Al Bid’ah – Jenis, Macam dan Sejarah Kemunculannya
(Transkrip Ceramah AQI 280205)
AL-BID’AH
JENIS, MACAM DAN SEJARAH KEMUNCULANNYA
Oleh : Ust. Achmad Rofi’i, Lc.
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allõh سبحانه وتعالى,
Sebagai kelanjutan pembahasan kita terdahulu mengenai Bid’ah, maka pada kesempatan kali ini in syã Allõh akan kami sampaikan tiga hal tentang Bid’ah:
1) Jenis / macam Bid’ah
2) Sebab-sebab dan sejarah muncul dan maraknya Bid’ah
3) Bagaimana ‘Ulama menyikapi masalah Bid’ah.
Bid’ah yang di tengah masyarakat kita sekarang marak dan beragam itu, kalau kita kembalikan akan menjadi mudah untuk memisah dan memilahnya; ketika kita sudah tahu dan paham mana yang sesungguhnya disebut Bid’ah dan mana yang tidak disebut Bid’ah.
Bid’ah dikategorikan dua macam, yaitu:
1) Bid’ah dalam bidang Duniawi
2) Bid’ah dalam bidang Dĩn (Islam)
Bid’ah dalam bidang Duniawi, sebagian orang menyangkanya sebagai Bid’ah; akan tetapi berdasarkan Hadits, maka itu BUKAN lah tergolong Bid’ah.
Perhatikanlah Hadits Riwayat Al Imãm Muslim no: 2363, dari Shohabat Anas bin Mãlik رضي الله عنه :
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِىَّ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مَرَّ بِقَوْمٍ يُلَقِّحُونَ فَقَالَ :لَوْ لَمْ تَفْعَلُوا لَصَلُحَ. قَالَ فَخَرَجَ شِيصًا فَمَرَّ بِهِمْ فَقَالَ : مَا لِنَخْلِكُمْ. قَالُوا قُلْتَ كَذَا وَكَذَا قَالَ :أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ
Artinya:
Bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم pernah melewati satu kaum yang sedang melakukan penyerbukan kurma. Beliau lalu bersabda, “Andai kalian tidak melakukan penyerbukan niscaya kurma itu menjadi baik.”
Anas berkata bahwa pohon kurma itu ternyata menghasilkan kurma yang jelek. Lalu Nabi صلى الله عليه وسلم suatu saat melewati lagi mereka dan bertanya, “Apa yang terjadi pada kurma kalian?”
Mereka berkata, “Anda pernah berkata demikian dan demikian.”
Beliau صلى الله عليه وسلم pun bersabda, “Kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian.”
Kalaupun disebut Bid’ah, maka sebenarnya hanyalah bersifat lughowiyyah (secara bahasa saja). Seperti sudah kita bahas sebelum ini, bahwa kata “Bid’ah”, asal katanya adalah:
ابتدع – يبتدع – ابتداعا
(ibtada’a– yabtadi’u – ibtidã’an). Artinya adalah:
اختراعا
(ikhtirõ’an), yaitu: “memunculkan sesuatu yang baru, yang sebelumnya tidak ada”.
Misalnya: pengeras suara / speaker / mikrofon, whiteboard, spidol, overhead projector, dsbnya; itu semua adalah ibtidã’ atau ikhtirõ’.
Kemudian ada handphone, ada kendaraan (pesawat, mobil, helikopter, kereta api, dll) yang demikian beragam; yang juga disebut: ibtidã’ atau ikhtirõ’, yang dahulunya belum pernah ada. Kendaraan di zaman Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم yang paling canggih adalah unta, kuda, himãr, atau dengan ber-jalan kaki. Sementaran di zaman sekarang, kendaraan bisa dengan mobil, motor, sepeda, kapal laut, kapal udara, dsbnya. Semua itu adalah ikhtiro’. Sebelumnya tidak ada.
Sedangkan bendanya disebut : مخترعة (mukhtaro’ah)
Yang berarti : modern.
Yang kesemuanya itu BUKAN lah bid’ah yang dimaksud di dalam Hadits, yang oleh Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم, kita kaum Muslimin diperintahkan untuk menghindarinya dan diberikan ancaman apabila melanggarnya.
Jadi, sekali lagi, bahwa “Bid’ah dalam bidang Duniawi” itu TIDAK disebut Bid’ah (yang dimaksud Syari’at); walaupun istilah secara bahasa-nya juga adalah “Bid’ah”. Tetapi ini bukanlah termasuk Bid’ah yang diancam oleh Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم didalam Haditsnya.
Kedua, sebagai wasĩlah (media).
Kalau media itu misalnya termasuk Sunnah, maka media itupun hukumnya adalah Sunnah. Kalau perbuatan itu Wajib, maka hukumnya adalah Wajib.
Sebagai contoh: kain, diantara fungsinya adalah untuk menutup aurot. Hukum menutup aurot adalah Wajib. Maka melakukan sesuatu untuk terpenuhinya yang Wajib itu, hukumnya adalah Wajib; berarti: menyediakan kain agar aurot dapat tertutup, hukumnya adalah Wajib.
Dalam kaidah para ‘Ulama Ahlus Sunnah, mereka mengatakan bahwa sesuatu yang tidak bisa tertunaikan kecuali dengan yang Wajib, maka sesuatu itu hukumnya juga menjadi Wajib. Kalau perkara yang Sunnah itu tidak bisa terjadi kecuali adanya sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya pun adalah Sunnah. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh ‘Abdurrohmãn bin Nãshir As Sa’dy رحمه الله dalam Kitab beliau yang berjudul “Al Qowã’id Wal Ushũl al Jãmi’ah” Jilid 1 halaman 3, dimana beliau berkata sebagai berikut:
ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب، وما لا يتم المسنون إلا به فهو مسنون
Artinya:
“Sesuatu yang apabila perkara yang wajib tidak dapat tertunaikan, kecuali dengannya; maka sesuatu itu hukumnya adalah Wajib. Demikian pula sesuatu yang perkara yang sunnah tidak dapat tertunaikan kecuali dengannya, maka dia hukumnya Sunnah.”
Dengan demikian, oleh karena menutup aurot itu Wajib, maka berpikir bagaimana supaya menutup aurot itu terjadi, maka hukumnya pun adalah Wajib, karena hal itu sesuai dengan kaidah diatas. Dan mengupayakan tersedianya pakaian penutup aurot seperti misalnya sarung, gamis, jilbab dan lain sebagainya adalah termasuk perkara yang Wajib pula.
Mengenai detailnya, dijelaskan lagi oleh Syar’i bahwa kalau perkara itu dilanggar, maka tergolongnya bukan kepada Bid’ah, tetapi tergolong kepada perkara Ma’shiyat.
Setiap Bid’ah pasti Ma’shiyat. Tetapi tidak setiap Ma’shiyat itu Bid’ah.
Contoh: Jika seseorang melakukan dzikir dengan suara keras setelah sholat fardhu, maka itu adalah Bid’ah. Karena hal ini menyalahi Sunnah Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم.
Perhatikanlah QS. Al A’rõf ayat 55, Allõh سبحانه وتعالى berfirman:
ادْعُواْ رَبَّكُمْ تَضَرُّعاً وَخُفْيَةً إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Artinya:
“Berdo’alah kepada Robb-mu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allõh tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”
Nabi Zakariya عليه السلام, beliau berdo’a dengan suara yang lembut, sebagaimana diberitakan dalam QS. Maryam ayat 3:
إِذْ نَادَى رَبَّهُ نِدَاء خَفِيّاً
Artinya:
“Yaitu ketika ia berdo’a kepada Robb-nya dengan suara yang lembut.”
Juga firman Allõh سبحانه وتعالى dalam QS. Al A’rõf ayat 205:
وَاذْكُر رَّبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعاً وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالآصَالِ وَلاَ تَكُن مِّنَ الْغَافِلِينَ
Artinya:
“Dan sebutlah (Nama) Robb-mu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.”
Dan dalam hadits tentang tujuh golongan yang akan dilindungi Allõh سبحانه وتعالى pada Hari Kiamat, diantaranya Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم menyebutkan:
… وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ
Artinya:
“…seorang yang berdzikir kepada Allõh dalam keadaan sepi / sendiri, lalu mengalirlah air matanya…” (Hadits Riwayat Al Imãm Al Bukhõry no: 660 dan Al Imãm Muslim no: 2427 dari Abu Hurairoh رضي الله عنه)
Kemudian juga dalam sebuah hadits dari Abu Mũsa al Asy’ari رضي الله عنه, ia berkata bahwa, “Orang-orang mengangkat suaranya bertakbir dan berdo’a, kemudian Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم bersabda,
… يَا أَيُّهَا النَّاسُ ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ فَإِنَّكُمْ لَا تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا إِنَّمَا تَدْعُونَ سَمِيعًا بَصِيرًا
Artinya:
“Hai sekalian manusia, kasihanilah diri kalian, sesungguhnya kalian tidak berdo’a kepada Robb yang tuli dan tidak juga jauh. Sesungguhnya yang kalian berdo’a kepada-Nya adalah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat, dan Dia bersama kalian.” (Hadits Riwayat Al Imãm Al Bukhõry no : 6610 dari Abu Mũsa رضي الله عنه)
Jadi dzikir dengan suara keras ba’da sholat fardhu dipandu oleh Imãm sholat, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang di masyarakat kita itu, justru adalah Bid’ah, karena menyalahi dalil-dalil yang telah disebutkan diatas.
Berdasarkan sabda Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم:
… و كل بدعة ضلالة و كل ضلالة في النار
Artinya:
“Semua Bid’ah itu adalah sesat dan setiap kesesatan itu tempatnya di Neraka” (Hadits Riwayat Al Imãm Ibnu Huzaimah no : 1725 , dari Jãbir رضي الله عنه))
Juga sabda Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم:
… وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Artinya:
“Jauhkanlah diri kalian dari setiap perkara-perkara yang baru, karena setiap hal yang baru dalam dĩn adalah Bid’ah, dan setiap Bid’ah adalah sesat.” (Hadits Riwayat Al Imãm Abu Dãwud no: 4609, dari Al ‘Irbad bin Sãriyah رضي الله عنه)
Atau sabda Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
Artinya:
“Barangsiapa mengadakan sesuatu yang baru dalam urusan dĩn kami yang bukan berasal darinya, maka (perbuatan itu) tertolak.”
(Hadits Riwayat Al Imãm Al Bukhõry no: 2697 dan Al Imãm Muslim no: 4589, dari ‘Ã’isyah رضي الله عنها)
Berarti orang yang melakukan Bid’ah itu telah melakukan Ma’shiyat, karena ia telah melanggar apa yang telah diperingatkan oleh Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم. Dan yang demikian itu adalah Ma’shiyat.
Tetapi tidak setiap Ma’shiyat itu adalah Bid’ah. Misalnya, seseorang meminum khomr (minuman keras), maka itu bukanlah Bid’ah tetapi Fusũq.
Contoh lainnya, didalam perkara yang Sunnah, misalnya seseorang tahu bahwa membersihkan kuku adalah Sunnah Fithroh. Termasuk mencukur kumis, memakai minyak wangi (bagi laki-laki), itu adalah Sunnah Fithroh. Maka orang-orang yang melakukan usaha agar Sunnah Fithroh itu terlaksana, hukumnya pun adalah Sunnah. Dengan demikian, orang yang membuat alat potong kuku, alat mencukur, membuat minyak wangi dll adalah tergolong pekerjaan Sunnah, yang akan mendapatkan pahala kalau niatnya dalam berbuat tersebut adalah karena Allõh سبحانه وتعالى semata.
Demikian pula dengan dengan orang yang merancang botol minyak wangi (bagi laki-laki). Karena memakai minyak wangi (bagi laki-laki) adalah Sunnah, maka orang yang merancang atau membuat botol minyak wangi itu agar mudah dibawa dan disebarkan ke masyarakat pun adalah berarti melaksanakan Sunnah. Seperti itulah kaidahnya.
Melakukan hal-hal seperti itu termasuk dalam kategori Wasĩlah atau Media. Maka tergantung pada apa yang menjadi hukum asalnya.
Syaikh ‘Abdurrohmãn bin Nãshir As Sa’dy رحمه الله di dalam Kitabnya yang berjudul “Al Qowã’id Wal Ushũl al Jãmi’ah” Jilid 1 halaman 3, beliau berkata:
الوسائل لها أحكام المقاصد
Artinya:
“Wasĩlah (Media) menduduki hukum maksudnya (tujuannya).”
Berarti, Wasĩlah itu hukum (status)-nya sama dengan hukum sesuatu yang menjadi sasarannya.
Jadi, Bid’ah dalam bidang Duniawi tidaklah tercela. Boleh-boleh saja, selama tidak berbenturan dengan Syari’at Islam. Kalau berbenturan dengan Syari’at, maka menjadi perkara Ma’shiyat. Hukum asal dalam urusan Duniawi adalah boleh (mubah). Maka merancang apa saja yang sifatnya duniawi, hukum asalnya boleh (mubah).
Sebaliknya, kalau hukum asal urusan Dĩn (agama), haruslah berlandaskan dalil (berasal dari Wahyu). Jadi, hukum asal dalam perkara Dĩn (agama) adalah Harom. Kalau mengerjakan Dĩn (agama) dengan tidak berlandaskan kepada dalil, maka menjadi perkara Bid’ah yang diancam berdasarkan Hadits Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم diatas.
Demikianlah bedanya, untuk urusan Duniawi, hukum asalnya adalah mubah (boleh), silakan bebas melakukannya selama tidak berbenturan dengan urusan Syar’i. Karena jika berbenturan dengan Syar’i maka bisa jatuh kedalam perkara yang harom, fãsiq, dosa besar dll. Sedangkan untuk urusan Dĩn (agama), maka hukum asalnya adalah harom, untuk mengerjakannya haruslah berlandaskan kepada dalil (Wahyu).
Semua itu sudah dipelajari di majlis-majlis ta’lĩm. Orang yang mengaji “Kitab Kuning” pun paham, bahwa urusan ibadah itu hukum asalnya harom, kecuali datang suatu dalil. Kalau ada dalil-nya, maka boleh dikerjakan. Sedangkan untuk urusan duniawi, tanpa dalil pun boleh. Hal ini kami tekankan berulang-ulang agar benar-benar masuk kedalam hati kita semua.
Contoh lain: urusan Sholawat. Sholawat itu tergolong perkara ibadah atau bukan? Tergolong perkara Ibadah. Berarti harus berdasarkan dalil. Seluk-beluk mengenai Sholawat itu, tidaklah boleh mengarang sendiri, karena ini perkara ibadah. Sementara ibadah itu hukum asalnya adalah harom, kecuali ada dalil-nya.
Berbeda dengan urusan duniawi, misalkan seseorang mau memakai peci berwarna putih, hitam, coklat atau warna lainnya adalah bebas, boleh-boleh saja; karena itu urusan duniawi.
Bid’ah dalam urusan Dĩn (Agama)
Bid’ah dalam urusan Dĩn (agama) juga ada dua:
1) Bid’ah dalam bidang Keyakinan (Bid’ah I’tiqõdiyyah/ Bid’ah Al ‘Aqõdiyyah) / بدعة اعقادية
2) Bid’ah dalam bidang Furu’ (Bid’ah ‘Amaliyyah) / بدعة عملية
Menurut istilah Al Imãm Asy Syãtiby رحمه الله dalam Kitab “Al I’tishõm”, disebutkan bahwa ada “Bid’ah Al Haqĩqiyyah” dan ada pula “Bid’ah Al ‘Idhõfiyyah”. “Bid’ah Al Haqĩqiyyah” adalah Bid’ah sejati, tulen, asli, benar-benar Bid’ah. Sedangkan “Bid’ah Al ‘Idhõfiyyah” adalah Bid’ah tambahan; yaitu Bid’ah yang ada landasannya, tetapi detailnya Bid’ah. Itu adalah istilah yang beliau (Al Imãm Asy Syãtiby رحمه الله) berikan.
Al Imãm Asy Syãtiby رحمه الله, dalam Kitabnya yang berjudul “Al I’tishõm” Jilid 1 halaman 172, beliau berkata sebagai berikut:
فاذا فرضت اضافية فمعنى الاضافيه انها مشروعة من وجه ورأى مجرد من وجه إذ يدخلها من جهة المخترع رأي في بعض احوالها فلم تناف الادلة من كل وجه
Artinya:
“Bid’ah Al Idhõfiyyah katakanlah seperti ini, dimana pengertian “Al Idhõfiyyah / Tambahan” itu yakni: sesuatu yang baru tersebut adalah ia disyari’atkan di satu sisi, namun ada pula sekedar pendapat di sisi lainnya; sehingga dengan kata lain, terdapat pendapat dalam kebid’ahan ini dalam beberapa keadaannya, walaupun tidak bertentangan dengan dalil-dalil dari keseluruhan sisinya.”
Ada lagi ‘Ulama Ahlus Sunnah lainnya yang membagi Bid’ah itu dalam bidang Keyakinan (‘Aqodiyyah) dan dalam bidang ‘Amaliyyah. Karena dalam dĩn (agama) ada perkara ‘Aqodiyyah dan perkara ‘Amaliyyah, maka Bid’ah juga ada dalam ‘Aqodiyyah dan ada dalam ‘Amaliyyah. Sebagaimana dalam Kitab “Ahammul Muhimmat” karya Syaikh ‘Abdurrohmaan As Sa’dy رحمه الله, halaman 16-17, beliau berkata:
“Bid’ah I’tiqõdiyyah adalah keyakinan yang menyelisihi apa-apa yang diberitakan oleh Allõh سبحانه وتعالى dan Rosũl-Nya صلى الله عليه وسلم, sebagaimana terdapat dalam “Hadits Iftiroq”. Sedangkan Bid’ah ‘Amaliyyah adalah peribadatan menggunakan selain yang disyari’atkan oleh Allõh سبحانه وتعالى dan Rosũl-Nya صلى الله عليه وسلم, atau mengharomkan apa yang dihalalkan oleh Allõh سبحانه وتعالى dan Rosũl-Nya صلى الله عليه وسلم.”
Bid’ah Al ‘Aqõdiyyah
Sebelum masuk kepada bahasan tentang Bid’ah Al ‘Aqõdiyyyah, maka perlu kiranya kita segarkan kembali beberapa kajian terdahulu, terutama yang berkenaan dengan perkara ‘Aqĩdah Ahlus Sunnah Wal Jamã’ah, bahwa Ahlus Sunnah wal Jamã’ah adalah Ahlul Wasoth (ummat yang pertengahan diantara firqoh-firqoh yang menyimpang). Hal itu sebagaimana firman Allõh سبحانه وتعالى dalam QS. Al Baqoroh (2) ayat 143 sebagai berikut:
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا ۗ وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ ۚ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ ۗ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ
Artinya:
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang “wasoth” (adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rosũl (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan)-mu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rosũl dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allõh; dan Allõh tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allõh Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.”
Berarti karakteristik ummat Islam (Ahlus Sunnah Wal Jamã’ah) itu adalah “wasoth ( وَسَطًا )” / pertengahan di dalam segala hal, juga termasuk dalam perkara Keyakinan-nya dalam men-Tauhĩd-kan Allõh سبحانه وتعالى. Dimana dalam perkara Tauhĩd, tercakup 3 hal yakni: Tauhĩd Ashma wa Shifat, Tauhĩd Uluhiyyah dan Tauhĩd Rububiyyah, sebagaimana firman Allõh سبحانه وتعالى dalam QS. Maryam (19) ayat 65:
رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا فَاعْبُدْهُ وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهِ هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيّاً
Artinya:
“(Dia lah) Robb (yang menguasai) langit dan bumi dan segala sesuatu yang ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadah kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada sesuatu yang sama dengan-Nya (yang patut disembah)?”
Maka pelajaran yang dapat diambil dari ayat diatas adalah sebagai berikut:
(1) Dalam firman-Nya (رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ) (Robb (yang menguasai) langit dan bumi), maka itu merupakan penetapan atas “Tauhid Rububiyah”, atau meng-Esa-kan Allõh سبحانه وتعالى dalam Perbuatan-Nya yakni bahwa hanya Allõh سبحانه وتعالى lah yang Menciptakan, Memiliki dan Mengurus seluruh alam semesta (Af’ãl Allõh سبحانه وتعالى); sebagaimana pula dalam firman-Nya yang lain, yakni dalam QS. Al A’rõf (7) ayat 54:
أَلاَلَهُ الْخَلْقُ وَاْلأَمْرُ تَبَارَكَ اللهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
Artinya:
“Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allõh.”
(2) Dalam firman-Nya (فَاعْبُدْهُ وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهِ) (maka ibadahi lah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadah kepada-Nya) merupakan penetapan atas “Tauhid Uluhiyah”, atau meng-Esa-kan Allõh سبحانه وتعالى dalam Ibadah (Af’ãl ‘Ibãdillãh), bahwa hanya Allõh سبحانه وتعالى lah satu-satunya yang berhak untuk diibadahi; sebagaimana pula dalam firman-Nya yang lain, yakni dalam QS. Luqman (31) ayat 30:
ذَلِكَ بِأَنَّ اللهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَايَدْعُونَ مِن دُونِهِ الْبَاطِلُ
Artinya:
“Demikianlah, karena sesungguhnya Allõh, Dialah yang hak dan sesungguhnya yang mereka seru selain Allõh adalah bathil.”
(3) Dan dalam firman-Nya (هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيّاً) (Apakah kamu mengetahui ada sesuatu yang sama dengan-Nya?) merupakan penetapan atas “Tauhĩd Asma’ wa Shifat”, atau meng-Esa-kan Allõh سبحانه وتعالى dalam seluruh Nama dan Sifat-Nya, bahwa Allõh سبحانه وتعالى memiliki seluruh Nama dan Sifat sebagaimana yang Allõh سبحانه وتعالى tetapkan bagi diri-Nya dalam kitab-Nya ataupun dalam sunnah nabi-Nya, dan tidak menjadikan sesuatu apapun semisal dengan Allõh سبحانه وتعالى dalam Nama dan Sifat-Nya. Dalam menetapkan sifat bagi Allõh سبحانه وتعالى maka tidak boleh melakukan tamsil (perumpamaan), tasybih (penyerupaan), tahrif (penyelewengan), ta’thil (penafi’an) dan takwil; sebagaimana pula dalam firman-Nya yang lain, yakni dalam QS. Asy Syũrõ (42) ayat 11:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ
Artinya:
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Juga sebagaimana dalam QS. Al A’rõf (7) ayat 180:
وَلِلّهِ الأَسْمَاء الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا…
Artinya:
“Dan Allõh mempunyai nama-nama yang baik, maka berdo’alah kamu dengannya.”
Demikian itu adalah keyakinan Ahlus Sunnah Wal Jamã’ah yang bersifat pertengahan. Adapun orang yang keyakinannya berlebih-lebihan (Ifrõth) daripada apa yang diyakini oleh Ahlus Sunnah Wal Jamã’ah diatas, maka ia dapat terjatuh kedalam firqoh menyimpang seperti: Musyabbihah, Qodariyyah dan Khowarij.
Berlebih-lebihan (Ifrõth) dalam keyakinan terhadap Nama / Zat dan Sifat Allõh سبحانه وتعالى, menjadikan seseorang terjatuh kedalam firqoh Musyabbihah.
Berlebih-lebihan (Ifrõth) dalam keyakinan terhadap Af’ãl Allõh سبحانه وتعالى, menjadikan seseorang terjatuh kedalam firqoh Qodariyyah.
Berlebih-lebihan (Ifrõth) dalam keyakinan terhadap Af’ãl ‘Ibãdillãh, menjadikan seseorang terjatuh kedalam firqoh Khowãrij.
Demikian pula sebaliknya, orang yang keyakinannya kurang (Tafrĩth) daripada apa yang diyakini oleh Ahlus Sunnah Wal Jamã’ah diatas, maka ia dapat pula terjatuh kedalam firqoh menyimpang seperti: Jahmiyyah, Jabriyyah dan Murji’ah.
Kurang (Tafrĩth) dalam keyakinan terhadap Nama / Zat dan Sifat Allõh سبحانه وتعالى, menjadikan seseorang terjatuh kedalam firqoh Jahmiyyah.
Kurang (Tafrĩth) dalam keyakinan terhadap Af’ãl Allõh سبحانه وتعالى, menjadikan seseorang terjatuh kedalam firqoh Jabriyyah.
Kurang (Tafrĩth) dalam keyakinan terhadap Af’ãl ‘Ibãdillãh, menjadikan seseorang terjatuh kedalam firqoh Murji’ah.
Untuk memudahkan memahami penjelasan diatas, maka digambarkan dalam bentuk bagan sebagai berikut:
Gambar-1. Ahlus Sunnah Wal Jamã’ah adalah Ahlul Wasoth (Ummat Pertengahan)
Contoh “Bid’ah Al ‘Aqõdiyyah”, misalnya: Mereka (ahlul bid’ah) berkeyakinan bahwa: “Allõh سبحانه وتعالى tidak mempunyai nama dan tidak mempunyai sifat”. Jelas ini tergolong kedalam perkara “Bid’ah Al ‘Aqõdiyyah”. Mereka (ahlul bid’ah) yang berkeyakinan demikian itu adalah orang-orang “Jahmiyyah”. Mereka itu kurang (Tafrĩth) dalam meyakini Nama & Shifat Allõh سبحانه وتعالى.
Perhatikanlah betapa mereka menyalahi firman Allõh سبحانه وتعالى dalam QS. Al A’rõf ayat 180:
وَلِلّهِ الأَسْمَاء الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُواْ الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَآئِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
Artinya:
“Hanya milik Allõh Asmãul Husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asmãul Husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.”
Ada lagi orang-orang Mu’tazilah, yang mana mereka berkeyakinan bahwa “Al Qur’an adalah makhluk ciptaan Allõh سبحانه وتعالى”. Maka, mereka yang berkeyakinan demikian itu adalah terjatuh ke dalam “Bid’ah Al ‘Aqõdiyyah”.
Padahal Allõh سبحانه وتعالى berfirman dalam QS. Al Jãsiyah (45) ayat 6, bahwa “Al Qur’an adalah kalam Allõh”:
تِلْكَ آيَاتُ اللَّهِ نَتْلُوهَا عَلَيْكَ بِالْحَقِّ فَبِأَيِّ حَدِيثٍ بَعْدَ اللَّهِ وَآيَاتِهِ يُؤْمِنُونَ
Artinya:
“Itulah ayat-ayat Allõh yang Kami membacakannya kepadamu dengan sebenarnya; maka dengan perkataan manakah lagi mereka akan beriman sesudah kalam Allõh dan keterangan-keterangan-Nya.”
Ada lagi, misalnya yang berkeyakinan bahwa: “Akal menjadi dasar hukum dalam dĩn (Islam)”, maka ini pun tergolong “Bid’ah Al ‘Aqodiyyah”. Sehingga mereka meyakini bahwa “Al ‘Aqlu (akal) lebih diprioritaskan daripada Naql (Wahyu)”; dengan demikian mereka mengatakan bahwa Wahyu itu haruslah dipikirkan terlebih dahulu, kalau masuk akal maka diterima, kalau tidak masuk akal maka tidak diterima. Demikianlah kata mereka yang sudah tertular virus Mu’tazilah. Dan keyakinan seperti itu bukan lagi keyakinan Ahlus Sunnah Wal Jamã’ah. Karena Ahlus Sunnah Wal Jamã’ah meyakini bahwa “Akal yang sehat itu adalah sesuai dengan Naql (dalil) yang shohĩh”; sebagaimana telah dijabarkan secara panjang lebar oleh Syaikh Ibnu Taimiyyah رحمه الله dalam Kitab “Dar’u Ta’ãrudhi Al ‘Aqli wan Naqli”.
Dan ketika mendapatkan suatu permasalahan, maka Ahlus Sunnah Wal Jamã’ah mendahulukan Naql (Wahyu), karena Naql (Wahyu) itu tidak membawa sesuatu yang mustahil bagi akal untuk menerimanya. Akan tetapi Naql (Wahyu) itu membawa sesuatu yang tidak diketahui kebenarannya oleh Akal. Sehingga Akal haruslah membenarkan Naql (Wahyu) dari segala yang dikhobarkannya, dan bukan sebaliknya. Jadi Akal tidak boleh mendahului Syari’at. Oleh karena itulah mereka dinamakan Ahlus Sunnah Wal Jamã’ah, karena teguhnya mereka dan berserah diri (taslĩm)-nya mereka secara penuh terhadap petunjuk Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم.
Ada lagi kelompok lain yang mana mereka berkeyakinan bahwa: “Problem apa pun yang ada di dunia ini, maka manusia pasti bisa mengatasinya. Kalau manusia mau, maka pasti bisa terjadi; dan kalau manusia tidak mau, maka tidak bisa terjadi”. Nah, keyakinan seperti ini adalah keliru. Mereka berlebihan dalam meyakini Usaha Manusia, serta menafikan bahwa ada Takdir Allõh سبحانه وتعالى yang dapat membuat Usaha Manusia tersebut tidak terealisasikan/ tidak terjadi. Orang yang berkeyakinan seperti ini adalah ber-‘aqĩdah Qodariyyah, bukan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Dan keyakinan menyimpang seperti ini pun tergolong “Bid’ah Al ‘Aqodiyyah”, yang bertentangan dengan firman Allõh سبحانه وتعالى dalam QS. At Takwir (81) ayat 29:
{وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ }
Artinya:
“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu), kecuali apabila dikehendaki Allõh, Tuhan semesta alam.”
Dan yang seperti itu banyak. Contoh lainnya, ada orang yang berkeyakinan: “Cukup dua anak saja, masa depan akan bahagia.” Itu adalah bagian dari simbol paham “Qodariyyah”. Karena mereka berkeyakinan bahwa “masa depan pasti bahagia kalau anaknya cukup dua orang saja”. Seakan-akan kalau lebih dari dua, pasti terjadi malapetaka. Paham demikian termasuk Qodariyyah, bukan Ahlus Sunnah Wal Jamã’ah.
Sebaliknya, ada orang yang berkeyakinan bahwa tidak perlu berikhtiar terlalu keras dalam urusan dunia ini, sebab segalanya toh sudah ditentukan oleh takdir Allõh سبحانه وتعالى. Mereka berlebihan dalam memasrahkan diri kepada Takdir Allõh سبحانه وتعالى, serta menafikan bahwa manusia itu harus berikhtiar untuk merubah keadaannya. Itu juga termasuk “Bid’ah Al ‘Aqodiyyah”, dan mereka yang berkeyakinan demikian itu, termasuk kepada paham “Jabriyyah”, bukan Ahlus Sunnah Wal Jamã’ah.
Padahal manusia itu diperintah Allõh سبحانه وتعالى untuk ber-amal shõlih, dan berusaha / berikhtiar, dan tidak boleh hanya berdiam diri sambil bersandarkan kepada takdir belaka; hal itu sebagaimana dalam Hadits Riwayat Al Imãm Muslim no: 2647 berikut ini:
“Suatu hari Nabi صلى الله عليه وسلم menghadiri penguburan jenazah. Sambil menunggu proses penggalian selesai, berliau duduk lalu bersabda:
مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ مَا مِنْ نَفْسٍ مَنْفُوسَةٍ إِلاَّ وَقَدْ كَتَبَ اللَّهُ مَكَانَهَا مِنَ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ وَإِلاَّ وَقَدْ كُتِبَتْ شَقِيَّةً أَوْ سَعِيدَةً
Artinya:
“Tiada seorang jiwapun melainkan Allõh telah menuliskan tempat kembalinya, baik di surga atau di neraka, dan juga telah dituliskan apakah ia berbahagia atau sengsara.”
Perkataan beliau صلى الله عليه وسلم ini mengejutkan para Shohabat, sehingga salah seorang dari mereka pun bertanya: “Wahai Rosũlullõh, mengapa kita tidak bersandar atas takdir kita dan meninggalkan amal?”
Menanggapi pertanyaan ini, Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ السَّعَادَةِ فَسَيَصِيرُ إِلَى عَمَلِ أَهْلِ السَّعَادَةِ وَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ فَسَيَصِيرُ إِلَى عَمَلِ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ أَمَّا أَهْلُ السَّعَادَةِ فَيُيَسَّرُونَ لِعَمَلِ أَهْلِ السَّعَادَةِ وَأَمَّا أَهْلُ الشَّقَاوَةِ فَيُيَسَّرُونَ لِعَمَلِ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ
Artinya:
“Siapapun yang ditakdirkan termasuk dari orang yang berbahagia niscaya ia berhasil mengamalkan amalan orang-orang yang berbahagia. Sebaliknya orang yang ditakdirkan menjadi bagian dari orang-orang serangsara, niscaya ia hanyut dalam amalan orang-orang sengsara. Beramallah kalian, karena setiap orang pastilah mendapat jalan kemudahan. Orang-orang yang berbahagia pastilah dimudahkan untuk mengamalkan amalan orang-orang yang berbahagia. Sedangkan orang-orang sengsara pasti pula dimudahkan untuk hanyut dalam amalan orang-orang sengsara.”
Selanjutnya beliau membaca QS. Al Lail (92) ayat 5-10 sebagai berikut:
فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى وَأَمَّا مَنْ بَخِلَ وَاسْتَغْنَى وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى
Artinya:
“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allõh) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan memudahkan baginya jalan yang mudah (kebahagiaan). Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan memudahkan baginya (jalan) yang sukar (kesengsaraan).”
Al Imãm An Nawawi رحمه الله menjelaskan :
وفي هذه الأحاديث النهي عن ترك العمل والاتكال على ما سبق به القدر بل تجب الأعمال والتكاليف التي ورد الشرع بها وكل ميسر لما خلق له لا يقدر على غيره.
Artinya:
“Di dalam hadits ini terdapat larangan untuk meninggalkan amal dan bersandar dengan apa yang telah ditakdirkan, akan tetapi wajib beramal dan mengerjakan beban yang disebutkan oleh syariat, dan setiap sesuatu dimudahkan untuk apa yang telah diciptakan untuknya, yang tidak ditakdirkan atas selainnya”. (Lihat kitab “Al Minhaj, Syarah Shohĩh Muslim”)
Demikianlah, Ahlus Sunnah Wal Jamã’ah berada di tengah-tengah antara firqoh Qodariyyah dan firqoh Jabriyyah. Sehingga seorang Muslim akan senantiasa ber-ikhtiar sambil berkata “In syã Allõh”, karena ia pun tidak melupakan bahwa hasil ikhtiar-nya itu bergantung pula pada adanya Kehendak Allõh, sebagaimana dalam QS. Al Kahfi (18) ayat 23-24:
وَلا تَقُولَنَّ لِشَيْءٍ إِنِّي فَاعِلٌ ذَلِكَ غَدًا (٢٣) إِلا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ وَاذْكُرْ رَبَّكَ إِذَا نَسِيتَ وَقُلْ عَسَى أَنْ يَهْدِيَنِ رَبِّي لأقْرَبَ مِنْ هَذَا رَشَدًا (٢٤
Artinya:
(23) “Dan jangan sekali-kali engkau mengatakan terhadap sesuatu, “Aku pasti melakukan itu besok pagi.”
(24) Kecuali (dengan mengatakan), “In syã Allõh.” Dan ingatlah kepada Tuhanmu apabila engkau lupa dan katakanlah, “Mudah-mudahan Tuhanku akan memberi petunjuk kepadaku, agar aku yang lebih dekat kebenarannya daripada ini.”
Berikutnya, dalam meyakini “Af’ãl ‘Ibãdillah” (Tauhid Uluhiyyah), ada yang berlebihan ((Ifrõth) sehingga terjatuh kedalam firqoh Khowãrij, dan ada yang kurang (Tafrĩth) sehingga terjatuh kedalam firqoh Murji’ah. Dalam keyakinan firqoh Khowarij, orang yang berbuat dosa besar itu kãfir; sedangkan dalam keyakinan firqoh Murji’ah, orang yang ma’shiyat itu tetap saja mu’min imannya sempurna [lihat “Tafsir Al Baghowy” (1/158)]. Keduanya keliru, karena menurut Ahlus Sunnah Wal Jamã’ah itu iman terdiri dari amalan hati, lisan dan perbuatan, yang bisa bertambah dengan ketaatan pada Allõh سبحانه وتعالى dan bisa berkurang dengan ma’shiyat pada Allõh سبحانه وتعالى. Salah satu dari ketiganya (amalan hati, lisan dan perbuatan) itu tidaklah cukup kecuali jika disertai oleh yang lainnya.
Seperti dikemukakan oleh Al Imãm Al Baghowy رحمه الله, beliau berkata, “Mereka (Para Shohabat, Tabi’ĩn serta ulama Ahlus Sunnah sesudahnya) mengatakan bahwa iman adalah perkataan, perbuatan dan aqidah (keyakinan). Bertambah dengan taat, dan berkurang dengan ma’shiyat.” [Lihat “Syarhus Sunnah” (1/39)]
Juga Al Imam Asy Syaafi’iy رحمه الله berkata, “Adalah sudah menjadi kesepakatan para Shohabat, Tabi’ĩn beserta orang-orang setelah mereka, yang kami ketahui semua mereka itu mengatakan: “Iman adalah perkataan, perbuatan dan niat. Satu dengan yang lainnya tidak bisa dipisahkan.” [Lihat “Majmu’ Fatawa” (7/209)]
Contoh: Apabila ada orang yang BERKEYAKINAN bahwa ia harus TAAT SEPENUHNYA kepada Penguasa sistem Demokrasi – Sekulerisme yang tidak berhukum dengan Hukum Allõh سبحانه وتعالى, dan orang ini MENAFIKAN untuk melakukan AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR kepada Penguasa sistem Demokrasi – Sekulerisme yang tidak berhukum dengan Hukum Allõh سبحانه وتعالى tersebut; maka ia dapat terjatuh kedalam firqoh Murji’ah. Oleh karena keyakinannya itu bertentangan dengan firman Allõh سبحانه وتعالى dalam QS. Al Mã’idah (5) ayat 44:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ…
Artinya:
“…Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allõh, maka mereka itu adalah orang-orang yang kãfir.”
Atau firman-Nya dalam QS. Al Mã’idah (5) ayat 45 :
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ…
Artinya:
“…Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allõh, maka mereka itu adalah orang-orang yang dzolim.”
Atau firman-Nya dalam QS. Al Mã’idah (5) ayat 47:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ…
Artinya:
“…Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allõh, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasiq.”
Juga firman-Nya dalam ayat yang lain, yakni dalam QS. An Nisã’ (4) ayat 60:
َلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا
Artinya:
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang MENGAKU dirinya telah BERIMAN kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thoghut, padahal mereka telah diperintah MENGINGKARI thoghut itu. Dan syaithõn bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.”
Hal tersebut terjadi adalah karena ia keliru dalam menerapkan ketaatannya, padahal seyogyanya bagi seorang Muslim ia haruslah menujukan Ibadah dan ketaatannya itu kepada Allõh سبحانه وتعالى dan dengan menggunakan Syari’at Muhammad صلى الله عليه وسلم.
Agar mudah memahaminya, maka perhatikanlah bagan/ gambar berikut ini:
Gambar-2. Hubungan antara Ibadah dan Syari’at
Juga perhatikanlah bagan berikut ini:
Gambar-3. Sebab dan Akibat dari Kekeliruan dalam Menetapkan Siapa yang berhak untuk diibadahi dan kekeliruan dalam menetapkan Syari’at apa yang harus digunakan
Dengan demikian, orang yang semestinya menujukan Ibadah dan ketaatannya kepada Allõh سبحانه وتعالى, namun ia keliru dalam menujukan ketaatannya itu kepada Penguasa sistem Demokrasi – Sekulerisme yang tidak berhukum kepada Hukum Allõh سبحانه وتعالى; maka ia dapat terjatuh kedalam firqoh Murji’ah ini. Padahal seyogyanya, tidak ada ketaatan kepada siapapun makhluq dalam rangka ma’shiyat kepada Allõh سبحانه وتعالى, sebagaimana telah dijelaskan dalam Hadits Riwayat Al Imãm Al Bukhõry no: 7144, dari ‘Abdullõh bin ‘Umar رضي الله عنه bahwa:
قال النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم : السمع والطاعة على المرء المسلم، فيما أحب وكره، ما لم يؤمر بمعصية، فإذا أمر بمعصية؛ فلا سمع ولا طاعة
Artinya:
Nabi صلى الله عليه وسلم telah bersabda, “Mendengar dan taat itu wajib atas seorang Muslim, baik dalam perkara yang dia suka, maupun yang dia benci; selama tidak diperintah dengan ma’shiyat. Jika diperintah ma’shiyat, maka tidak ada kewajiban untuk mendengar dan taat.”
Ketaatan kepada siapapun (makhluq) itu sesungguhnya hanyalah dalam perkara-perkara yang ma’ruf saja, yang tidak bertentangan dengan ketaatannya kepada Allõh سبحانه وتعالى. Oleh karena itu, bagi seorang Muslim yang berada di dalam negeri yang bersistemkan Demokrasi – Sekulerisme, maka ia seharusnya melakukan Amar Ma’ruf Nahi Munkar, agar Penguasa dan Rakyat di negeri yang demikian itu kembali kepada Hukum Allõh سبحانه وتعالى (Syari’at Muhammad صلى الله عليه وسلم).
‘Ulama Ahlus Sunnah, yakni Ibrohim bin Yazid bin Qais an-Nakhõ-i رحمه الله (wafat 96 H) berkata,”Menurutku, sesungguhnya fitnah mereka (Murji`ah) lebih aku takutkan atas umat ini daripada fitnah al-Azãriqoh (Khowarij).” [lihat “Al-Ibãnah” (2/885)]
Kemudian ‘Ulama Ahlus Sunnah lainnya, yakni Yahya bin Sa’id al-Anshõri (wafat 144 H) dan Qotãdah (wafat 113 H), sebagaimana dikatakan oleh al-Auzã-i رحمهم الله, mereka berdua pun berkata: “Menurut pendapat mereka, tidak ada perbuatan bid’ah yang lebih ditakutkan atas umat ini dari Al-Irja’.” [lihat “Al-Ibãnah” (2/886)]
Adapun firqoh Khowarij adalah kebalikan dari firqoh Murji’ah. Mereka bersikap keras secara berlebih-lebihan, sehingga bahkan terhadap sesama kaum Muslimin, ataupun sesama Mujahiddin yang telah berjuang menolong, membela Al Islam, serta berupaya berjihad menegakkan kalimat “Lã Ilãha Illallõh”; namun hanya karena tidak berada dalam kelompoknya, maka ia (Khowarij ini) akan men-cap mereka sebagai orang sesat dan kãfir, lalu ia memudahkan diri menghalalkan darah mereka dan membunuh mereka. Perhatikanlah peringatan Allõh سبحانه وتعالى dalam QS. An Nisã’ (4) ayat 93-94 :
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا )٩٣ (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا ضَرَبْتُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَتَبَيَّنُوا وَلا تَقُولُوا لِمَنْ أَلْقَى إِلَيْكُمُ السَّلامَ لَسْتَ مُؤْمِنًا تَبْتَغُونَ عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فَعِنْدَ اللَّهِ مَغَانِمُ كَثِيرَةٌ كَذَلِكَ كُنْتُمْ مِنْ قَبْلُ فَمَنَّ اللَّهُ عَلَيْكُمْ فَتَبَيَّنُوا إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا )٩٤(
Artinya:
(93) “Dan barang siapa yang membunuh seorang beriman dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka Jahannam, dia kekal di dalamnya. Allõh murka kepadanya, dan melaknatnya serta menyediakan azab yang besar baginya.”
(94) “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allõh, maka telitilah (carilah keterangan) dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan “salam” kepadamu, “Kamu bukan seorang yang beriman” (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan dunia, padahal di sisi Allõh ada harta yang banyak. Begitu jugalah keadaan kamu dahulu, lalu Allõh memberikan nikmat-Nya kepadamu, maka telitilah. Sesungguhnya Allõh Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”
Jangankan terhadap sesama kaum Muslimin, ataupun sesama Mujahiddin yang berjuang membela Al Islam, bahkan terhadap orang kãfir yang telah mengucapkan kalimat “Lã Ilãha Illallõh” pun Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم melarang untuk membunuhnya. Hal ini sebagaimana dalam Hadits Riwayat Al Imãm Muslim no: 96, dari Shohabat ‘Usamah bin Zaid bin Haritsah رضي الله عنه, beliau berkata:
بَعَثَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْحُرَقَةِ مِنْ جُهَيْنَةَ فَصَبَّحْنَا الْقَوْمَ فَهَزَمْنَاهُمْ وَلَحِقْتُ أَنَا وَرَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ رَجُلًا مِنْهُمْ فَلَمَّا غَشِينَاهُ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَكَفَّ عَنْهُ الْأَنْصَارِيَّ وَطَعَنْتُهُ بِرُمْحِي حَتَّى قَتَلْتُهُ قَالَ فَلَمَّا قَدِمْنَا بَلَغَ ذَلِكَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لِي يَا أُسَامَةُ أَقَتَلْتَهُ بَعْدَ مَا قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّمَا كَانَ مُتَعَوِّذًا قَالَ فَقَالَ أَقَتَلْتَهُ بَعْدَ مَا قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا عَلَيَّ حَتَّى تَمَنَّيْتُ أَنِّي لَمْ أَكُنْ أَسْلَمْتُ قَبْلَ ذَلِكَ الْيَوْمِ
Artinya:
“Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم. mengirim kita ke daerah Huraqah dari suku Juhainah, kemudian kita berpagi-pagi menduduki tempat air mereka. Aku dan seorang dari kaum Anshor bertemu dengan seorang lelaki dari golongan mereka (musuh). Setelah kita dekat padanya, ia lalu mengucapkan: “Lã ilãha illallõh.”
Maka shohabat Anshor menahan diri daripadanya (tidak menyakitinya sama sekali), sedangkan aku lalu menusuknya dengan tombakku sehingga aku membunuhnya. Setelah kita datang -di Madinah-, peristiwa itu sampai kepada Nabi صلى الله عليه وسلم, kemudian beliau صلى الله عليه وسلم bertanya padaku: “Apakah kamu membunuhnya setelah dia mengucapkan, Lã Ilãha Illallõh (Tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi / disembah kecuali Allõh)?”
Aku menjawab, “Wahai Rosũlullõh, dia mengucapkan hal tersebut hanya sebagai tameng.”
Maka Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم bersabda: “Apakah kamu membunuhnya setalah dia mengucapkan kalimat tersebut?”
Dan beliau صلى الله عليه وسلم masih saja mengulangi (pertanyaan itu) atasku hingga aku berandai-andai bahwa aku belum masuk Islam pada saat itu.”
Firqoh Khowarij dan Murji’ah ini sebenarnya telah beberapa kali kita bahas di kajian terdahulu, namun tidak ada salahnya sedikit kita ulang kembali dalam kajian hari ini agar kita semua semakin memahami Bid’ah I’tiqodiyyah (Al ‘Aqodiyyah) dalam perkara “Af’ãl ‘Ibãdillah” (Tauhid Uluhiyyah).
Demikianlah, dan masih banyak lagi contoh-contoh Bid’ah Al ‘Aqodiyyah. Semuanya itu termasuk dalam kategori yang sesat, dan tidak boleh menjangkiti diri kita.
Bid’ah ‘Amaliyyah
Kalau dalam perkara ‘Aqodiyyah (‘Aqĩdah) itu harus satu, yaitu ‘Aqĩdah yang dipahami oleh Ahlus Sunnah Wal Jamã’ah sebagaimana yang dicontohkan oleh Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم, para Shohabat رضي الله عنهم, para Tãbi’ĩn, dan para Tãbi’ut Tabi’ĩn, serta para ‘Ulama Ahlus Sunnah Wal Jamã’ah yang mu’tabar.
Sehingga untuk perkara ‘Aqĩdah, siapa pun bangsanya, warna apapun kulitnya, di belahan bumi mana pun dia berada, ‘aqĩdah-nya haruslah satu apabila mengaku sebagai Ahlus Sunnah Wal Jamã’ah. Harus konsisten dengan ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jamã’ah. Kalau tidak konsisten, maka dapat menyimpang menjadi Ahlul Bid’ah.
Sedangkan dalam perkara “Bid’ah ‘Amaliyyah” bahkan lebih beragam dan ragamnya sangatlah banyak.
Sebagai contoh Bid’ah ‘Amaliyyah yang berkaitan dengan Sholat adalah: “Sholat Nisfu Sya’ban”. Ada pula Bid’ah ‘Amaliyyah yang berkaitan dengan Syi’ar, misalnya: peringatan Mauludan (Peringatan kelahiran Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم), dan Rajaban (Peringatan Isra’ Mi’raj).
Sedangkan, Sholawat atas Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم adalah perkara ‘Amaliyyah, karena ia merupakan Ibadah Lisan. Apabila tidak berlandaskan kepada dalil, maka dapat berpeluang menjadi suatu Bid’ah yang tersebar di masyarakat. Bid’ah ‘Amaliyyah yang berkaitan dengan Sholawat, contohnya adalah: Sholawat Nariyah, Sholawat Badriyah, dan lain sebagainya.
Berikutnya, Bid’ah ‘Amaliyyah yang berkaitan dengan da’wah. Karena da’wah adalah Ibadah maka harus berlandaskan dalil, bila tidak maka dapat pula berpeluang terhadap munculnya Bid’ah ‘Amaliyyah dalam urusan da’wah, karena tidak lagi sesuai dengan tuntunan Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم.
Kembali kepada pembahasan mengenai “Bid’ah Al Haqĩqiyyah”, yakni: Bid’ah yang sama sekali tidak ada dalil / landasannya dari Wahyu. Karena memang tidak ada landasannya dari Al Qur’an, tidak pula dari As Sunnah, dan tidak dari Al Ijma’.
Bid’ah itu muncul atas kreatif sendiri. Sehingga orang dengan mudah dapat menyatakan bahwa itu pasti tergolong Bid’ah, karena memang tidak ada dasarnya baik dalam Al Qur’an maupun dalam Sunnah Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم.
Sedangkan “Bid’ah Al ‘Idhõfiyyah” adalah Bid’ah tambahan, yakni: Bid’ah yang ada landasannya, tetapi detailnya adalah Bid’ah. Sehingga orang pun menjadi terkecoh dan mengatakan bahwa bid’ah seperti itu tidak mengapa karena dianggapnya sebagai hasanah (baik). Mereka menganggap bahwa bid’ah yang semacam ini ada dasarnya, padahal sebenarnya jika diteliti maka tidak ada dalil untuknya.
Akibat kurangnya sebagian kaum Muslimin dalam memahami “Bid’ah Al ‘Idhõfiyyah” ini, sehingga untuk urusan Sholawatan saja, hampir terjadi tawuran antar warga. Mereka menyangka bahwa orang-orang yang berpegang teguh pada Sunnah itu adalah orang yang membenci Sholawatan, karena Sholawat Nariyah tidak boleh, Sholawat Badriyah juga tidak boleh, dan seterusnya. Mereka salah sangka. Padahal justru Ahlus Sunnah Wal Jamã’ah adalah orang yang cinta pada Sholawat, tetapi tentunya Sholawat dengan cara yang benar sesuai tuntunan Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم. Barulah setelah dilakukan pendekatan yang baik, diajak berdiskusi secara ‘ilmiyyah, dibawakan kepada mereka (kaum Muslimin yang belum paham tersebut) kitab-kitab rujukan para ‘Ulama Ahlus Sunnah Wal Jamã’ah, dan dijelaskanlah kepada mereka bahwa Ahlus Sunnah Wal Jamã’ah menganggap bahwa Sholawat itu adalah Ibadah, sehingga haruslah sesuai dengan dalil dan tuntunan Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم. Bahkan ditunjukkan serta diajarkan pula kepada mereka, mana cara Sholawat yang benar dan mana cara Sholawat yang tidak benar. Maka barulah mereka reda amarahnya, dan hilang prasangka buruknya, setelah pada akhirnya memahami bahwa yang menjadi masalah adalah detail / cara-cara dalam melaksanakan Sholawat tersebut, yang hendaknya harus pula sesuai tuntunan Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم. Ini adalah suatu contoh dimana kurangnya memahami “Bid’ah Al ‘Idhõfiyyah” dapat menyebabkan timbulnya perselisihan diantara sesama Muslim; yang seyogyanya hal-hal demikian itu haruslah disikapi dengan sabar, bijaksana dan penuh hikmah ketika mendakwahkan kebenaran kepada ummat.
Di dalam tidak kurang dari 40 riwayat cara Sholawat atas Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, tidak ada satupun dalil tentang Sholawat Badriyah ataupun Sholawat Nariyah. In syã Allõh hal ini akan kita bahas lebih lanjut, ketika kita mengkaji perkara Sholawat.
Contoh lainnya dalam perkara “Bid’ah Al ‘Idhõfiyyah” adalah: tidak ada yang mengharuskan bahwa pada malam 1 Muharrom melakukan amalan ini dan itu. Sebagian orang mengatakan bahwa itu baik, itu hasanah, seolah-olah ada landasannya; padahal apabila diteliti maka yang ada sebenarnya hanyalah syubhat pada kebanyakan orang. Itulah yang disebut sebagai “Bid’ah Al ‘Idhõfiyyah (Bid’ah Tambahan)”, yang banyak membuat orang terkecoh akibat kurangnya memahami ‘ilmu dĩn secara menyeluruh.
Sebagian kaum Muslimin masih memiliki pemahaman yang keliru, karena beranggapan ada “Bid’ah yang termasuk Hasanah” dan ada “Bid’ah yang termasuk Sayyi’ah”. Padahal sesungguhnya istilah tersebut bertentangan dengan Hadits Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم. Karena, bagi orang yang memahami kaidah bahasa Arab, maka sabda Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم bahwa :
وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Artinya:
“Setiap Bid’ah adalah sesat”. (Hadits Riwayat Al Imãm Muslim no: 867, dari Shohabat Jãbir bin ‘Abdillah رضي الله عنه)
Maka (كُلَّ بِدْعَةٍ) / “Setiap Bid’ah” adalah Mubtada’ (Permulaan) dan (ضَلاَلَةٌ) / “Sesat” adalah merupakan suatu Khobar / Berita. Berarti, Khobar itu terkait dengan Mubtada’, namanya adalah “Musnad” (yang disandarkan). Maksudnya: “Maka tidak akan ada Dholãlah (Sesat), kalau tidak ada Bid’ah”. Karena ada Bid’ah, maka ada hukum yaitu yang disebut dengan “Dholãlah (Sesat)”.
Bahkan adanya kata “Kullu” yang artinya “Setiap / seluruh”; memberikan penekanan bahwa: “Setiap Bid’ah” PASTI adalah “Dholãlah (Sesat)”. Atau, “Seluruh Bid’ah PASTI adalah Dholãlah (Sesat)”.
Al Imãm Jalãluddin As Suyũthi رحمه الله dalam kitab beliau yang berjudul “Al Amru bil Ittibã’ wan Nahyu ‘Anil Ῑbtidã’” Jilid 6, beliau berkata:
قال الإمام الشافعي رضي الله عنه: البدعة بدعتان: بدعة محمودة، وبدعة مذمومة، فما وافق السنة فهو محمود، وما خالف السنة فهو مذموم. واحتج بقول عمر رضي الله عنه: نعمت البدعة هذه .وقال الإمام الشافعي أيضاً رضي الله تعالى عنه: المحدثات في الأمور ضربان: أحدهما ما حدث يخالف كتاباً أو سنة أو أثراً أو إجماعاً فهذه البدعة الضلالة. والثاني: ما أحدث من الخير لا خلاف فيه لواحد من هذا فهي محدثة غير مذمومة
Artinya:
“Al Imãm Asy Syãfi’iy رحمه الله mengatakan bahwa, “Bid’ah itu ada 2, Bid’ah yang terpuji dan Bid’ah yang tercela. Jika sesuai dengan Sunnah maka ia terpuji, dan jika menyelisihi Sunnah maka ia tercela”. Beliau berdalil dengan perkataan ‘Umar bin Khoththõb رضي الله عنه, “Betapa bagusnya Bid’ah ini”. Juga Al Imãm Asy Syãfi’iy رحمه الله berkata, “Perkara-perkara baru ada 2 macam. Pertama, perkara baru yang menyelisihi Kitab (– Al Qur’an – pent.) atau Sunnah (–Al Hadits – pent.), atau Atsar atau Al Ijma, maka ini Bid’ah yang sesat. Kedua, perkara yang baru yang merupakan perkara yang baik, yaitu yang tidak menyelisihi satupun dari hal diatas, maka itu adalah Bid’ah yang tidak tercela.”
Al Imãm Jalãluddin As Suyũthi رحمه الله dalam kitab tersebut, memuat penjelasan Al Imãm Asy Syãfi’iy رحمه الله yang mengatakan bahwa: yang disebut Bid’ah itu, ada yang “Bid’ah Mustahsanah (Bid’ah yang dianggap baik)” dan ada yang “Bid’ah Mustahabbah (Bid’ah yang dianjurkan)”. Kemudian beliau (Al Imãm Jalãluddin As Suyũthi رحمه الله) menjelaskan kembali dalam kitab tersebut sebagai berikut: “Akan tetapi ingat, penjelasan Al Imãm Asy Syãfi’iy seperti itu, bahwa Bid’ah itu ada yang terpuji (hasanah) dan ada yang tercela, adalah berhujjah dari pendapat shohabat ‘Umar bin Khoththõb رضي الله عنه yang berkenaan dengan sholat Tarõwih.”
Yaitu, ketika ‘Umar bin Khoththõb رضي الله عنه melihat orang mengerjakan sholat Tarõwih secara sendiri-sendiri, dan ada pula yang berkelompok-kelompok, maka beliau رضي الله عنه pun lalu mengkomando agar semua jama’ah yang hadir ketika itu melakukan sholat Tarõwih berjama’ah dengan dipimpin oleh satu Imãm sholat. Lalu ditunjuklah oleh ‘Umar bin Khoththõb رضي الله عنه yakni: Ubay bin Ka’ab رضي الله عنه, untuk menjadi Imãm sholat Tarõwih berjama’ah. Maka menjadi tertiblah sholat Tarõwih sejak itu.
Hal itu sebagaimana :
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلاَءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَىِّ بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلاَةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ وَالَّتِي يَنَامُونَ عَنْهَا أَفْضَلُ مِنَ الَّتِي يَقُومُونَ يُرِيدُ آخِرَ اللَّيْلِ ، وَكَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ أَوَّلَه.
Artinya:
Dalam riwayat dari ‘Abdurrohmãn bin ‘Abdul Qõry رضي الله عنه, bahwa beliau berkata, “Di suatu malam di bulan Romadhõn, aku keluar menuju masjid bersama ‘Umar bin Khoththõb رضي الله عنه; ternyata ditemukan orang terbagi menjadi beberapa kelompok. Ada yang sholat sendirian. Ada yang mengimami beberapa orang. Maka ‘Umar رضي الله عنه berkata, “Sungguh aku berpendapat, kalau aku gabungkan semua mereka dipimpin satu orang Imam, maka niscaya akan lebih baik. Kemudian aku perintahkan ‘Ubay bin Ka’ab رضي الله عنه untuk menjadi Imam (sholat) bagi mereka.”
Lalu pada malam lainnya, kembali aku keluar bersama beliau (‘Umar رضي الله عنه), sedangkan orang-orang sholat dengan di-Imami oleh ‘Ubay bin Ka’ab رضي الله عنه. Maka ‘Umar رضي الله عنه pun berkata, “Sungguh ini adalah bid’ah yang baik, sedangkan mereka yang tidur (untuk sholat di akhir malam) adalah lebih baik daripada mereka yang bangun untuk melakukan Qiyamur Romadhõn di awal malam.” (Atsar Riwayat Al Imãm Al Bukhõry di dalam Shohĩh-nya no: 2010, Jilid 3 halaman 58)
Bila direnungkan, sesungguhnya sholat Tarõwih berjama’ah sudah ada sejak zaman Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم, sehingga ia bukanlah Bid’ah dalam urusan dĩn. Karena ada tuntunannya dari Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم. ‘Umar bin Khoththõb رضي الله عنه hanyalah sekedar menghidupkan kembali sunnah Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم.
Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم sendiri pernah merintis sholat Tarõwih dengan berjamã’ah. Namun, ketika Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم melakukan sholat Tarõwih berjamã’ah, dan kemudian semakin lama semakin banyak orang yang mengikuti beliau صلى الله عليه وسلم, maka muncullah kekhawatiran beliau bahwa jangan sampai sholat Tarõwih itu dianggap wajib oleh umatnya, sehingga kemudian beliau صلى الله عليه وسلم tidak lagi sholat tarõwih berjama’ah di masjid sesudahnya.
Dalam Hadits Riwayat Al Imãm Al Bukhõry no: 1129 dan Al Imãm Muslim no: 1819 dari ‘Ã’isyah رضي الله عنها, diterangkan bahwa ketika itu Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم ditunggu-tunggu oleh para Shohabat untuk melakukan sholat Tarõwih, tetapi beliau صلى الله عليه وسلم tidak kunjung keluar dari rumah beliau. Ketika pagi harinya setelah sholat Shubuh, beliau صلى الله عليه وسلم pun menjelaskan:
قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ
Artinya:
“Aku telah memperhatikan apa yang kalian perbuat dan tidak ada yang menghalangi aku untuk keluar menemui kalian; hanya saja aku khawatir, jangan-jangan sholat Tarõwih itu akan menjadi wajib atas kalian.”
Pada zaman Kholĩfah Abu Bakar As Siddĩq رضي الله عنه, bahkan Sholat Tarõwih berjama’ah itu tidak dilakukan. Ketika zaman Kholĩfah ‘Umar bin Khoththõb رضي الله عنه, Sholat Tarõwih berjama’ah itu dihidupkan kembali. Tetapi sesungguhnya itu bukanlah Bid’ah, melainkan hanyalah tajdĩd (pembaharuan), karena Sholat Tarõwih berjama’ah itu sebenarnya adalah sesuatu Sunnah yang pernah dilakukan oleh Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم, tetapi terhenti, lalu dihidupkan kembali oleh ‘Umar bin Khoththõb رضي الله عنه. Itulah yang dimaksud dengan “Bid’ah Hasanah” sebagaimana yang dijelaskan oleh Al Imãm Jalãluddin As Suyũthi رحمه الله di dalam Kitabnya.
Maka ketika ‘Umar bin Khoththõb رضي الله عنه berkata:
نعمت البدعة هذه
Artinya:
“Betapa bagusnya bid’ah ini.” (Hadits Riwayat Al Imãm Al Bukhõry no: 2010)
Perkataan ‘Umar bin Khoththõb رضي الله عنه itu hanyalah dimaksudkan sebagai Bid’ah dalam pengertian Bahasa (lughowiyyah) saja. Dengan kata lain, ia sebenarnya bukanlah bid’ah dalam perkara dĩn (yang dilarang oleh Syari’at).
Oleh karenanya, maka pengertian Bid’ah ada dua macam itu adalah seperti tersebut diatas.
Sedangkan secara detail (sebagaimana yang dikutip dalam Kitab Al Imãm Jalãluddin As Suyũthy رحمه الله), Al Imãm Asy Syãfi’iy رحمه الله menekankan bahwa: “Bid’ah itu ada dua, Bid’ah yang terpuji dan Bid’ah yang tercela. Jika suatu perkara sesuai dengan As Sunnah maka terpuji, dan jika menyelisihi maka ia tercela.”
Dengan demikian:
1) Jika sesuatu yang diada-ada itu menyelisihi, maka itu adalah Bid’ah. Yaitu menyelisihi Kitab (Al Qur’an), Sunnah, atau Atsar (apa yang dilakukan oleh para shohabat), atau Ijma’ (apa yang sudah menjadi kesepakatan para shohabat), maka itulah yang disebut “Bid’ah Dholãlah (Bid’ah yang Sesat)”.
2) Tetapi jika sesuatu disebut dengan baik itu, mulanya berasal dari Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم dalam urusan ini, maka yang demikian itu adalah sesuatu yang baru yang tidak tercela. ‘Umar bin Khoththõb رضي الله عنه mengatakan tentang Qiyãmul Romadhõn sebagai, “Ni’matul bid’ah hãdzihi.” Jadi, contoh yang disebut Bid’ah yang Mahmũdah (Terpuji) adalah misalnya Sholãtut Tarõwih berjamã’ah. Substansinya, kalau ada dasarnya dari Sunnah Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم, maka itu tidak termasuk Madzmũm (Tercela).
Ada lagi dalil yang seringkali digunakan oleh orang yang beranggapan akan adanya “bid’ah hasanah”, misalnya adalah Hadits Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم berkenaan dengan ‘Abdullõh bin Zaĩd رضي الله عنه. Ketika Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم didatangi oleh kaum muslimĩn dari Kuffah, mereka terlihat dari penampilannya adalah termasuk orang miskin, perlu bantuan. Maka Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم langsung masuk ke rumah beliau صلى الله عليه وسلم dan keluar lagi membawa makanan yang beliau صلى الله عليه وسلم miliki, untuk diberikan kepada muslim dari Kuffah tersebut.
Ketika selesai sholat, Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم berkhutbah kepada para Shohabat, memerintahkan untuk selalu bertaqwa kepada Allõh سبحانه وتعالى, serta ber-shodaqoh. Kemudian ada salah seorang Shohabat bernama ‘Abdullõh bin Zaĩd رضي الله عنه yang menggelar sorbannya untuk mengumpulkan uang dari para Shohabat, sehingga uang dan apa saja yang terkumpul itu bisa diberikan kepada muslimin dari Kuffah tersebut.
Dengan kejadian itu, maka Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم pun bersabda:
مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ
Artinya:
“Siapa saja yang mencontohkan sesuatu yang baik dalam Islam kemudian diikuti oleh orang lain setelahnya, maka ia berhak mendapatkan pahala sebanyak orang yang mencontohnya, tanpa dikurangi pahala itu sedikit pun. Siapa saja yang melakukan contoh yang buruk dalam Islam kemudian diikuti oleh orang lain setelahnya, maka ia berhak atasnya mendapatkan dosa sebanyak dosa orang yang mencontohnya setelah dia, tanpa dikurangi dosa itu sedikit pun.” (Hadits Riwayat Al Imãm Muslim no: 6975, dari Jarĩr bin ‘Abdillah رضي الله عنه)
Kalimat : مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً itu kalau disebut sebagai “bid’ah hasanah” adalah keliru. Karena perintahnya jelas, yaitu urusan shodaqoh. Jadi tidak bisa disebut sebagai “bid’ah hasanah”, karena sudah jelas shodaqoh itu diperintahkan oleh Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم, jadi itu bukanlah “bid’ah”, akan tetapi tergolong “Sunnah” Nabi صلى الله عليه وسلم (– terdapat banyak sekali ayat Al Qur’an, maupun Hadits shohĩhah yang menjadi landasan / tuntunan agar kaum muslimin itu ber-shodaqoh –)
Maka pada kesempatan lain in syã Allõh nanti perlu dijelaskan dan akan kita bahas mengapa ada yang memahaminya secara keliru, tentang adanya istilah “Bid’ah Hasanah” dan “Bid’ah Sayyi’ah”.
Tetapi yang perlu dijelaskan dalam kajian ini, yang paling prinsip adalah menanamkan pemahaman kepada kita semua, bahwa sesungguhnya “Bid’ah” yang disebut “Madzmum” dan “Dholãlah” ada dalam bentuk “Bid’ah Al ‘Aqõdiyyah” (Keyakinan) maupun ada dalam bentuk Furu’ yakni “Bid’ah ‘Amaliyah” (Amalan).
Kesimpulannya adalah:
Urusan dĩn, apapun itu, harus kembali kepada dalil. Kalau ada dalil-nya yang shohĩh maka harus dikerjakan, kalau tidak ada dalilnya yang shohĩh maka tidak boleh dikerjakan.
Bagaimana mengidentifikasi bahwa sesuatu itu Bid’ah atau bukan
Ada 2 (dua) versi, yaitu menurut Kitab yang ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Shõlih Al Utsaimĩn رحمه الله dan menurut Syaikh Nashiruddin Al Albãny رحمه الله.
Kata beliau Syaikh Muhammad bin Shõlih Al Utsaimĩn رحمه الله di dalam Kitabnya yang berjudul “Al ‘Ibdã’ fĩ Bayãn Kamãlisy Syar’iy wa Khotoril Ibtidã’”, halaman 21-23 : “Mudah sekali untuk mengidentifikasi apakah sesuatu itu bid’ah ataukah tidak. Kalau suatu amalan itu terdapat didalamnya satu diantara enam perkara berikut ini, maka ia sudah termasuk bid’ah”:
1) Sebab
Jika SEBAB (dari amalan tersebut) tidak disyari’atkan oleh Rosũlullõhصلى الله عليه وسلم, maka ia termasuk Bid’ah.
Kata beliau (Syaikh Muhammad bin Shõlih Al Utsaimĩn رحمه الله): “Jika seorang manusia melakukan ibadah kepada Allõh سبحانه وتعالى dibarengi dengan sebab yang tidak syar’i, maka ibadahnya adalah ibadah yang tertolak.”
Misalnya: “Sebagian orang menghidupkan malam tanggal 27 Rojab, karena pada malam itu Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم melakukan Isro’ Mi’roj. Kalau seseorang melakukan sholat tahajud, maka sholat tahajud itu adalah suatu ibadah. Tetapi bila sholat tahajudnya itu dikaitkan dengan peristiwa Isro’ Mi’roj Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم pada malam tersebut, maka sholat tahajudnya itu menjadi Bid’ah. Karena sholat tahajud itu dikaitkan dengan suatu sebab yang sebenarnya tidak ada dasarnya dalam Syari’at Islam.”
Misalnya ada kata-kata “Dalam rangka...”, maka kalimat “Dalam rangka..” itu berarti Sebab. Yang demikian itu bisa dikategorikan Bid’ah kalau landasannya tidak didasarkan kepada Syar’i. Walaupun pekerjaannya adalah Sunnah (sholat tahajud itu ada dalam Sunnah), tetapi menjadi Bid’ah karena yang menjadi Sebab dilaksanakannya pekerjaan sholat tahajud tersebut itu tidak ada dalam Syari’at Islam.
2) Al Jinsu (Jenis)
Haruslah JENIS-nya ibadah itu sesuai dengan Syar’i.
Kata beliau (Syaikh Muhammad bin Shõlih Al Utsaimĩn رحمه الله) : “Kalau seorang manusia beribadah kepada Allõh سبحانه وتعالى, tetapi jenisnya tidak sesuai untuk diibadahkan, maka ibadahnya tidak akan diterima.”
Contoh:
Seseorang berqurban, tetapi hewan qurbannya bukan kambing, sapi atau unta, melainkan dengan hewan kuda atau misalnya dengan ayam. Maka tidak dibenarkan qurbannya, karena menyelisihi Syari’at Islam dalam perkara jenis. Karena seperti disebutkan dalam Al Qur’an, As Sunnah, maupun penjelasan para ‘Ulama Ahlus Sunnah, hewan qurban adalah: domba (kambing), unta, sapi.
Ketentuan tersebut adalah sebagaimana firman Allõh سبحانه وتعالى dalam QS. Al Hajj (22) ayat 34,
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ
Artinya:
“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syari’atkan penyembelihan (qurban), supaya mereka menyebut nama Allõh terhadap bahimatul an’am (binatang ternak) yang telah dirizqikan Allõh kepada mereka.”
Dalam Kitab “Al Majmu’” (8/364-366), Al Imãm An Nawawi رحمه الله berkata, “Syarat sah dalam qurban, hewan qurban harus berasal dari hewan ternak yaitu unta, sapi dan kambing. Termasuk pula berbagai jenis unta, semua jenis sapi dan semua jenis kambing yaitu domba, ma’iz dan sejenisnya. Sedangkan selain hewan ternak seperti rusa dan keledai tidaklah sah sebagai hewan qurban, baik dari yang jantan maupun betina -tanpa ada perselisihan di kalangan ulama-. Tidak ada khilaf sama sekali mengenai hal ini menurut kami. … Begitu pula turunan dari perkawinan antara rusa dan kambing tidaklah sah sebagai hewan qurban karena bukan termasuk an’am (hewan ternak).”
3) Al Qodar (Ketentuan)
Kata beliau (Syaikh Muhammad bin Shõlih Al Utsaimĩn رحمه الله): “Kalau ada seorang manusia yang ingin menambah sholat dalam sholat fardhu, maka yang demikian itu adalah Bid’ah Ghoiru Maqbullah, tidak diterima oleh Allõh سبحانه وتعالى, karena menyelisihi syar’i dalam ketentuannya.”
Misalnya: ada orang sholat Dhuhur 5 roka’at, padahal ketentuan sesuai syari’at semestinya adalah 4 roka’at. Maka ia sholatnya tidaklah sah.
Atau, Sholat Shubuh ketentuannya adalah 2 roka’at. Karena merasa masih segar, lalu ditambah 2 roka’at lagi hingga menjadi 4 roka’at. Maka yang demikian itu adalah Bid’ah, dan tidak akan diterima oleh Allõh سبحانه وتعالى, karena ditunaikannya tidak sesuai dengan aturan syar’i sehingga ibadah itu pun menjadi tertolak.
4) Kaifiyat (Tatacara)
Kata beliau (Syaikh Muhammad bin Shõlih Al Utsaimĩn رحمه الله) selanjutnya: “Kalau ada seseorang berwudhu yang ia memulai wudhunya itu dengan membasuh kedua kaki, lalu mengusap kepala, lalu membasuh kedua tangan, kemudian wajahnya, maka wudhunya batal karena menyalahi syari’at dalam tatacara.”
Tatacara wudhu adalah dimulai dengan membasuh kedua tangan, membasuh wajah, membasuh kedua lengan sampai siku, lalu kepala barulah kedua kaki; sebagaimana yang dicontohkan oleh Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم dan ‘Utsman bin Affãn رضي الله عنه, dan para Shohabat رضي الله عنهم. Kalau urutannya dibalik, maka berarti ia tidak melakukan sesuai urutan berturut-turut (tertib)-nya, dan dengan demikian berarti telah menyelisihi apa yang dicontohkan oleh Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم sehingga terkategorikan sebagai Bid’ah.
5) Waktu
Kalau ada orang yang menyembelih hewan qurban-nya di awal bulan Dzul Hijjah, maka qurban-nya tidak bisa diterima, karena menyelisihi syari’at dalam hal waktu. Yang demikian masuk dalam kategori Bid’ah. Karena yang benar, qurban itu disembelih setelah sholat ‘Iedul Adha, sementara orang tersebut melakukannya di hari pertama bulan Dzul Hijjah. Maka yang seperti itu tidaklah dibenarkan.
6) Tempat
Kalau ada orang melakukan I’tikaf tetapi tidak di masjid, maka itikaf-nya itu tidak dibenarkan. Karena i’tikaf itu tidak boleh dilakukan, kecuali di masjid. Jadi tempatnya harus sesuai dengan Syar’i. Ketika tempat tidak sesuai dengan Syar’i, maka tidaklah dibenarkan.
Ada beberapa kriteria apakah sesuatu itu Bid’ah atau bukan, adalah sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albãny رحمه الله dalam kitabnya yaitu Kitab “Ahkãmul Janã’iz” halaman 306. Kata beliau: “Sesungguhnya Bid’ah yang ditetapkan kesesatannya dalam kategori Syari’at adalah sebagai berikut:
1) Setiap apa saja yang bertentangan dengan Sunnah, baik berupa perkataan maupun perbuatan ataupun keyakinan, walaupun atas dasar Ijtihad, maka ia adalah Bid’ah.
Misalnya, ada orang yang mengatakan bahwa Al Qur’an yang ada sekarang ini sebetulnya hanyalah sepertiga dari yang semestinya, yang dua pertiga-nya masih terpendam (– sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang Syi’ah – pen.). Kata-kata demikian itu bertentangan dengan apa yang ditetapkan oleh Sunnah, maka ia masuk kategori “Bid’ah dholãlah”. Orang yang meyakininya berarti “dhõllun”, alias “sesat”. Yang mengajarkannya disebut “Mudhillun (menyesatkan)”.
2) Seseorang mendekatkan diri kepada Allõh سبحانه وتعالى, padahal caranya telah dilarang oleh Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم.
Suatu kali sekelompok orang datang kepada Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم untuk melihat dan mengamati ibadah beliau صلى الله عليه وسلم. Setelah itu mereka kembali ke tempat masing-masing, lalu menyimpulkan sebagai berikut:
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ نَفَرًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- سَأَلُوا أَزْوَاجَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ عَمَلِهِ فِى السِّرِّ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لاَ أَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ. وَقَالَ بَعْضُهُمْ لاَ آكُلُ اللَّحْمَ. وَقَالَ بَعْضُهُمْ لاَ أَنَامُ عَلَى فِرَاشٍ. فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ. فَقَالَ « مَا بَالُ أَقْوَامٍ قَالُوا كَذَا وَكَذَا لَكِنِّى أُصَلِّى وَأَنَامُ وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِى فَلَيْسَ مِنِّى
Artinya:
Dari Anas bin Mãlik رضي الله عنه, bahwa sekelompok shohabat Nabi صلى الله عليه وسلم bertanya pada istri-istri Nabi tentang ibadah Nabi صلى الله عليه وسلم dalam kesendiriannya, sehingga setelah itu sebagian mereka mengatakan “Adapun aku tidak akan menikah dengan wanita.”
Seorang lagi mengatakan: “Kalau begitu aku tidak akan makan daging.”
Sebagian lain mengatakan, “Aku tidak akan tidur diatas kasur.”
Maka Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم bersabda setelah memuji Allõh سبحانه وتعالى: “Kenapa dengan suatu kaum yang mengatakan begini dan begitu. Adapun aku sholat, tidur, shoum dan berbuka, dan menikahi wanita. Barangsiapa yang membenci Sunnahku, maka ia bukanlah ummatku.” (Hadits Riwayat Al Imãm Muslim no: 3469)
Itulah suatu contoh. Jika ada orang yang beribadah, tetapi cara beribadahnya tidak sesuai dan dilarang oleh Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم, maka ibadah itu termasuk bid’ah. Mereka yang demikian disebut dengan: Robbaniyah, yaitu orang yang suka nyepi (bertapa, menyendiri), tidak makan sesuatu yang bernyawa, mutih, dsbnya.
Hal-hal yang sudah jelas dihalalkan oleh Allõh سبحانه وتعالى dan Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم kemudian ia haromkan. Maka perbuatan yang demikian itu termasuk Bid’ah.
3) Setiap perkara yang tidak disyari’atkan, tidak dengan Nash (dalĩl) dan tidak dengan Wahyu, maka itu pun termasuk Bid’ah.
Urusan keyakinan yang tidak ada dalĩl-nya. Dalam masyarakat, disebut dengan Khurofat (Tahayul). Misalnya, orang akan membangun rumah, sebelumnya diadakanlah makan-makan (sedekahan) dulu untuk permisi kepada “mbaureksa” (yang menjaga bumi) disitu, agar tidak terjadi na’as. Lalu ketika akan memasang atap, harus digantungkan pisang, padi dan bendera di puncak rumah tersebut. Semua itu tidak ada dalil-nya. Itu pun termasuk Bid’ah.
4) Sesuatu yang dikategorikan sebagai ibadah, padahal itu ibadahnya orang kãfir.
Ada keterangan dari salah seorang Syaikh kami di Madinah, bahwa apabila ada orang yang melakukan wirid sambil bergoyang-goyang ke kanan dan ke kiri, maka sebetulnya ia beribadah dengan cara orang Yahudi. Karena cara beribadah orang Yahudi memang dengan cara bergerak-gerak ke kiri dan ke kanan. Maka dari itu, kita dilarang bergerak-gerak atau bergoyang-goyang ke kiri ke kanan ketika mengaji atau berdzikir, karena menyerupai (tasyabbuh) dengan cara ibadah orang Yahudi.
Bila kaum Nashroni memperingati lahirnya Nabi ‘Isa عليه السلام dengan Natal, maka bagi kita kaum muslimin tidak ada peringatan lahirnya Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم. Oleh karena itu, Mauludan (peringatan lahirnya Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم yang dilakukan oleh sebagian orang) itu adalah Bid’ah, karena tasyabbuh (menyerupai) dengan kaum Nashroni.
Bahkan Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم menjelaskan kepada kita, bahwa yang dimaksud dengan lafadz “’Ied” adalah Yaumu ‘Arofah, Yaumu Mina dan Ayyamu Tasyrik adalah hari besar Islam (Hari ‘Arofah adalah 9 Dzul Hijjah, hari Mina dan Tasyrik tanggal 10, 11, 12 dan 13 Dzul Hijjah adalah hari besar Islam). Hal itu sebagaimana dalam Hadits Riwayat Al Imãm Abu Dãud no: 2419, Al Imãm At Turmudzi no: 773, Al Imãm An Nasã-i no: 3004, dari Shohabat ‘Uqbah bin ‘Amir رضي الله عنه. Syaikh Nashiruddin Al Albãni mengatakan bahwa hadits ini shõhĩh:
يَوْمُ عَرَفَةَ وَيَوْمُ النَّحْرِ وَأَيَّامُ التَّشْرِيقِ عِيدُنَا أَهْلَ الإِسْلاَمِ وَهِىَ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ
Artinya:
“Hari Arofah, hari ‘Idul Adha dan hari-hari Tasyriq adalah ‘ied kami (– kaum muslimin –). Hari tersebut (‘Idul Adha dan hari Tasyriq) adalah hari menyantap makan dan minum.”
Dan di Hadits yang lain dijelaskan bahwa hari raya (‘Ied) kaum Muslimin itu ada dua, yakni ‘Iedul Fithri dan ‘Iedul Adha. Hal itu sebagaimana dalam Hadits Riwayat Al Imãm An Nasã’i no: 1556 dan Al Imãm Ahmad (3/178), sanadnya shohĩh sesuai syarat Al Imãm Al Bukhõry dan Al Imãm Muslim, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnã’uth, dari Shohabat Anas رضي الله عنه :
قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْمَدِينَةَ وَلأَهْلِ الْمَدِينَةِ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ « قَدِمْتُ عَلَيْكُمْ وَلَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ يَوْمَيْنِ خَيْراً مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ النَّحْرِ
Artinya:
“Ketika Nabi صلى الله عليه وسلم datang ke Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari raya untuk bersenang-senang dan bermain-main di masa jahiliyah. Maka beliau bersabda, “Aku datang kepada kalian dan kalian mempunyai dua hari raya di masa Jahiliyah yang kalian isi dengan bermain-main. Allõh telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik bagi kalian, yaitu hari raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha (hari Nahr).”
Maka kalau ada hari raya selain yang disabdakan oleh Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم dalam dua hadits diatas, maka itu termasuk dalam kategori Bid’ah.
5) Apa-apa yang dianjurkan oleh para ‘Ulama, terutama ‘Ulama Mutaakhirĩn, padahal tidak ada dalilnya.
Misalnya: Muhasabah dengan membaca Al Qur’an, dsbnya, padahal itu tidak ada contohnya dari Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم, maka tergolong Bid’ah.
6) Setiap ibadah yang tatacaranya hanya berdasarkan Hadits Dho’ĩf dan atau Hadits Palsu, maka itu adalah Bid’ah.
Syaikh Nashiruddin Al Albãny رحمه الله berkata: “Kalau ada orang berdalil dan ternyata dalilnya lemah atau Hadits palsu, maka sesungguhnya itu perbuatan Bid’ah. Karena hadits dho’ĩf itu adalah prasangka belaka. Tidak pasti. Karena hadits itu dalam perjalanannya penuh dengan cacat. Maka itu tidak termasuk dalam kategori ibadah.”
Madzab Ahlul Hadĩts mensyaratkan bahwa baik dalam Hukum, ataupun dalam Fadho’ilul A’mãl (Keutamaan Amal), maka Hadits Dho’ĩf tidak boleh dipakai.
Maka bagi kita, cukuplah, puaslah dengan hadits-hadits yang shohĩhah, in syã Allõh itu akan maqbul (diterima) disisi Allõh سبحانه وتعالى. Lalu sesudahnya, hendaknya kita sibukkan diri dengan memperbaiki kualitas ibadah kita. Jadi, tidak perlu merasa penasaran dan mencoba-coba beramal dengan landasan hadits yang lemah ataupun hadits yang palsu, karena semuanya itu tidak akan memberikan kepada kita suatu ibadah yang maqbul.
7) Berlebih-lebihan dalam ibadah (Al ghuluw fil ‘ibãdah)
Kalau orang sudah melebih-lebihkan dalam urusan ibadah, maka itu sudah termasuk dalam kategori Bid’ah. Misalnya sesuatu itu dikatakan baik, tetapi baik itu bukanlah menurut ukuran kita. Baik dan buruk itu dasarnya adalah Syari’at Islam. Kita tidak punya hak untuk mengatakan sesuatu itu baik ataupun buruk. Karena, baik dan buruk dengan makna sesungguhnya, ukurannya adalah dari Allõh سبحانه وتعالى dan Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم.
Oleh karena itu, kita tidak boleh mengatakan sesuatu itu baik atau buruk, apalagi dalam masalah ibadah. Berlebihan dalam ibadah, misalnya: Dzikirnya harus 10.000 kali, atau puasanya harus 40 hari berturut-turut, dstnya. Itu jelas berlebihan.
8) Setiap ibadah yang dimutlakkan oleh Syari’at, tetapi lalu diikat oleh orang-orang dengan ikatan-ikatan tertentu, maka itu pun tergolong Bid’ah
Maksudnya, “ibadah yang mutlak” itu adalah tidak ada ketentuannya.
Contohnya, Allõh سبحانه وتعالى berfirman dalam QS. Al Ahzãb (33) ayat 41:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْراً كَثِيراً
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, dzikirlah (ingatlah) kalian kepada Allõh dengan dzikir yang sebanyak-banyaknya.”
Lalu ada orang yang memberikan batasan-batasan tertentu terhadapnya, baik batasan dengan tempat, batasan dengan waktu, batasan dengan tata cara tertentu atau batasan dengan bilangan tertentu; maka yang demikian itu termasuk dalam kategori Bid’ah.
Misalnya: dzikir dengan membaca Asma’ul Husna, dibaca ba’da Isya sampai jam 22.00 atau dengan membaca “Ar Rohmaan, Ar Rohmaan” 100.000 kali.
Nah, kata-kata ketentuan 100,000 kali itu dari siapa?
Ketentuan: harus ba’da Isya sampai jam 22.00 itu dari siapa?
Kalau ada orang yang mengatakan demikian, maka itu tergolong Bid’ah; karena menyalahi ayat diatas dimana Allõh سبحانه وتعالى menyuruh dzikir sebanyak-banyaknya, tanpa ada ketentuan batasan bilangan, waktu, tempat ataupun tatacara tertentu.
Demikianlah indikator tentang Bid’ah. Kalau ada salah satu diantaranya terjadi dalam masyarakat kita, maka kita bisa mengetahui bahwa itu Bid’ah, tidak boleh kita tiru, tidak boleh kita laksanakan.
Sejarah dan Munculnya Bid’ah
Dalam kitab berjudul “Maushũ’ah Tauhĩdi Robbil ‘Abĩd” Jilid 1 halaman 145, yang ditulis oleh Syaikh Shõlih bin Fauzan Ali Fauzan, beliau menjelaskan bahwa sesungguhnya Bid’ah itu telah muncul bukan hanya pada zaman sekarang, namun Bid’ah itu telah muncuk sejak zaman Khulafã Ar Rõsyidĩn.
Syaikh Shõlih Fauzan dalam Kitabnya tersebut berkata sebagai berikut:
وأول بدعة ظهرت بدعة القدر وبدعة الإرجاء، وبدعة التشيع والخوارج ولما حدثت الفرقة بعد مقتل عثمان ظهرت بدعة الحرورية، ثم في أواخر عصر الصحابة حدثَ القدرية في آخر عصر ابن عمر وابن عباس وجابر وأمثالهم من الصحابة، وحدثت المرجئة قريبا من ذلك. وأما الجهمية فإنها حدثت في أواخر عصر التابعين بعد موت عمر بن عبد العزيز، وقد روي أنه أنذر بهم، وكان ظهور جهم بخراسان في خلافة هشام بن عبد الملك
Artinya:
“Bid’ah yang pertama kali muncul adalah Bid’ah Qodariyah, lalu Bid’ah Murji’ah, lalu Bid’ah Syi’ah, kemudian Bid’ah Khowarij. Perpecahan terjadi setelah terbunuhnya ‘Utsman bin Affan رضي الله عنه. Muncullah Bid’ah Al Harũriyyah (– Khowarij –). Kemudian pada akhir masa Shohabat terjadilah Bid’ah Qodariyyah, yaitu pada akhir masa Ibnu ‘Umar dan Ibnu Abbas, Jãbir رضي الله عنهم dan semisal mereka dari kalangan Shohabat. Kemudian muncullah Bid’ah Murji’ah tidak lama setelah itu. Adapun Jahmiyyah, maka kelompok ini muncul di akhir masa Tabi’iin setelah meninggalnya ‘Umar bin Abdul Azĩz رحمه الله. Dan terdapat riwayat bahwa beliau (‘Umar bin Abdul Azĩz رحمه الله) memberi peringatan agar berhati-hati terhadap mereka. Dan munculnya Jahmiyyah ini adalah di negeri Khurosan, pada masa Khilãfah Hisyam bin ‘Abdul Mãlik رحمه الله.”
Misalnya, seorang tabi’in dipanggil menghadap oleh ‘Umar bin Khoththõb رضي الله عنه lalu dipukuli sampai berdarah di kepalanya, karena bertanya tentang Ayat Muhtasyabihat. Jadi pada saat itu, begitu kebid’ahan itu muncul, langsung ditindak tegas dan ditumpas. Kemudian pada zaman Kholĩfah ‘Utsman bin Affãn رضي الله عنه juga muncul kebid’ahan, tetapi juga langsung ditumpas. Begitu pula pada masa Kholĩfah Ali bin Abi Thõlib رضي الله عنه pun begitu bid’ah muncul segera ditumpas.
Dengan demikian, ketika Atsar (‘Ilmu) kuat, maka Bid’ah akan mati. Bid’ah itu muncul ketika ‘Ilmu Syar’i itu lemah, sehingga Bid’ah pun muncul dan marak dimana-mana.
Al Khothĩb Al Baghdãdy رحمه الله di dalam Kitab yang berjudul “Al Faqĩh wal Muttafaqih” Jilid 1 halaman 215, beliau mengatakan,
مالك بن أنس , يقول : ” ما قلت الآثار في قوم إلا كثرت فيهم الأهواء , وإذا قلت العلماء ظهر في الناس الجفاء
Artinya:
“Al Imãm Malik bin Anas رحمه الله berkata, “Pada saat Atsar (peninggalan Pendahulu Ummat) hilang dari suatu kaum, maka akan banyaklah ditengah-tengah mereka Hawa. Dan jika para ‘Ulama semakin langka, maka akan muncul di tengah manusia kekejaman dan kebengisan.”
Tepatlah apa yang dikatakan Al Imãm Mãlik رحمه الله tersebut. Karena sesungguhnya ketika dalil-dalil ‘ilmu Syar’i itu sudah tidak ada lagi di tengah masyarakat, akan sedikitlah pedoman bagi kehidupan mereka. Mereka menjadi sangat kurang ‘ilmunya, dan masyarakat tidak lagi tahu apa yang menjadi pedoman dari Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم.
Kemudian Al Imãm Al Ajurry رحمه الله dalam Kitab berjudul “Asy Syarĩ’ah” Jilid 1 halaman 24, beliau berkata,
المسيب بن واضح قال : سمعت يوسف بن أسباط يقول : أصول البدع أربع : الروافض ، والخوارج ، والقدرية ، والمرجئة ، ثم تتشعب كل فرقة ثماني عشرة طائفة ، فتلك اثنتان وسبعون فرقة ، والثالثة والسبعون الجماعة التي قال النبي صلى الله عليه وسلم : إنها الناجية
Artinya:
“Al Musayyib bin Wãdhih mengatakan, “Aku mendengar Yusuf bin Asbath berkata, “Pokok-pokok kebid’ahan itu ada 4 (empat): Rõfidhoh, Khowarij, Qodariyyah dan Murji’ah. Kemudian bercabanglah dari setiap firqoh menjadi 18 (delapan belas) kelompok, maka semua menjadi 72 (tujuh puluh dua) kelompok. Sedangkan kelompok yang ke-73 adalah Al Jamã’ah, atau yang dimaksudkan oleh Nabi صلى الله عليه وسلم sebagai “Kelompok yang Selamat” (Al Firqoh An Nãjiyah).”
Keempatnya adalah Bid’ah ‘Aqidah semua.
Sedangkan Bid’ah dalam urusan ‘Amaliyyah adalah sebagaimana ketika Shohabat ‘Abdullõh bin Mas’ũd رضي الله عنه mengingkari (melarang) orang yang berdzikir sambil menghitung-hitung dengan menggunakan batu kerikil (di zaman sekarang menggunakan tasbih), seperti dijelaskan dalam Hadits berikut ini:
فقال له أبو موسى يا أبا عبد الرحمن اني رأيت في المسجد أنفا أمرا أنكرته ولم أر والحمد لله الا خيرا قال فما هو فقال ان عشت فستراه قال رأيت في المسجد قوما حلقا جلوسا ينتظرون الصلاة في كل حلقة رجل وفي أيديهم حصا فيقول كبروا مائة فيكبرون مائة فيقول هللوا مائة فيهللون مائة ويقول سبحوا مائة فيسبحون مائة قال فماذا قلت لهم قال ما قلت لهم شيئا انتظار رأيك أو انتظار أمرك قال أفلا أمرتهم ان يعدوا سيئاتهم وضمنت لهم ان لا يضيع من حسناتهم ثم مضى ومضينا معه حتى أتى حلقة من تلك الحلق فوقف عليهم فقال ما هذا الذي أراكم تصنعون قالوا يا أبا عبد الله حصا نعد به التكبير والتهليل والتسبيح قال فعدوا سيئاتكم فأنا ضامن ان لا يضيع من حسناتكم شيء ويحكم يا أمة محمد ما أسرع هلكتكم هؤلاء صحابة نبيكم صلى الله عليه و سلم متوافرون وهذه ثيابه لم تبل وأنيته لم تكسر والذي نفسي بيده انكم لعلي ملة هي أهدي من ملة محمد أو مفتتحوا باب ضلالة قالوا والله يا أبا عبد الرحمن ما أردنا الا الخير قال وكم من مريد للخير لن يصيبه ان رسول الله صلى الله عليه و سلم حدثنا أن قوما يقرؤون القرآن لا يجاوز تراقيهم وأيم الله ما أدري لعل أكثرهم منكم ثم تولى عنهم فقال عمرو بن سلمة رأينا عامة أولئك الحلق يطاعنونا يوم النهروان مع الخوارج
قال حسين سليم أسد : إسناده جيد
Artinya:
Sebagaimana Abu Mũsa رضي الله عنه mengatakan kepada ‘Abdulllõh bin Mas’ũd رضي الله عنه, “Wahai Abu ‘Abdurrohmãn, sungguh aku melihatmu tadi di masjid. Engkau mengingkari sesuatu yang tidak aku pandang kecuali kebaikan.”
Lalu ‘Abdullõh bin Mas’ũd رضي الله عنه bertanya, “Apa itu?”
Lalu Abu Mũsa رضي الله عنه mengatakan, “Jika engkau panjang umur, engkau niscaya akan melihatnya. Aku melihat di masjid suatu kaum berkelompok-kelompok sambil duduk menunggu sholat, dimana setiap kelompok terdapat seseorang dimana pada tangannya terdapat kerikil dan mengatakan, ‘Bertakbirlah kalian 100.’ Maka mereka pun bertakbir; ‘Katakanlah oleh kalian Lã Ilãha illallõh’ 100, maka mereka pun melakukannya; ‘Bertasbihlah kalian 100’, maka mereka pun melakukannya. Apa yang Anda katakan kepada mereka?”
‘Abdullõh bin Mas’ũd رضي الله عنه menjawab, “Aku tidak mengatakan apa pun kepada mereka, kecuali hanya aku perintahkan kepada mereka, ‘Coba kalian hitung kesalahan-kesalahan kalian dan aku jamin pada mereka untuk tidak menyia-nyiakan kebaikan-kebaikan mereka’.”
Sehingga pembicaraan mereka itu pun berlalu.
Kemudian ‘Abdullõh bin Mas’ũd رضي الله عنه mendatangi pada kelompok-kelompok tersebut dan berdiri dihadapan mereka dan mengatakan, “Apa yang kalian lakukan?”
Kata mereka, “Wahai Abu ‘Abdillãh, kerikil kami hitung dengannya takbir, tahlil dan tasbih.”
Lalu ‘Abdullõh bin Mas’ũd رضي الله عنه kembali berkata, “Hitunglah kejelekan-kejelekan kalian, aku jamin kalian tidak akan menyia-nyiakan kebaikan kalian sedikitpun. Celaka kalian wahai ummat Muhammad, betapa cepatnya kesesatan kalian. Mereka, para shohabat Nabi kalian begitu banyak dan ini bajunya belum juga rusak dan ini bejananya belum juga pecah. Demi yang jiwaku ditangan-Nya, sesungguhnya kalian diatas ajaran yang paling lurus dari ajaran Muhammad صلى الله عليه وسلم. Apakah kalian akan menjadi pembuka-pembuka pintu kesesatan?”
Mereka menjawab, “Yaa Abu ‘Abdurrohmãn, tidak ada yang kami inginkan kecuali kebaikan.”
Beliau رضي الله عنه berkata, “Berapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tetapi tidak mendapatkannya. Sesungguhnya Rosũl صلى الله عليه وسلم mengatakan kepada kami bahwa suatu kaum membaca Al Qur’an tidak melewati tenggorokannya. Demi Allõh, saya tidak tahu, jangan-jangan dari kebanyakan mereka itu ada diantara kalian.”
Kemudian beliau رضي الله عنه pung berpaling.
(Hadits riwayat Al Imãm Ad Dãrimy no: 204 dari ‘Abdullõh bin Mas’ũd رضي الله عنه dan Syaikh Husain Salĩm Asad mengatakan sanad hadits ini baik)
Juga sebagaimana dalam riwayat berikut ini :
عن أبي عثمان قال كتب عامل لعمر بن الخطاب إليه أن ها هنا قوما يجتمعون فيدعون للمسلمين وللأمير فكتب إليه عمر أقبل وأقبل بهم معك فأقبل وقال عمر للبواب أعد لي سوطا فلما دخلوا على عمر أقبل على أميرهم ضربا بالسوط فقال يا عمر إنا لسنا أولئك الذين يعني أولئك قوم ياتون من قبل المشرق
Artinya:
Sebagaimana diriwayatkan dari Abu ‘Utsman yang mengatakan bahwa salah seorang pekerja ‘Umar bin Khoththõb رضي الله عنه menulis surat padanya, bahwa disini terdapat suatu kaum yang berkumpul dan mendoakan kaum muslimin dan ‘Amĩr (pemimpin), kemudian ‘Umar رضي الله عنه membalasnya, “Temui, temui mereka.”
Dan ‘Umar رضي الله عنه berkata kepada penjaga pintu, “Siapkan untukku cambuk.”
Dan ketika mereka masuk, oleh ‘Umar رضي الله عنه, pemimpin mereka, disambutnya dengan pukulan cambuk, lalu kemudian orang itu berkata, “Wahai ‘Umar, bukan kami mereka itu, melainkan mereka adalah kaum yang datang dari arah timur.”
Perhatikanlah bahwa pada kisah yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah رضي الله عنه dalam Kitab “Al Mushonnif”-nya no: 26191 sebagaimana dikisahkan diatas, betapa ‘Umar bin Khoththõb رضي الله عنه sedemikian tegas mengingkari sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang ada pada zaman Rosũl صلى الله عليه وسلم dan sesuatu yang tidak dipahami demikian oleh beliau رضي الله عنه dan para Shohabat رضي الله عنهم.
Padahal, secara kasat mata orang sekarang mengatakan yang seperti itu, yakni menghitung dengan tasbih, berdzikir secara berkelompok-kelompok dengan ada komando dari pimpinan mereka; hal ini dianggapnya sudah menjadi bagian dari ajaran Islam, padahal yang seperti itu jelas-jelas diingkari oleh para shohabat Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم sebagaimana dijelaskan dalam Hadits diatas.
Termasuk kategori “Bid’ah ‘Amaliyyah”, contohnya: ‘Umar bin Khoththõb رضي الله عنه pernah mengingkari (melarang) seseorang yang mengharap rizqi dengan berdzikir terus-menerus di dalam masjid. Oleh ‘Umar bin Khoththõb رضي الله عنه, orang-orang tersebut diusirnya keluar masjid, sambil beliau رضي الله عنه memerintahkan agar mereka bekerja, karena sesungguhnya langit tidak akan menghujani mereka dengan emas dan perak karena dzikir mereka.
Hal itu sebagaimana dijelaskan oleh Penulis kitab “Maw ‘idzotul Mu’minĩn min ‘Ihyã’i Ulumuddĩn” halaman 177, beliau berkata bahwa ‘Umar bin Khoththõb رضي الله عنه melihat sekelompok orang yang sedang duduk-duduk di masjid setelah sholat Jum’at, lalu beliau mengingkari mereka sambil berkata:
وقال عمر رضي الله عنه لا يقعد أحدكم عن طلب الرزق ويقول اللهم ارزقني فقد علمتم أن السماء لا تمطر ذهبا ولا فضة.وقال ابن مسعود رضي الله عنه إني لأكره أن أرى الرجل فارغا لا في أمر دنياه ولا في أمر آخرته
Artinya:
“Tidaklah seorang dari kalian duduk (tidak bekerja) dari mencari rizqi, dan mengatakan, “Allõhumma (yaa Allõh), berikanlah aku rizqi”; padahal kalian tahu bahwa langit tidak dapat menurunkan emas dan perak.”
Dan Ibnu Mas’uud رضي الله عنه juga berkata, “Sungguh aku benci melihat orang yang menganggur, kosong, tidak dalam perkara dunia, tidak dalam perkara akherat.”
Jadi itu jelas-jelas merupakan pengingkaran bahwa orang mencari rizqi itu bukanlah dengan cara wirid. Mencari rizqi hendaklah dengan cara bekerja, melakukan pekerjaan apa pun yang dibolehkan oleh Syari’at Islam (sebagaimana telah difirmankan Allõh سبحانه وتعالى dalam QS. Al-Jumu’ah (62): 10, “Apabila telah ditunaikan sholat Jum’at, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allõh dan ingatlah Allõh sebanyak-banyaknya, supaya kamu beruntung.”
Berarti Bid’ah dan hal-hal yang seperti itu sudah muncul sejak zaman Shohabat رضي الله عنهم, tetapi ditumpas sedemikian rupa, sehingga tidak pernah bangkit dan marak, karena pemegang panji-panji Sunnah di kala itu demikian banyak dan kuat.
Sedangkan di zaman sekarang, di tengah masyarakat justru yang terjadi adalah banyaknya kejahilan dan jauhnya manusia dari keseimbangan dalam urusan dĩn (agama), serta sedikitnya kaum Muslimin yang menjadi penjaga Sunnah dengan ber-amar ma’ruf nahi munkar, maka yang terjadi adalah seperti apa yang kita lihat sekarang yakni: maraknya Bid’ah di berbagai tempat.
TANYA JAWAB
Pertanyaan:
Dijelaskan diatas bahwa salah satu penyebab timbulnya Bid’ah adalah penggunaan hadits-hadits Dho’ĩf dan Maudhu’. Sementara bagi kami, jama’ah ini, tidak mengetahui mana yang tergolong kedalam hadits-hadits Dho’ĩf dan Maudhu’. Bagaimana caranya mengetahui hadits-hadits Dho’ĩf tersebut?
Ternyata Bid’ah cukup marak di lingkungan kita, mulai dari hal-hal yang sehari-hari kita temui sampai hal-hal yang sifatnya kenegaraan. Tentunya yang kami maksudkan itu bukanlah hal-hal yang sepele. Hal-hal yang sifatnya keseharian, misalnya saja sholat, ketika sholat diakhiri dengan salam dan mengusap muka. Dalam beberapa hadits yang kami baca dalam buku karangan Bapak Muhammad Hasbi As Sidiqi, dengan mengutip hadits-hadits tertentu ia mengatakan bahwa mengusap muka sesudah salam ketika akhir sholat adalah hadits yang diriwayatkan secara lemah (Dho’ĩf), sehingga tidak bisa dipakai sebagai hujjah. Namun, beliau itu mencantumkan hadits-hadits yang katanya lemah itu dalam Buku Dzikir dan Do’a susunan beliau. Bagi pembaca yang tidak mengetahui Ilmu Hadits, mungkin akan mengamalkan hadits-hadits tersebut. Lalu bagaimana cara mengetahui ke-shohĩh-an atau ke-dho’ĩf-an sebuah hadits?
Jawaban:
Memang banyak sekali perbuatan-perbuatan Bid’ah di masyarakat. Masalahnya adalah banyak sekali Hadits yang Dho’ĩf (Lemah) dan Hadits yang Maudhũ’ (Palsu) yang menyebar dalam masyarakat, bahkan didukung oleh para Ustadz dan para Khotib, yang mereka tidak banyak mengetahui tentang hadits itu sendiri. Contohnya, Hadits yang mengatakan: “Surga itu dibawah telapak kaki ibu.” Itu adalah Hadits Palsu. Penjelasan seperti ini jarang dikemukakan. Jarang pula mereka menjelaskan tentang status Hadits-nya.
Perlu kami sampaikan bahwa bila ada satu kitab, atau hadits yang dibawahnya tidak ada keterangan perowi-nya, maka tidak perlu dipakai dulu. Tanyakan dulu kepada Ustadz yang memang paham tentang masalah Hadits. Jangan diamalkan dulu, sampai ada keterangan yang jelas.
Kalaupun misalnya ada perowi-nya, tetapi perowi-nya seperti berikut, contoh: Ibnu ‘Adi, maka jangan anda amalkan dulu. Karena Ibnu ‘Adi menulis kitab yang disebut Kitab “Adh Dhu’afã (Kitab Orang-orang Lemah)”. Dalam kitab tersebut disebutkan contoh-contoh hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang Lemah. Orang yang tidak tahu akan menganggap bahwa itu sebagai suatu hadits, lalu langsung diriwayatkan begitu saja. Padahal itu kumpulan Hadits-Hadits yang Lemah (dho’ĩf).
Misalnya lagi Abu Asy Syaikh, Hadits yang berasal dari kitabnya jangan langsung dipercaya dulu. Karena haditsnya banyak yang dho’ĩf (Lemah) dan maudhũ’ (Palsu). Juga Imãm Ad Dailamy. Hadits yang berasal dari Kitabnya, juga jangan langsung dipercaya / diamalkan dulu. Beliau menulis kitab yang bernama Kitab “Musnad Al Firdaus”, yang isinya hadits-hadits Lemah (dho’ĩf) dan palsu (maudhũ’). Beliau adalah seorang Imãm, tetapi menulis kitab yang menjelaskan kepada ummat bahwa hadits-hadits yang ada didalam kitabnya itu adalah tergolong hadits-hadits lemah dan palsu. Tetapi orang umum tidak bisa menyaringnya.
Kalaupun ditulis disitu: “Riwayat At Turmudzy”, maka jangan juga langsung diamalkan tanpa tahu persis status haditsnya.
Tetapi kalau misalnya, beliau Al Imãm At Turmudzy sendiri yang mengatakan bahwa “Hadits ini Hasãnun Shohĩh”, maka berarti Hadits tersebut sudah beliau teliti bahwa ia termasuk Hadits yang maqbũl (bisa diterima). Dengan demikian, kalau Al Imãm At Turmudzy sendiri sudah mengatakan bahwa status Hadits itu demikian, maka barulah boleh kita amalkan.
Kalau ingin lebih detail lagi, lebih yakin lagi, kita dapat mengamalkan suatu hadits yang lengkap dengan keterangan nomornya, contoh: Hadits Riwayat Al Imãm Al Bukhõry nomor…… (sekian), nah barulah boleh kita amalkan. Karena kita bisa merujuk ke kitabnya. Demikianlah kiatnya, agar kita tidak terjebak dalam amalan yang sia-sia.
Pertanyaan:
Apakah atsar Shohabat dan atsar Tabi’ĩn merupakan hujjah dalam Islam?
Jawaban:
Tentu atsar Shohabat bukan hujjah. Jangankan atsar Shohabat atau Tabi’ĩn. Perkataan Shohabat saja, yang mana bila perkataan tersebut bertentangan dengan Shohabat yang lain (jika ada kontradiksi), maka itu pun tidak bisa menjadi hujjah. Apalagi urutan kebawahnya, apalagi para Imãm, apalagi para Kyai. Maka perkataan para Ustadz sampai kemanapun tidak bisa menjadi hujjah. Yang bisa menjadi hujjah adalah sabda Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم yang shohĩhah.
Pertanyaan:
1) Bagaimana bila atsar Shohabat bertentangan dengan Hadits Marfu’?
2) Adzan dua kali ketika sholat Jum’at itu apakah Sunnah ataukah Bid’ah?
Jawaban:
1) Hadits Marfũ’ adalah: Hadits yang sanadnya sampai kepada Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم. Tetapi harus diingat bahwa sebuah hadits bisa Marfũ’ (– riwayatnya sampai / berakhir pada Nabi صلى الله عليه وسلم –), bisa Mauqũf (– riwayatnya sampai / berakhir pada Shobahat رضي الله عنهم –), bisa Maqthũ’ (– riwayatnya sampai / berakhir pada Tabi’ĩn –).
Tetapi meskipun ia Marfu’ hukumnya, namun belum tentu shohĩh-nya. Maka harus tetap dijelaskan statusnya, hadits tersebut itu shohĩh ataukah dho’ĩf.
Maka diatas dikatakan bahwa kalau ia merupakan atsar maka bukanlah hujjah. Hadits Marfu’ pun kalau tidak shohĩh, maka ia bukanlah hujjah.
2) Sebagai contoh tentang pertanyaan mengenai Adzan dua kali dalam Sholat Jum’at itu adalah pada masa Kholĩfah ‘Utsman bin Affãn رضي الله عنه.
Hal itu sebagaimana dalam Hadits Riwayat Al Imãm Al Bukhõry no: 912 sebagai berikut:
عن السائب بن يزيد -رضي الله عنه- قال: “كَانَ النِّدَاءُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوَّلُهُ إِذَا جَلَسَ الإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ -صلى الله عليه وسلم- وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ -رضي الله عنهما- فَلَمَّا كَانَ عُثْمَانُ -رضي الله عنه- وَكَثُرَ النَّاسُ زَادَ النِّدَاءَ الثَّالِثَ عَلَى الزَّوْرَاءِ”
Artinya:
Dari Shohabat Sã’ib Ibn Yazĩd رضي الله عنه, beliau berkata, “Adzan pertama pada hari Jum’at adalah jika imam sudah duduk di atas mimbar pada masa Nabi صلى الله عليه وسلم, Abu Bakar, ‘Umar رضي الله عنهما. Namun ketika Pada masa ‘Ustman رضي الله عنه, orang-orang sudah semakin banyak, maka beliau menambahkan adzan ketiga di atas Zauro’.”
Zauro’ adalah: suatu tempat yang suara adzannya bisa sampai ke pasar-pasar.
Al Imãm Al Bukhõry رحمه الله menyebutnya sebagai “adzan yang ketiga”, karena secara istilah “iqomat” juga disebut sebagai “adzan” seperti yang disabdakan Nabi صلى الله عليه وسلم:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مُغَفَّلٍ الْمُزَنِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ – ثَلاَثًا – لِمَنْ شَاءَ.
Artinya:
Dari ‘Abdullõh bin Mughoffal Al Muzanny رضي الله عنه, bahwa Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم, bersabda, “Antara 2 adzan terdapat sholat (diulang 3X), bagi yang mau.” (Hadits Shohĩh Riwayat Al Imãm Al Bukhõry no: 624 dan Al Imãm Muslim no: 838)
Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم menyebut “adzan dan iqomat” dengan istilah “2 adzan”.
Pelajaran yang dapat diambil dari dua Hadits yang diriwayatkan oleh Al Imãm Al Bukhõry رحمه الله adalah bahwa “adzan” pada sholat jum’at yang semula hanya ada 2 yakni “adzan dan iqomat” saja, kemudian ditambah oleh ‘Utsman رضي الله عنه dengan 1 adzan, seperti disebutkan oleh Al Imãm Bukhõry رحمه الله dengan istilah “adzan yang ketiga”, maka adzan pada sholat Jum’at sejak zaman Kholĩfah ‘Utsman رضي الله عنه menjadi “adzan pertama, adzan kedua dan iqomah”.
Ibnu Hajar Al-Asqolãny رحمه الله di dalam “Fathul Bãri” Juz 2 hal 394 berkata :
وَالَّذِي يَظْهَرُ أَنَّ النَّاسَ أَخَذُوا بِفِعْلِ عُثْمَانَ فِي جَمِيعِ الْبِلَادِ إِذْ ذَاكَ لِكَوْنِهِ خَلِيفَةً مُطَاعَ الْأَمْرِ
Artinya:
“Yang jelas bahwa orang-orang mengambil perkataan ‘Utsman bin Affan رضي الله عنه di seluruh negeri pada waktu itu, karena beliau berposisi sebagai Kholĩfah yang dipatuhi.”
Dengan demikian, Adzan dua kali pada sholat Jum’at adalah Sunnah, karena itu adalah Sunnah-nya Khulafã Ar Rõsyidĩn. Melaksanakan Sunnah ‘Utsman bin Affãn رضي الله عنه pada hakekatnya adalah mengikuti Sunnah Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم, karena beliau صلى الله عليه وسلم bersabda:
فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين عضوا عليها بالنواجذ
Artinya:
“Hendaknya kalian berpegang teguh pada Sunnahku dan Sunnah Khulafã Ar Rõsyidĩn setelahku.” (Hadits Shohĩh Riwayat Al Imãm At Turmudzy no: 2676, dari Shohabat Al Irbãdh Ibnu Sãriyah رضي الله عنه)
Diantara Khulafã Ar Rõsyidĩn adalah ‘Utsman bin Affãn رضي الله عنه. Maka Adzan dua kali adalah Sunnah. Hanya saja tatacara penerapannya di masyarakat kita yang salah. Yang dilaksanakan oleh ‘Utsman bin Affãn رضي الله عنه adalah jarak waktu antara Adzan pertama dengan Adzan kedua adalah agak lama, karena itu dalam rangka mengingatkan kaum muslimin yang sedang sibuk bekerja di pasar-pasar, di sawah atau dimana saja tempat mereka bekerja; agar mereka berhenti bekerja sebab sebentar lagi akan melaksanakan sholat Jum’at. Sesudah mendengarkan adzan pertama itu diharapkan kaum muslimin segera pulang, mandi dan siap-siap untuk ke masjid dan sholat Jum’at. Jadi, Adzan pertama itu bukan untuk Qobliyah Jum’at.
Sementara di tempat kita, di masyarakat kita, adanya Adzan dua kali itu adalah untuk “upacara” seputar sholat Jum’at yang tidak diajarkan oleh Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم. Biasanya di masjid-masjid yang standar Bid’ah-nya adalah melakukan kegiatan secara rutin yakni: pertama, dilakukan pengumuman hasil kotak amal, saldo keuangan masjid, nama khotibnya, dll, setelah itu lalu Adzan. Setelah Adzan, jama’ah bangun semua untuk melakukan sholat Qobliyah Jum’at. Lalu Mu’adzin memberikan aba-aba tertentu kepada Khotib, lalu serah terima jabatan dilambangkan dengan tongkat kepada Khotib, lalu Khotib melangkah ke tangga pertama membaca suatu lafal tertentu, berbalik, lalu naik ke tangga kedua membaca suatu lafal lagi, dan seterusnya sampai diatas mimbar. Itu semua adalah Bid’ah.
Kesimpulannya:
Adzan dua kali ketika sholat Jum’at adalah Sunnah, selama caranya sesuai dengan yang dilakukan oleh ‘Utsman bin Affãn رضي الله عنه, seperti dijelaskan diatas. Kalau tatacaranya menyimpang, maka menjadi Bid’ah.
Pertanyaan:
Siapakah yang berhak men-tahdzir Ahli Bid’ah di suatu daerah? Apakah harus berdasarkan fatwa ‘Ulama Besar ataukah salah seorang Ustadz ahli ‘ilmu di kalangan manhaj Salaf yang ada di daerah tersebut?
Jawab:
Kaum Muslimin hendaknya disambungkan dengan para ‘Ulama; agar janganlah bermudah-mudah untuk men-tahdzir dalam perkara yang belum jelas duduk perkaranya apakah itu Bid’ah ataukah bukan.
Hendaknya pula kaum Muslimin memperhatikan TAHAPAN dalam BERDAKWAH. Karena Bid’ah itu sendiri terbagi menjadi Bid’atun Mukaffiroh (Bid’ah yang menjadikan seseorang menjadi kãfir, murtad) dan ada pula Bid’atun Mufassiqoh (Bid’ah yang tidak menyebabkan seseorang keluar dari Al Islam. Masih berstatus Muslim, akan tetapi Fãsiq). Hendaknya kaum Muslimin mempunyai PRIORITAS dalam BERDAKWAH, sehingga dapat memberikan perlakuan yang berbeda kepada kedua jenis pelaku Bid’ah tersebut.
Jangan sampai bermudah-mudahan men-tahdzir seorang pelaku Bid’atun Mufassiqoh, yang sebenarnya ia masih Muslim; tetapi disisi lain mendiamkan kedzoliman orang-orang kãfir, orang-orang Syiah Rõfidhoh yang jauh lebih berbahaya untuk dihadapi; atau juga disisi lain membiarkan pemurtadan terjadi, serta mendiamkan pelaku Bid’atun Mukaffiroh. Maka hal ini sebenarnya kurang memperhatikan prioritas dalam berdakwah.
Kalau memang sudah jelas-jelas itu adalah bid’ah, dan misalnya kategorinya adalah Bid’atun Mufassiqoh; maka berusahalah untuk berdakwah dengan cara yang baik dan hikmah terlebih dahulu. Ajaklah diskusi para pelaku bid’ah tersebut, siapa tahu karena mereka memang belum mengerti ‘ilmu-nya. Jangan langsung men-tahdzir. Karena bermudah-mudah men-tahdzir tanpa ‘ilmu, justru dapat menimbulkan permusuhan dan perpecahan di kalangan kaum Muslimin. Dan ini pun berbahaya. Karena dikala orang-orang Kãfir, orang-orang Syi’ah, orang-orang Atheis / Komunis bersatu padu memerangi kaum Muslimin; kaum Muslimin disisi lain malah justru berpecah belah di dalam tubuh kaum Muslimin sendiri akibat kurangnya hikmah dalam berdakwah dan bermudah-mudah men-tahdzir sesama Muslim tanpa ‘ilmu.
Oleh karena itu, supaya tidak terjadi fitnah dan tidak terjadi perpecahan di kalangan kaum Muslimin, hendaknya yang boleh men-tahdzir hanyalah orang yang mempunyai wawasan yang mendalam / faqih dibidang ‘ilmu dĩn (Islam). Sehingga ia yang akan bertanggungjawab. Dan ia haruslah seorang ‘Ulama yang terkenal memiliki sifat Waro’, orang yang sungguh-sungguh ber-Taqwa, orang yang hawa nafsu-nya terkendali.‘Ulama seperti itu lah yang baru boleh men-tahdzir, sehingga tahdzir-nya dilakukan atas dasar kedalaman ‘ilmu dĩn-nya; dan bukanlah atas dasar hawa nafsu-nya atau karena kepentingan kelompok / golongannya.
Dengan demikian, perkara tahdzir ini tidak boleh dilakukan oleh sembarang orang, karena dapat menimbulkan perpecahan bila tahdzir men-tahdzir dilakukan atas dasar hawa nafsu.
Men-tahdzir Ahlul Bid’ah adalah memang bagian dari Sunnah; akan tetapi men-tahdzir yang dilakukan bukan diatas ‘ilmu justru akan menimbulkan perpecahan di kalangan kaum Muslimin itu sendiri.
Pertanyaan:
Apakah partai politik, demokrasi, Pemilu dan Parlemen termasuk jenis Bid’ah? Jika Bid’ah, apa hukumnya?
Jawaban:
Kalau ada orang yang MEYAKINI selain Allõh سبحانه وتعالى ada yang berkuasa, maka itu bukan urusan Bid’ah, melainkan urusan syirik (kemusyrikan). Itu berbahaya, bisa menjadi kufur. Misalnya, ada orang BERKEYAKINAN bahwa yang berkuasa itu adalah rakyat, maka itu sudah tidak sesuai dengan aqidah Ahlus Sunnah Wal Jamã’ah. Karena menurut ‘aqidah Ahlus Sunnah Wal Jamã’ah, Penguasa adalah Allõh سبحانه وتعالى, bukan Rakyat.
Kalau penguasanya rakyat, maka rakyat lah yang menetapkan hukum. Kalau rakyat yang menetapkan hukum, maka menjadi relatif, karena mereka tidak berhukum pada hukum Allõh سبحانه وتعالى. Dan apabila ada orang yang MEYAKINI bahwa mereka boleh berhukum dengan selain Hukum Allõh سبحانه وتعالى, maka ini sangat berbahaya, dapat terancam menjadi murtad, keluar dari Al Islam.
Pertanyaan:
Bagaimana i’tikaf itu dilaksanakan, bila i’tikaf-nya adalah pada hari Jum’at dimana kami juga mesti sholat Jum’at?
Jawaban:
Melakukan i’tikaf itu haruslah di masjid, tidak boleh di mushola atau di surau atau di rumah. I’tikaf itu harus di masjid, dimana masjid itu juga untuk sholat Jum’at (– Masjid Jãmi’ –). Jadi orang yang i’tikaf bisa mengikuti sholat Jum’at di masjid tersebut, tidak harus keluar dari tempat ia i’tikaf. Sebab kalau ia keluar dari tempat i’tikaf, berarti ia batal i’tikaf-nya.
Pertanyaan:
Bagaimana jika dalam sebuah masjid ada kuburannya? Lalu bagaimana sholat di masjid yang ada kuburannya tersebut?
Jawaban:
Dalam pertemuan terdahulu pernah dijawab masalah tersebut. Bahwa sholat didalam masjid yang ada kuburan / (makam) itu tidak boleh. Hal itu sebagaimana dalam Hadits Riwayat Al Imãm At Turmudzy no: 317, Al Imãm Ibnu Mãjah no: 745, Al Imãm Ad Dãrimi no: 1390, dan Al Imãm Ahmad (3/83), dan Syaikh Nashiruddin Al Albãny mengatakan bahwa Hadits ini Shohĩh, dari Shohabat Abu Sã’id Al Khudri رضي الله عنه, bahwa Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم bersabda,
الأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلاَّ الْمَقْبُرَةَ وَالْحَمَّامَ
Artinya:
“Seluruh bumi adalah masjid (boleh digunakan untuk shalat), kecuali kuburan dan tempat pemandian.”
Berarti Sholat di masjid yang ada kuburan-nya itu, Sholat-nya tidak sah dan harus diulang. Termasuk bila di halaman depan atau samping masjid itu ada kuburan. Karena itu masih termasuk areal masjid.
Seandainya tanah masjid itu menyambung dengan tanah orang yang ada kuburannya, tidak ada batas, itu pun tidak sah sholat di masjid tersebut. Bila ada pagarnya atau berseberangan jalan dengan kuburan, itu pun makruh. Sebaiknya tidak sholat di masjid yang demikian itu. Carilah masjid yang lain.
Kecuali Masjid Nabawy di Madinah. Itu pengecualian. Masjid Nabawy sekarang menampung tidak kurang dari satu juta orang jama’ah. Mula-mula makam Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم di luar areal masjid. Tetapi karena perkembangan zaman, masjid semakin diperluas, sehingga makam Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم menjadi masuk dalam areal masjid.
Sebagaimana dalam Hadits Riwayat Al Imãm Muslim no: 3434 dan Al Imãm Al Bukhõry no: 1195, dari ‘Abdullõh bin Zaid Al Mãziniy رضي الله عنه, bahwa Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم bersabda:
مَا بَيْنَ بَيْتِى وَمِنْبَرِى رَوْضَةٌ مِنْ رِيَاضِ الْجَنَّةِ
Artinya:
“Antara mimbarku dan kamar tidurku ada taman surga (Raudhoh).”
Jadi pada waktu itu terpisah. Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم wafat di kamar ‘Ã’isyah رضي الله عنها dan dikubur di kamar tersebut. Hal itu sebagaimana yang diterangkan dalam Hadits Riwayat Al Imãm At Turmudzy, didalam “Sunnan At Turmudzy” Jilid 3 halaman 338, no: 1018, di-shohĩh-kan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albãny sebagai berikut:
عن عائشة قالت : لما قبض رسول الله صلى الله عليه و سلم اختلفوا في دفنه فقال أبو بكر سمعت من رسول الله صلى الله عليه و سلم شيئا ما نسيته قال ما قبض الله نبيا إلا في الموضع الذي يحب أن يدفن فيه أدفنوه في موضع فراشه
Artinya:
Dari ‘Ã’isyah رضي الله عنها, beliau berkata, “Pada saat Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم wafat, para Shohabat berselisih tentang dimana beliau akan dikuburkan.
Maka Abu Bakar Ash Shiddiq رضي الله عنه berkata, “Aku mendengar Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم bersabda sesuatu yang tidak kulupakan, yaitu, “Tidaklah Allõh mewafatkan seorang Nabi, kecuali dikuburkan ditempat yang dia suka untuk dikuburkan disana, maka kuburkanlah beliau di tempat tidurnya.”
Kemudian para Shohabat memakamkannya di tempat tidurnya.”
Karena Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم wafat di kamar ‘Ã’isyah رضي الله عنها, maka beliau صلى الله عليه وسلم dikubur di kamar itu. Sekarang makam itu dibatasi oleh batas yang tinggi sehingga tertutup. Sebelum dibatasi, orang-orang Syi’ah sering thawaf di tempat itu mengelilingi kuburan Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم.
Pertanyaan:
Bagaimana menjawab secara dalil kalau ada seorang Ustadz yang bila ditanya tentang masalah Bid’ah, lalu ia malah memberi jawaban yang bersifat “menghibur”, misalnya seperti ini, “Itu tidak mengapa, itu kan Sunnah, bukan Wajib. Dikerjakan saja sudah Alhamdulillah.”
Jawaban:
Ustadz yang demikian bukan menghibur, melainkan ia mengajari Bid’ah. Kalau ada Ustadz yang menjawab seperti itu, mestinya ia jangan menjadi Ustadz, melainkan hendaknya belajar / menuntut ‘ilmu syar’i terlebih dahulu.
Pertanyaan:
Bagaimana hukum dari mengusap wajah sesudah salam, selesai sholat?
Jawaban:
Mengusap wajah selesai sholat tidak ada dalam Sunnah Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم yang shohĩh.
Pertanyaan:
Tentang pendapatnya Al Imãm Mãlik bin Anas رحمه الله bahwa perlunya dalil untuk mempertahankan kemurnian dĩn dan menghindari Bid’ah. Nah, sekarang ini banyak orang atau majlis ta’lim yang meng-klaim dirinya sebagai Ahlus Sunnah Wal Jamã’ah, tetapi mereka itu mempergunakan dalil yang berbeda-beda. Padahal apa yang mereka dakwahkan itu banyak yang tergolong Bid’ah dan Khurofat. Yang demikian itu berlangsung sampai saat ini. Bagaimana sikap kita dalam menghadapi hal yang demikian tersebut?
Jawaban:
Untuk perkara selamat atau celaka (dunia dan akhirat) itu harus kita tumbuhkan sikap kritis. Dalam menyikapi Islam, kita harus dengan tiga fase. Setiap keterangan yang masuk ke telinga kita, haruslah kita tanyakan dalam tiga fase berikut:
Fase Pertama, apakah ada dalil-nya.
Kalau tidak ada dalil-nya, maka tidak perlu didengar. Karena :
إِنَّ اللَّهَ كَرِهَ لَكُمْ ثَلَاثًا قِيلَ وَقَالَ
Artinya:
“Sesungguhnya Allõh سبحانه وتعالى membenci tiga perkara, yaitu: Perkara yang berasal dari ‘Katanya, katanya…’.” (Hadits Riwayat Al Imãm Al Bukhõry no: 1477 dan Al Imãm Muslim no: 4582, dari Shohabat Al Mughĩroh bin Syu’bah رضي الله عنه)
Jadi yang demikian itu berarti keterangan itu hanya bualan saja.
Kedua, yang juga dibenci adalah menyia-nyiakan harta benda, dan Ketiga adalah orang yang banyak bertanya.
Jadi, kalau ada dalilnya, barulah boleh didengar. Tetapi dalil itu masih ada yang “Maqbul (Diterima)” dan ada yang “Marduud (Tertolak)”.
Dalil yang “Marduud” ada dua: Dho’ĩf (Lemah) dan Maudhũ’ (Palsu).
Dalil yang “Maqbul” juga ada dua, yaitu: Ma’mũl (Diamalkan) dan Tidak Ma’mũl (Tidak Diamalkan).
Mengapa ada hadits Maqbul tetapi tidak diamalkan? Karena hadits tersebut sudah di-mansukh. Hadits mansukh itu tidak diamalkan, walaupun itu hadits shohĩh.
Fase Kedua, bukan hanya sekedar ada dalil, tetapi hendaknya dalil yang shohĩh.
Fase Ketiga, tanyakan dengan pemahaman siapakah anda memahami hadits yang dimaksud tersebut.
Disinilah perlunya pemahaman Salafush Shõlih, yaitu pemahaman berdasarkan pahamnya para Shohabat, Tabi’ĩn, Tabi’ut Tabi’ĩn dan para Imãm yang mu’tabar. Karena mereka adalah manusia yang paling ‘alim. Mereka lebih taqwa, lebih hakim dan lebih bijaksana dibandingkan kita. Mereka adalah manusia-manusia kualitas tinggi, yang jaminannya pun datang dari Hadits Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم.
Karena memahami dalil itu bukanlah sesuai hawa nafsu diri kita sendiri. Meskipun ada seseorang yang mengatakan bahwa ia sudah mempelajari bahasa Arab dan sudah hafal seribu bait dalam Nahwu, itu pun tidaklah cukup.
Karena bahasa Arab bukan menjadi penentu dari paham dalam hal dĩn (Islam).
Bahasa Arab adalah alat untuk memahami dĩn, bukan merupakan penentu paham dalam urusan dĩn. Paham dĩn itu ditentukan dengan Fiqh para ‘Ulama. Karena tidak setiap yang diterjemahkan secara bahasa, tepat persis seperti yang dikehendaki oleh Syar’i.
Jadi ada tiga fase yang harus dikritisi: Tanyakan ada dalilnya atau tidak, shohĩh atau tidak, dan pemahaman siapa.
Ada aliran yang mengatakan: “Ini dari Al Qur’an dan Sunnah, mankul lagi.” (“Mankul” itu artinya riwayat dari gurunya ke muridnya, dari muridnya ke muridnya yang lain, dstnya)
Maka aliran tersebut menamakan dirinya “Jama’ah Mankul”. Mereka itu dari kelompok LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia).
Mereka mengatakan “Mankul”. Tetapi “Mankul” dari siapa? Ternyata setelah dirunut, “Mankul”-nya adalah pada dirinya sendiri. Mereka mengatakan bahwa semua muslim itu najis kecuali LDII. Maka mankul mereka itu dari pemahaman dirinya sendiri, bukan dari para ‘Ulama Ahlus Sunnah. Karena itu mereka menjadi sesat.
Jadi betapa pentingnya pemahaman terhadap dĩn (Islam) ini dengan pemahaman yang benar. Hendaknya pemahaman kita sesuai dengan pemahaman dĩn dari para Shohabat, Tabi’ĩn, Tabi’ut Tabi’ĩn dan para Imãm yang mu’tabar.
Pemahaman dĩn (Islam) kita hendaknya sesuai dengan pemahaman Al Imãm Asy Syãfi’iy رحمه الله, sesuai dengan ‘Abdullõh bin Mubãrok رحمه الله, sesuai dengan Abu Bakar As Siddĩq رضي الله عنه, sesuai dengan Ali bin Abi Thõlib رضي الله عنه, sesuai dengan ‘Abdullõh bin Mas’ũd, Jabir bin ‘Abdillah رضي الله عنهم, dstnya.
Begitu contoh semestinya rujukan kita, bukan menggunakan pemahaman orang-orang orientalis, orang kãfir, ataupun orang ahlul bid’ah.
Memahami dĩn (Islam) haruslah dari mereka, orang-orang yang jelas terjamin ke-shohĩh-annya, jelas ke-taqwa-annya, jelas ke-waro’-annya.
Pertanyaan:
Bila dalam suatu ruangan kantor yang besar, karena disekitarnya tidak ada masjid lalu ruangan tersebut dijadikan tempat untuk sholat Jum’at, apakah itu dibolehkan? Apakah sholat Jum’at-nya sah?
Jawaban:
Sah. Boleh saja, karena untuk meringankan keberatan umatnya. Karena bangunan kantor itu sekian puluh tingkat, lalu harus mencari masjid dulu, sehingga menjadikan perkara yang memberatkan bagi muslimin yang ada di gedung tersebut, maka yang demikian itu boleh.
Pertanyaan:
Bagaimana dengan orang yang mengatakan bahwa ia berdakwah dengan nyanyian, misalnya dengan judul: “Nada dan Dakwah.”
Jawaban:
Itu jahil. Silahkan anda membuka kitab Hadits Shohĩh Riwayat Al Imãm Al Bukhõry bahwa nyanyian, musik dan sejenisnya adalah harom. Perhatikan hadits berikut:
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ
Artinya:
“Sungguh, benar-benar sebagian dari ummatku akan muncul beberapa kaum yang menghalalkan (menjadikannya halal) zina, sutra (bagi laki-laki), khomr (minuman keras) dan alat musik.” (Hadits Riwayat Al Imãm Al Bukhõry no: 5590, dari Abu Mãlik Al Asy’ãry رضي الله عنه)
Sedangkan menurut para ‘Ulama antara lain Al Imãm Al Qurthuby, menukil dari Al Jauhary bahwa “Al Mã’azif” itu adalah “nyanyian”. Dan ‘Ulama yang lain mengartikan Rebana dan apa saja yang dipukul. Dan didalam “Al Qõmus Al Muhĩth” adalah perkara-perkara yang melalaikan seperti guitar, gendang, dan nyanyian.
Jadi Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم yang mengharomkannya. Tetapi nyanyian dan musik itu malah dijadikan sebagai wasĩlah dakwah. Itu tidak benar, karena ibadah itu tidak boleh menggunakan wasĩlah (media) yang harom.
Paradigma itu muncul karena pelakunya kurang wawasannya dalam hal dĩn (Islam). Juga karena unsur lain, misalnya hawa nafsu, popularitas, dll. Pelakunya tidak paham benar dalam hal dĩn (agama).
Alhamdulillah, kiranya cukup sekian dulu bahasan kita kali ini, mudah-mudahan bermanfaat. Kita akhiri dengan Do’a Kafaratul Majlis :
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Jakarta, Senin malam, 20 Muharrom 1426 H – 28 Februari 2005 M.
——- 0O0 ——-
Silakan download PDF : jenis-macam-bidah-aqi-280205-fnl
Assalamu ‘alaikum
Ustadz, ana ijin CoPas..
Wa ‘alaikumussalaam Warrohmatulloohi Wabarokaatuh, silakan saja.. semoga bermanfaat…. Barrokalloohu fiik
Assalamualaiykum….. izin share ustad…..
Assalamu ‘alaikum
Ustadz, ana ijin CoPas..
Wa ‘alaikumussalaam Warohmatulloohi Wabarokaatuh,
Silakan saja… semoga menjadi ilmu yang bermanfaat bagi kita semua… Barokalloohu fiik
Assalamualaikum warrahmatullahi wabarokaruh
Ustad saya izin untuk copas artikel ini untuk dshare dalam akun Fb saya
Wa ‘alaikumussalaam Warohmatulloohi Wabarokaatuh,
Silakan saja… semoga menjadi ilmu yang bermanfaat… Barokalloohu fiik
Assalamu’alaikum Pak Ustadz, saya mohon ijin copas, syukron.
Wa ‘alaikumussalaam Warohmatulloohi Wabarokaatuh,
Silakan saja… semoga menjadi ilmu yang bermanfaat… Barokalloohu fiika
Assalamu’alaikum warahmatullah ustadz, saya ijin copas, syukron
Wa ‘alaikumussalaam Warohmatulloohi Wabarokaatuh,
Silakan saja… semoga menjadi ilmu yang bermanfaat… Barokalloohu fiik.
Izin share ustadz, syukron jazakallahu khoiron.
Silakan saja… semoga menjadi ilmu yang bermanfaat… Barokalloohu fiika
Assalamu’alaikum Pak Ustadz, saya ijin share ilmu ini, syukron..
Wa ‘alaikumussalaam Warohmatulloohi Wabarokaatuh,
Silakan saja… semoga menjadi ilmu yang bermanfaat… Barokalloohu fiika
Assalamu’alaikum….. Pak saya mau tanya, setiap penjaga Ka’bah mereka itu ketemu Nabi Muhammad dalam mimpi… dan mimpi ketemu Nabi Muhammad gak mungkin bohong lah pesan Nabi dalam mimpi, itu bid’ah gak? Itu juga urusan din lah orang khusus tersebut membagi kenangan dari Rosul tsb dan efeknya semakin bagus… lha yang saya tanyakan, dalam sebagian umat Islam ada yang demikian, apakah ini sesat? Sementara ketemu Rosul adalah haq! Contoh pengarang Mawlid Habsyi… Beliau melihat Nabi Muhammad saat mengarang kitab tsb… kemudian beliau mengajarkan kepada murid-muridnya dan beliau berkata mawlid ini mashur suatu saat nanti karena cintaku kepada Nabi??? Dan kenyataannya beliau wafat dengan jelas mengucapkan la ilaha ilallah didepan para muridnya… Pertanyaannya, apakah hujah ulama soleh seperti itu ditolak mentah-mentah dan sesat dan ke neraka? Dan termasuk di Solo, termasuk keluarganya pengamal bid’ah tsb kok bisa wafat dalam sujud solat Jumat! Kita belum tentu bisa…
Wa ‘alaikumussalaam Warohmatulloohi Wabarokaatuh,
1) Ya akhi, coba anda renungkan baik-baik firman Allooh سبحانه وتعالى, sabda Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dan perkataan seorang ‘Ulama Ahlus Sunnah wal Jamaa’ah yakni Al Imaam Maalik رحمه الله berikut ini:
a) Bahwa Allooh سبحانه وتعالى berfirman dalam QS. Al Maa’idah (5) ayat 3 :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
Artinya:
“… Pada hari ini telah Ku-SEMPURNAkan untuk kamu DIIN (AGAMA)mu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhoi Islam itu menjadi diin (agama) bagimu…”
b) Bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم telah memberikan kaidah sebagai berikut:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
Artinya:
“Barangsiapa mengadakan SESUATU YANG BARU DALAM URUSAN DIIN kami yang bukan berasal darinya, maka (PERBUATAN ITU) TERTOLAK.”
(Hadits Riwayat Al Imaam Al Bukhoory no: 2697 dan Al Imaam Muslim no: 4589, dari ‘Aa’isyah رضي الله عنها)
c) Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم juga telah memberikan kaidah sebagai berikut:
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Artinya:
“JAUHKANLAH DIRI KALIAN DARI SETIAP PERKARA-PERKARA YANG BARU, karena SETIAP HAL YANG BARU DALAM DIIN adalah BID’AH, dan setiap Bid’ah adalah sesat.”
(Hadits Riwayat Imaam Abu Daawud no: 4609, dari Shohabat Al ‘Irbad bin Saariyah رضي الله عنه)
d) Perkataan seorang ‘Ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah yakni Al Imaam Maalik رحمه الله (guru dari Al Imaam Asy Syaafi’iy رحمه الله) sebagaimana diutarakan berikut ini:
قال الشاطبي في الاعتصام : قال ابن الماجشون سمعت مالكا يقول من ابتدع في الاسلام بدعه يراها حسنه فقد زعم ان محمدا ( صلى الله عليه وسلم ) خان الرسالة لان الله يقول ) اليوم أكملت لكم دينكم ( فما لم يكن يومئذ دينا فلا يكون اليوم دينا
Artinya:
Telah berkata Al Imaam Asy Syaathiby dalam kitab “Al I’tishoom”, “Telah berkata Ibnul Maajisyuun, “Aku mendengar Imaam Maalik (– guru Imaam Asy Syaafi’iy–) berkata, ‘Tidaklah seseorang melakukan kebid’ahan dalam perkara diin, dengan mengada-ada sesuatu yang baru yang dia pandang baik, maka sesungguhnya dia telah mengklaim bahwa Muhammad صلى الله عليه وسلم telah mengkhianati risaalah, karena Allooh سبحانه وتعالى berfirman “Hari ini telah kusempurnakan dien untuk kalian“. Maka APA-APA YANG HARI ITU (zaman Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم hidup) TIDAK MERUPAKAN DIIN (AGAMA), MAKA PADA HARI INI TIDAK DISEBUT SEBAGAI DIIN (AGAMA).”
Apakah anda tidak meyakini firman Allooh سبحانه وتعالى sebagaimana dalam QS. Al Maa’idah (5) ayat 3 diatas, bahwa ISLAM ITU SUDAH SEMPURNA? JIKA ISLAM ITU SUDAH SEMPURNA, MAKA TIDAK PERLU DITAMBAH-TAMBAH / DIKURANG-KURANGI.
Yang penting adalah kita secara Kaffah berusaha mengamalkan dan mengaktualisasikan apa yang menjadi tuntunan Allooh سبحانه وتعالى dan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم yang sudah sempurna dan sudah baku itu.
2) Ustadz tidak mengatakan bahwa orang yang meriwayatkan bahwa dirinya bermimpi bertemu Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم itu adalah bohong. Walaupun demikian perlu diketahui oleh kaum Muslimin bahwa masa periwayatan Hadits itu saja sekarang sudah terputus, oleh karena itu apa-apa yang dikatakan oleh seseorang (siapapun juga) sesudah masa periwayatan Hadits itu terputus yang notabene adalah tidak berasal dari Al Qur’an ataupun As Sunnah yang shohiihah, dan juga tidak berasal dari Ijma para Shohabat atau dari Ijma para Mujtahidin zaman sekarang, adalah merupakan sesuatu AJARAN BARU; karena boleh anda buktikan sendiri dari meneliti Al Qur’an ataupun As Sunnah yang shohiihah atau dari Ijma para Shohabat atau dari Ijma para Mujtahidin zaman sekarang bahwa apa yang anda sebutkan itu (perayaan Maulid Nabi) adalah TIDAK ADA tuntunannya dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dimasa beliau hidup.
Bahkan PERAYAAN MAULID NABI itu adalah merupakan sikap TASYABBUH (MENYERUPAI) ORANG KAAFIR yang DILARANG KERAS OLEH ROSUULULLOOH صلى الله عليه وسلم SENDIRI, sebagaimana dalam Hadits Riwayat Al Imaam Abu Daawud no: 4033, dan Syaikh Nashirudiin Al Albaany mengatakan Hadits ini Hasanun Shohiih, dari Shohabat ‘Abdullooh bin ‘Umar رضي الله عنه berikut ini:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Artinya:
“BARANGSIAPA yang MENYERUPAI SUATU KAUM, MAKA DIA BAGIAN DARI KAUM ITU.”
Jika orang Kaafir (NASHRONI) merayakan NATAL (– dalam keyakinan orang Nashroni, Natal adalah perayaan hari lahirnnya Nabi ‘Isa عليه السلام –), lalu mengapa kaum Muslimin ikut-ikutan (Tasyabbuh) orang Nashroni dengan mengadakan perayaan MAULID NABI (– perayaan hari lahirnya Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم –)? Mengapa kaum Muslimin menyerupai (TASYABBUH) terhadap orang Nashroni, padahal sikap TASYABBUH itu telah DILARANG OLEH ROSUULULLOOH صلى الله عليه وسلم ?
Belum lagi kalau didalam perayaan itu ada TAWASSUL dan TABARRUK; maka akan menjadi lebih jauh lagi dari tuntunan Allooh سبحانه وتعالى dan Rosuul-Nya صلى الله عليه وسلم. Bukankah dengan adanya ajaran seperti itu, ummat Islam menjadi banyak peluang untuk berbeda, berselisih, bahkan berpecah-belah?
Padahal kalau saja semua Muslim itu sepakat bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم telah meninggalkan 2 perkara, yang jika mereka itu berpegang-teguh dengan keduanya maka mereka itu akan selamat dan tidak akan sesat selama-lamanya, yaitu: Kitabullooh (Al Qur’an) dan Sunnah Rosuul-Nya صلى الله عليه وسلم yang shohiihah. Hal ini adalah sebagaimana sabda beliau صلى الله عليه وسلم :
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا، كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ.
Artinya:
“Aku tinggalkan pada kalian DUA PERKARA, JIKA KALIAN BERPEGANG TEGUH DENGAN KEDUANYA, KALIAN TIDAK AKAN SESAT SELAMA-LAMANYA yaitu: KITABULLOOH dan SUNNAH NABI-Nya.”
(Hadist Riwayat Al Imaam Maalik secara mursal dalam “Al-Muwatho” 2/ 999. Menurut Syaikh Nashiruddin Al-Albaany رحمه الله, beliau mengatakan dalam Kitab-nya At-Tawashshul Anwa’uhu wa Ahkamuhu, bahwa Al Imaam Maalik meriwayatkan secara mursal, lalu Al Imaam Al-Hakim dari Hadits Ibnu Abbas sanadnya adalah Hasan, juga hadist ini mempunyai syahid dari hadits Jaabir sebagaimana telah ditakhrij dalam Silsilah Ahadits As-Shohiihah no: 1761).
Jadi, AGAR TIDAK SESAT SELAMA-LAMANYA itu seorang Muslim hendaknya BERPEGANG-TEGUH dengan AL QUR’AN dan AS SUNNAH. Dalam Hadits ini kan tidak disebutkan untuk berpegangteguh pada KARYA MIMPI HABIIB / KYAI / AJEUNGAN / WALI / USTADZ / siapa saja?
Ketahuilah bahwa ORANG YANG MENJADIKAN MIMPI SEBAGAI DALIIL, ITU ADALAH SHUFI !!!
Justru, tanda kalau seorang Muslim itu benar-benar mencintai Allooh سبحانه وتعالى, maka ia akan mempunyai sikap taat pada Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Aali ‘Imroon (3) ayat 31-32 :
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ ﴿٣١﴾ قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ ۖ فَإِن تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ ﴿٣٢
Artinya:
(31) “Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allooh, ikutilah aku, niscaya Allooh mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allooh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(32) “Katakanlah: “Taatilah Allooh dan Rosuul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allooh tidak menyukai orang-orang kafir“.
Jadi apabila Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم melarang TASYABBUH (MENYERUPAI ORANG KAFIR) sebagaimana telah dijelaskan dalam Hadits diatas, maka seorang Muslim yang mencintai Allooh سبحانه وتعالى itu akan mempunyai sikap TIDAK MAU MENYERUPAI ORANG KAFIR (– dalam hal ini adalah orang Nashroni –) sebagai implementasi dari ketaatan dirinya pada sabda Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Adapun bukankah mengadakan perayaan Maulid Nabi itu justru malah merupakan bentuk menyerupai sikap orang Nashroni yang mengadakan perayaan Natal, yang dalam hal ini jelas-jelas berarti telah menyelisihi firman Allooh سبحانه وتعالى dalam QS. Aali ‘Imroon (3) ayat 31-32 serta sabda Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dalam Hadits diatas?
Semoga Allooh سبحانه وتعالى memberikan kita hidayah dan taufiq untuk berada diatas jalan-Nya yang lurus serta istiqomah diatasnya hingga akhir hayat.
Assalamualaikum Warahmatullohi Wabarokatoh.
Afwan Ustadz sebelumnya saya menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya atas kelancangan saya yang dalam beberapa hari ini mengunjungi Blog ustadz dan mendownload beberapa artikel yang ustadz posting tanpa meminta ijin terlebih dahulu, saya seorang muslim yang berusaha mempelajari dan mengkaji ajaran agama termulia ini dengan cara banyak membaca artikel-artikel yang berkaitan dengan hal agama dan saya sangat tertarik setelah beberapa kali membaca artikel anda terutama permasalahan Bid’ah, karena perkara ini yang banyak saya jumpai khususnya di daerah saya di Gorontalo.
Pernah beberapa kali saya sedikit menyinggung hal ini kepada para remaja masjid di tempat saya yang masih mengamalkan perbuatan Bid’ah yang mereka peroleh turun-temurun, tapi jawaban yang mereka lontarkan ialah seperti ini “Kami mengikuti perbuatan yang dilakukan mayoritas umat muslim” dan masih banyak lagi jawaban yang lainnya.
Pertanyaan saya Ustadz, apakah yang harus saya lakukan demi mengembalikan saudara-saudaraku sesama muslim ini ke amalan yang sesuai sunnahnya, haruskah saya memusuhi dan membenci perbuatan mereka (bukan orangnya), seperti layaknya saya membenci Kaum Yahudi dan Nasrani, ataukah saya harus tetap konsisten menasehati mereka dengan resiko dianggap aneh dan bahkan dikucilkan dengan harapan suatu saat mereka bisa menerimanya?
Afwan Ustadz, mohon sekiranya berkenan saya juga mohon ijin untuk bisa lebih banyak mendownload artikel ustadz dengan tujuan akan saya sebarkan ke saudara-saudariku sesama muslim yang lain. Syukron Jazakallah Khairon Katsiron Wa Jazakallah Ahsanal Jaza.
Wa ‘alaikumussalaam Warohmatulloohi Wabarokaatuh,
Tidak mengapa ya akhi…. Silakan saja, anda dapat mengcopy-paste seluruh artikel ataupun men-download seluruh audio ceramah yang ada pada Blog ini serta menyebarluaskannya sebagai dakwah lillaahi ta’aalaa.
Adapun terhadap permasalahan yang anda hadapi, maka ikutilah saran Ustadz berikut ini:
1) Berdo’alah kepada Allooh سبحانه وتعالى agar anda diberikan ke-istiqomahan dalam gairah menjalankan Islam sesuai Sunnah dan menebarkannya pada orang-orang di sekitar anda.
Sungguh Ustadz bangga dengan anda. Teruskan dan tingkatkanlah semangat anda yang mulia itu.
2) Senantiasa berupayalah untuk menuntut ilmu Syar’ie agar anda dapat menjawab tantangan yang dihadapi, termasuk berdakwah dengan cara yang hikmah dan sabar.
3) Teruskan pula mengingatkan dan memberitahu orang-orang sekitar anda tentang Islam yang benar, yang sesuai dengan Al Qur’an Al Kariim dan As Sunnah yang shohiihah yang dipahami oleh para Pendahulu Ummat yang shoolih dari mulai Shohabat, Taabi’iin dan Taabi’ut Taabi’iin, termasuk pemahaman para Imaam dan para ‘Ulama yang mu’tabar seperti Al Imaam Maalik bin Anas, Al Imaam Asy Syaafi’iy رحمهما الله dll.
Dan Ustadz in-syaa Allooh Ta’aalaa sesuai kemampuan mudah-mudahan bisa membantu anda lewat konsultasi, baik secara langsung (melalui telphone yang nomornya di-emailkan ke email anda, silakan check email anda) ataupun secara tidak langsung (melalui konsultasi tertulis pada Blog ini atau per-sms).
4) Sadarilah bahwa banyak orang yang tahu bahwa ma’shiyat itu menuju Neraka, tetapi toh tidak sedikit yang terus melakukannya walaupun hal itu beresiko. Karena itu, bagi kita yang mengimani bahwa Allooh سبحانه وتعالى tidak akan mengingkari janji-Nya yakni bahwa bagi orang yang patuh dan taat pada-Nya itu akan Allooh سبحانه وتعالى berikan surga, maka mengapakah kita tidak siap beresiko pada apa yang Alloohسبحانه وتعالى janjikan surga?
Ingat, resiko adalah suatu kemestian. Bahkan semakin kokoh iman seseorang, semakin besar pula ujian dan resiko yang dihadapinya. Kata Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, “Manusia yang paling dahsyat ujiannya adalah para Nabi, kemudian orang yang semisal dengan mereka, kemudian orang yang semisal dengan mereka.”
5) Membenci kemungkaran dengan hati saja TANPA ADANYA NIAT / KEMAUAN untuk bagaimana caranya dia berusaha untuk merubah kemungkaran dengan suatu aksi dalam suatu aplikasi, itu bukanlah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah; tetapi Murji’ah. Sebab membenci kemungkaran itu memang selemah-lemahnya Iman, tetapi tidak merubah keadaan bahkan akan memperparah, serta bahkan memberi peluang pada kemungkaran itu untuk semakin melebarkan sayapnya.
Jadi kenapa manusia lebih memilih lemah iman untuk urusan diin, sementara kalau urusan duniawi ia ingin menjadi orang yang paling maju dan paling berhasil serta paling berjaya?
Oleh karena itu, saran Ustadz teruslah berdakwah dan bersabarlah menghadapi celaan / cacian atau bahkan sekalipun anda dikucilkan oleh orang-orang sekitar anda. Itulah resiko dakwah / menyeru manusia ke jalan Allooh سبحانه وتعالى, sebagaimana Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dulu pun mengalaminya dengan yang lebih dahsyat daripada itu.
6) Apabila anda berkenan menerima CD MP3 Audio Ceramah Ustadz SECARA GRATIS, dengan harapan hal tersebut dapat membantu serta memberi kemudahan bagi anda untuk berdakwah, maka silakan kirimkan ALAMAT LENGKAP anda per email ke: ahwal3009@yahoo.co.id agar CD Audio Ceramah tersebut dapat dipaketkan per pos kepada anda.
Barokalloohu fiika.
ust izin copas ge?
Wa ‘alaikumussalaam Warohmatulloohi Wabarokaatuh, Silakan saja… semoga menjadi ilmu yang bermanfaat… Barokalloohu fiik