Haqiiqot Syahadat
(Transkrip Ceramah AQI 110110)
HAQIIQOT SYAHADAT
oleh: Ustadz Achmad Rofi’i, Lc.
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allooh سبحانه وتعالى,
Sebagai kelanjutan bahasan tentang “Syahadat Risalah”, maka kali ini kita bahas bab “Haqiiqot Syahadat”, suatu perkara yang berarti haruslah konsekuen, berwujud, nyata, bisa dilihat, bisa didengar dan bisa disaksikan, apakah itu berupa ucapan ataupun perbuatan yang merupakan refleksi / aplikasi / implementasi dari memahami ikrar: “Laa ilaaha illallooh Muhammadur Rosuulullooh”.
Ketika kita menyatakan “Laa ilaaha illallooh” (Tidak ada yang berhak diibadahi dengan sebenarnya kecuali Allooh), maka haruslah terlihat hasilnya. Apakah wujud nyata dari ikrar tersebut ? Jadi kita hendaknya memahami apa yang dituntut dari diri kita sebagai suatu konsekuensi dari komitmen terhadap apa yang kita ikrarkan tersebut.
Sebagai contoh, didalam suatu instansi saja ada yang namanya “kode etik”. Artinya, ada norma-norma yang tidak boleh dilanggar. Ada norma-norma yang justru harus dikerjakan dan dilakukan. Kalau tidak dilaksanakan, maka ia keluar dari komunitas itu. Misal suatu instansi memiliki kode etik berupa yang dimulai dari stempel tertentu, kop surat tertentu, pakaian seragam yang khas, kemudian disiplin kerja dan karaterisitk kerja yang tertentu; maka itu semua punya karakteristik yang jelas. Artinya, punya wujud-wujud yang khas dari suatu etika tertentu.
Mari kita tanyakan kepada diri kita secara jujur, ketika dalam kehidupan sehari-hari saja maka semuanya itu kita anggap wajar apabila memiliki ciri khas dan hakikat tertentu, maka apalagi dalam urusan diin (agama). Hendaknya kita pertanyakan: “Laa ilaaha illallooh Muhammadur Rosuulullooh yang kita ikrarkan itu apa hakikatnya, yang bisa kita wujudkan sebagai suatu karakter bagi umat Muhammad Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم?”
Bahasan kali ini adalah dinukil dari Kitab “Muhtashar Syarhi Arkaanil Islaam” (Ringkasan Penjelasan tentang Rukun Islam). Hakekat “Laa ilaaha illallooh” minimal tercakup dalam tiga aspek :
1) Meng-Esakan ibadah hanya kepada Allooh سبحانه وتعالى.
2) Berbebas diri dari syirik
3) Tidak berhukum kecuali dengan hukum Allooh سبحانه وتعالى.
Tiga perkara tersebut hendaknya tidak menjadi sesuatu yang bersifat khayalan belaka, karena landasannya jelas dan kita semua tidak bisa membantahnya. Jikalau kita semua memang benar-benar beriman kepada Al Qur’an, meyakini kebenaran Al Qur’an, maka Al Qur’an akan membuktikan kepada kita sekaligus menjadi indikator bagi setiap diri kita, apakah “Laa ilaaha illallooh” yang kita ikrarkan itu khayalan belaka ataukah berwujud nyata (ter-implementasikan hasilnya secara hakiki).
1) Meng-Esakan ibadah hanya kepada Allooh سبحانه وتعالى.
Ibadah artinya penghambaan diri kita terhadap Allooh سبحانه وتعالى. Sikap TUNDUK dan KEPATUHAN serta PENYERAHAN DIRI kita kepada Allooh سبحانه وتعالى melalui: Menjalankan apa yang menjadi Syari’at Allooh سبحانه وتعالى.
Dan satu-satunya obyek ibadah itu, tidak boleh ada duanya, ia hanya tertuju pada yang Satu yaitu Allooh سبحانه وتعالى.
Maka ketika kita mengatakan: “Meng-Esakan ibadah hanya kepada Allooh سبحانه وتعالى”, berarti kita itu harus konsekuen. Tidak boleh ada “selingkuh” dalam diri kita pada selain Allooh سبحانه وتعالى. Tidak boleh ada diantara kita yang bersikap “mendua”. Beribadah kepada Allooh سبحانه وتعالى iya, tetapi juga ada selain Allooh yang diibadahi olehnya. Apalagi sampai melebihkan kapasitas ibadah kepada yang selain Allooh سبحانه وتعالى itu. Yang seperti ini adalah sangat tidak boleh.
Marilah kita kaji berdasarkan ayat-ayat Al Qur’an dan Hadits, sebagai berikut :
Perhatikan Al Qur’an surat Al Jinn (72) ayat 20 :
قُلْ إِنَّمَا أَدْعُو رَبِّي وَلَا أُشْرِكُ بِهِ أَحَدًا
Artinya:
“Katakanlah (ya Muhammad): “Sesungguhnya aku hanya menyembah Tuhanku dan aku tidak mempersekutukan sesuatu pun dengan-Nya“.
“Sesuatu” dalam ayat tersebut diatas itu bisa terlihat (dzohir) misalnya: batu, hewan, pohon, manusia, mayat, kuburan dstnya; dan bisa pula tidak terlihat (ghoib) misalnya: malaikat, jin, iblis, dsbnya.
Itu lah konsekuensi “Laa ilaaha illallooh” yakni bahwa: “Aku hanya meminta kepada Robb-ku (Allooh), aku tidak meminta manfaat ataupun perlindungan dari bahaya kepada selain-Nya. Aku pun tidak beribadah kepada selain Robb-ku (Allooh), dan aku tidak menyekutukan Allooh dengan sesuatu apapun.”
Tetapi kalau ada orang yang masih meminta kepada selain Allooh سبحانه وتعالى berarti orang itu “Laa ilaaha illallooh”–nya kosong belaka. Bisa saja ia suka ber-Tahlil bahkan dengan suara yang keras, tetapi maknanya kosong.
Kemudian perhatikan Al Qur’an surat Al Isroo’ (17) ayat 42 – 43 :
قُلْ لَوْ كَانَ مَعَهُ آلِهَةٌ كَمَا يَقُولُونَ إِذًا لَابْتَغَوْا إِلَى ذِي الْعَرْشِ سَبِيلًا (42) سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يَقُولُونَ عُلُوًّا كَبِيرًا (43
Artinya:
(42) “Katakanlah (ya Muhammad): “Jika ada tuhan-tuhan di samping-Nya, sebagaimana yang mereka katakan, niscaya tuhan-tuhan itu mencari jalan kepada Tuhan yang mempunyai ‘Arsy”
(43) Maha Suci dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka katakan, luhur dan agung (tiada bandingannya).”
Maksudnya, harus kita tetapkan dalam diri kita bahwa: “Tidak ada penyerta sejajar dan sederajat bersama Allooh سبحانه وتعالى.”
Dan dalam Al Qur’an surat Al Isroo’ (17) ayat 57 :
أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا
Artinya:
“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan siapa diantara mereka yang lebih dekat (kepada Allooh). Mereka mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya. Sesungguhnya azab Tuhanmu itu adalah suatu yang (harus) ditakuti.”
Ayat tersebut memberikan penjelasan kepada kita bahwa orang-orang yang berikrar dengan “Laa ilaaha illallooh Muhammadur Rosuulullooh”, mereka itu ketika berdo’a maka dalam hatinya penuh dengan harap, penuh dengan takut, bagaimana mencari cara agar ia semakin dekat kepada Allooh سبحانه وتعالى.
Maka kalau ada orang yang mendekatkan diri kepada selain Allooh سبحانه وتعالى, perlu dipertanyakan apakah “Laa ilaaha illallooh”–nya itu ada atau tidak.
Lalu dalam Al Qur’an surat Fushshilat (41) ayat 37 :
وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ لَا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
Artinya:
“Dan sebagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah bersujud kepada matahari dan jangan (pula) kepada bulan, tetapi bersujud lah kepada Allooh yang menciptakannya, jika kamu hanya menyembah kepada-Nya.”
Bahwa siang, malam, matahari, bulan adalah makhluk Allooh سبحانه وتعالى dan sebagai tanda-tanda kekuasaan-Nya, dan sekaligus bukti betapa Maha Besarnya Allooh سبحانه وتعالى. Maka kita sebagai manusia dilarang menyembah kepada makhluk-makhluk itu, tetapi sembahlah dan bersujud lah hanya kepada Allooh سبحانه وتعالى yang menciptakan semua makhluk itu.
Allooh سبحانه وتعالى berfirman dalam Al Qur’an surat Luqman (31) ayat 22 – 24 :
وَمَنْ يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى وَإِلَى اللَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ (22) وَمَنْ كَفَرَ فَلَا يَحْزُنْكَ كُفْرُهُ إِلَيْنَا مَرْجِعُهُمْ فَنُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوا إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ (23) نُمَتِّعُهُمْ قَلِيلًا ثُمَّ نَضْطَرُّهُمْ إِلَى عَذَابٍ غَلِيظٍ (24
Artinya:
(22) “Dan barangsiapa yang berserah diri kepada Allooh, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya dia telah berpegang kepada buhul (tali) yang kokoh. Hanya kepada Allooh lah kesudahan segala urusan.
(23) Dan barangsiapa kafir, maka kekafirannya itu jangan lah menyedihkanmu (ya Muhammad). Hanya kepada Kami tempat kembali mereka, lalu Kami beritakan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allooh Maha Mengetahui segala isi hati.
(24) Kami biarkan mereka bersenang-senang sebentar, kemudian Kami paksa mereka (masuk) ke dalam azab yang pedih.”
Orang yang yang menyatakan “Laa ilaaha illallooh” maka ia memasrahkan lahir-bathin, jasad dan ruhnya hanya kepada Allooh سبحانه وتعالى sambil meng-aplikasi-kan dirinya untuk berbuat kebajikan. Dan saat ini di negeri kita, kebajikan sedang krisis. Juga sedang krisis moral, nurani, termasuk krisis ihsan.
Dalam ayat tersebut kita ketahui bahwa yang disebut “Laa ilaaha illallooh” itu menuntut adanya sesuatu yang konkrit dari diri kita, yakni berpasrah diri terhadap Allooh سبحانه وتعالى lahir-bathin. Kalau ada perintah ataupun larangan dari Allooh سبحانه وتعالى, maka kita tidak boleh membantahnya. Karena berarti sikap yang demikian itu adalah menjadi bertentangan dengan makna “berserah diri” kepada Allooh سبحانه وتعالى.
Di dalam ayat yang lain, yakni dalam Al Qur’an surat An Nahl (16) ayat 36, Allooh سبحانه وتعالى berfirman sebagai berikut :
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ فَمِنْهُمْ مَنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُمْ مَنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلَالَةُ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ
Artinya:
“Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rosuul untuk setiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allooh dan jauhilah Thoghut”, kemudian diantara mereka ada yang diberi petunjuk oleh Allooh dan ada pula yang tetap dalam kesesatan. Maka berjalanlah kamu di bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang yang mendustakan (rosuul-rosuul).”
Bahwa setiap Rosuul selalu menyeru kepada umatnya untuk menyembah Allooh سبحانه وتعالى, dan bukan menyembah kepada Thoghut. Dan sudah terbukti dalam sejarah, siapa saja yang mendustakan ajaran Allooh سبحانه وتعالى dan Muhammad Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, semuanya itu berada dalam kenistaan dan kebinasaan.
Lalu dalam Al Qur’an surat Al An’aam (6) ayat 162 – 163, Allooh سبحانه وتعالى berfirman :
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (162) لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ (163
Artinya:
(162) Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allooh, Tuhan seluruh alam.”
(163) “Tidak ada sekutu bagi-Nya; dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (muslim).”
Ayat tersebut adalah perintah kepada Muhammad Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dan juga kepada kita semua. Jadi kalau ada manusia yang sholatnya, ibadahnya, hidup-matinya bukan untuk Allooh سبحانه وتعالى, maka manusia itu sudah menyalahi Tauhid. Sudah menyalahi “Laa ilaaha illallooh Muhammadur Rosuulullooh”.
Oleh karena itu, sebenarnya nasionalisme adalah bukan ajaran Allooh سبحانه وتعالى dan Rosuul-Nya صلى الله عليه وسلم, karena kita hanya “Lillaahi robbil ‘aalamiin” dan bukan “Lil wathon”. Bahkan Hadits yang mengatakan bahwa: “Hubbul wathoni minal iimaan” (Cinta Tanah-air adalah bagian dari iman), adalah Hadits Palsu, bukan merupakan Hadits.
Implementasi dari “Laa ilaaha illallooh” adalah harus bertauhid hanya kepada Allooh سبحانه وتعالى. Sholat, ibadah, hidup dan mati kita itu haruslah hanya untuk Allooh سبحانه وتعالى. Tidak ada yang untuk selain Allooh سبحانه وتعالى. Kalau seseorang ber-ibadah untuk selain Allooh, maka ia telah menyelewengkan amanat hidup ini.
Dalam Hadits Riwayat Al Imaam Al Bukhoory no: 2856 dan Al Imaam Muslim no: 30, dari Shohabat Mu’adz bin Jabal رضي الله عنه, beliau berkata:
عَنْ مُعَاذٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كُنْتُ رِدْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى حِمَارٍ يُقَالُ لَهُ عُفَيْرٌ فَقَالَ يَا مُعَاذُ هَلْ تَدْرِي حَقَّ اللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ وَمَا حَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ قُلْتُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ فَإِنَّ حَقَّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوهُ وَلَا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَحَقَّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ أَنْ لَا يُعَذِّبَ مَنْ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا أُبَشِّرُ بِهِ النَّاسَ قَالَ لَا تُبَشِّرْهُمْ فَيَتَّكِلُوا
Artinya:
“Suatu hari aku dibonceng Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم di atas punggung keledai, yang keledai itu beliau beri nama ‘Ufair. Ketika itu Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda: “Ya Mu’adz, tahukah kamu hak Allooh atas manusia dan hak manusia atas Allooh?”.
Aku menjawab: “Allooh dan Rosuul-Nya yang lebih tahu”.
Kemudian Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda: “Hak Allooh atas manusia (kewajiban manusia kepada Allooh) adalah agar mereka beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan Allooh dengan sesuatu apa pun. Dan hak manusia atas Allooh adalah bahwa Allooh tidak meng-adzab manusia yang tidak menyekutukan Allooh سبحانه وتعالى”.
Berarti bila manusia menyektukan Allooh سبحانه وتعالى, pasti akan terkena adzab. Dan adzabnya itu bersama-sama orang kufar. Karena kepada orang-orang musyrikin (orang yang menyekutukan Allooh), Allooh سبحانه وتعالى tidak akan mengampuninya (bila mereka tidak juga bertaubat sebelum matinya). Karena tidak diampuni, maka mereka bersama-sama orang kufar. Na’uudzu billaahi min dzaalik.
Selanjutnya kata Mu’adz bin Jabal رضي الله عنه:
فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا أُبَشِّرُ بِهِ النَّاسَ قَالَ لَا تُبَشِّرْهُمْ فَيَتَّكِلُوا
Artinya:
“Wahai Rosuulullooh, bolehkah aku beritahu saudara-saudaraku (manusia-manusia ) yang lain bahwa demikian itu hak Allooh dan hak manusia itu?”
Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم menjawab: “Jangan. Jangan engkau beritahu kabar gembira ini kepada mereka, karena mereka akan menjadi orang yang menggampangkan”.
Kalau manusia sudah bergantung pada amalannya, dan menggampangkan, maka mereka akan menjadi malas dan tidak bersemangat lagi untuk beribadah. Tabiat manusia itu adalah kalau ia sudah merasa “mendapat hasil”, maka mereka lalu malas untuk berusaha. Padahal ibadahnya itu belum seberapa. Meskipun sepanjang umurnya digunakan oleh manusia untuk beribadah sekalipun, maka tidaklah pahalanya itu akan bisa “membeli” surga Allooh سبحانه وتعالى.
Perhatikanlah Hadits Riwayat Al Imaam Muslim no: 2816, dari Shohabat Abu Hurairoh رضي الله عنه, bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « قَارِبُوا وَسَدِّدُوا وَاعْلَمُوا أَنَّهُ لَنْ يَنْجُوَ أَحَدٌ مِنْكُمْ بِعَمَلِهِ ». قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ أَنْتَ قَالَ « وَلاَ أَنَا إِلاَّ أَنْ يَتَغَمَّدَنِىَ اللَّهُ بِرَحْمَةٍ مِنْهُ وَفَضْلٍ »
Artinya:
“Salah seorang dari kalian tidak akan bisa masuk surga Allooh karena sebab amalannya. Yang menjadikan manusia masuk surga adalah karena kasihsayang dan keutamaan Allooh سبحانه وتعالى”.
Kesimpulannya, bahwa pernyataan “Laa ilaaha illallooh” menuntut kita untuk meng-Esa-kan Allooh سبحانه وتعالى dalam berbagai bentuk, baik ritual maupun segala bentuk peribadatan kepada Allooh, tidak boleh di-dua-kan dengan yang lain.
Ada satu definisi “Ibadah”, sebagaimana disabdakan oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bahwa berdo’a itu adalah tergolong Ibadah.
Dalam Hadits Riwayat Al Imaam Abu Daawud no: 1481, Al Imaam At Turmudzy no: 2969 dan Al Imaam Ibnu Maajah no: 3828 yang dishohiihkan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albaany, dari Shohabat Nu’maan Ibnu Basyiir رضي الله عنه, bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda kepada kita,
الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ
Artinya:
“Do’a adalah Ibadah”
Maka bila ibadah itu hanya untuk Allooh سبحانه وتعالى saja, maka demikian pula do’a. Do’a haruslah hanya kepada Allooh سبحانه وتعالى saja. Kalau ada orang yang beribadah kepada selain Allooh, berarti orang itu berdo’a kepada selain Allooh سبحانه وتعالى. Siapa pun dia, apabila dia berdo’a meminta kepada nabi, atau meminta kepada wali, atau meminta kepada ajeungan atau siapa pun juga selain kepada Allooh, maka berarti dia sudah menyekutukan Allooh سبحانه وتعالى.
Hal ini bukan urusan ringan, harus disadari dengan hati yang jernih bahwa tidak boleh ada permintaan kepada selain Allooh سبحانه وتعالى. Berarti do’a kita hanya untuk Allooh سبحانه وتعالى, ditujukan kepada Allooh, berharap dari dan meminta hanya kepada Allooh سبحانه وتعالى, serta tidak boleh dipalingkan selain kepada-Nya.
Pada saat ini, di zaman sekarang ini, perkara yang penting ini masih banyak tertutupi oleh kejahiilan / kebodohan dalam perkara diin (agama). Dalam kenyataannya masih banyak orang yang mengaku dirinya Muslim tetapi ia berdo’a dengan cara yang keliru; karena ia memiliki pandangan yang salah / keliru bahwa jika ada orang yang sudah dianggap sebagai “wali’, atau “ajeungan”, maka orang seperti itu dianggapnya adalah orang hebat, sehingga mereka pun lalu meminta-minta kepada wali / ajeungan / yang dianggap tokoh spiritual tersebut. Padahal sikap seperti itu adalah Syirik dalam bidang do’a.
2) Membebaskan diri dari Syirik
Allooh سبحانه وتعالى berfirman dalam Al Qur’an surat Az Zukhruf (43) ayat 26 – 28 :
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِي بَرَاءٌ مِمَّا تَعْبُدُونَ (26) إِلَّا الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُ سَيَهْدِينِ (27) وَجَعَلَهَا كَلِمَةً بَاقِيَةً فِي عَقِبِهِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ (28
Artinya:
(26) “Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu sembah”.
(27)“Kecuali (kamu menyembah) Allooh yang menciptakanku; karena sungguh Dia akan memberi petunjuk kepadaku.”
(28) “Dan (Ibrahim) menjadikan (kalimat tauhid) itu kalimat yang kekal pada keturunannya agar mereka kembali (kepada kalimat tauhid itu)”.
Jadi dari ayat tersebut, terdapat pelajaran bahwa Nabi Ibrahim عليه السلام merupakan tokoh Tauhid. Beliau adalah penghulu di bidang Tauhid. Bahwa Nabi Ibrahim عليه السلام adalah bapak dari bapak Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم dan terkenal dalam masalah Tauhid.
Ketika Nabi Ibrahim عليه السلام memerangi berhala, lalu beliau mengatakan: “Wahai bapak dan kaumku, aku berlepas diri dari ajaran kalian”.
Maka kita bisa mengambil pelajaran, bahwa jika ada ajaran selain ajaran Muhammad Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, dan selain dari ajaran Tauhid dari Allooh سبحانه وتعالى, harus lah dikatakan: “Aku berbebas diri dari ajaran itu…. Aku berlepas diri dari ajaran itu.”
Maka bila ada orang yang lantas mengatakan kepada kita: “Jangan begitu, itu sikap eksklusif tuh… masa iya hanya mengakui Islam saja yang benar, dan agama yang lain tidak benar… itu kan ekstrim tuh…”; lalu hati kita pun menjadi luluh, lalu kita menjadi plin-plan, lalu mulailah keyakinan kita goncang dan sedikit demi sedikit lalu terpengaruh oleh perkataan orang tersebut. Apalagi orang itu lalu mengatakan: “Selain Islam, agama lain juga benar kok…”.
Itu yang kemudian disebut dengan “PLURALISME”. Padahal sesungguhnya pluralisme adalah bertentangan dengan firman Allooh سبحانه وتعالى. Pluralisme bertentangan dengan ajaran Nabi Ibrahim عليه السلام. Pluralisme bertentangan dengan prinsip Tauhiid.
Kesimpulannya, berdasarkan Al Qur’an surat Az Zukhruf (43) ayat 26-28 maka seseorang yang mengatakan “Laa ilaaha illallooh Muhammadur Rosuulullooh” tidak patut membenarkan ajaran selain Islam. Hanya satu yang kita benarkan yakni adalah Al Islam yang dibawakan oleh Muhammad Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Selain Al Islam adalah kufur dan orang-orangnya adalah kufar.
Kemudian perhatikan firman Allooh سبحانه وتعالى dalam Al Qur’an surat Asy Syu’aroo (26) ayat 75 – 82 :
قَالَ أَفَرَأَيْتُمْ مَا كُنْتُمْ تَعْبُدُونَ (75) أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمُ الْأَقْدَمُونَ (76) فَإِنَّهُمْ عَدُوٌّ لِي إِلَّا رَبَّ الْعَالَمِينَ (77) الَّذِي خَلَقَنِي فَهُوَ يَهْدِينِ (78) وَالَّذِي هُوَ يُطْعِمُنِي وَيَسْقِينِ (79) وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ (80) وَالَّذِي يُمِيتُنِي ثُمَّ يُحْيِينِ (81) وَالَّذِي أَطْمَعُ أَنْ يَغْفِرَ لِي خَطِيئَتِي يَوْمَ الدِّينِ (82
Artinya:
(75) Ibrahim berkata: “Apakah kamu memperhatikan apa yang kamu sembah,
(76) kamu dan nenek moyang kamu yang terdahulu?
(77) sesungguhnya mereka (apa yang kamu sembah) itu musuhku, lain halnya (dengan) Robb seluruh alam,
(78) (yaitu Robb) yang telah menciptakan aku, maka Dia yang memberi petunjuk kepadaku
(79) dan yang memberi makan dan minum kepadaku,
(80) dan apabila aku sakit, Dia lah yang menyembuhkan aku,
(81) dan yang akan mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku (kembali),
(82) dan yang sangat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari kiamat.”
Arti “’Aduwwun” (عَدُوٌّ) adalah “musuh”. Tidak bisa diartikan dengan arti yang lain. Kalau ada orang yang mengartikan selain daripada “musuh”, berarti ia tidak tahu bahasa Arab.
Jadi: “Selain Allooh adalah musuhku”, begitulah Robb-ku Allooh سبحانه وتعالى berfirman. Silahkan perhatikan ayat ini dengan cermat dan merenungkannya secara mendalam. Bahwa bagian dari Tauhid, bagian dari konsekuensi ucapan “Laa ilaaha illallooh Muhammadur Rosuulullooh” adalah: “Bahwa Robb-ku adalah Allooh, dan (yang diibadahi) selain-Nya (berarti) adalah musuh Allooh سبحانه وتعالى.” Jadi jangan coba-coba mengartikan kata “’Aduwwun” (عَدُوٌّ) dengan “sahabat”. Karena yang demikian itu berarti melakukan tahriif terhadap Al Qur’an (mengganti arti ayat).
Bahwa orang yang ber-“Laa ilaaha illallooh” hanya meyakini satu saja, yaitu Allooh سبحانه وتعالى. Meyakini selain Allooh سبحانه وتعالى adalah bathil. Orang yang tidak memiliki keyakinan seperti ini, berarti orang tersebut telah menyalahi firman Allooh سبحانه وتعالى.
Perhatikan Qur’an surat Al Kaafiruun (109) ayat 1-6 :
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ (1) لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ (2) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (3) وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ (4) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (5) لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ (6
Artinya:
(1) Katakanlah (Muhammad): “Wahai orang-orang kafir !
(2) Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.
(3) Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.
(4) Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah,
(5) Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.
(6) Untukmu agamamu, dan untukku lah, agamaku.”
Itulah pernyataan konkrit dari orang yang ber-Tauhid, orang yang menyatakan “Laa ilaaha illallooh Muhammadur Rosuulullooh”.
Jadi tidak ada “damai” antara haq dan bathil dalam pengertian Tauhid. Yang haq selamanya adalah haq, dan yang bathil selamanya adalah bathil. Tidak ada pencampur-adukan antara haq dan bathil. Tauhid menuntut pemisahan jelas antara haq dan bathil. Dan harus ada dalam setiap hati kita: “Lakum diinukum waliyadiin”. Yang tidak memiliki keyakinan seperti tersebut berarti ia adalah pluralis, dan pluralisme itu bukan bagian dari Islam.
Kemudian perhatikanlah firman Allooh سبحانه وتعالى dalam Al Qur’an surat Al Mujaadalah (58) ayat 22 :
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Artinya:
“Engkau (Muhammad) tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allooh dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allooh dan Rosuul-Nya, sekali pun orang-orang itu bapaknya, anaknya, saudaranya, atau keluarganya. Mereka itulah orang-orang yang dalam hatinya telah ditanamkan Allooh keimanan dan Allooh telah menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang dari-Nya. Lalu dimasukkan-Nya mereka kedalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allooh ridho terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka lah golongan Allooh. Ingat lah sesungguhnya golongan Allooh itu lah yang beruntung.”
Jadi tidak mungkin ada orang yang mengaku beriman kepada Allooh سبحانه وتعالى dan beriman kepada Hari Akhir, tetapi mereka mencintai orang yang memusuhi Allooh سبحانه وتعالى dan memusuhi Rosuul-Nya. Itu tidak mungkin !!! Ini kaidah, dan yang mengajarkan kaidah ini adalah Allooh سبحانه وتعالى sendiri.
Jadi ingat, penting untuk dicamkan dalam hati kita bahwa menurut Allooh سبحانه وتعالى, kalau ada seseorang yang mengaku dirinya beriman kepada Allooh سبحانه وتعالى dan Hari Akhir, maka TIDAK MUNGKIN ia mencintai atau saling berkasih-sayang, ataupun membela / ber-wala’ kepada orang-orang kaafir yang memusuhi / memerangi Al Islam, yang menentang dan menghalangi tegaknya syari’at Islam; sekalipun mereka itu adalah bapaknya, anaknya, saudaranya ataupun keluarganya sendiri. Sikap yang diajarkan oleh Allooh سبحانه وتعالى ini sayangnya masih “krisis” di kalangan sebagian kaum Muslimin di zaman sekarang. Herannya, ada saja kaum Muslimin yang malah membela orang kaafir yang jelas-jelas telah memerangi Islam, dan justru malah mencela dan memusuhi saudaranya sendiri sesama kaum Muslimin yang tengah berjuang membela diinullooh.
Berikutnya perhatikan Al Qur’an surat An Nisaa’ (4) ayat 144 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَتُرِيدُونَ أَنْ تَجْعَلُوا لِلَّهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا مُبِينًا
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang kafir menjadi pemimpin dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah kamu ingin memberi alasan yang jelas bagi Allooh (untuk menghukummu)?”
Maksudnya, sebagai konsekuensi “Laa ilaaha illallooh”, maka kita kaum Muslimin dilarang oleh Allooh سبحانه وتعالى untuk menjadikan orang-orang kafir menjadi wali (pemimpin / penolong) bagi diri kita. Kaum Muslimin itu hendaknya memilih wali (pemimpin) dari kalangan orang-orang yang beriman (mu’miniin).
Dan perhatikan pula Al Qur’an surat Al Maa-idah (5) ayat 51 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (atau teman setiamu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allooh tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzolim.”
Mengerikan sekali, betapa dalam ayat diatas Allooh سبحانه وتعالى mengancam bagi siapa saja yang bersikap loyal terhadap Yahudi dan Nasrani maka ia terancam menjadi bagian dari kaum Yahudi dan Nasrani tersebut. Kaum Muslimin yang rela untuk ber-wali (memilih pemimpinnya) dari kalangan orang Yahudi dan Nasrani maka dapat dikategorikan sebagai orang yang dzolim. Na’uudzu billaahi min dzaalik. Dan Allooh سبحانه وتعالى tidak akan memberikan hidayah (petunjuk) kepada orang yang dzolim. Itu adalah berita sekaligus ancaman dari Allooh سبحانه وتعالى yang sungguh menggentarkan hati kita.
3) Tidak berhukum kecuali pada Hukum Allooh سبحانه وتعالى
Essensi dari “Laa ilaaha illallooh Muhammadur Rosuulullooh” adalah tidak berhukum kecuali pada hukum Allooh سبحانه وتعالى.
Dalam Al Qur’an surat Al An’aam (6) ayat 114, Allooh سبحانه وتعالى berfirman :
أَفَغَيْرَ اللَّهِ أَبْتَغِي حَكَمًا وَهُوَ الَّذِي أَنْزَلَ إِلَيْكُمُ الْكِتَابَ مُفَصَّلًا وَالَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْلَمُونَ أَنَّهُ مُنَزَّلٌ مِنْ رَبِّكَ بِالْحَقِّ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ
Artinya:
“Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allooh, padahal Dia lah yang telah menurunkan kitab (Al Quran) kepadamu dengan terperinci? Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al Quran itu diturunkan dari Robb-mu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu.”
Orang yang menyatakan “Laa ilaaha illallooh” maka ia tidak akan mencari pemutus perkara kepada selain Allooh سبحانه وتعالى. Maka pada ayat tersebut Allooh سبحانه وتعالى bertanya: “Apakah kamu mencari pemutus perkara selain Allooh?”.
Orang yang ber-Tauhid hanya akan menjadikan Allooh سبحانه وتعالى sebagai pemutus perkara atas apa yang mereka permasalahkan.
Lalu dalam Al Qur’an surat At Taubah (9) ayat 31, Allooh سبحانه وتعالى berfirman :
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
Artinya:
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya (Yahudi) dan rahib-rahibnya (Nasrani) sebagai tuhan selain Allooh dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Allooh yang Maha Esa, tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allooh dari apa yang mereka persekutukan”.
“Rahib” artinya “pendeta Yahudi / Nasrani’. Orang-orang Yahudi / Nasrani telah menjadikan rahib-rahib / pemuka-pemuka agama mereka itu sebagai tandingan / tuhan selain daripada Allooh سبحانه وتعالى. Berarti mereka tidak ber-“Laa ilaaha illallooh”.
Bagian dari kemusyrikan adalah bila seseorang itu mengaku ber-“Laa ilaaha illallooh” tetapi dalam kenyataannya ia lebih patuh pada tokoh-tokoh agama mereka, padahal tokoh-tokoh mereka itu jelas-jelas menyekutukan Allooh سبحانه وتعالى. Pegang-teguhlah ayat ini (QS. AT Taubah (9) ayat 31). Siapa saja yang lebih memprioritaskan, lebih mendahulukan pendapat dan pernyataan serta keputusan dari selain Allooh سبحانه وتعالى, apakah ia berupa tokoh agama, atau pemuka masyarakat atau siapapun yang dikultuskan, maka sesungguhnya ia telah berlaku persis seperti yang difirmankan Allooh سبحانه وتعالى dalam ayat tersebut, yakni: “mereka telah menjadikan selain Allooh sebagai tandingan”. Dengan kata lain, berarti pernyataan “Laa ilaaha illallooh”-nya adalah bohong belaka (palsu).
Kemudian Allooh سبحانه وتعالى berfirman di dalam Al Qur’an surat Asy Syuuroo (42) ayat 21 – 22 :
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ وَلَوْلَا كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (21) تَرَى الظَّالِمِينَ مُشْفِقِينَ مِمَّا كَسَبُوا وَهُوَ وَاقِعٌ بِهِمْ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فِي رَوْضَاتِ الْجَنَّاتِ لَهُمْ مَا يَشَاءُونَ عِنْدَ رَبِّهِمْ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ (22
Artinya:
(21) “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allooh yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allooh? Dan sekiranya tidak ada ketetapan yang menunda (hukuman dari Allooh) tentulah hukuman diantara mereka telah dilaksanakan. Dan sungguh, orang-orang zalim itu akan mendapat adzab yang sangat pedih.
(22) Kamu akan melihat orang-orang yang zalim itu sangat ketakutan karena kejahatan- kejahatan yang telah mereka kerjakan, sedang siksaan menimpa mereka. Dan orang-orang yang beriman serta mengerjakan amal shoolih (berada) di dalam taman-taman surga, mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki di sisi Tuhan mereka. Yang demikian itu adalah karunia yang besar.”
Dan perhatikan bahwa Allooh سبحانه وتعالى berfirman di dalam Al Qur’an surat Al Maa-idah (5) ayat 44 :
إِنَّا أَنْزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّونَ الَّذِينَ أَسْلَمُوا لِلَّذِينَ هَادُوا وَالرَّبَّانِيُّونَ وَالْأَحْبَارُ بِمَا اسْتُحْفِظُوا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ وَكَانُوا عَلَيْهِ شُهَدَاءَ فَلَا تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Artinya:
“Sungguh, Kami yang menurunkan Kitab Taurat, didalamnya (ada) petunjuk dan cahaya. Yang dengan Kitab itu para Nabi yang berserah diri kepada Allooh memberi putusan atas perkara orang Yahudi, demikian juga para ulama dan pendeta-pendeta mereka, sebab mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allooh dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan jangan lah kamu jual ayat-ayat-Ku dengan harga murah. Barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allooh, maka mereka itu lah orang-orang kafir.”
Sementara di dalam Al Qur’an surat Al Maa-idah (5) 45, firman-Nya adalah sebagai berikut :
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ…
Artinya:
“…Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allooh, maka mereka itu adalah orang-orang yang dzolim.”
Dan firman-Nya di dalam Al Qur’an surat Al Maa-idah (5) 47 adalah :
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ…
Artinya:
“…Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allooh, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasiq.”
Maksud akhir ayat tersebut: Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allooh سبحانه وتعالى turunkan, maka mereka terancam menjadi salah satu dari tiga pilihan ini yaitu menjadi orang-orang kafir, atau dzolim, atau faasiq. Na’uudzu billaahi min dzaalik.
Jikalau ia MEYAKINI bahwa dirinya boleh untuk berhukum dengan selain hukum Allooh سبحانه وتعالى karena ia menganggap bahwa selain Hukum Allooh itu adalah lebih baik, atau ia memang membenci hukum Allooh, mengingkari dan memerangi hukum Allooh, atau meng-Halal-kan selain hukum Allooh, padahal hujjah telah tegak atas dirinya dan ia memahami hujjah tersebut; maka orang seperti ini terancam kaafir, keluar dari Al Islam.
Namun jika ia tidak meyakini bahwa dirinya boleh untuk berhukum dengan selain hukum Allooh سبحانه وتعالى, dan ia tetap meyakini bahwa selain Hukum Allooh سبحانه وتعالى itu adalah tidak benar, ia tetap meng-Harom-kan selain hukum Allooh; namun oleh karena sesuatu hal ia masih berada dalam keadaan menggunakan selain Hukum Allooh سبحانه وتعالى; maka orang seperti ini paling tidak terancam tergolong dzolim atau faasiq.
Hal ini telah dijelaskan oleh Al Imaam Ibnul Jauzy رحمه الله dalam Kitab berjudul “Zaadul Masiir” II/366 sebagai berikut:
أن من لم يحكم بما أنزل الله جاحداً له، وهو يعلم أن الله أنزله؛ كما فعلت اليهود؛ فهو كافر
Artinya:
“Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa-apa yang diturunkan Allooh dalam keadaan MENGINGKARI akan kewajiban (berhukum) dengannya padahal dia mengetahui bahwa Allooh-lah yang menurunkannya (seperti orang Yahudi), maka orang ini KAFIR.”
ومن لم يحكم به ميلاً إلى الهوى من غير جحود؛ فهو ظالم فاسق
Artinya:
“Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa-apa yang diturunkan Allooh karena condong pada hawa nafsunya – TANPA adanya PENGINGKARAN – maka dia itu DZOLIM dan FASIQ”.
وقد روى علي بن أبي طلحة عن ابن عباس؛ أنه قال: من جحد ما أنزل الله؛ فقد كفر، ومن أقرّبه؛ ولم يحكم به؛ فهو ظالم فاسق
Artinya:
Telah diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu ‘Abbas رضي الله عنه bahwa dia berkata : “Barangsiapa yang mengingkari apa-apa yang diturunkan Allooh maka dia kafir. Dan barangsiapa yang masih mengikrarkannya tapi tidak berhukum dengannya, maka dia itu dzolim dan fasiq”
Firman Allooh سبحانه وتعالى dalam Al Qur’an itu adalah jelas dan pasti. Kemanapun kita mengarah di atas permukaan bumi ini, maka kita akan menemui bunyi ayat yang sama dengan makna yang tidak akan pernah berbeda.
Kemudian perhatikan Al Qur’an surat An Nisaa’ (4) ayat 60 – 65 :
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا (60) وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنْكَ صُدُودًا (61) فَكَيْفَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ ثُمَّ جَاءُوكَ يَحْلِفُونَ بِاللَّهِ إِنْ أَرَدْنَا إِلَّا إِحْسَانًا وَتَوْفِيقًا (62) أُولَئِكَ الَّذِينَ يَعْلَمُ اللَّهُ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ وَعِظْهُمْ وَقُلْ لَهُمْ فِي أَنْفُسِهِمْ قَوْلًا بَلِيغًا (63) وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا (64) فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا (65
Artinya:
(60) “Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan orang-orang yang mengaku bahwa mereka telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelummu? Tetapi mereka masih menginginkan ketetapan hukum kepada Thoghut (*), padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari Thoghut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) kesesatan yang sejauh-jauhnya.
(61) Apabila dikatakan kepada mereka:”Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allooh telah turunkan dan kepada hukum Rosuul”, niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu.
(62) Maka bagaimanakah halnya apabila mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah: “Demi Allooh, kami sekali-kali tidak menghendaki selain kebaikan dan kedamaian“.
(63) Mereka itu adalah orang-orang yang (sesungguhnya) Allooh mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka nasihat, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.
(64) Dan Kami tidak mengutus seseorang Rosuul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allooh. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya (**) datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allooh, dan Rosuul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allooh Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.
(65) Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”.
(*) Orang yang selalu memusuhi Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم dan kaum muslimin. Ada yang mengatakan Abu Barzah seorang tukang tenung di masa Nabi, dan ada yang mengatakan Ka’ab bin Asyraf (seorang munafik).
Termasuk Thoghut juga: 1) Orang yang menetapkan hukum secara curang menurut hawa nafsunya, 2) Berhala-berhala.
(**) Ialah: Berhakim kepada selain Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم.
Maka bila seseorang ingin disebut beriman kepada Allooh سبحانه وتعالى maka :
1) Harus menjadikan Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم sebagai pemutus perkara.
2) Tidak boleh merasa keberatan atas keputusan Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم,
3) Berserah diri secara totalitas.
Jika orang mengaku beriman, maka tiga karakter tersebut diatas harus dimiliki secara mutlak.
Inilah yang hendaknya kita selalu mengkoreksi dari diri kita sendiri, apakah “Laa illaaha illallooh” kita itu sudah seperti yang semestinya ataukah belum. Bahwa kita semestinya dalam ber-“Laa ilaaha illallooh” itu maka beberapa perkara diatas merupakan sesuatu yang seharusnya ada pada diri kita. Kalau belum ada, marilah kita tingkatkan. Belum terlambat. Mari kita pupuk, kita perkuat ‘aqiidah kita. Mari kita bergandeng-tangan, saling nasihat-menasihati dan saling membantu agar kita dapat ber-Tauhid kepada Allooh سبحانه وتعالى dengan lebih baik; dan mari kita satu sama lain berusaha dengan sekuat tenaga agar tidak menyeleweng, apalagi menjadi orang yang menyerupai orang-orang musyrikin.
TANYA-JAWAB
Pertanyaan:
1) Dijelaskan diatas bahwa setiap umat ada rosuulnya. Apakah dalam kajian sejarah, bahwa manusia yang terdahulu, yang terpencar di segala pelosok dunia ini juga mempunyai rosuul ?
2) Tentang “meminta” kepada selain Allooh سبحانه وتعالى. Sedang dalam masyarakat terjadi diantara manusia ini saling meminta dan memberi. Mohon penjelasan tentang “meminta” yang bagaimana yang dimaksud dalam keterangan diatas?
3) Tentang hukum. Hukum itu ada hukum agama, hukum negara, hukum adat dan ada hukum-hukum yang lain. Mohon penjelasan hukum manakah yang dikaitkan dengan hukum Allooh seperti disebutkan diatas ?
Jawaban:
1) Kita lihat memang negeri dimana banyak dibangkitkan nabi dan rosuul adalah sekitar jazirah Arab, yang sekarang disebut Timur Tengah. Terutama negeri Syam, yang sekarang menjadi 4 negara yaitu Suriah, Yordania, Libanon dan Palestina. Disekitar negeri-negeri itulah, termasuk Mesir, Hejaz (Makkah-Madinah). Itu yang tersebut peta-nya dalam Al Qur’an dimana diturunkan 25 orang nabi dan rosuul. Tetapi Allooh سبحانه وتعالى menyebutkan secara global. Menurut Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bahwa seluruh nabi dan rosuul jumlahnya tidak kurang dari 125.000 orang. Dari jumlah tersebut, yang disebutkan nabi dan rosuul dalam Al Qur’an hanya 25 orang nabi / rasul. Dan dari jumlah 25 orang itu yang disebut Ulul Azmi ada 5 (lima) orang, dan dari lima orang itu yang disebut sebagai Kholiilullooh adalah Nabi Ibrohim عليه السلام dan Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, dan yang disebut Sayyidul Anbiya adalah Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم saja. Demikianlah wahyu memberitakan kepada kita. Untuk membuktikan nabi yang 125.000 orang minus 25 orang yang disebut dalam Al Qur’an, dan disebar dimana saja di dunia ini, Walloohu a’lam (hanya Allooh yang Maha Tahu).
2) Tentang “meminta” yang dibolehkan, bahkan ada tawassul yang dibolehkan. “Meminta” dari manusia kepada Allooh سبحانه وتعالى itu disebut “Do’a”. “Meminta” atau menyuruh antar manusia itu disebut “Isti’nas”. Sedangkan dari Pencipta (Allooh سبحانه وتعالى) menyuruh kepada makhluk disebut “Amrun” (Amr, perintah).
Kalau manusia meminta maka tergantung permintaannya. Kalau meminta sesuatu yang khas, yang tidak ada makhluk yang bisa mengerjakannya, maka itu adalah khusus Hak Allooh سبحانه وتعالى. Tetapi bila permintaan itu bisa dikerjakan oleh manusia karena memenuhi beberapa kriteria antara lain: Orang yang kita mintai itu masih hidup dan mampu, maka permintaan demikian termasuk dibolehkan.
Kalau “minta” sesuatu dan tidak ada yang bisa yang melakukannya kecuali Allooh سبحانه وتعالى, kemudian ia memintanya kepada selain Allooh سبحانه وتعالى, maka itu bagian dari Syirik.
3) Tentang hukum. Hukum apapun, bila menjalankannya, menjabarkannya, meng-aplikasikannya, meng-implementasikannya SESUAI dengan hukum Allooh سبحانه وتعالى maka diperbolehkan. Tetapi bila bertentangan, membantah, menggeser, menukar, atau mengganti Hukum Allooh سبحانه وتعالى, maka itu tidak boleh. Dan itulah yang dimaksud penjelasan-penjelasan diatas. Inilah yang masih menjadi problem kaum muslimin di Indonesia.
Di Indonesia muslimun jumlahnya sekitar 80% dari keseluruhan penduduk. Tidak kurang dari 180 juta penduduk Indonesia adalah muslim. Mestinya mereka berhak untuk menjalankan apa yang mereka yakini, yaitu hukum Islam.
Misalnya: orang yang mencuri seharusnya dihukum potong tangan, dan bukan hanya dipenjara beberapa tahun saja (seperti yang sekarang berlaku di Indonesia ini). Bayangkan, orang korupsi sampai milyaran, bahkan sampai trilyunan itu hanya dihukum penjara beberapa tahun; lalu setelahnya ia bebas lagi dan bisa berbuat korupsi yang lebih besar lagi. Ini jelas menyengsarakan rakyat. Rakyat dan negara yang hartanya sudah dicuri oleh para koruptor, malah masih lagi harus menanggung / membiayai makan dan minumnya para koruptor itu selama di penjaranya. Akibatnya korupsi makin merajalela, karena hukumnya ringan. Juga tidak memunculkan efek jera, akibatnya kejahatan / kema’shiyatan semakin hari semakin tidak terbendung. Itulah akibat dari meninggalkan hukum Allooh سبحانه وتعالى. Dan masih banyak lagi contoh lainnya.
Artinya, Hukum apapun seharusnya tunduk kepada Syari’at Islam yang berasal dari Allooh سبحانه وتعالى sang Pencipta manusia itu sendiri, Yang sungguh Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi urusan dunia akherat hamba-Nya.
Sekian bahasan, mudah-mudahan bermanfaat.
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Jakarta, Senin malam, 25 Muharrom 1431 H – 11 Januari 2010 M.
—– oOo —–
Silahkan download PDF : Hakekat Syahadat AQI 110110FNL
Terimakasih ustadz, saya jadi tambah ilmu… izin copy ya.. Syukran katsiiraan..
Silakan saja, selama menjaga keotentikan naskahnya. Semoga bermanfaat..
Aslmu’alaikum ustadz, mohon izin copy artikelnya..
Wassalamu’alaikum Warohmatulloohi Wabarokaatuh,
Silakan saja… semoga menjadi ilmu yang bermanfaat… Barokalloohu fiika