diantara mereka.
- Al-Imam Hasan al-Bashri rohimahullooh mengikuti pemahaman Ahlus Sunnah yang menyatakan bahwa pelaku dosa besar (yang tidak sampai ke derajat Pembatal Iman) maka masih termasuk Mukmin (hanya saja berkurang Imannya, sesuai kadar dosa/maksiatnya). Sedangkan, Washil bin ‘Atho menyelisihi pendapat gurunya, dengan menyatakan bahwa pelaku dosa besar maka kedudukannya berada diantara dua posisi “Bukan Mukmin, Bukan Kafir” (منزلَة بَين منزلتين لَا هُوَ مُؤمن وَلَا هُوَ كَافِر); itu hukumnya di dunia, sedangkan hukumnya di Akherat adalah kekal di Neraka.
Dengan demikian, terdapat persamaan antara Khowarij dan Mu’tazilah, yaitu:
- Sama-sama mengingkari secara total keimanan pelaku dosa besar;
- Sama-sama menganggap pelaku dosa besar kekal di Neraka.
Namun terdapat pula perbedaan antara Khowarij dan Mu’tazilah, yaitu:
- Pelaku dosa besar adalah Kafir, menurut Khowarij; sedangkan menurut Mu’tazilah pelaku dosa besar berada di posisi antara “Bukan Mukmin, Bukan Kafir”.
- Khowarij menghalalkan darah pelaku dosa besar, sedangkan Mu’tazilah tidak.
Beberapa perkataan ‘Ulama Ahlus Sunnah tentang Khowarij dan Mu’tazilah:
1) Al-Imam Asy-Syahristany rohimahullōh di dalam Kitab “Al-Milal wan Nihal”, beliau berkata tentang firqoh Khowarij sebagai berikut:
اجتمعت الأزارقة على أن من ارتكب كبيرة من الكبائر كفر كفر ملة، خرج به عن الإسلام جملة، ويكون مخلدا في النار مع سائر الكفار
“Firqoh (sekte) Khowarij sepakat bahwa pelaku dosa besar itu Kafir keluar dari Islam secara menyeluruh dan dia akan menghuni Neraka bersama orang-orang Kafir.”[28]
2) Adapun Ibnu Taimiyyah rohimahullōh, ketika menjelaskan tentang firqoh Khowarijdan Mu’tazilah, maka di dalam Kitab “Majmu’ Fatawa”, beliau berkata:
قَالَتْ ” الْخَوَارِجُ وَالْمُعْتَزِلَةُ ” الطَّاعَاتُ كُلُّهَا مِنْ الْإِيمَانِ فَإِذَا ذَهَبَ بَعْضُهَا ذَهَبَ بَعْضُ الْإِيمَانِ فَذَهَبَ سَائِرُهُ فَحَكَمُوا بِأَنَّ صَاحِبَ الْكَبِيرَةِ لَيْسَ مَعَهُ شَيْءٌ مِنْ الْإِيمَانِ
“Khowarij dan Mu’tazilah meyakini bahwa: Ketaatan itu adalah keseluruhan Iman; maka jika hilang satu bagian, maka hilanglah bagian Iman yang lainnya, sehingga hilanglah keseluruhannya. Maka tidak aneh jika mereka meyakini bahwa: pelaku dosa besar adalah tak bersisa Iman pada dirinya.”[29]
3) Sedangkan di dalam Kitab “At-Tabshir fid Diin”, Al-Imam al-Isfaroyiiny rohimahullōh menjelaskan tentang firqoh Mu’tazilah sebagai berikut:
إِن حَال الْفَاسِق الملي منزلَة بَين منزلتين لَا هُوَ مُؤمن وَلَا هُوَ كَافِر وَإنَّهُ إِن خرج من الدُّنْيَا قبل أَن يَتُوب يكون خَالِدا مخلدا فِي النَّار مَعَ جملَة الْكفَّار وَلَا يجوز لله تَعَالَى أَن يغْفر لَهُ أَو يرحمه
“Keadaan orang fasik (orang yang berdosa) itu berada diantara dua kedudukan, bukan Mu’min dan bukan Kafir. Jika dia mati sebelum bertaubat, dia berhak kekal dalam Neraka yang abadi bersama orang-orang Kafir. Tidak boleh bagi Allōh untuk memberinya kasih sayang dan pengampunan dosa padanya.”[30]
Demikianlah bahasan tentang hubungan antara pengaruh dosa terhadap Iman, dalam pandangan Ahlus Sunnah versus dalam pandangan beberapa firqoh menyimpang. Semoga dengan mengetahui hal ini dapat meneguhkan kita kaum Muslimin diatas pemahaman yang benar terhadap perkara Iman yakni: sebagaimana pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Alhamdulillah, kiranya cukup sekian dulu bahasan kita kali ini, mudah-mudahan bermanfaat. Kita akhiri dengan Do’a Kafaratul Majlis:
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Masjid Baytul Mukhlishin, Cinere, Sabtu ba’da shubuh, 16 Jumadil Awwal 1444 H – 10 Desember 2022 M.
[1] Al-Imaam Ibnu Baththoh, Al-Ibaanah An Syari’atil Firqotin Naajiyyah wa Mujaanabatu Al-Firoqil Madzmuumah, Jilid. 1, hal. 802-803 no: 1089.
[2] Al-Imam al-Lalika’i [wafat 418 H], Syarah Ushul I’tiqod Ahlis Sunnah wal Jama’ah, 5/956, no:1593.
[3] Al-Imãm Al Ajurry, Asy-Syari’ah” (2/ 611)
[4] Al-Imam al-Lalika’i, Syarah Ushul I’tiqod Ahlis-Sunnah, no: 1710
[5] HR. Abu Dawud no: 4681, dari shohabat Abu Umamah rodhiyalloohu ‘anhu, di-Shohiih-kan oleh Nashiruddiin al-Albaany dalam Shohiih al-Jaami’ no: 5841 dan Ash-Shohiihah no: 380
[6] HR. Ath-Thobroni dalam Al-Kabir no: 11537 dari shohabat ‘Abdullooh bin ‘Abbas rodhiyalloohu ‘anhu, di-Hasan-kan oleh Nashiruddiin al-Albaany dalam Shohiih al-Jaami’ no: 2539 dan Ash-Shohiihah no: 1728
[7] HR. Al-Bukhory no: 2475, 5578, 6772, 6810 dan HR. Muslim 1/54-55, no: 57, dari Abu Hurairoh rodhiyalloohu ‘anhu
[8] Al-Kholaal, As-Sunnah, no: 1045
[9] HR. Muslim no: 186, dari Abu Sa’id al-Khudry rodhiyalloohu ‘anhu
[10] Kajian tentang “Pembatal Syahadat” dan “Pembatal keIslaman” yang ada di Website ini, silahkan lihat pada link berikut ini: https://ustadzachmadrofii.com/2010/08/02/pembatal-syahadat/
[11] Kajian tentang “Iman, Hakekat dan Peruntuhnya” yang ada di Website ini, silahkan lihat pada link berikut ini: https://ustadzachmadrofii.com/2022/11/16/iman-hakekat-peruntuhnya/#more-14449
[12] HR. Al-Bukhoory no: 6571 dan HR. Muslim no: 186, dari Shohabat Ibnu Mas’uud رضي الله عنه
[13] Shõlih bin Fauzan Ali Fauzan, at Tauhid, hal. 146.
[14] Al-Imãm Al Ajurry, Asy-Syarĩ’ah, Jilid. 1, hal. 24.
[15] Ibnu Mandah [wafat 395 H), Al-Iman, 1/331. Lihat pula penjelasan: Abul Hasan al-Asy’ari [wafat 395 H], Maqolatul Islamiyyin, 1/120)
[16] ‘Abdullōh bin al-Imam Ahmad bin Hambal [wafat 290 H], As-Sunnah, 1/318, no: 641
[17] Al-Imam Ibnu Baththoh [wafat 387 H], Al-Ibanah al-Kubro, 2/885, no: 1221
[18] Abu ‘Ubaid al-Qosim bin Sallam [wafat 224 H), Al-Iman, hal. 65, no: 23
[19] Al-Imam Ibnu Baththoh [wafat 387 H], Al-Ibanah al-Kubro, 2/893, no:1247
[20] ‘Abdullooh bin Ahmad, As-Sunnah, hal. 313, no: 617; dan Al-Imam Ibnu Baththoh [wafat 387 H], Al-Ibanah al-Kubro, 2/888, no: 1231
[21] Al-Lalika’i, Syarah Ushul I’tiqod Ahlis Sunnah wal Jama’ah, 5/1063, no: 1815
[22] Al-Imam Ibnu Katsir, Al-Bidayah wan Nihayah, 14/221
[23] Al-Imam Ibnu Taimiyyah, Majmu’ Al-Fatawa, 28/508
[24]5 Fase Eksistensi Ummat Islam; dijelaskan dalam Hadits Riwayat Al-Imãm Ahmad sebagai berikut: “Dari An-Nu’man bin Basyĩr رضي الله عنه, beliau berkata bahwa Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم bersabda:
تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ, ثُمَّ سَكَتَ
“Kenabian ditengah-tengah kalian akan berlangsung sebagaimana Allõh سبحانه وتعالى kehendaki, kemudian Allõh سبحانه وتعالى angkat jika Allõh سبحانه وتعالى kehendaki. Kemudian adalah Khilãfah diatas pedoman Nabi صلى الله عليه وسلم, kemudian Allõh سبحانه وتعالى angkat jika Allõh سبحانه وتعالى kehendaki. Kemudian adalah Mulkan ‘Adhon (– Kerajaan yang menggigit/turun temurun –pent.), kemudian Allõh سبحانه وتعالى angkat jika Allõh سبحانه وتعالى kehendaki. Kemudian adalah Mulkan Jabriyyah (Penguasa Tirani), kemudian Allõh سبحانه وتعالى angkat jika Allõh سبحانه وتعالى kehendaki. Kemudian Khilãfah diatas Pedoman Nabi صلى الله عليه وسلم.” Kemudian Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم diam.”
(HR. Al-Imãm Ahmad no: 18402, dari Shohabat An-Nu’man bin Basyĩr رضي الله عنه, dan berkata Syaikh Syuaib al-Arnã’uth رحمه الله bahwa sanad Hadits ini Hasan, dan Hadits ini di-shohĩh-kan oleh Syaikh Nashiruddin al-Albãny رحمه الله dalam Kitab Silsilah Hadits Shohĩh)
[25] Fatwa Lajnah Ad-Daa’imah no: 21436 tanggal 8/4/1421 H tentang Bahaya Pemikiran Irja’ dapat dibaca di website ini, pada link berikut: https://ustadzachmadrofii.com/2010/09/16/bahaya-paham-murjiah/
[26] Al-Imam Abul Hasan al-‘Asy’ary [wafat 324 H], Maqolatul Islamiyyin, 1/120
[27] Al-Imam Abul Hasan al-‘Asy’ary [wafat 324 H], Maqolatul Islamiyyin, 1/114
[28] Asy-Syahristany [wafat 548 H], Al-Milal wan Nihal, 1/122
[29] Ibnu Taimiyyah [wafat 728 H], Majmu’ Fatawa, 7/510
[30] Al-Imam al-Isfaroyiiny [wafat 471 H], At-Tabshir fid Diin, hal. 65
*****o0o*****
Silakan download PDF : IMAN MENURUT AHLUS SUNNAH versus IMAN MENURUT FIRQOH-FIRQOH/SEKTE MENYIMPANG