Bangunan Islam (Islam & Tatanan Kehidupan)
(Resume Ceramah – Baytul Mukhlishiin 19092014)
BANGUNAN ISLAM (ISLAM & TATANAN KEHIDUPAN)
Oleh: Ustadz Achmad Rofi’i, Lc. MM.Pd
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allooh سبحانه وتعالى,
Yang harus selalu kita sadari bahwa tujuan kita bermajelis adalah untuk:
1) Ziyaadat al ‘Imaan (زيادة الإيمان ), yaitu menambah Iman. Jadi bermajelis itu adalah untuk menambah kualitas Iman, bukan sekedar untuk mengisi waktu kosong belaka.
2) Ziyaadat al ‘Ilmi (زيادة العلم ), yaitu menambah ‘Imu (syar’ie). Jadi janganlah bertahun-tahun mengaji, tetapi ‘Ilmu (diin) kita tidak bertambah secara signifikan dan amalan pun tak menjadi lebih baik. Alangkah meruginya apabila demikian.
3) Ziyaadat at Taqwa (زيادة التقوى ), yaitu menambah Taqwa kepada Allooh سبحانه وتعالى.
4) Taushiqul Ukhuwwah (توثيق الأخوة ), yaitu memperkokoh Ukhuwwah dengan sesama kaum Muslimin. Bagaimana caranya agar Ukhuwwah kita dengan sesama kaum Muslimin itu dengan bertambahnya hari, bertambah semakin baik dan kokoh. Janganlah hanya mengaji, tetapi bersikap ‘nafsi-nafsi’ (masing-masing) atau hanya memikirkan diri sendiri saja. Karena di zaman sekarang ini, tak dapat dipungkiri bahwa kaum Muslimin sedang mengalami krisis Ukhuwwah.
Tak sedikit kaum Muslimin yang tidak memikirkan saudaranya, bersikap egoistis, tidak peduli atau tidak mau tahu terhadap kesulitan saudaranya; padahal sikap yang demikian itu tidak diajarkan oleh Al Islam dan bukan pula merupakan bagian dari apa yang diwariskan serta senantiasa dicontohkan oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم sebagaimana sabda beliau صلى الله عليه وسلم dalam Hadits Shohiih Riwayat Al Imaam Muslim no: 2585, dari Shohabat Abu Musa رضي الله عنه :
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا
Artinya:
“Orang mukmin yang satu dengan mukmin yang lain bagaikan satu bangunan, satu dengan yang lainnya saling mengokohkan.”
Jadi antara kaum Muslimin itu, satu dengan yang lainnya diibaratkan bagaikan sebuah bangunan yang saling mengokohkan. Bangunan akan kokoh apabila ditunjang oleh banyak bagian yang satu sama lainnya saling mendukung, saling bekerja sama memperkokoh sehingga bangunan tersebut dapat tegak berdiri. Dengan demikian dari hadits diatas, dapatlah diambil pelajaran bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم mengajarkan agar rasa persaudaraan diantara kaum Muslimin itu harus selalu dibina, karena Ukhuwwah itu sangatlah penting untuk mewujudkan dan mengokohkan tegaknya Islam sebagai rahmatan lil ‘aalamiin (rahmat bagi alam semesta).
5) Ta’awwun alal Birri wat Taqwa ( تَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى ), yaitu bertolong-tolongan dalam kebajikan dan taqwa, sebagaimana yang diperintahkan Allooh سبحانه وتعالى dalam Al Qur’an Surat Al Maa’idah (5) ayat 2 sebagai berikut :
… وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Artinya:
“….. Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allooh, sesungguhnya Allooh amat berat siksa-Nya.”
Jadi kalau ada perkara-perkara yang berupa kebajikan, marilah kita bergotong-royong menghidupkannya. Marilah kita amalkan, mulai dari diri kita sendiri, mulai dari keluarga kita. Kemudian kalau ada ketaqwaan, marilah kita saling dorong-mendorong, tolong-menolong sehingga kita semua menjadi orang-orang yang berhak meraih kemuliaan disisi Allooh سبحانه وتعالى.
Nah, para jama’ah sekalian, kelima poin diatas itu lah yang hendaknya selalu berusaha untuk dihidupkan dan diraih dari setiap majelis ‘Ilmu. Kalau kelima poin ini tidak diperoleh, maka harus segera dievaluasi, apa yang keliru didalamnya. Apabila kita sudah meng-‘kapling’-kan waktu untuk datang ke suatu majelis ‘Ilmu, maka harus ada nilai tambah didalamnya. Jadi kedatangan kita ke suatu majelis ‘Ilmu itu bukan untuk mengisi waktu luang belaka, namun dituntut suatu keseriusan didalamnya agar kita mendapatkan paling tidak 5 (lima) poin diatas.
Ada suatu ungkapan didalam Al Islam yakni: “Qoyyiduu al ‘Ilma bil Kitaabah” (قيدوا العلم بالكتابة), artinya: “Ikatlah oleh kalian ‘Ilmu itu dengan Tulisan”. Dengan demikian, apabila ada ‘Ilmu (diin) disampaikan kepada kita, hendaknya kita mencatatnya (mengikatnya dengan tulisan); karena ingatan manusia itu terbatas. Manusia adalah makhluk yang Pelupa ( سمي الإنسان إنسانا لكثرة نسيانه ), Allooh سبحانه وتعالى lah yang menyebutnya demikian. Diantara ciri khas manusia adalah Lupa. Dalam bahasa Arabnya disebut Nisyaan (نسيان). Kalau tidak memiliki sifat lupa, maka itu bukan manusia.
Manusia itu disebut “Al Insaan ( الإنسان )”, karena ia “Nasyiyaa” ( نسي ). Dalam kata “Al Insaan”, ada unsur huruf “Nuun” (ن), “Syiin” (س), dan “Yaa” (ي), yang apabila dirangkai ketiganya menjadi “Nasyiyaa” (نسي), kemudian menjadi “Nisyaan” ( نسيان ), yang artinya : “Lupa”. Jadi sungguh tidak manusiawi, bila tidak pernah lupa. Karena asal kata manusia itu sendiri (Al Insaan) adalah identik dengan kata “Lupa” (Nisyaan).
Adalah sudah menjadi tabi’at manusia, bahwa dia cepat dan mudah melupakan sesuatu, dan baru teringat serta menyadari apa yang dilupakan itu ketika berada dalam kondisi dan situasi sulit, genting, susah, atau membahayakan; sebagaimana hal itu dijelaskan oleh Allooh سبحانه وتعالى dalam QS. Az Zumar (39) ayat 8 :
وَإِذَا مَسَّ الْإِنْسَانَ ضُرٌّ دَعَا رَبَّهُ مُنِيبًا إِلَيْهِ ثُمَّ إِذَا خَوَّلَهُ نِعْمَةً مِنْهُ نَسِيَ مَا كَانَ يَدْعُو إِلَيْهِ مِنْ قَبْلُ وَجَعَلَ لِلَّهِ أَنْدَادًا لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِهِ…….
Artinya:
“Dan apabila manusia itu ditimpa kemudharatan, dia memohon (pertolongan) kepada Tuhannya dengan kembali kepada-Nya; kemudian apabila Tuhan memberikan nikmat-Nya kepadanya lupalah dia akan kemudharatan yang pernah dia berdoa (kepada Allooh) untuk (menghilangkannya) sebelum itu, dan dia mengada-adakan sekutu-sekutu bagi Allooh untuk menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya……”
Itulah manusia, makhluk yang pelupa. Nah, bila kita tahu bahwa kelemahan kita sebagai manusia adalah memiliki sifat Lupa (nisyaan), maka hendaknya kita memiliki media atau alat yang dapat membantu daya ingat kita yaitu dengan mencatat ‘Ilmu (diin) yang kita dengar di majelis-majelis ‘Ilmu. Di zaman dahulu, manusia mencatat itu masih menggunakan pelepah kurma, mencatat diatas kulit unta ataupun diatas batu; namun di zaman kita sekarang media catat itu sangat bervariasi, antara lain bisa dengan menggunakan buku tulis, handphone, tablet, Ipad, notebook, laptop dan sebagainya.
Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allooh سبحانه وتعالى,
Tema besar yang akan kita bahas di majelis-majelis ini kedepannya, in-syaa Allooh, adalah berjudul “Sumber-Sumber Hukum Islam” atau “Mashoodir Ahkaamil Islaam” ( مصادر أحكام الإسلام )
Secara Etimologis, kata “Sumber” adalah masdar (مصدر), manba’u (منبع), yang maknanya adalah “Tempat Titik Tolak” atau muntholaqun (منطلق).
Sedangkan kata “Hukum”, berasal dari kata dalam bahasa Arab yaitu Hukm, yang maknanya adalah “Terikat” atau “Terkungkung”. Allooh سبحانه وتعالى itu adalah Maha Bijaksana, karena Hukum-Nya adalah Tepat.
Hukum itu ada 2 jenis:
(1) Hukum Syar’i (حكم شرعي). Berasal dari kata dalam bahasa Arab, yakni: Syari’un. Dimana Syari’ adalah Pembuat Syari’at, dan Pembuat Syari’at itu adalah : Allooh سبحانه وتعالى, yang menyampaikan syari’at-Nya tersebut serta memerintahkan-Nya melalui Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
(2) Hukum Wadh’i (حكم وضعي), atau disebut juga “Basyarun” (بشري), yaitu Hukum buatan manusia atau Hukum yang merupakan ketetapan yang berasal dari selain Allooh سبحانه وتعالى dan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Contohnya: Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Undang-Undang buatan manusia dan sejenisnya; yang semua itu bukanlah berasal dari tuntunan Al Qur’an dan Sunnah Muhammad صلى الله عليه وسلم.
Sungguh sangat disayangkan, di zaman sekarang ini betapa banyak diantara negeri-negeri dimana kaum Muslimin tinggal itu belum berpedoman pada Al Qur’an dan Sunnah Muhammad صلى الله عليه وسلم. Kaum Muslimin belum konsekwen terhadap diin-nya. Kaum Muslimin masih terperangkap dalam kubangan Hukum-Hukum Wadh’i yang notabene adalah produk buatan manusia. Sistem Demokrasi, Hak Asasi Manusia ataupun berbagai Undang-Undang buatan manusia lah yang di zaman sekarang ini kita saksikan malah marak diterapkan di berbagai negeri dimana kaum Muslimin tinggal. Sementara Al Qur’an dan Sunnah Muhammad صلى الله عليه وسلم seolah dikesampingkan, tidak dijadikan sebagai sistem ataupun pedoman yang mengatur tatanan kehidupan mereka. Yang demikian itu adalah ajaran Sekulerisme, yang tidak sejalan dengan Al Islam. Oleh karena didalam Al Islam, seorang Muslim itu wajib menerapkan syari’at Islam dalam seluruh aspek kehidupannya, sesuai kemampuannya. Jadi bukan hanya dalam perkara yang berkaitan dengan ‘ibadah mahdhoh ataupun ‘ibadah yang bersifat pribadi belaka, bukan pula hanya dalam perkara yang berkaitan dengan pemerintahan saja; namun ia wajib menegakkan hukum Allooh سبحانه وتعالى itu dalam seluruh aspek kehidupannya, baik dalam masalah ‘aqiidah, ‘ibadah, mu’amalah, ataupun dalam perkara “politik” / kekuasaan (siyaasah), ekonomi, sosial, budaya dan lain sebagainya, sesuai dengan kemampuan dirinya. Seyogyanya kaum Muslimin ingat akan peringatan Allooh سبحانه وتعالى dalam Al Qur’an Surat Al Maa’idah (5) ayat 50 :
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Artinya:
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allooh bagi orang-orang yang yakin?”
Betapa, Allooh, سبحانه وتعالى nyatakan bahwa hukum-hukum Wadh’i (selain Hukum Allooh) itu adalah Hukum Jahiliyyah. Sungguh, menegakkan hukum Allooh سبحانه وتعالى menjadi perkara yang wajib bagi setiap muslim, terutama di zaman kita sekarang ini; baik dia berstatus sebagai penguasa ataupun sebagai rakyat biasa. Setiap orang bertanggung jawab dengan tugasnya masing-masing untuk menegakkan hukum Allooh سبحانه وتعالى dalam seluruh aspek kehidupannya itu sesuai dengan kemampuannya.
Dengan demikian, berbicara tentang Al Islam adalah identik dengan berbicara tentang “Syari’at” yang berasal dari Allooh سبحانه وتعالى dan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم; dimana Islam terbagi menjadi 2 (dua) yaitu: daliil (sumber hukum) dan madluul (hukum).
Sementara itu, Al Islam itu terdiri dari 2 (dua) pilar, yaitu:
1) ‘Aqiidah (عقيدة), atau dikenal pula dengan sebutan: Ushuluddiin (أصول الدين) atau Al ‘Imaan (الإيمان) atau At Tauhiid (التوحيد) atau Al Fiqh Akbar (الفقه الأكبر) atau Asy-Syari’ah (الشريعة); yaitu adalah perkara yang berkaitan dengan masalah keyakinan. Contoh: Rukun ‘Iman yang 6.
Al Imaam Abu Hanifah رحمه الله dalam Kitabnya yang berjudul “Al Fiqh Akbar” menyebut ‘Aqiidah sebagai Fiqh Akbar. Sedangkan Al Imaam Al Ajurri رحمه الله dalam Kitab beliau yang berjudul “Asy-Syari’ah” menyebut ‘Aqiidah sebagai Asy-Syari’ah.
2) Syari’ah (الشريعة), atau dikenal pula dengan sebutan: Al Fiqh Asghor (الفقه الأصغر ), atau Khilafiyyah (خلافية), atau Furu’ / Cabang (فروع), atau ‘Amaliyyah / praktek ‘Amaliyah (عملية).
Syari’ah sebagai Fiqh Asghor adalah terminologi yang berasal dari ‘Ulama Mutaakhiriin (yaitu ‘Ulama Ahlus Sunnah sesudah abad 4 Hijriyyah).
Perlu kita ketahui bahwa terdapat perbedaan terminologi dalam penyebutan kata “Syari’ah” diantara ‘Ulama Muttaqodimiin (‘Ulama Ahlus Sunnah dari kalangan Pendahulu Ummat, yakni abad 1-3 Hijriyyah) dengan ‘Ulama Mutaa-akhiriin (‘Ulama Ahlus Sunnah sesudah abad 4 Hijriyyah). Dalam terminologi ‘Ulama kalangan Pendahulu Ummat, maka bila disebutkan kata “Syari’ah”, berarti yang dimaksudkan itu adalah perkara ‘Aqiidah. Sementara dalam terminologi ‘Ulama Mutaa-akhiriin, bila disebutkan kata “Syari’ah”, berarti yang dimaksudkan itu adalah perkara Fiqh Asghor / praktek ‘Amaliyyah.
Perbedaan terminologi ini penting untuk diketahui oleh kita kaum Muslimin, agar tidak terjadi kerancuan dalam memahami apa yang dimaksud dengan perkara “Syari’ah”.
Adapun “Sumber-Sumber Hukum Islam” itu adalah sebagai berikut:
(1) Al Qur’an; (2) As Sunnah/ Al-Hadiits; (3) Al Ijma’; (4) Qiyas; (5) Al Mashoolih Al Mursalah.
Untuk menerapkan Qiyas dan Al Mashoolih Al-Mursalah, dibutuhkan Al ‘Ilmu.
Al Ijma’ adalah kesepakatan para ‘Ulama Ahlus Sunnah (setelah wafatnya Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم) dalam menetapkan suatu hukum-hukum dalam diin (agama) berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadiits dalam suatu perkara yang terjadi.
Sedangkan Qiyas, ditinjau dari sisi etimologis, menurut bahasa Arab berarti: menyamakan, membandingkan, atau mengukur; contoh: membandingkan antara sesuatu dengan sesuatu lainnya, yaitu misal membandingkan antara A dengan B. Sedangkan pengertian Qiyas menurut ilmu fiqih yaitu: Menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa atau hal yang tidak memiliki nash (tidak ada ketentuannya di dalam Al-Quran, Al-Hadiits dan Al Ijma’) dengan membandingkannya atau menyamakannya atau mengukurnya dengan peristiwa atau kejadian atau hal lain yang sudah memiliki nash, berdasarkan ‘illat (penyebab atau alasan) yang memiliki kesamaan.
Contohnya adalah mengkonsumsi narkoba. Mengkonsumsi narkoba dapat menyebabkan berkurangnya kesadaran atau menyebabkan rusak / hilangnya akal. Tetapi mengkonsumsi narkoba tidak memiliki nash yang dapat dijadikan ketetapan hukumnya. Dengan menggunakan qiyas, maka mengkonsumsi narkoba memiliki ‘illat (penyebab / alasan) yang sama dengan mengkonsumsi khomr (sejenis minuman yang memabukkan yang dibuat dari buah-buahan), dimana tentangnya terdapat peringatan Allooh سبحانه وتعالى didalam Al Qur’an surat Al-Maa’idah ayat 90-91 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأنْصَابُ وَالأزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (٩٠) إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ (٩١
Artinya:
(90) “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (minum) khomr; berjudi, menyembah patung dan mengundi nasib dengan anak panah tidak lain hanyalah suatu yang kotor, termasuk perbuatan syaithoon, karena itu hendaklah kamu jauhi agar kamu mendapat keberuntungan.”
(91) Dengan minuman keras dan judi itu, setan bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu, dan menghalang-halangi kamu dari mengingat Allah dan melaksanakan shalat maka tidakkah kamu mau berhenti?”
Adapun Al Mashoolih Al Mursalah disebut juga sebagai maslahat mursalah. Kata “maslahat” memiliki makna yang sama dengan kata “manfa’at”, keduanya berasal dari bahasa Arab yang artinya: Memiliki kegunaan, memiliki kebaikan dan kebagusan. Sehingga pengertian maslahat mursalah atau al mashoolih al-mursalah menurut Ilmu Fiqih adalah: Suatu cara untuk menemukan hukum dari sesuatu kejadian, peristiwa, atau hal yang tidak memiliki nash, dan kejadian, peristiwa, atau hal tersebut mengandung kebaikan, manfaat, atau kemaslahatan bagi masyarakat, umum, atau kepentingan orang banyak.
Kemaslahatan atau kebaikan tersebut harus berlandaskan kepada hukum syar’i, sehingga terbebas atau terlepas dari bid’ah (mengada-ada yang tidak sesuai dengan nash). Karena segala bentuk bid’ah adalah harom hukumnya, sebagaimana dalam Hadits Riwayat Al Imaam Abu Daawud no: 4609, dari Al ‘Irbad bin Saariyah رضي الله عنه bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ…
Artinya:
“Jauhkanlah diri kalian dari setiap perkara-perkara yang baru, karena setiap hal yang baru dalam dien adalah Bid’ah, dan setiap Bid’ah adalah sesat.”
Juga dalam Hadits Riwayat Al Imaam Al Bukhoory no: 2697 dan Al Imaam Muslim no: 4589, dari ‘Aa’isyah رضي الله عنها bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda :
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
Artinya:
“Barangsiapa mengadakan sesuatu yang baru dalam urusan dien kami yang bukan berasal darinya, maka (perbuatan itu) tertolak.”
Contoh dari Al Mashoolih Al Mursalah adalah penggunaan microphone pada waktu mengumandangkan adzan. Mengumandangkan adzan menggunakan microphone bukanlah bid’ah walaupun tidak ada nash-nya; hal tersebut dilakukan untuk kepentingan umat, agar panggilan sholat dapat lebih terdengar oleh masyarakat luas. Adapun cara, lafadz, isi dari adzan tidak mengalami perubahan (tidak dikurang-kurangi ataupun tidak ditambah-tambahkan). Baru dikategorikan ke dalam bid’ah, apabila terjadi perubahan baik dari cara, lafadz, maupun isi dari adzan.
Di dalam menetapkan Qiyas dan Al-Masholih Al-Mursalah tersebut, berperan Ijtihad para ‘Ulama Ahlus Sunnah (Mujtahiddun).
Gambar-1. Sumber-Sumber Hukum Islam
Dari Gambar-1 diatas, dengan mudah kita dapat memahami bahwa baik “Qiyas” maupun “Al-Masholih Al-Mursalah” itu TIDAK BERLAKU dalam perkara ‘Aqiidah / At Tauhiid / Keyakinan; dan hanya berlaku dalam perkara yang termasuk Furu’ (Cabang-cabang diin) / praktek ‘Amaliyyah / Khilafiyyah / Fiqh Asghor saja.
Dengan kata lain, Ijtihad ‘Ulama itu hanya bisa berlaku dalam perkara Fiqh / ‘Amaliyyah / Furu’ belaka, dan TIDAK BERLAKU dalam perkara ‘Aqiidah.
Sebagai contoh bahwa Al-Qiyas tidak dapat dipergunakan dalam perkara ‘Aqiidah adalah ketika Iblis diperintahkan oleh Allooh سبحانه وتعالى untuk bersujud kepada Nabi ‘Adam عليه السلام, namun Iblis menolak karena Iblis memakai qiyas bahwa api itu lebih baik daripada tanah. Hal ini sebagaimana terdapat penjelasannya dalam QS. Al A’roof (7) ayat 11-12 :
وَلَقَدْ خَلَقْنَاكُمْ ثُمَّ صَوَّرْنَاكُمْ ثُمَّ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ لَمْ يَكُن مِّنَ السَّاجِدِينَ ﴿١١﴾ قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ ۖ قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِّنْهُ خَلَقْتَنِي مِن نَّارٍ وَخَلَقْتَهُ مِن طِينٍ ﴿١٢
Artinya:
(11) “Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu Kami bentuk tubuhmu, kemudian Kami katakan kepada para malaikat: “Bersujudlah kamu kepada Adam”, maka merekapun bersujud kecuali iblis. Dia tidak termasuk mereka yang bersujud.”
(12) “Allooh berfirman: “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” Menjawab iblis “Aku lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan aku dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.”
Pembangkangan Iblis itu menyebabkannya terusir dari surga Allooh سبحانه وتعالى. Adapun kita kaum Muslimin pada zaman sekarang ini, perlu banyak melakukan introspeksi. Berapa banyak perkara yang sebenarnya termasuk Pembatal ke-Islaman yang telah dilanggar ? Bisa jadi karena kurangnya pemahaman terhadap ‘Ilmu (diin) atau karena berbagai penyebab lainnya. Oleh karena itu, kita kaum Muslimin perlu terus menerus memperkokoh ‘Aqiidah agar tidak terjerembab kedalam kemurkaan Allooh سبحانه وتعالى.
Demikian ini sekilas penjelasan tentang “Sumber-Sumber Hukum Islam”, yang in-syaa Allooh dibahas secara lebih jelas pada kajian-kajian mendatang.
Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allooh سبحانه وتعالى,
Sebelum membahas tema besar tersebut diatas maka pada kajian kita kali ini, sebagai muqoddimah akan kita bahas terlebih dahulu tentang “Manusia & Kehidupannya”, serta bagaimana Bangunan Islam itu terbentuk. Muqoddimah ini penting agar kita memiliki pengetahuan dimana posisi ‘Ilmu & Sumber Hukum Islam itu berada dalam peta global tatanan kehidupan manusia; barulah sesudahnya kita dapat merumuskan langkah-langkah apa yang perlu kita persiapkan untuk mencapai itu semua.
I. Manusia & Kehidupannya
Gambar-2. Manusia & Kehidupannya
Manusia itu adalah kita semua, turunan Nabi ‘Adam عليه السلام, sebagaimana dijelaskan oleh Allooh سبحانه وتعالى dalam Al Qur’an Surat An Nisaa’ (4) ayat 1:
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا…..
Artinya:
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Robb-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allooh menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allooh memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak….”
Dari ayat diatas dapatlah diambil pelajaran bahwa Allooh سبحانه وتعالى telah menciptakan manusia dari tidak ada menjadi ada. Secara spesifik digunakan kata “al-kholqu” (الخلق) dalam ayat diatas, yang artinya adalah: “diciptakan dari tidak ada menjadi ada”. Dalam ayat ini tidak digunakan kata “Al Ja’lu” (الجعل), yang maknanya adalah “merubah sesuatu dari yang sudah ada ke bentuk yang lain” (contoh : membuat roti dari tepung terigu. Tepung terigu itu sendiri adalah ciptaan Allooh سبحانه وتعالى. Dengan demikian manusia hanya sekedar merubah dari bahan berupa tepung terigu yang sudah ada atau sudah diciptakan Allooh سبحانه وتعالى itu, lalu merubahnya menjadi sebentuk roti). Adapun dalam Al Qur’an Surat An Nisaa’ (4) ayat 1 diatas, yang digunakan adalah kata “al-kholqu”, yang didalam bahasa Arab secara spesifik bermakna “sesuatu yang diciptakan dari yang tidak ada sama sekali, menjadi ada”.
Tadinya kita manusia ini tidak ada, lalu Allooh سبحانه وتعالى mencatatnya di al-Lauhul Mahfuzh. Allooh سبحانه وتعالى telah menuliskan apa yang telah diketahui-Nya berupa ketentuan-ketentuan seluruh makhluk hidup di dalam al-Lauhul Mahfuzh. Suatu kitab yang tidak meninggalkan sedikit pun di dalamnya, semua yang terjadi, apa yang akan terjadi, dan segala yang telah terjadi hingga hari Kiamat. Semua itu ditulis di sisi Allooh سبحانه وتعالى dalam Ummul Kitab.
Allooh سبحانه وتعالى berfirman dalam Al Qur’an Surat Yaasiin (36) ayat 12 :
و كل شيء أحصينه فى إمام مبـين
Artinya:
“Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).”
Dan didalam Hadiits Shohiih Riwayat Al Imaam Muslim no: 4797 dari ‘Abdullooh bin ‘Amr bin al-Ash رضي الله عنهما bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda,
كَتَبَ اللهُ مَقَادِيرَ الخلائق قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
Artinya:
“Allooh telah menulis takdir-takdir makhluk sebelum Allooh menciptakan langit dan bumi 50.000 tahun.”
Allooh سبحانه وتعالى telah menciptakan manusia “min nafsi waahidah” (مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ), dari jiwa yang satu; yaitu Nabi ‘Adam عليه السلام. Kemudian “wa kholaqo minhaa zaujahaa” (وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا), Allooh سبحانه وتعالى pun menciptakan Hawwa, untuk menjadi istri Nabi ‘Adam عليه السلام. Kemudian daripada keduanya “wa batstsa minhumaa rijaalan katsiiron” ( وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا ), Allooh سبحانه وتعالى perkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Oleh karena itu, kita ini lah semua manusia yang merupakan keturunan Nabi ‘Adam عليه السلام; sehingga kita disebut sebagai Bani ‘Adam.
Adapun kata “Kehidupan”, dalam bahasa Arabnya disebut “Hayaat” (حياة).
Hayat ini ada 2, yaitu:
1) Hayaat fii ad Dunyaa (حياة في الدنيا), yaitu Kehidupan di Dunia. Dunia itu berasal dari kata “Adna” (أدنى) – “Danii-a” (دنيئة) – “Dunyaa” (دنيا), yang bermakna “pendek”, karena 1 hari di akhirat itu sama dengan 1000 tahun di dunia.
Allooh سبحانه وتعالى berfirman dalam QS. Al Hajj (22) ayat 47 :
وَإِنَّ يَوْمًا عِنْدَ رَبِّكَ كَأَلْفِ سَنَةٍ مِمَّا تَعُدُّونَ
Artinya:
“… Sesungguhnya sehari disisi Robb-mu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu.”
2) Hayaat fii ak Aakhiroh (حياة في الآخرة), yaitu Kehidupan di Akhirat. Disebut “Aakhiroh”, karena “laa yawma ba’dahu” (tidak ada hari setelah itu). Yang ada hanyalah “khoolidiina fiihaa” (خَالِدِينَ فِيهَا ) yaitu kekal didalamnya; sebagaimana dalam banyak firman Alloohسبحانه وتعالى dalam Al Qur’an, antara lain Surat Huud (11) ayat 107-108, QS. Al Ahzaab (33) ayat 65, QS. Al Jinn (72) ayat 23, QS. Al A’laa (87) ayat 17, dan banyak surat lainnya.
Antara alam Dunia & alam Akhirat ini terdapat alam Barzakh yang merupakan dinding pemisah diantara keduanya, sebagaimana diberitakan Allooh سبحانه وتعالى dalam QS. Al Mu’minuun (23) ayat 100 :
….. وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَىٰ يَوْمِ يُبْعَثُونَ
Artinya:
“…Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan.”
Alam Barzakh ini adalah “fii al-qobri” (alam Kubur).
Yang dimaksud dengan “Kehidupan” pada tabel “Gambar-2. Manusia & Kehidupan” itu adalah Kehidupan di Dunia. Tentunya, Kehidupan di Dunia ini akan memberi pengaruh pada Kehidupan di Akhirat nanti, karena ada peribahasa: “Dunia adalah ladangnya Akhirat, ad Dunyaa mazro’atun al Aakhiroh” ( الدُّنْيَا مَزْرَعَةُ الآخِرَةِ ). Jadi kita ini kaum Muslimin hendaknya banyak menanam amal shoolih di dunia, yang balasannya adalah dituai kelak di akhirat.
Menurut kemauan Allooh سبحانه وتعالى, manusia dan jinn itu diciptakan-Nya adalah untuk beribadah kepada Allooh سبحانه وتعالى. Hal ini sebagaimana firman-Nya dalam Al Qur’an Surat Adz Dzaariyat (51) ayat 56 :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإِنسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ (56
Artinya :
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah pada-Ku.”
Beribadah HANYA kepada Allooh سبحانه وتعالى ! Itulah apa yang dikehendaki oleh Alloohسبحانه وتعالى dari diri kita manusia. Allooh سبحانه وتعالى lah sang Pencipta, sang Perancang Yang telah Mendesain dan Membekali diri kita dengan apa-apa yang ada di langit dan di bumi, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al Baqoroh (2) ayat 29:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا….
Artinya:
“Dialah Allooh, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu….”
Juga dalam QS. Al Jaatsiyah (45) ayat 13 :
وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مِنْهُ ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya:
“Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allooh) bagi kaum yang berfikir.”
Subhaanallooh, betapa banyak pemberian Allooh سبحانه وتعالى pada kita manusia. Bayangkan, langit dan bumi ! Semua itu ditundukkan-Nya untuk manusia sebagai rahmat daripada-Nya. Kalau saja manusia selalu merasa “kurang”, “kurang” dan “kurang” terus, maka sesungguhnya yang kurang itu adalah rasa syukurnya kepada sang Pencipta, Allooh سبحانه وتعالى yang telah memberi begitu banyak.
Seharusnya kita manusia bertanya-nya seperti ini, “Jangan engkau tanyakan apa yang sudah Allooh سبحانه وتعالى berikan padamu, tetapi tanyakan apa yang sudah engkau lakukan untuk Allooh سبحانه وتعالى.”
Dalam artian, ibadah apa yang sudah kita lakukan pada Allooh سبحانه وتعالى ?
Berbeda dengan paham nasionalisme. Orang yang berpaham nasionalisme menggunakan slogan: “Jangan engkau tanyakan apa yang sudah negara berikan padamu, tetapi tanyakan apa yang sudah engkau berikan untuk negara.”
Slogan demikian itu adalah karena negaranya butuh pemberian dari warga-negaranya. Sangat berbeda dengan Allooh سبحانه وتعالى. Allooh سبحانه وتعالى tidak butuh kita. Kita lah yang butuh pada Allooh سبحانه وتعالى ! Perhatikan Al Qur’an Surat Faathir (35) ayat 15 :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ
Artinya:
“Hai manusia, kamulah yang butuh kepada Allooh; dan Allooh Dialah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.”
Ini adalah perkara ‘aqiidah, yang garisnya itu sangat tipis, yang tak jarang dilalaikan oleh sebagian diantara kaum Muslimin. Allooh سبحانه وتعالى berfirman dalam QS. Al An’aam (6) ayat 162:
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Artinya:
“Katakanlah: sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allooh, Robb semesta alam.”
Jadi sholat, ibadah, hidup dan mati-nya manusia itu semestinya ditujukan pada Allooh سبحانه وتعالى, bukan pada selain-Nya. Kehidupan kita di dunia ini harus sesuai dengan kemauan Allooh سبحانه وتعالى, bukan sesuai dengan kemauan hawa nafsu kita.
Dari tabel pada Gambar-2. Manusia & Kehidupan, ada 3 poin besar yang perlu kita kaum Muslimin perhatikan:
– Hubungan keatas (vertikal) yaitu:
1) Hubungan antara manusia dengan Allooh سبحانه وتعالى; maka manusia harus tahu bahwa ia diciptakan untuk beribadah HANYA kepada Allooh سبحانه وتعالى semata.
– Hubungan kesamping (horizontal) yaitu:
2) Apa yang harus disikapi oleh manusia terhadap dirinya sendiri (internal), maka manusia harus tahu apa VISI & MISI KEHIDUPANNYA. Dan untuk menunaikan visi & misi hidupnya itu, ia harus berbekal : ilmu syar’i, ma’isyah, dakwah dan jihad.
Ilmu syar’i akan membantunya dalam menjalankan visi-misi hidupnya, karena dengan ilmu syar’i ia akan mengetahui mana yang Halal dan mana yang Harom, apa yang diperintahkan Allooh سبحانه وتعالى dan apa yang dilarang Allooh سبحانه وتعالى. Ilmu syar’i itu akan menjadi petunjuk jalan (guidance) atau rambu-rambu baginya dalam menempuh kehidupannya di dunia yang ditujukan untuk mencari bekal akhiratnya.
Ma’isyah adalah mencari penghidupan dunia dan ma’isyah ini sekedar digunakannya untuk menjalankan visi-misi hidupnya yakni beribadah pada Allooh سبحانه وتعالى serta untuk mempersiapkan bekal akhiratnya.
Ingat, ma’isyah bukan tujuan kehidupan; tetapi ma’isyah itu adalah sekedar sarana agar ia dapat beribadah dengan lebih baik.
Ada orang yang hidupnya (diistilahkan) “gila kerja” (workaholic). Bekerja dari pagi sampai malam dengan tujuan hidup sukses di dunia, kaya, memiliki jabatan, terkenal / populer; namun sayangnya ia lupa bahwa itu semua tak akan dibawanya ke Kuburan. Ia lupa bahwa ma’isyah itu semestinya ditujukan untuk memudahkan ia beribadah pada Allooh سبحانه وتعالى, bukan justru karena ma’isyah ia malah menjadi lalai dari beribadah pada Alloohسبحانه وتعالى.
Dakwah itu salah satu visi-misi hidup manusia. Ini harus disadari ! Karena kalau manusia ingin beruntung, maka manusia itu harus berdakwah. Mengapa ? Coba perhatikan firman Allooh سبحانه وتعالى dalam Al Qur’an Surat Al Ashr (103) ayat 1-3 :
وَالْعَصْرِ ﴿١﴾ إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ ﴿٢﴾ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ ﴿٣
Artinya:
(1) “Demi masa.
(2) Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,
(3) kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shoolih dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.”
Jadi, dari ayat diatas dapatlah diambil pelajaran bahwa bila manusia mau beruntung dalam hidupnya, maka ia harus turut dalam berdakwah. Saling nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran itu adalah dakwah. Dengan demikian, dakwah itu adalah visi-misi hidup manusia di dunia.
Dan dakwah itu janganlah diartikan dalam pengertian yang sempit seperti berceramahnya para da’i / para Ustadz saja, tapi siapapun dari kalangan kaum Muslimin dapat melakukannya sesuai dengan kemampuannya. Sebagai contohnya, ketika bunyi adzan terdengar, lalu kita mengajak teman / tetangga untuk bersama-sama menegakkan sholat berjama’ah di masjid. Nah, ajakan terhadap teman / tetangga untuk sholat berjama’ah itu pun sudah termasuk dakwah.
Adapun Jihaad, maka Jihaad secara etimologis (bahasa), sebagaimana disebutkan dalam Lisanul ‘Arob berasal dari kata : Jahada (جَهَدَ) – Yajhadu (يَجْهَدُ) – Jahdan (جَهْداً) – Ijtahada (اجْتَهَد) adalah bermakna “bersungguh-sungguh”. Jadi secara bahasa, ia dapat diartikan pula sebagai: “Pengerahan segenap potensi / kemampuan semaksimal mungkin, baik dengan ucapan maupun perbuatan”. Itu makna Jihad secara etimologis atau dari sisi tinjauan bahasa. Lalu dari kata “Jahada” dengan penambahan huruf Alif, terlahir kata Jaahada – Yujaahidu – Mujaahadah – Mujaahid – Jihaad. Kemudian makna Jihaad bila ditinjau dari sisi syar’i, sebagaimana yang dijelaskan oleh para ‘Ulama Ahlus Sunnah antara lain oleh Al Imaam Ibnu Hajar رحمه الله, maka yang dimaksudkan adalah berarti: Perang (Al Qital); memerangi orang-orang kaafir dalam rangka membela Al Islam.
Dengan demikian, Jihad juga merupakan salah satu visi-misi hidup manusia. Jihad fii sabilillah adalah “jalan tol” menuju surga Allooh سبحانه وتعالى. Kaum Muslimin yang memiliki idealisme maka ia akan berjihad, karena ia paham dan yakin benar akan keutamaan, besarnya pahala serta tingginya derajat bagi orang yang ber-jihad fii sabilillah.
Dalam Hadits Shohiih Riwayat Al Imaam Muslim no: 1902 dari Shohabat Abu Bakar bin ‘Abdulloh bin Abi Aufa رضي الله عنهما, dari ayahnya, mengatakan bahwa ia mendengar ayahnya berkata bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda,
إِنَّ أَبْوَابَ الْجَنَّةِ تَحْتَ ظِلاَلِ السُّيُوفِ
Artinya:
“Sesungguhnya pintu surga berada dibawah kilatan pedang (- berjihad di jalan Allooh -).”
Juga dalam Hadits Shohiih Riwayat Al Imaam Muslim no : 1884 dari Shohabat Abu Sa’id Al Khudri رضي الله عنه mengatakan bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « يَا أَبَا سَعِيدٍ مَنْ رَضِىَ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالإِسْلاَمِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ ». فَعَجِبَ لَهَا أَبُو سَعِيدٍ فَقَالَ أَعِدْهَا عَلَىَّ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَفَعَلَ ثُمَّ قَالَ « وَأُخْرَى يُرْفَعُ بِهَا الْعَبْدُ مِائَةَ دَرَجَةٍ فِى الْجَنَّةِ مَا بَيْنَ كُلِّ دَرَجَتَيْنِ كَمَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ. قَالَ وَمَا هِىَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ
Artinya:
“Hai Abu Sa’id ! Barangsiapa rela Allooh sebagai Robb-nya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad sebagai Nabinya, maka dia pasti masuk surga.”
Abu Sa’id رضي الله عنه merasa heran dengan sabda itu, lalu dia berkata, “Ya Rosuulullooh ! Ulangilah !”
Maka, Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم mengulanginya, kemudian beliau bersabda lagi, “Selain itu ada yang bisa mengangkat derajat seseorang di surga seratus derajat yang jarak antara derajat satu dengan derajat yang lain adalah sejauh antara langit dan bumi.”
Abu Sa’id رضي الله عنه bertanya, “Apa itu ya Rosuulullooh ?”
Beliau menjawab, “Berjihad membela agama Allooh, berjihad membela agama Allooh.”
Juga dalam Hadits Riwayat Al Imaam At Turmudzy no:1663 dan Al Imaam Ibnu Maajah no: 2799, dari Miqdam bin Ma’dikarib رضي الله عنه berkata, bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda,
عن المقدام بن معد يكرب قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم للشهيد عند الله ست خصال يغفر له في أول دفعة ويرى مقعده من الجنة ويجار من عذاب القبر ويأمن من الفزع الأكبر ويوضع على رأسه تاج الوقار الياقوتة منها خير من الدنيا وما فيها ويزوج اثنتين وسبعين زوجة من الحور العين ويشفع في سبعين من أقاربه
Artinya:
“Seorang syahid di sisi Allooh mendapatkan enam keistimewaan: Allooh mengampuni dosanya sejak awal perjalanan jihadnya, diperlihatkan tempat tinggalnya di surga, dipelihara dari siksa neraka, diberi rasa aman dari goncangan terbesar (hari kiamat), ditaruh di atas kepalanya sebuah mahkota mutu manikam, di sana ia lebih baik daripada dunia seisinya, dinikahkan dengan tujuh puluh dua bidadari surga, dan bisa memberi syafaat kepada tujuh puluh anggota keluarganya.”
Oleh karena itu, kaum Muslimin yang memiliki idealisme akan berjihad di jalan Allooh سبحانه وتعالى. Hanya saja, hendaknya kaum Muslimin yang berjihad itu memiliki ‘ilmu tentang perkara jihad ini terlebih dahulu. Perkara jihad itu perlu dikaji, diketahui tatacara dan rambu-rambunya, agar tidak salah paham. Bukan ajaran Islam tentang Jihad-nya yang salah, bisa jadi praktek Jihad-nya yang salah. Ketika terjadi salah praktek dalam berjihad dari sebagian kaum Muslimin, maka semestinya bukan ajaran Islam-nya yang disalahkan, tapi yang salah adalah orangnya; yang bisa jadi ia berjihad namun belum menguasai atau belum menerapkan sepenuhnya rambu-rambu dan aturan-aturan Islam dalam perkara jihad secara benar. Demikian pula, ketika terjadi salah praktek dalam berjihad dari sebagian orang, tidak sepatutnya langsung men-generalisir, seakan-akan seluruh kaum muslimin yang pergi berjihad untuk menegakkan kalimat Allooh سبحانه وتعالى ataupun untuk membela saudaranya kaum Muslimin yang tertindas di berbagai tempat itu lantas dicap salah semuanya. Sikap men-generalisir seperti ini pun tidak benar dan merupakan suatu ketidak-adilan dalam menilai.
3) Apa yang harus disikapi oleh manusia terhadap lingkungannya (external), maka manusia harus memperhatikan bagaimana dia berhubungan dengan alam sekitar, keluarga, tetangga / masyarakat dan negara / ulil amri.
Jangan dikira bahwa Islam itu tidak memperhatikan perkara lingkungan. Islam itu adalah ajaran paripurna yang memberikan tuntunan agar manusia berlaku baik, bahkan terhadap alam sekitarnya. Allooh سبحانه وتعالى berfirman dalam QS. Al Baqoroh (2) ayat 205:
وَإِذَا تَوَلَّىٰ سَعَىٰ فِي الْأَرْضِ لِيُفْسِدَ فِيهَا وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَالنَّسْلَ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ
Artinya:
“Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allooh tidak menyukai kebinasaan.”
Juga di dalam Hadits Shohiih Riwayat Al Imaam Muslim no: 269 , Islam memberi tuntunan pada ummatnya agar tidak mencemari lingkungan :
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « اتَّقُوا اللَّعَّانَيْنِ. قَالُوا وَمَا اللَّعَّانَانِ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « الَّذِى يَتَخَلَّى فِى طَرِيقِ النَّاسِ أَوْ فِى ظِلِّهِمْ
Artinya:
“Dari Abu Hurairoh رضي الله عنه bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda, “Jauhilah dua perbuatan yang mendatangkan laknat!”
Shohabat-shohabat bertanya, ”Apakah dua perbuatan yang mendatangkan laknat itu?”
Nabi صلى الله عليه وسلم menjawab, “Orang yang buang air besar di jalan umum atau di tempat berteduh manusia.”
Adapun dalam perkara keluarga, Islam memberikan tuntunan agar para Suami berlaku baik terhadap keluarganya, sebagaimana dalam Hadits Riwayat Al Imaam At Turmudzy no: 3895 sebagai berikut :
عن عائشة قالت : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم خيركم خيركم لأهله وأنا خيركم لأهلي وإذا مات صاحبكم فدعوه
Artinya:
Dari ‘Ummul Mu’minin ‘Aa’isyah رضي الله عنها, beliau berkata: “Telah bersabda Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم: “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku diantara kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya.”
Disisi lain, Islam secara adil memberi tuntunan pada para Istri untuk berbuat baik pada Suaminya dengan mentaati suaminya itu (dalam perkara-perkara yang ma’ruf), sebagaimana dalam Hadits Riwayat Al Imaam Ahmad no: 1661, dishohiihkan oleh Asy-Syaikh Nashiruddin Al Albani رحمه الله dalam Shohiihul Jami’ no: 660, 661 bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
عن عبد الرحمن بن عوف قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : إذا صلت المرأة خمسها وصامت شهرها وحفظت فرجها وأطاعت زوجها قيل لها أدخلي الجنة من أي أبواب الجنة شئت
Artinya:
“Apabila seorang wanita sholat lima waktu, shoum sebulan (Romadhon), menjaga kemaluannya dan taat kepada suaminya, maka dikatakan kepadanya: Masuklah engkau ke dalam surga dari pintu mana saja yang engkau sukai.”
Islam tak lupa memberikan tuntunan pada anak agar berbuat baik kepada orangtuanya, sebagaimana Allooh سبحانه وتعالى berfirman dalam Al Qur’an Surat Al Isro (17) ayat 23 :
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
Artinya:
“Dan Robb-mu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”
Dalam hubungan dengan tetangga / masyarakat, Islam memberikan tuntunan agar kaum Muslimin memuliakan tetangganya serta memuliakan tamunya. Hak dan kedudukan tetangga bagi seorang muslim sangatlah besar dan mulia. Sampai-sampai sikap terhadap tetangga dijadikan sebagai indikasi keimanan. Hal ini sebagaimana dalam Hadits Shohiih Riwayat Al Imaam Al Bukhory no: 6475 dan Riwayat Al Imaam Muslim no: 47, dari Shohabat Abu Hurairoh رضي الله عنه, bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم pernah bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا ، أَوْ لِيَصْمُتْ ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلاَ يُؤْذِ جَارَهُ ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ.
Artinya:
“Barangsiapa beriman kepada Allooh dan hari akhir, hendaknya berkata baik atau diam, barangsiapa beriman kepada Allooh dan hari akhir, hendaknya memuliakan tetangganya, barangsiapa beriman kepada Allooh dan hari akhir, hendaknya memuliakan tamunya.”
Bahkan dalam Hadits berikut, memiliki tetangga yang shoolih adalah salah satu faktor yang membawa kebahagiaan bagi kaum Muslimin. Dalam Hadits Riwayat Al Imaam Ibnu Hibban no: 4032, dishohiihkan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albaany dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shohiihah no: 282, dari Shohabat Sa’ad bin Abi Waqqoosh رضي الله عنه, bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ ، عَنْ أَبِيهِ ، عَنْ جَدِّهِ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَرْبَعٌ مِنَ السَّعَادَةِ : الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ ، وَالْمَسْكَنُ الْوَاسِعُ ، وَالْجَارُ الصَّالِحُ ، وَالْمَرْكَبُ الْهَنِيءُ ، وَأَرْبَعٌ مِنَ الشَّقَاوَةِ : الْجَارُ السُّوءُ ، وَالْمَرْأَةُ السُّوءُ ، وَالْمَسْكَنُ الضِّيقُ ، وَالْمَرْكَبُ السُّوءُ
Artinya:
“Empat perkara termasuk dari kebahagiaan, yaitu wanita (istri) yang shoolihah, tempat tinggal yang luas / lapang, tetangga yang shoolih, dan tunggangan (kendaraan) yang nyaman. Dan empat perkara yang merupakan kesengsaraan yaitu tetangga yang jelek, istri yang jelek (tidak shoolihah), , tempat tinggal yang sempit dan kendaraan yang tidak nyaman.”
Kemudian dalam hubungan dengan Pemimpin, maka dalam Hadits Riwayat Al Imaam Muslim no: 1829, dari Shohabat ‘Abdullooh bin ‘Umar رضي الله عنه :
أن رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا وَالْخَادِمُ رَاعٍ فِي مَالِ سَيِّدِهِ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Artinya:
“Bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin yang akan diminta pertanggung jawaban atas rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban atas keluarganya. Seorang isteri adalah pemimpin di dalam urusan rumah tangga suaminya, dan akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan rumah tangga tersebut. Seorang pembantu adalah pemimpin dalam urusan harta tuannya, dan akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan tanggung jawabnya tersebut.”
Demikianlah gambaran secara global bagaimana kaum Muslimin harus menyikapi kehidupannya di dunia ini, agar ia memahami untuk apa dirinya diciptakan oleh Allooh سبحانه وتعالى. Ia pun harus mengetahui bagaimana ia harus bersikap dalam hubungannya secara vertikal kepada sang Penciptanya itu, kemudian ia pun harus mengetahui bagaimana ia harus bersikap dalam hubungannya secara horisontal, baik kedalam dirinya sendiri (internal) ataupun kepada lingkungannya (eksternal). Kaum Muslimin harus tahu tentang siapa, apa dan mau apa dirinya terlebih dahulu; lalu bagaimana itu semua akan diberi rambu tuntunannya oleh Al Islam dalam bingkai “Syari’ah” / “Hukum Islam”. Oleh karena itu penting untuk memahami bagan “Manusia & Kehidupan” ini sebagai muqoddimah, sebelum kita sampai pada pembahasan lebih lanjut nantinya tentang “Sumber-Sumber Hukum Islam”.
Berikutnya akan kita bahas secara ringkas bagaimana Bangunan Islam itu terbentuk, bagaimana Al Islam mengatur Tatanan Kehidupan manusia. Hal ini penting untuk dipahami agar tidak ada sikap dikotomi di kalangan kaum Muslimin dalam memahami Al Islam, yang tak jarang di zaman kita sekarang ini muncul dalam berbagai bentuk paham-paham / isme-isme yang tidak sejalan dengan Al Islam. Contohnya adalah Sekulerisme, suatu pemahaman yang mengecilkan makna Al Islam seakan-akan Al Islam itu cukup hanya menjadi ibadah ritual belaka, padahal Al Islam itu tinggi.
Dalam Hadits Riwayat Al Imaam Ad Daaruquthny no: 3620, dihasankan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albaany dalam kitab “Al Irwaa’ul Gholil fii Takhriiji Ahaadiitsi Manaaris Sabiil” no: 1268 :
عَنْ عَائِذِ بْنِ عَمْرٍو الْمُزَنِيِّ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ قَالَ : الإِسْلاَمُ يَعْلُو، وَلاَ يُعْلَى
Artinya:
Dari ‘Aidz Bin ‘Amr Al Muzany, dari Nabi صلى الله عليه وسلم bahwa beliau bersabda : “Islam itu tinggi dan tidak ada yang bisa lebih tinggi.”
Al Islam adalah ajaran paripurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, mulai dari perkara ‘aqiidah, ibadah, mu’amalah, sampai dengan perkara hukum, pemerintahan / kekuasaan (siyaasah syar’iyyah), ekonomi, sosial, budaya, dan berbagai aspek kehidupan manusia lainnya secara lengkap. Tak ada yang ditinggalkan oleh Al Islam, semuanya telah diberi tuntunannya.
Masalahnya, sayangnya kaum Muslimin di zaman sekarang ini lebih sibuk mengambil ilmu dari Barat dan dari Timur, dan kurang menggali ‘ilmu yang berasal dari diin-nya sendiri yang sebenarnya secara lengkap telah disampaikan dan dicontohkan oleh Muhammad Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم sejak 1435 tahun yang lalu. Bayangkan, belajar ekonomi rujukannya ke perekonomian negeri-negeri Barat, walhasil yang diterapkan adalah praktek Ribawi. Mengapa tidak merujuk kepada perekonomian Islam yang telah diberikan tuntunannya secara lengkap oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم ? Belajar hukum ketatanegaraan, kembali rujukannya ke negeri-negeri Barat yang notabene ajarannya itu berasal dari orang-orang kaafir, akibatnya sistem yang diterapkan pun tak jauh dari produk buatan manusia yang tak beriman pada Allooh سبحانه وتعالى. Mengapa tidak merujuk pada hukum Islam, kepemimpinan dalam Islam ? Mengapa tidak merujuk pada sistem pemerintahan dalam Islam itu semestinya seperti apa ? Padahal tuntunannya dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم telah lengkap. Sampai-sampai (yang sangat mengherankan), belajar agama Islam pun merujuknya ke negeri-negeri Barat, ke kaum Orientalis, dan semisalnya; walhasil ilmu diin yang diserapnya pun tak lagi murni sebagaimana apa yang disampaikan oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Pemahamannya telah bercampur baur dan bias, tidak lagi sesuai dengan aslinya, sehingga lahirlah apa yang disebut Islam Liberal, dan sebagainya; yang semuanya itu akibat dari mengambil rujukan ‘ilmu (diin) bukan dari sumber yang semestinya.
Kalau saja, kaum Muslimin mau kembali kepada diin-nya, maka in-syaa Allooh ta’aalaa mereka akan menjadi ummat yang terbaik sebagaimana generasi Pendahulu Ummat ini (generasi Shohabat, Taabi’iin, Taabi’ut at-Taabi’iin) telah berhasil membuktikannya.
II. Islam & Tatanan Kehidupan
Gambar-3. Islam & Tatanan Kehidupan
Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allooh سبحانه وتعالى,
Terlebih dahulu kita perlu memahami tentang struktur atau peta global “Islam & Tatanan Kehidupan”, barulah kemudian menyorotinya dari sisi Hukum / Syari’at Islam, dan setelah itu mempelajari darimana Sumber-Sumber Hukum-nya berasal. Tanpa mengetahui struktur ini, kita menjadi kurang komprehensif dalam mempelajari tema besar kajian kita (“Sumber-Sumber Islam”) kelak, karena kita tidak memahami bagaimana hubungan antara bagian Islam yang satu dengan yang lainnya.
Dari “Gambar-3. Islam & Tatanan Kehidupan” diatas, dibagian paling bawah terdapat 4 kotak yang menjadi Landasan, yakni: (1) ‘Ilmu; (2) Al Qur’an; (3) As-Sunnah; (4) Ijma’.
Keempatnya merupakan Sumber-Sumber Hukum Islam.
Diatas landasan itu, terdapat sebentuk bangunan. Itulah Bangunan Islam, dimana:
(1) ‘Aqiidah berfungsi sebagai Pondasi. Apabila pondasinya rapuh, maka rapuh pula lah bangunannya. Apabila ‘Aqiidah-nya rapuh, maka rapuh pula lah ke-Islam-annya.
Contoh:
Ada diantara kaum Muslimin yang hanya karena sekotak Indomie, ia gadaikan ‘aqiidahnya. Ada pula diantara kaum Muslimin yang karena tidak kunjung mendapat pekerjaan, ia gadaikan ‘aqiidahnya. Ada pula diantara kaum Muslimin yang karena alasan cinta, ia gadaikan ‘aqiidahnya. Dan ada pula diantara kaum Muslimin yang karena tak kunjung punya jodoh, tak kunjung punya anak keturunan, lalu pergilah ia ke dukun-dukun / paranormal / tukang ramal, dan pada akhirnya ia gadaikan ‘aqiidah-nya. Itu semua karena ‘Aqiidah-nya rapuh, sehingga Islam-nya pun menjadi mudah rontok.
Oleh karena itu perkara ‘Aqiidah adalah perkara yang paling penting. Allooh سبحانه وتعالى berfirman dalam QS. Al Kahfi (18) ayat 110 :
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
Artinya:
“Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa sesungguhnya Tuhanmu itu adalah Tuhan yang Esa”. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shoolih dan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Nya dalam beribadah kepada-Nya”.”
Juga berfirman dalam QS. Az Zumar (39) ayat 65 :
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Artinya:
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Allooh), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.”
Ingat, perkara ‘Aqiidah itu perkara yang sangat penting, karena sebagaimana ayat diatas, jika manusia mempersekutukan Allooh سبحانه وتعالى (syirik), maka Allooh سبحانه وتعالى mengancam akan menghapuskan amalan-amalannya. Amalan-amalannya tidak berarti apa-apa disisi Allooh سبحانه وتعالى. Percuma saja, sekalipun seseorang mengerjakan berbagai amalan yang banyak tetapi disisi lain ia pun masih tenggelam dalam kesyirikan dan tidak bertaubat sebelum matinya, maka amalan-amalannya itu bisa jadi tak berguna bagi dirinya, tak bisa menyelamatkan dirinya. Oleh karenanya, perkara ‘Aqiidah adalah amat penting.
Dan dalam Hadits Jibril yang panjang berikut ini, yang diriwayatkan oleh Al Imaam Muslim no: 8, didefinisikan apa itu Rukun Iman yang 6 (enam) :
عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَيْضًا قَالَ : بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ, لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ, حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم, فأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ, وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ, وَ قَالَ : يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِسْلاَمِ, فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم : اَلإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَإِ لَهَ إِلاَّ اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ, وَتُقِيْمُ الصَّلاَةَ, وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ, وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ, وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً. قَالَ : صَدَقْتُ. فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْئَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ. قَالَ : فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِيْمَانِ, قَالَ : أَنْ بِاللهِ, وَمَلاَئِكَتِهِ, وَكُتُبِهِ, وَرُسُلِهِ, وَالْيَوْمِ الآخِرِ, وَ تُؤْمِنَ بِالْقَدْرِ خَيْرِهِ وَ شَرِّهِ. قَالَ : صَدَقْتَ. قَالَ : فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِحْسَانِ, قَالَ : أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ. قَالَ : فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ السَّاعَةِ قَالَ : مَا الْمَسْؤُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ. قَالَ : فَأَخْبِرْنِيْ عَنْ أَمَارَاتِهَا, قَالَ : أَنْ تَلِدَ الأَمَةُ رَبَّتَهَا, وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُوْنَ فِيْ الْبُنْيَانِ, ثم اَنْطَلَقَ, فَلَبِثْتُ مَلِيًّا, ثُمَّ قَالَ : يَا عُمَرُ, أَتَدْرِيْ مَنِ السَّائِل؟ قُلْتُ : اللهُ وَ رَسُوْلُهُ أَعْلَمُ. قَالَ : فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Artinya:
Umar bin Khoththoob رضي الله عنه berkata : “Suatu ketika, kami (para Shohabat) duduk di dekat Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Tiba-tiba muncullah kepada kami seorang lelaki mengenakan pakaian yang sangat putih dan rambutnya amat hitam. Tak terlihat padanya tanda-tanda bekas perjalanan, dan tak ada seorang pun diantara kami yang mengenalnya. Ia segera duduk di hadapan Nabi, lalu lututnya disandarkan ke lutut Nabi dan meletakkan kedua tangannya diatas kedua paha Nabi, kemudian ia berkata : “Hai, Muhammad! Beritahukan kepadaku tentang Islam.”
Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم menjawab,”Islam adalah, engkau bersaksi tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allooh, dan sesungguhnya Muhammad adalah Rosuul Allooh; menegakkan sholat; menunaikan zakat; shoum di bulan Romadhon, dan engkau menunaikan haji ke Baitullooh, jika engkau telah mampu melakukannya,”
Lelaki itu berkata, “Engkau benar”, maka kami heran, ia yang bertanya ia pula yang membenarkannya.
Kemudian ia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang Iman”.
Nabi menjawab, “Iman adalah engkau beriman kepada Allooh; malaikat-Nya; kitab-kitab-Nya; para Rosuul-Nya; hari Akhir, dan beriman kepada takdir Allooh yang baik dan yang buruk,”
Ia berkata, “Engkau benar.”
Dia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang ihsan”.
Nabi صلى الله عليه وسلم menjawab,”Hendaklah engkau beribadah kepada Allooh seakan-akan engkau melihat-Nya. Kalaupun engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.”
Ia berkata, “Engkau benar.”
Lelaki itu bertanya lagi : “Beritahukan kepadaku kapan terjadinya hari Kiamat?”
Nabi menjawab,”Yang ditanya tidaklah lebih tahu daripada yang bertanya.”
Dia pun bertanya lagi : “Beritahukan kepadaku tentang tanda-tandanya!”
Nabi menjawab,”Jika seorang budak wanita telah melahirkan tuannya; jika engkau melihat orang yang bertelanjang kaki, tanpa memakai baju (miskin papa) serta pengembala kambing telah saling berlomba dalam mendirikan bangunan megah yang menjulang tinggi.”
Kemudian lelaki tersebut segera pergi. Aku pun terdiam, sehingga Nabi bertanya kepadaku : “Wahai ‘Umar! Tahukah engkau, siapa yang bertanya tadi?”
Aku menjawab, “Allooh dan Rosuu-lNya lebih mengetahui,”
Beliau bersabda, “Dia adalah Jibril yang mengajarkan kalian tentang agama kalian.”
(2) Dua Kalimat Syahadat berfungsi laksana Pintu Gerbang. Tanpa bersyahadat, seseorang tidak dapat masuk kedalam bangunan Al Islam.
Ketika Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم mengutus Mu’adz bin Jabal رضي الله عنه untuk berdakwah ke Yaman, maka yang pertama-tama diperintahkan oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم untuk diserukan itu adalah perkara at-Tauhiid, yakni dua kalimat Syahadat.
Dalam Hadits Riwayat Al Imaam Al Bukhoory no: 1395 dan Al Imaam Muslim no: 19, dari ‘Abdullooh bin Abbas رضي الله عنه, bahwasanya Mu’adz bin Jabal رضي الله عنه berkata:
بَعَثَنِي رَسُولُ اللّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: “إِنّكَ تَأْتِي قَوْما مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ، فَادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاّ الله وَأَنّي رَسُولُ اللّهِ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنّ الله افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنّ الله افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدّ فِي فُقَرَائِهِمْ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ، فَإِيّاكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ، وَاتّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ، فَإِنّهُ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللّهِ حِجَابٌ
Artinya:
“Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم mengutusku (ke negeri Yaman). Beliau berkata (kepadaku): “Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari golongan Ahli Kitab, maka serulah mereka untuk bersyahadat bahwasanya tidak ada tuhan yang berhak untuk diibadahi melainkan Allooh dan bahwasanya aku (Muhammad) adalah utusan Allooh. Jika mereka mematuhimu dalam hal itu, maka sampaikanlah kepada mereka bahwa Allooh telah mewajibkan atas mereka lima sholat di setiap hari dan malam. Jika mereka mematuhimu dalam hal itu, maka sampaikanlah kepada mereka bahwa Allooh telah mewajibkan atas mereka zakat yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan disalurkan kepada orang-orang fakir mereka. Jika mereka mematuhimu dalam hal itu, maka janganlah engkau mengambil (zakat dari) harta mereka yang paling berharga. Takutlah engkau kepada doa orang yang terdzolimi karena sesungguhnya tidak ada penghalang antara ia (doa orang yang terdzolimi) dan Allooh.”
(3) Fiqh Ibadah dan Fiqh Mu’amalah adalah dinding-dinding penopang bangunan Islam.
Fiqh Ibadah itu mengatur antara lain perkara Sholat, Zakat, Shoum, Haji;
Mu’amalah itu artinya Interaksi, dan Fiqh Mu’amalah berarti adalah Fiqh yang mengatur hubungan interaksi diantara kaum Muslimin, contohnya di dalam Keluarga, ada Fiqh Munaakahat. Kaum Muslimin yang belum menikah dan akan menikah, hendaknya dibekali dengan Fiqh Munaakahat agar ketika mereka menikah kelak, mereka telah memiliki ‘ilmunya. Contoh lain adalah perkara Jual Beli. Ketika mencari ma’isyah, kaum Muslimin melakukan proses Jual Beli, dimana interaksi diantara mereka ketika melakukan Jual Beli itu diatur dalam Fiqh Jual Beli.
(4) Agar Fiqh Ibadah dan Fiqh Mu’amalah itu dapat ‘ajeg’ (secara kokoh) dilaksanakan oleh kaum Muslimin, maka harus ada pelindungnya atau pengokohnya, yakni ‘Imaaroh. Jadi ‘Imaaroh itu laksana Atap Pelindung bagi bangunan Al Islam. ‘Imaaroh itu adalah Pemerintahan atau Siyaasah Syar’iyyah.
Seringkali orang umum menyebutnya sebagai “Politik”, padahal “Politik” itu tidak identik dengan “Siyaasah Syar’iyyah”. Karena kata “Politik” itu identiknya dengan “Kepentingan”, sehingga ada pepatah yang mengatakan, “Didalam Politik, tidak ada kawan sejati; yang ada hanyalah kepentingan abadi.” Ini jauh berbeda dengan “Siyaasah Syar’iyyah”, yang berfungsi untuk menjaga agar aturan-aturan Allooh سبحانه وتعالى dan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dapat tegak dan terlaksana dengan baik.
Jadi, kalau Pemimpinnya, Penguasanya, Pemerintahannya atau ‘Imaaroh-nya tidak sesuai dengan tuntunan Allooh سبحانه وتعالى dan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم; maka otomatis Ibadah kaum Muslimin juga akan terganggu, Mu’amalah-nya pun akan terganggu.
Contoh:
Mengapa di berbagai negeri dimana kaum Muslimin tinggal itu malah merajalela ekonomi Ribawi ? Ternyata, bila ditelusuri adalah karena Penguasanya membolehkan Riba itu digunakan sebagai sistem ekonomi di negerinya. Kalau di dalam Islam, Riba itu terkutuk; tetapi bila ‘Imaaroh-nya tidak berpihak kepada Al Islam, maka alih-alih ditolak / diberantas, malah Riba itu akan dijadikan sebagai bekal hidupnya.
Perhatikan bahwa didalam Hadits Shohiih Riwayat Al Imaam Muslim no: 1598 :
عن جابر، قال : لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم آكل الربا، وموكله، وكاتبه، وشاهديه، وقال: هم سواء
Artinya:
Dari Jaabir رضي الله عنه, ia berkata : “Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, penulisnya (bagian administrasi), dan dua orang saksinya. Mereka itu semua sama”
Mengapa pula di berbagai negeri dimana kaum Muslimin tinggal itu beredar banyak khomr ? Nah, bila ditelusuri adalah karena Penguasanya membolehkan berdirinya pabrik khomr di negerinya. Kalaupun ada pemberantasan miras, maka hanya botol-botol mirasnya saja yang dihancurkan; tetapi mengapa pabriknya diperbolehkan berdiri dan terus memproduksi khomr ? Ini berarti tidak menyelesaikan masalah, karena akar masalahnya justru dilindungi dan diberi tempat untuk berkembang.
Jadi, kalau ‘Imaaroh-nya kokoh, tegak diatas tuntunan Allooh سبحانه وتعالى dan Rosuul-Nya صلى الله عليه وسلم maka kokoh pula bangunan Islam-nya. Tetapi kalau ‘Imaaroh-nya tidak kokoh, otomatis ibarat rumah yang atapnya berlubang, maka rumah itu akan sering mengalami kebocoran.
(5) Lingkaran Pelindung I / Proteksi I (lingkaran dalam) adalah Hudud dan Jinayah. Agar bangunan Islam itu dapat kokoh terjaga, maka ada garis pengaman / pelindungnya.
Hudud itu batasan-batasan Hukum Allooh سبحانه وتعالى. Kalau bangunan Islam itu dilanggar dalam kaitan antara manusia dengan hak Allooh سبحانه وتعالى, maka ia akan kena sanksi yang hukumnya disebut dengan Hudud.
Kalau ia mengganggu, menyakiti, menganiaya, mendzolimi dalam kaitannya dengan sesama manusia, maka akan kena sanksi yang hukumnya disebut dengan Jinayah.
Hudud adalah sanksi-sanksi kema’shiyatan yang telah ditetapkan kadarnya dalam rangka hak Allooh سبحانه وتعالى. Dinamakan hudud karena pada umumnya, mencegah orang yang berbuat ma’shiyat untuk (tidak) kembali kepada kema’shiyatan yang telah ditetapkan had-nya. Adapun Had disebutkan untuk kema’shiyatan itu sendiri. Sebagai contohnya adalah firman Allooh سبحانه وتعالى dalam QS. Al Baqoroh (2) ayat 187 :
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ ۗ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ ۖ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ ۚ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ ۚ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
Artinya:
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allooh mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allooh mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allooh untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri´tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allooh, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allooh menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertaqwa.”
Jadi kata had dan hudud dengan makna sanksi-sanksi kema’shiyatan, tidak disebutkan kecuali untuk kema’shiyatan yang di dalamnya terdapat hak Allooh سبحانه وتعالى, dan tidak disebutkan pada selainnya. Dalam hudud tidak ada pemaafan, baik dari hakim maupun terdakwa, sebab hudud adalah haq Allooh سبحانه وتعالى, tak seorang manusia pun yang memiliki hak untuk menggugurkannya pada kondisi apapun.
Sedangkan Jinayah disebutkan untuk penganiayaan atau penyerangan terhadap badan yang mewajibkan qishoosh (balasan setimpal) atau diyat (denda). Penganiayaan itu mencakup penganiayaan terhadap jiwa dan anggota tubuh. Maksud dari jinayah disini adalah sanksi-sanksi yang dijatuhkan atas penganiayaan tersebut. Dalam sanksi-sanksi ‘uqubat (hukuman) terdapat haq seorang hamba. Dan selama berkaitan dengan haq hamba, maka bagi pemilik haq (shoohibul haq) boleh memberikan ampunan, dan menggugurkan haq-nya.
Allooh سبحانه وتعالى berfirman dalam QS. Al Baqoroh (2) ayat 178 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى ۖ الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنْثَىٰ بِالْأُنْثَىٰ ۚ فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ۗ ذَٰلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ ۗ فَمَنِ اعْتَدَىٰ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishoosh berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Robb kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.”
Jadi barangsiapa mendapat pemaafan dari saudaranya di dalam perkara hutang, yakni dari “wali-wali darah” (wali dari pihak yang terbunuh) berupa sesuatu yang menjadi hak mereka di dalam qishoosh, menunjukkan bolehnya shoohibul haq untuk memberikan pemaafan dari haknya dalam jinayah.
Dalam Hadits Riwayat Al Imaam Muslim no: 1680, dari Alqamah bin Wa’il رضي الله عنه bahwa ayahnya yaitu Wa’il memberitahukan kepadanya,
إِنِّي لَقَاعِدٌ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَ رَجُلٌ يَقُودُ آخَرَ بِنِسْعَةٍ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، هَذَا قَتَلَ أَخِي، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَقَتَلْتَهُ؟» – فَقَالَ: إِنَّهُ لَوْ لَمْ يَعْتَرِفْ أَقَمْتُ عَلَيْهِ الْبَيِّنَةَ – قَالَ: نَعَمْ قَتَلْتَهُ، قَالَ: «كَيْفَ قَتَلْتَهُ؟» قَالَ: كُنْتُ أَنَا وَهُوَ نَخْتَبِطُ مِنْ شَجَرَةٍ، فَسَبَّنِي، فَأَغْضَبَنِي، فَضَرَبْتُهُ بِالْفَأْسِ عَلَى قَرْنِهِ، فَقَتَلْتُهُ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «هَلْ لَكَ مِنْ شَيْءٍ تُؤَدِّيهِ عَنْ نَفْسِكَ؟» قَالَ: مَا لِي مَالٌ إِلَّا كِسَائِي وَفَأْسِي، قَالَ: «فَتَرَى قَوْمَكَ يَشْتَرُونَكَ؟» قَالَ: أَنَا أَهْوَنُ عَلَى قَوْمِي مِنْ ذَاكَ، فَرَمَى إِلَيْهِ بِنِسْعَتِهِ، وَقَالَ: «دُونَكَ صَاحِبَكَ»، فَانْطَلَقَ بِهِ الرَّجُلُ، فَلَمَّا وَلَّى قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنْ قَتَلَهُ فَهُوَ مِثْلُهُ»، فَرَجَعَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّهُ بَلَغَنِي أَنَّكَ قُلْتَ: «إِنْ قَتَلَهُ فَهُوَ مِثْلُهُ»، وَأَخَذْتُهُ بِأَمْرِكَ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَمَا تُرِيدُ أَنْ يَبُوءَ بِإِثْمِكَ، وَإِثْمِ صَاحِبِكَ؟» قَالَ: يَا نَبِيَّ اللهِ – لَعَلَّهُ قَالَ – بَلَى، قَالَ: «فَإِنَّ ذَاكَ كَذَاكَ»، قَالَ: فَرَمَى بِنِسْعَتِهِ وَخَلَّى سَبِيلَهُ
Artinya:
“Ketika aku sedang duduk bersama Nabi صلى الله عليه وسلم, tiba-tiba ada seorang laki-laki datang menuntun seseorang yang diikat dengan tali.
Dia mengatakan, “Ya Rosuulullooh ! Orang ini telah membunuh saudaraku.”
Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bertanya, “Apakah betul kau telah membunuhnya ?”
Kata penuntun, “Kalau dia tidak mengaku, aku mempunyai saksi (bukti).”
Tertuduh itu menjawab, “Ya.”
Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bertanya lagi, “Bagaimana kau membunuhnya?”
Pembunuh itu menjawab, “Ketika aku dan dia sedang memetik dedaunan dari sebatang pohon, dia mencaci diriku sehingga aku marah. Lalu, aku memukulnya dengan kapak pada kepalanya, kemudian dia mati.”
Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bertanya kepada pembunuh itu, “Apakah engkau mempunyai sesuatu untuk kamu bayarkan sebagai tebusan dirimu?”
Pembunuh itu menjawab, “Aku tidak mempunyai harta, kecuali pakaian yang aku pakai ini dan kapakku ini.”
Kata Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, “Coba cari keluargamu yang bisa membayar tebusan untuk membebaskanmu !”
Pembunuh itu menjawab, “Aku lebih hina dari kapak ini dimata keluargaku.”
Maka Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم menyerahkan tali yang menjerat pembunuh itu kepada keluarga korban. Beliau صلى الله عليه وسلم bersabda, “Terserah mau kau apakan temanmu yang membunuh ini (kau hukum bunuh ataukah kau bebaskan).”
Lalu keluarga korban membawa pembunuh itu. Ketika dia baru berpaling, Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda, “Jika dia membunuh pembunuh itu, maka dia sama dengannya.”
Keluarga korban itu kembali lalu berkata, “Ya Rosuulullooh ! Tadi aku mendengar engkau bersabda, Jika dia membunuhnya, maka dia sama dengannya.’ Sekarang aku serahkan persoalan ini kepadamu.”
Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bertanya, “Tidakkah kau ingin pembunuh ini memikul dosamu dan dosa saudaramu yang terbunuh?”
Keluarga korban itu menjawab, “Tentu aku ingin, wahai Nabi !”
Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda, “Jika kau membebaskannya, maka dia memikul dosamu dan dosa saudaramu yang dia bunuh.”
Lalu keluarga korban tersebut melepas tali yang mengikat pembunuh itu dan membebaskannya.”
Kalau Hudud dan Jinayah ini tegak, maka Syari’at Islam juga dapat tegak dan berjalan dengan baik. Sayangnya, di negeri kita ini bisa dikatakan Hudud dan Jinayah ini masih banyak yang ghoib dari kehidupan ummat.
(6) Lingkaran Pelindung II / Proteksi II (lingkaran luar) adalah Dakwah, Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan Jihad.
Dakwah itu pada mulanya adalah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم mengajak, menyeru orang-orang musyrik dan orang-orang kaafir menjadi Muslim. Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم berdakwah mengajak mulai dari istrinya Khodijah رضي الله عنها, lalu sepupunya Ali bin Abi Tholib رضي الله عنه, sampai dengan Abu Bakar رضي الله عنه dan banyak diantara orang-orang yang tadinya musyrikun lalu masuk kedalam Al Islam. Kemudian Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم mengutus Mush’ab bin ‘Umair رضي الله عنه untuk berdakwah ke Madinah sehingga Madinah yang tadinya dihuni oleh musyrikun dan orang-orang Yahudi pun masuk kedalam Al Islam. Dakwah itu berlanjut terus ke berbagai negeri; ke negeri Yaman, ke Mesir, ke Persia, ke Romawi dan seterusnya hingga di berbagai tempat orang-orang pun masuk kedalam Al Islam. Nah, oleh karena itu kita sebagai pengikut Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم pun hendaknya menjadikan dakwah sebagai bagian dari hidup kita.
Dengan demikian, walau dakwah itu bersifat umum, namun lebih sering dimaknai sebagai menyeru dan mengajak orang-orang diluar kalangan kaum Muslimin, yaitu orang-orang musyrik / orang-orang kaafir kedalam Al Islam.
Sementara seruan, ajakan kedalam kalangan kaum Muslimin sendiri untuk menetapi dan menepati ajaran Al Islam adalah dikenal dengan sebutan “Amar ma’ruf nahi munkar”.
Di zaman kita sekarang ini, keadaannya masih sangat tidak berimbang. Amar ma’ruf nahi munkar bisa dikatakan tidak banyak yang gemar dan giat melaksanakannya; justru sebaliknya Amar munkar nahi ma’ruf lah yang lebih banyak penggemar dan penyerunya. Padahal Amar munkar nahi ma’ruf itu adalah pekerjaannya orang-orang munaafiqun. Perhatikanlah firman Allooh سبحانه وتعالى dalam QS. At Taubah (9) ayat 67 :
الْمُنَافِقُونَ وَالْمُنَافِقَاتُ بَعْضُهُمْ مِنْ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ بِالْمُنْكَرِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمَعْرُوفِ وَيَقْبِضُونَ أَيْدِيَهُمْ ۚ نَسُوا اللَّهَ فَنَسِيَهُمْ ۗ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Artinya:
“Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang munkar dan melarang berbuat yang ma´ruf dan mereka menggenggamkan tangannya. Mereka telah lupa kepada Allooh, maka Allooh melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah orang-orang yang fasik.”
Ketika dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar dihalangi, maka ada pelapis proteksi terhadap bangunan Al Islam itu, yakni yang bernama “Jihad fii sabiilillah”.
Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allooh سبحانه وتعالى,
Setelah melihat peta global Tatanan Kehidupan menurut Islam itu, patutlah kita renungkan, apa yang kira-kira sudah kita kaum Muslimin (khususnya di negeri yang kita cintai ini) persiapkan ? Sudahkah “pondasi” bangunan Islam-nya itu ditanamkan dengan kuat di hati kaum Muslimin ? Kalau pondasinya saja masih rapuh, lantas bagaimana berharap mau membangun dinding dan atap yang kokoh ? Ingat, membangun peta global Tatanan Kehidupan menurut Islam itu bukan tugas para Ustadz, dan para da’i saja, namun itu tugas kita semua kaum Muslimin; mulai dari penguasa sampai dengan lapisan masyarakat yang terkecil ! Jika poin-poin diatas itu ada dan ‘ajeg’, maka tatanan kehidupan kaum Muslimin akan sesuai dengan Syari’at / Hukum Islam.
Demikianlah, oleh karena itu sebelum kita mempelajari “Sumber-Sumber Hukum Islam” yakni ‘Ilmu, Al Qur’an, As Sunnah dan Al Ijma’, adalah penting bagi kita untuk memahami secara jelas bagaimana bangunan Islam itu terbentuk. Islam itu mencakup apa saja, dan apa yang perlu di-daliil-i, lalu apa saja yang perlu dijadikan sumber argumentasinya. Ketika kita tahu bangunan Islam itu mencakup apa saja, maka in-syaa Allooh kajian-kajian kita di pekan-pekan mendatang akan terfokus secara lebih jelas.
Sekian dulu bahasan pada kesempatan kali ini, mudah-mudahan Alloohسبحانه وتعالى selalu melimpahkan taufiq dan hidayah kepada kita semua untuk istiqomah sampai akhir hayat. Kita akhiri dengan Do’a Kafaratul Majlis :
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Jakarta, Jum’at malam, 25 Dzulqo’idah 1435 H – 19 September 2014 M.
—– 0O0 —–
Silakan download PDF : Bangunan Islam (Islam & Tatanan Kehidupan) VCM#1 FNL
Barokalloh
Izin copy materi ustadz, syukron
Wa ‘alaikumussalaam Warohmatulloohi Wabarokaatuh, Silakan saja… semoga menjadi ilmu yang bermanfaat… Barokalloohu fiika