Muqoddimah “Sumber-Sumber Hukum Islam” (Kajian-2)
(Resume Ceramah – Baytul Mukhlishiin 03/17102014)
MUQODDIMAH “SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM” (KAJIAN-2)
Oleh: Ustadz Achmad Rofi’i, Lc. M.M.Pd
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allooh [1] سبحانه وتعالى,
Alhamdulillah pada pertemuan yang lalu telah kita kaji kekhususan apa saja yang menjadikan Al Qur’an dan As Sunnah itu sebagai Dalil Syar’i yang paling Pokok / Utama.
Berikutnya kita akan membahas tentang “Ke-khas-an Syari’at Islam” atau “Khoshoo-ish Asy Syari’ah Al Islamiyyah” (خصائص الشريعة الإسلامية). Apa sajakah yang menjadi khas-nya Syari’at Islam jika dibandingkan dengan Hukum-Hukum selainnya ? Sebagai kaum muslimin, kita perlu mengetahuinya.
KE-KHAS-AN SYARI’AT ISLAM
Kalau kita bicara tentang Syari’at Islam, maka Syari’at Islam itu bersifat lebih global (lebih umum) cakupannya dibandingkan dengan Al Qur’an dan As Sunnah. Kalau Al Qur’an dan As Sunnah itu adalah Dalil Syar’i yang cakupannya lebih spesifik; sedangkan Syari’at Islam itu adalah Tuntunan Islam secara menyeluruh.
Dikalangan masyarakat sekuler dikenal 3 istilah Hukum, yakni: Hukum Agama, Hukum Negara (contoh: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang disebut KUHP dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang disebut KUHAP) dan Hukum Adat. Hal ini karena, masyarakat berbasis pemahaman sekuler tersebut memisahkan antara agama dengan pemerintahan.
Berbeda dengan Al Islam, dimana dalam Islam hanya berlaku 1 Hukum saja yakni Hukum Islam (Syari’at Islam), jadi tidak ada dikotomi (pemisahan) antara agama dengan pemerintahan. Baik pemerintah maupun rakyat, semuanya harus tunduk pada Syari’at Islam yang berasal dari Robb Pencipta alam semesta yakni Allooh سبحانه وتعالى. Jadi dalam Islam, Allooh سبحانه وتعالى lah Pembuat Syari’at / Pembuat Hukum itu sendiri, bukan manusia.
Dengan demikian terdapat perbedaan yang sangat besar antara masyarakat Islam dengan masyarakat sekuler, terdapat perbedaan yang sangat besar pula antara pemerintahan Islam dengan pemerintahan sekuler. Tidak sama diantara keduanya !
Apabila kita berbicara tentang ke-khas-an Syari’at Islam, maka kita akan mempelajari apa sajakah keutamaan Syari’at Islam bila dibandingkan dengan Hukum-Hukum selainnya (Hukum-Hukum buatan manusia).
Kitab yang menjadi rujukan bahasan kita ini adalah Kitab berjudul “Khoshoo-ish Asy Syari’ah Al Islamiyyah”, karya Al Ustadz (Prof. Dr.) ‘Umar Sulaiman Al Asyqor.
Gambar-2. Kitab “Khoshoo-ish Asy Syari’ah Al Islamiyyah”
Oleh karena keterbatasan waktu, maka kita hanya akan membahas antara lain 7 poin (dari total 17 poin) yang menjadi ke-khas-an Syari’at Islam yang dipaparkan dalam Kitab setebal 101 halaman ini. Ketujuh poin tersebut adalah sebagai berikut:
1) Syari’at Islam itu adalah Ilahiyyah, Robbaniyyah
Syari’at Islam itu berasal dari Robb Pencipta alam semesta, yakni Allooh سبحانه وتعالى, oleh karena itu ia bersifat Ilahiyyah / Robbaniyyah.
Syari’at Islam TIDAK berasal dari selain Allooh سبحانه وتعالى. Syari’at Islam TIDAK berasal dari manusia, dimana manusia itu notabene hanyalah makhluq ciptaan Allooh سبحانه وتعالى belaka. Jadi tidaklah sama antara Hukum buatan manusia dengan Hukum / Syari’at Islam yang berasal dari sang Pencipta manusia itu sendiri. Tidak sama, berbeda sejauh antara langit dan bumi !
Perhatikanlah firman Allooh سبحانه وتعالى dalam QS. At Taubah (9) ayat 31 :
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَٰهًا وَاحِدًا ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۚ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
Artinya:
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al-Masih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Maha Esa; tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” [2]
Dari ayat diatas, dapat diambil pelajaran bahwa mereka (orang-orang Yahudi dan Nashroni) itu menjadikan alim ulama dan rahib-rahib mereka sebagai “arbaab (أرباب)” yakni: sebagai tuhan selain Allooh سبحانه وتعالى / sebagai tandingan dan sekutu bagi Allooh سبحانه وتعالى.
Hal ini tidak jauh berbeda dengan keadaan di negara sekuler, dimana sekelompok manusia yang merupakan wakil dari masyarakat itu berkumpul untuk membuat suatu hukum atau per-undang-undangan, dimana hukum / per-undang-undangan yang mereka rumuskan itu apabila justru menyelisihi, mengingkari, merubah atau bahkan mengganti Hukum / Syari’at yang berasal dari Allooh سبحانه وتعالى; maka mereka itu ibarat “arbaab (أرباب)” / tandingan dan sekutu bagi Allooh سبحانه وتعالى sebagaimana yang dimaksud dalam ayat diatas.
Sedangkan hukum / perundang-undangan buatan manusia yang menyelisihi, mengingkari, merubah serta mengganti Hukum / Syari’at yang berasal dari Allooh سبحانه وتعالى maka ia disebut sebagai Hukum Jaahiliyyah, sebagaimana dijelaskan Allooh سبحانه وتعالى dalam QS. Al Maa’idah (5) ayat 50 :
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Artinya:
“Apakah hukum Jahiliyyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” [3]
Dengan demikian, Hukum Wadh’i (Basyarun) yaitu hukum / perundang-undangan buatan manusia, atau hukum yang berasal dari SELAIN Allooh سبحانه وتعالى, dalam QS. Al Maa’idah (5) ayat 50 itu diistilahkan sebagai Hukum Jaahiliyyah. Ringkasnya, kalau sesuatu itu BUKAN Hukum Allooh سبحانه وتعالى, berarti itu Hukum Jaahiliyyah.
Kemudian berikutnya dinyatakan bahwa: “Wa man ahsanu minalloohi hukman liqouwmi yu’qinuun (وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ )”. Hukum siapakah yang lebih baik daripada Hukum Allooh bagi orang-orang yang YAKIN ? Berarti, kalau seseorang tidak mau menerima Hukum Allooh, itu tandanya ia TIDAK YAKIN kepada Allooh سبحانه وتعالى dan TIDAK YAKIN dengan Hukum / Syari’at yang berasal dari Allooh سبحانه وتعالى, dengan kata lain adalah ia itu lebih yakin kepada Hukum Jahiliyyah daripada kepada Hukum Allooh سبحانه وتعالى.
Tidak jarang di upacara-upacara keagamaan di negeri-negeri sekuler pun seringkali dikumandangkan perkataan, “Maha Benar Allooh dengan segala firman-Nya”; namun kenyataannya dalam sikap mereka, mereka itu menyelisihi Allooh سبحانه وتعالى, tidak membenarkan Allooh سبحانه وتعالى, tidak mau menerima Hukum Allooh سبحانه وتعالى, bahkan lebih senang dengan Hukum Jaahiliyyah. Maka disinilah letak KE-TIDAK-KONSEKWEN-AN antara ucapan dan perbuatan mereka !
Kebalikan dari kata “YAKIN” adalah “RAGU”. Dan “RAGU” itu dapat menjadi penyebab kekufuran. Sangatlah berbahaya bila ditinjau dari sisi ‘aqiidah. Karena apabila ada seorang Muslim yang RAGU dengan kebenaran Syari’at Islam maka ia terancam Kufur, murtad, keluar dari Al Islam. Bukan perkara yang sepele.
2) Ciri khas Syari’at Islam adalah ma’shum (terjaga)
Jadi apabila ada orang yang mencoba untuk melukai Syari’at Islam, atau mencoba untuk memusnahkan Syari’at Islam maka in-syaa Allooh Ta’aalaa akan ada yang menjaga Syari’at ini. Semestinya seorang Muslim itu benar-benar yakin bahwa Syari’at Islam itu ma’shum (terjaga, terjamin, terpelihara). Mengapa keyakinan kaum Muslimin di zaman sekarang ini kalah dengan keyakinan Abdul Muththolib ?
Apabila kita merujuk pada sejarah (shiroh), maka dahulu ketika Abdul Muththolib itu hendak diserang oleh pasukan Abrahah (– yakni Gubernur Yaman yang beragama Nashroni, dan ingin memindahkan pusat peribadatan manusia yang berada di Ka’bah – Mekkah itu ke Yaman –); maka Abdul Muththolib berdo’a, “Ya Allooh, (Ka’bah / Baytullooh) ini rumah milik-Mu; maka Engkaulah yang menjaganya.”
Kemudian Abdul Muththolib menyeru kepada kaumnya, “Wahai orang-orang Arab, hendaknya kalian menyelamatkan diri kalian dan hewan-hewan peliharaan kalian dari pasukan Abrahah. Amankan diri kalian. Jangan kalian kuatir, ketahuilah Ka’bah itu sudah ada yang menjaganya.”
Benar saja, ketika pasukan Abrahah menyerang, maka sebelum mereka memasuki kota Mekkah, Allooh سبحانه وتعالى menurunkan burung-burung yang melempari pasukan gajah itu dengan batu-batu yang panas membakar, sehingga pasukan Abrahah pun akhirnya kalah dan tersungkur.
Hal ini dikisahkan Allooh سبحانه وتعالى dalam QS. Al-Fiil (105) ayat: 1 – 5 :
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصْحَابِ الْفِيلِ ﴿١﴾ أَلَمْ يَجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِي تَضْلِيلٍ ﴿٢﴾ وَأَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا أَبَابِيلَ ﴿٣﴾ تَرْمِيهِم بِحِجَارَةٍ مِّن سِجِّيلٍ ﴿٤﴾ فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَّأْكُولٍ ﴿٥
Artinya:
(1) “Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah ?
(2) Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka’bah) itu sia-sia ?
(3) Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong,
(4) yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar,
(5) lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat).” [4]
Pelajaran dari ayat diatas adalah bahwa siapa saja yang mencoba menghancurkan apa yang menjadi milik Allooh سبحانه وتعالى, maka justru ia yang akan hancur. Oleh karena itu, kita kaum Muslimin harus yakin benar bahwa apabila ada orang yang mau menghancurkan Syari’at yang menjadi milik Allooh سبحانه وتعالى; maka orang yang demikian itu berarti mencoba mengulangi sejarah yang pernah terjadi terhadap pasukan Abrahah. Berarti ia menantang Allooh سبحانه وتعالى untuk dijadikan seperti “daun-daun yang dimakan ulat”.
Entah kita kaum Muslimin mau menolong Syari’at Allooh سبحانه وتعالى ataukah mau hanya duduk diam berpangku-tangan dengan tidak menolong keberadaan Syari’at Allooh سبحانه وتعالى, maka ketahuilah bahwa Allooh سبحانه وتعالى pasti akan tetap menjaga Syari’at-Nya itu sendiri. Hal ini pula yang telah diyakini oleh Abdul Muththolib, bahwa Allooh سبحانه وتعالى pasti menjaga apa yang menjadi milik-Nya.
Allooh سبحانه وتعالى berfirman dalam QS. Huud (11) ayat 1 :
الر ۚ كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ
Artinya:
“Alif Laam Raa. (Inilah) suatu Kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu.” [5]
Juga berfirman dalam QS. Al Hijr (15) ayat 9 :
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
Artinya:
“Sesungguhnya Kami lah yang menurunkan Al Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” [6]
Kemudian dalam Hadits Shohiih Riwayat Al Imaam Muslim no: 1920, dari Shohabat Mu’awiyah رضي الله عنه bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِى قَائِمَةً بِأَمْرِ اللَّهِ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ أَوْ خَالَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِىَ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ ظَاهِرُونَ عَلَى النَّاسِ
Artinya:
“Senantiasa ada segolongan dari ummatku yang tegak diatas kebenaran, tidak akan membahayakan mereka siapapun yang menghina dan menyelisihi mereka sehingga datang hari Kiamat sedang mereka tetap berada dalam kemenangan terhadap manusia.” [7]
Dalam Hadits diatas, Allooh سبحانه وتعالى menjamin bahwa akan selalu ada segolongan dari ummat Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم yang tegak diatas kebenaran, teguh membela Syari’at Islam, mereka itu akan selalu ditolong oleh Allooh سبحانه وتعالى, dan mereka akan senantiasa berada dalam kemenangan terhadap manusia. Berarti sudah merupakan jaminan Allooh سبحانه وتعالى, bahwa Syari’at Islam itu akan terjaga, dan akan dijaga pula oleh Allooh سبحانه وتعالى orang-orang yang membantu untuk menjaga Syari’at-Nya.
Berbeda dengan hukum buatan manusia yang bersifat tidak ma’shum, tidak terjaga dan sewaktu-waktu bisa punah sebagaimana akan punahnya manusia itu sendiri.
3) Syari’at Islam itu bersifat independen (berdiri sendiri) / “Mustaqillah ( مستقلة )”
Syari’at Islam itu tidak butuh terhadap hukum-hukum selainnya; karena Syari’at Islam itu bersifat independen (berdiri sendiri).
Syaikh Prof. Dr. ‘Umar Sulaiman Al Asyqor berkata begini, “Islam itu mempunyai pedoman yang pasti, mempunyai dasar yang fundamental, dan media yang berbeda dari yang selainnya. Ketika kita berbicara tentang Syari’at Islam, maka kita tidak boleh menyerahkannya kepada berbagai versi teori diluar Syari’at Islam, dengan harapan untuk menjabarkan Syari’at Islam tersebut (– maksudnya: Sya’riat Islam tidak bisa dijabarkan dengan teori buatan manusia –). Karena Syari’at Islam itu pedoman yang sangat paripurna. Syari’at Islam itu adalah kesatuan paket, dimana antara satu dengan yang lainnya tidak ada yang kontradiktif (bertentangan). Kalau saja ada unsur lain (dari luar Syari’at Islam) itu dimasukkan kedalam Syari’at Islam, maka ia tidak akan memperbaiki, namun justru akan merusak Syari’at Islam tersebut.” [8]
Sangat berbeda dengan Hukum Buatan Manusia, dimana sebelum Dewan / Lembaga yang merumuskan perundang-undangan buatan manusia itu mengetuk palu untuk menyetujui suatu rumusan Undang-Undang, maka biasanya mereka akan melakukan studi banding ke berbagai negara untuk mempelajari bagaimana implikasi dari ketetapan hukum yang akan mereka rumuskan itu dibandingkan dengan hukum-hukum semisalnya di negara-negara lain. Sayangnya, mereka umumnya melakukan studi banding ke berbagai negeri di Barat maupun di Timur yang kaumnya tidak beriman kepada Allooh سبحانه وتعالى. Akibatnya, hukum yang diadopsinya pun adalah hukum yang berasal dari orang-orang kaafir, yang bisa jadi produk hukumnya itu justru merupakan makar kepada Allooh سبحانه وتعالى. Padahal, untuk keperluan studi banding itu tak luput milyaran rupiah digelontorkan dari uang rakyat. Maka seandainya saja kaum Muslimin yang hidup di negara-negara sekuler paham, betapa mahalnya dana yang dibutuhkan untuk merumuskan perundang-undangan / hukum-hukum buatan manusia (Hukum Wadh’i). Belum lagi, betapa rentannya hukum-hukum buatan manusia, karena ia tak dapat berdiri sendiri, melainkan selalu butuh perbandingan dari hukum-hukum buatan manusia lainnya.
Sungguh mengherankan, mengapa kaum Muslimin tidak menengok kepada Hukum Allooh سبحانه وتعالى ? Hukum Allooh سبحانه وتعالى sudah lengkap ! Tidak butuh studi banding terhadap hukum apapun di dunia ini. Syari’at Islam telah Allooh سبحانه وتعالى sediakan secara paripurna dan gratis, tidak perlu mengeluarkan milyaran rupiah untuk merumuskannya. Seandainya saja, uang milyaran rupiah, bahkan mungkin trilyunan rupiah yang dikeluarkan itu digunakan untuk kesejahteraan rakyat, maka itu tentunya jauh lebih bermanfaat.
Semoga Allooh سبحانه وتعالى memberikan hidayah dan taufiq-Nya kepada kaum Muslimin yang hidup di negara-negara sekuler agar mereka mau kembali kepada diin yang lurus ini, kembali kepada Hukum Allooh سبحانه وتعالى yang tidak ada kebengkokan didalamnya. Laa hawla wa laa quwwata illa billaah.
Prof. Dr. ‘Umar Sulaiman Al Asyqor juga menjelaskan bahwa betapa Syari’at Islam itu laksana perangkat yang unik. Kalau saja ada komponen dari luar Syari’at Islam (misal ada Undang-Undang buatan manusia disisipkan / dimasukkan kedalam Syari’at Islam), maka itu bukannya memperbaiki tetapi justru akan merusak keseluruhan sistem Syari’at Islam tersebut. Karena Syari’at Islam itu bersifat independen (mustaqillah), tidak butuh ditambah-tambah dengan hukum apa pun yang berasal dari selainnya.
4) Syari’at Islam itu bersifat Suci / “Qudsiyyah (قدسية )”
Syari’at Islam itu bersifat suci (qudsiyyah), karena ia berasal dari Al Qudduus (Yang Maha Suci, yakni Allooh سبحانه وتعالى), dan berasal dari Muhammad Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم yang ma’shuum.
Prof. Dr. ‘Umar Sulaiman Al Asyqor memberikan penjelasan sebagai berikut, “Sungguh Islam telah mengharomkan atas orang-orang Muslim: (1) Minuman-minuman, (2) Makanan-makanan, (3) Pakaian-pakaian, dan (4) yang dinikahi (– dari apa-apa yang Harom – pent.). Hukum asalnya bahwa untuk mencintai minuman, makanan, pakaian, dan yang dinikahi itu adalah ada dalam jiwa mereka. Tetapi sebelum adanya Syari’at Islam, mereka tidak memiliki kendali terhadap hal-hal tersebut. Namun pada saat Allooh سبحانه وتعالى menghukumi bahwa minuman, makanan, pakaian dan yang dinikahi itu Harom (– bila mengandung perkara yang Harom – pent.); maka mereka bersegera untuk memenuhi Hukum Allooh سبحانه وتعالى. Orang-orang yang tadinya kecanduan minuman khomr segera menumpahkan khomr-khomr mereka itu di jalanan di pasar-pasar Madinah ketika turun Hukum Allooh سبحانه وتعالى bahwa Allooh سبحانه وتعالى telah mengharomkan khomr, sehingga sesudahnya selama sebulan penuh jalan-jalan di Madinah pun berbau khomr.” [9]
Demikianlah kedalaman iman para Shohabat Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم di zaman dahulu. Mereka beriman bahwa Hukum Allooh سبحانه وتعالى itu turun dari Yang Maha Suci, berarti Syari’at-Nya pastilah suci, oleh karena itu ketika larangan Allooh سبحانه وتعالى turun berkaitan dengan khomr, maka para Shohabat Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bergegas membersihkan minuman-minuman mereka dari khomr serta bertaubat kepada Allooh سبحانه وتعالى. Mereka sungguh-sungguh beriman bahwa Syari’at yang Allooh سبحانه وتعالى turunkan itu tidak lain adalah untuk mensucikan jiwa-jiwa dan tubuh-tubuh mereka; dan pada dasarnya itu adalah untuk kebaikan diri mereka sendiri.
Allooh سبحانه وتعالى berfirman dalam QS. Al Maa’idah (5) ayat 90-91:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ﴿٩٠﴾ إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَن ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ ۖ فَهَلْ أَنتُم مُّنتَهُونَ ﴿٩١
Artinya:
(90) “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkurban untuk) berhala, mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
(91) Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” [10]
Berbeda dengan keadaan kaum Muslimin di zaman sekarang yang kebanyakan hidup di negeri-negeri yang berhukum dengan Hukum Wadh’i (hukum buatan manusia) yang tidak ada didalam hukum tersebut sifat kesucian, tidak pula bertujuan mensucikan jiwa manusia; sehingga tak jarang yang berkembang malah kebolehan penggunaan khomr, atau penggantian nama khomr dengan nama yang lain supaya tidak terkesan buruk (padahal esensinya adalah tetap saja itu khomr), atau kalaupun ada upaya maka upayanya hanya untuk meminimalisir kadar alkohol khomr-nya saja (bukan untuk memberantas khomr).
Bila dicermati, keimanan kaum Muslimin kurang dapat ditumbuhkan dalam situasi yang tidak kondusif seperti ini. Hal itu terjadi karena memang perangkat hukum buatan manusia tidak mendukung ke arah penyucian jiwa. Ketika manusia mengganti Hukum Allooh سبحانه وتعالى dengan Hukum buatan manusia, maka bagaimanakah mereka berharap untuk mensucikan jiwa-jiwa mereka, padahal di kala itu mereka telah berpaling dari Al Qudduus ?
Di zaman sekarang tak jarang kita temui Muslim yang beriman lemah dan berkarakter lemah. Mereka berdalih dengan berbagai macam dalih seperti, “Yaah kalau alkoholnya sedikit kan tidak memabukkan….” atau “Yaah nanti lah bertaubatnya, sekarang kan lagi senang-senangnya menikmati masa muda….” dan seterusnya, dan seterusnya. Oleh karena itu sekalipun kaum Muslimin di zaman sekarang berjumlah banyak, tetapi mereka itu laksana buih sebagaimana yang dijelaskan dalam Hadits Riwayat Al Imaam Abu Daawud no: 4297, dari Shohabat Tsaubaan رضي الله عنه, bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
يُوشِكُ الأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا » فَقَالَ قَائِلٌ وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ قَالَ بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزِعَنَّ اللَّهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمُ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ فِى قُلُوبِكُمُ الْوَهَنَ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْوَهَنُ قَالَ حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ
Artinya:
“Ummat-ummat ini (bangsa-bangsa – pent.) hampir menerkam kalian sebagaimana orang-orang lapar menerkam nampan makanan mereka.”
Seseorang bertanya, “Karena sedikitnyakah jumlah kita pada hari itu?”
Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم menjawab, “Bahkan pada hari itu, kalian berjumlah banyak, akan tetapi kalian bagaikan buih di air bah; sungguh Allooh akan cabut dari dada-dada musuh kalian rasa segan (wibawa) terhadap kalian, dan sungguh Allooh akan campakkan pada hati-hati kalian Al Wahnu.”
Seseorang bertanya, “Ya Rosuulullooh, apakah Al Wahnu itu?’
Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم menjawab, “Cinta dunia dan takut mati.” [11]
Dalam tinjauan Syari’at Islam, sekalipun kadar alkohol yang terkandung dalam minuman yang diminumnya saat itu sedikit, ia tetap tergolong sebagai minuman yang memabukkan (khomr), dan setiap yang tergolong khomr itu terhukumi Harom, entah sedikit ataukah banyak kadar alkoholnya. Hal ini sebagaimana dalam Hadits Shohiih Riwayat Al Imaam Muslim no: 2003, dari Shohabat Ibnu ‘Umar رضي الله عنه, bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda,
كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ وَمَنْ شَرِبَ الْخَمْرَ فِى الدُّنْيَا فَمَاتَ وَهُوَ يُدْمِنُهَا لَمْ يَتُبْ لَمْ يَشْرَبْهَا فِى الآخِرَةِ
Artinya:
“Setiap yang memabukkan adalah khomr dan setiap yang memabukkan adalah Harom. Barangsiapa yang meminum khomr di dunia kemudian mati dalam keadaan kecanduan dengannya maka Allooh tidak akan mengampuni dosanya dan tidak akan meminum khomr itu di Akhirat.” [12]
Karenanya siapa saja yang menodai kesucian Syari’at Islam, khususnya tentang Haromnya khomr ini maka ancaman Allooh سبحانه وتعالى adalah sangat dahsyat sebagaimana dapat kita renungkan dalam Hadits Shohiih Riwayat Al Imaam Muslim no: 2002:
عَنْ جَابِرٍ أَنَّ رَجُلاً قَدِمَ مِنْ جَيْشَانَ – وَجَيْشَانُ مِنَ الْيَمَنِ – فَسَأَلَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ شَرَابٍ يَشْرَبُونَهُ بِأَرْضِهِمْ مِنَ الذُّرَةِ يُقَالُ لَهُ الْمِزْرُ فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « أَوَمُسْكِرٌ هُوَ ». قَالَ نَعَمْ. قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ إِنَّ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ عَهْدًا لِمَنْ يَشْرَبُ الْمُسْكِرَ أَنْ يَسْقِيَهُ مِنْ طِينَةِ الْخَبَالِ ». قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا طِينَةُ الْخَبَالِ قَالَ « عَرَقُ أَهْلِ النَّارِ أَوْ عُصَارَةُ أَهْلِ النَّارِ
Artinya:
Dari Shohabat Jabir رضي الله عنه, bahwa ada seorang laki-laki datang dari Jaisyan (daerah Yaman), lalu dia bertanya kepada Nabi صلى الله عليه وسلم tentang minuman yang terbuat dari rendaman jagung yang disebut mizr, yang biasa diminum oleh orang-orang di daerahnya.
Nabi صلى الله عليه وسلم bertanya, “Apakah minuman tersebut memabukkan?”
Orang itu menjawab, “Ya.”
Maka Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda, “Setiap yang memabukkan adalah Harom. Sesungguhnya Allooh berjanji akan memberikan minuman ‘thinatul khobal’ kepada orang yang meminum sesuatu yang memabukkan.”
Para Shohabat bertanya, “Ya Rosuulullooh, apakah ‘thinatul khobal’ itu?”
Beliau صلى الله عليه وسلم menjawab, “Keringat penghuni neraka.” [13]
Disinilah letak perbedaannya antara negeri yang berhukum dengan Syari’at Allooh سبحانه وتعالى dengan negeri sekuler yang berhukum dengan Hukum / Undang-Undang buatan manusia. Karena Syari’at Islam itu pada dasarnya diturunkan oleh Allooh سبحانه وتعالى untuk kebaikan manusia itu sendiri, yakni agar kaum Muslimin dapat membersihkan / mensucikan jiwa-jiwa serta tubuh-tubuh mereka dari perkara-perkara yang Harom, najis, merusak / membawa madhorot, serta apa-apa yang tidak diridhoi Allooh سبحانه وتعالى.
Sedangkan di negeri-negeri sekuler, alih-alih dilarang malah pabrik khomr-nya diberi izin untuk berdiri dan berproduksi. Bahkan khomr-nya pun dibiarkan diperjualbelikan secara bebas di supermarket-supermarket, mini market-mini market, restaurant-restaurant, hotel-hotel, café-café dan di berbagai tempat lainnya. Itu sama saja dengan membiarkan atau bahkan mendorong rakyatnya menjadi rusak, karena khomr yang diberi julukan oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم sebagai “Ummul Khobaa’its” (Induk Kejahatan) justru dibiarkan berkembang dan bahkan dijadikan sebagai “gaya hidup” / “life-style” di negeri-negeri yang demikian.
Belum lagi, penghasilan negara justru berasal dari perkara-perkara yang Harom yang tentunya tidak akan mendatangkan keberkahan maupun keridhoan dari Allooh سبحانه وتعالى. Bagaimana hasil dari yang Harom hendak digunakan untuk ta’at / beribadah kepada Allooh سبحانه وتعالى ? Tentu tidak bisa, karena Allooh سبحانه وتعالى itu Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik. Hal ini yang kurang disadari oleh kaum Muslimin yang hidup di negeri-negeri yang tidak berhukum dengan Hukum Allooh سبحانه وتعالى.
Prof. Dr. ‘Umar Sulaiman Al Asyqor memaparkan suatu data bahwa ternyata di Amerika Serikat di era sekitar tahun 1920-an pernah dikeluarkan Undang-Undang Anti Khomr. Beliau dalam Kitabnya “Khoshoo-ish Asy Syari’ah Al Islamiyyah” mengatakan sebagai berikut:
“Sebelum 62 tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1920 M, di Amerika telah diterbitkan suatu Undang-Undang yang mengharomkan khomr dan melarang untuk mengkonsumsinya. Sebelum terbitnya Undang-Undang tersebut telah dilakukan propaganda yang sangat luas tentang Anti Khomr, dimana organisasi dari orang-orang yang memerangi khomr telah membawa misi yang sangat padat tentang penjelasan terhadap bahayanya khomr, dengan menggunakan berbagai media yang memungkinkan antara lain: ceramah hingga penulisan buku, risalah-risalah hingga panggung sandiwara dan perfilman. Sehingga media cetak maupun radio telah memberitakan bahwa seluruh anggaran sejak adanya gerakan ini hingga tahun 1925 M mencapai 65 juta dollar, dan halaman yang telah digunakan untuk menjelaskan buruknya khomr dan ancaman keras terhadapnya mencapai 9 juta halaman. Bahkan statistik yang telah dipublikasikan oleh Pengadilan Amerika tentang kasus yang terjadi antara bulan Januari tahun 1920 M hingga Oktober 1933 M sejak adanya Undang-Undang ini adalah telah dibunuh sejumlah 200 jiwa, dipenjara 500.000 manusia, denda telah dikenakan pada 1,5 juta manusia, dan finansial telah dihabiskan tidak kurang dari 400 juta. Kemudian volume khomr yang digunakan semakin bertambah sehingga orang Amerika yang meminum khomr setiap tahun tidak kurang dari 200 juta galon. Kebanyakan penggunaan ini adalah sebelum adanya pelarangan, dan saat itu bahaya khomr bagi kesehatan sangatlah buruk sehingga para dokter pada masa itu mengatakan, “Sesungguhnya minuman ini lebih patut untuk disebut sebagai racun, daripada disebut khomr”, dimana pertambahan orang-orang yang mati disebabkan oleh khomr ini sebelum adanya Undang-Undang pelarangan yaitu di tahun 1918 orang sakitnya sejumlah 3741, yang mati karena menggunakannya 252 orang; dan pada tahun 1927 yang sakit adalah 11.000 orang dan yang mati adalah 7.500 orang, anak-anak kecil dan remaja telah ikut kecanduan dengan khomr ini sehingga para tokoh Pengadilan Amerika mengatakan, “Tidak pernah dalam sejarah negeri kita terjadi sebanyak ini melanda anak-anak yang tertangkap pada saat mabuk.” Demikianlah Undang-Undang (buatan) manusia yang tidak mempunyai kesucian, apalagi keagungan (yang menjadikan) manusia melaksanakan Undang-Undang itu dan gigih mengaplikasikannya; bahkan justru nasib daripada perundang-undangan itu adalah pembangkangan dari ummat, betapapun Undang-Undang ini baik, sehingga pemerintah Amerika terpaksa mencabut pemberlakuan Undang-Undang ini di tahun 1933 M setelah gagal melaksanakannya.” [14]
5) Fase-Fase / Proses Pertumbuhan Syari’at Islam
Di zaman Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, fase-fase pertumbuhan Syari’at Islam hanya membutuhkan waktu 23 tahun saja.
Prof. Dr. ‘Umar Sulaiman Al Asyqor dalam Kitabnya berkata, “Pertumbuhan, perkembangan dan penyempurnaan Syari’at Islam itu adalah sangat tunggal (satu-satunya), tidak sama dengan yang lainnya. Allooh سبحانه وتعالى telah menurunkan Syari’at ini dari langit terhadap hamba dan Rosuul-Nya Muhammad صلى الله عليه وسلم tidak lebih dari 23 tahun sampai pada akhirnya Allooh سبحانه وتعالى sempurnakan Syari’at tersebut. Tidak boleh ada kewenangan bagi kaum Muslimin, siapapun dia (termasuk orang Arab sekalipun) untuk menambah / mengubah nash-nash dari Syari’at. Karena Syari’at Islam itu telah baku membentuk masyarakat Islami. Dan kemudian masyarakat Islami itu dibangun diatas pondasi Syari’at Islam ini, selanjutnya hubungannya satu sama lain diantara masyarakat itu juga dibangun dengan Syari’at ini. Jadi masyarakat Islam itu adalah kelahiran dari Syari’at Islam, dan bukan sebaliknya. Syari’at Islam itu bukan hasil dari masyarakat Islam.” [15]
Nah, poin ini pun menunjukkan beda yang sangat jelas antara Syari’at Islam dengan Hukum / Undang-Undang produk manusia. Di dalam Islam, Syari’at Islam itu berasal dari Allooh سبحانه وتعالى yang tidak boleh diubah ataupun ditambah-tambah sedikitpun juga. Syari’at Islam itulah yang akan membentuk masyarakat Islam-nya. Sementara dalam sistem Hukum Wadh’i, justru masyarakat / manusia-nya lah yang akan merumuskan dan melahirkan Hukum Wadh’i.
Jadi tidak sama antara negara Islam yang berhukum dengan Hukum Allooh سبحانه وتعالى dengan negara sekuler yang menggunakan Hukum Wadh’i. Oleh karena itu dari tinjauan ‘aqiidah, hal ini adalah bukan perkara yang sepele. Karena manusia berarti telah merampas hak Allooh سبحانه وتعالى dalam permasalahan Hukum dan mengalihkannya kepada sekelompok orang yang duduk dalam Lembaga / Dewan / Majelis untuk menghasilkan hukum agar ditaati oleh masyarakat negeri-nya; yang pada dasarnya hal ini menjadikan mereka sebagai “arbaab (أرباب)” / tandingan dan sekutu bagi Allooh سبحانه وتعالى.
Prof. Dr. ‘Umar Sulaiman Al Asyqor kemudian melanjutkan penjelasannya sebagai berikut, “Adapun Undang-Undang buatan manusia itu hasil dari produk masyarakat (manusia). Yang menjadi titik tolak perundangan buatan manusia adalah: (1) Adat, (2) Nilai-nilai yang ada di masyarakat, (3) Warisan budaya nenek moyang / leluhur. Jadi sejak awal Hukum yang berasal dengan cara seperti ini adalah cacat.” [16]
Syari’at Islam itu fase pertumbuhannya diatur oleh Allooh سبحانه وتعالى berlangsung selama 23 tahun hingga sempurnanya, dan kemudian setelah wafatnya Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم apa yang merupakan Pokok-Pokok / Dasar Syari’at Islam itu tidak boleh diubah / diganti / ditambah-tambah dari nash yang ada. Yang berkembang sesudah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم wafat itu hanyalah Ijihad-nya saja. Ijtihad ini pun harus mengacu kepada Pokok / Dasar dari Syari’at Islam itu sendiri; sebagaimana hal ini telah kita bahas sebelumnya.
Sementara di negara-negara sekuler yang menggunakan Hukum Wadh’i, manusia lah yang melahirkan Hukum dan manusia pula lah yang hendak membentuk negara sesuai keinginan mereka sendiri (– jadi bukan keinginan Allooh سبحانه وتعالى yang dijadikan acuan mereka –); dan tujuan dari keinginan mereka itu pada dasarnya adalah : Materialisme dan Kapitalisme. Oleh karena itu, negara-negara yang demikian ini akan senantiasa menggunakan sistem Demokrasi untuk memperoleh tujuan mereka.
6) Syari’at Islam itu bersifat global (internasional) / ‘aalamiyyah (عالمية)
Syari’at Islam itu bersifat global. Syari’at Islam itu membumi. Dan Syari’at Islam itu bersifat internasional, tidak mengenal lokal maupun regional, tidak berlaku untuk suku atau bangsa tertentu saja, tapi untuk seluruh ummat manusia di muka bumi. Contohnya saja: Syari’at Islam yang diberlakukan di Brunei, akan sama dengan Syari’at Islam yang diberlakukan di jazirah Arab. Jadi Syari’at Islam itu berlaku untuk internasional, Hukumnya bukan hanya untuk negeri per negeri tertentu belaka, tetapi untuk seluruh dunia.
Allooh سبحانه وتعالى berfirman dalam QS. An Nisaa’ (4) ayat 1 :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Artinya:
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” [17]
Juga berfirman dalam QS. Al Hujurot (49) ayat 13 :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” [18]
Ayat-ayat diatas dimulai dengan seruan terhadap seluruh ummat manusia, “Hai manusia…..”; ini menjelaskan bahwa Syari’at Islam itu diturunkan bagi seluruh manusia yang hidup di muka bumi ini dan tersebar di berbagai penjuru dunia; karena ia diturunkan dari Robb sang Pencipta manusia itu sendiri. Allooh سبحانه وتعالى memberikan penjelasan bahwa manusia itu dijadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku hanyalah agar mereka itu saling mengenal, tetapi pada dasarnya Syari’at yang berlaku bagi mereka semua itu sama. Dan Allooh سبحانه وتعالى tegaskan bahwa diantara bangsa-bangsa dan suku-suku itu, yang paling mulia adalah orang yang paling bertaqwa kepada Allooh سبحانه وتعالى. Berarti kemuliaan itu bukan karena ia berasal dari suku atau bangsa atau negeri tertentu.
Lalu dalam ayat yang lain, yakni dalam QS. Al Furqon (25) ayat 1, Allooh سبحانه وتعالى berfirman:
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَىٰ عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيرًا
Artinya:
“Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al Furqan (Al Qur’an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada SELURUH ALAM.” [19]
Alam itu ada 2, Alam Dunia dan Alam Akherat. Nah, Alam Dunia terbagi lagi menjadi Alam Dzhohir (antara lain: manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda mati seperti batu-batuan, dan sebagainya) dan Alam Ghoib (yakni: Malaikat, Jin, Syaithoon / Iblis). Al Qur’an ini diturunkan oleh Allooh سبحانه وتعالى untuk kebutuhan seluruh alam, tidak hanya bagi manusia tetapi juga untuk jin, bahkan untuk hewan dan juga untuk tumbuh-tumbuhan. Subhaanallooh, betapa Syari’at Islam itu mencakup kebutuhan seluruh alam semesta, yang tidak mungkin bisa dipenuhi dengan Hukum buatan manusia.
Adapun Hukum / Undang-Undang buatan manusia, jangankan untuk jin atau hewan, untuk satu negara dengan negara yang lain saja Hukum Wadh’i di negara yang satu sudah tidak bisa diberlakukan di negara yang lain, karena tidak bisa mencukupi kebutuhannya. Maka sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Dr. ‘Umar Sulaiman Al Asyqor, bahwa Hukum / Undang-Undang buatan manusia itu sejak awal dibuatnya saja sudah cacat.
Kemudian Allooh سبحانه وتعالى juga berfirman dalam QS. Saba’ (34) ayat 28 :
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِّلنَّاسِ بَشِيراً وَنَذِيراً وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Artinya:
“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” [20]
Juga berfirman dalam QS. Al A’roof (7) ayat 158 :
قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ يُحْيِي وَيُمِيتُ ۖ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
Artinya:
“Katakanlah, “Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi, tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya. Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia supaya kamu mendapat petunjuk.” [21]
Lalu dalam Hadits Riwayat Al Imaam Al Bukhoory no: 335, dari Shohabat Jaabir ibni ‘Abdillahرَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
أُعْطِيتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي: نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ، وَجُعِلَتْ لِي الأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا، فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلاَةُ فَلْيُصَلِّ، وَأُحِلَّتْ لِي المَغَانِمُ وَلَمْ تَحِلَّ لِأَحَدٍ قَبْلِي، وَأُعْطِيتُ الشَّفَاعَةَ، وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً
Artinya:
“Aku diberikan lima perkara yang tidak diberikan kepada seorang pun sebelumku; Aku ditolong dengan rasa takut (pada musuh) dari jarak perjalanan satu bulan, dijadikan bumi untukku sebagai tempat sujud dan alat bersuci. Maka dimana saja salah seorang dari ummatku mendapati waktu sholat hendaklah ia sholat, dihalalkan untukku harta rampasan perang yang tidak pernah dihalalkan untuk orang sebelumku, aku diberikan (hak) syafa’at, dan para Nabi sebelumku diutus khusus untuk kaumnya, sedangkan aku diutus untuk seluruh manusia.” [22]
Dari ayat-ayat dan Hadits diatas dapat diambil pelajaran bahwa berbeda dengan Nabi-Nabi sebelumnya maka Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم itu diutus untuk seluruh manusia di muka bumi ini. Seruannya bersifat global, “Wahai manusia ! Sesungguhnya aku ini utusan Allooh bagi kamu semua….”. Dengan demikian, seakan-akan orang yang tidak mau menerima seruan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم ini bisa dikategorikan “bukan manusia”. Na’uudzu billaahi min dzaalik. Oleh karena itu tidak heran bila dalam QS. Al A’roof (7) ayat 179, menurut Allooh سبحانه وتعالى orang-orang kaafir itu derajatnya bahkan lebih rendah daripada hewan:
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا ۚ أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
Artinya:
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu bagaikan binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” [23]
7) Syari’at Islam itu luas dan sempurna
Kalau ada orang yang mengatakan bahwa Syari’at Islam itu kurang dan sempit sehingga dianggapnya tidak bisa memenuhi perkembangan zaman; maka bisa jadi karena orang itu sendiri yang kurang dan sempit pengetahuannya tentang diinul Islam. Bisa jadi ia kurang mengkaji tentang Syari’at Islam secara lengkap; atau bisa jadi karena ia mempelajari diinul Islam ini malah dari orang-orang kaafir di Barat dan di Timur sehingga tidak memperoleh informasi yang benar tentang Islam.
Betapa Allooh سبحانه وتعالى sendiri lah yang telah menjamin bahwa Syari’at Islam itu sudah sempurna, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al Maa’idah (5) ayat 3:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
Artinya:
“…. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu….” [24]
Berarti selain Islam dan selain Syari’at Islam, Allooh سبحانه وتعالى tidak akan meridhoinya.
Perhatikan pula firman Allooh سبحانه وتعالى dalam QS. Al Kahfi (18) ayat 1:
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَىٰ عَبْدِهِ الْكِتَابَ وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا
Artinya:
“Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al Qur’an) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya.” [25]
Kalau tidak ada kebengkokan didalamnya, berarti Islam itu sudah sempurna, paripurna.
Prof. Dr. ‘Umar Sulaiman Al Asyqor di dalam Kitabnya membawakan pernyataan dari Muhammad Assad yang tadinya adalah seorang Orientalis tetapi kemudian masuk Islam. Muhammad Assad berkata begini, “Sesungguhnya Islam yang nampak bagiku adalah merupakan pembangunan yang amat sangat paripurna. Seluruh sisi-sisinya dibuat sedemikian rupa, satu sama lain saling menyempurnakan, satu sama lain saling mendukung; tidak membutuhkan sesuatu apapun dari luar itu karena tidak ada kekurangan di dalamnya.” [26]
Kemudian Prof. Dr. ‘Umar Sulaiman Al Asyqor menjelaskan lebih lanjut tentang keluasan dan kesempurnaan Syari’at Islam, dengan berkata sebagai berikut, “Diantara bukti Islam itu sangat luas adalah bahwa Islam sangat intens untuk membentuk, memperbaiki ruh seorang hamba, juga akalnya, pemikirannya, perkataannya maupun perbuatannya. Islam berusaha untuk memperbaiki tidak hanya individu, tetapi juga keluarga dan masyarakat; dan Syari’at Islam telah meletakkan suatu aturan dalam bidang sosial, dalam bidang politik, dalam bidang ekonomi. Bahkan mengajarkan untuk berdirinya suatu Daulah Islamiyyah, juga telah memberi norma-norma dalam perkara itu. Telah menggariskan hubungan antara penguasa dengan rakyatnya, juga hubungan ummat Islam dengan selainnya dalam keadaan damai dan dalam keadaan perang, dan jika Undang-Undang buatan manusia meng-klaim bahwa ia memperhatikan kehidupan manusia dari sisi keagamaan, maka Syari’at Islam saja lah yang menghubungkan antara Dunia dengan Akherat dan menggariskan jalan menuju bahagia yang abadi, menghubungkan manusia dengan Penciptanya, yang tidak mungkin syari’at buatan manusia menjangkau kawasan ini.” [27]
Contoh bahwa Syari’at Islam itu memperbaiki ruh manusia adalah ditunjukkan dalam Hadits berikut ini, dimana seorang pemimpin itu harus bersikap tegas dan adil dalam menghukumi perkara. Betapa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم memberi contoh bahwa hukum itu tidak pandang bulu, sampai kalau saja putri kesayangan beliau yakni Fathimah binti Muhammad رضي الله عنها itu mencuri maka Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم menjamin akan memotong sendiri tangan putrinya. Hal ini sebagaimana dalam Hadits Riwayat Al Imaam Al Bukhoory no: 4304 dan Al Imaam Muslim no: 1688, dari Shohabat Urwah bin Zubeir رضي الله عنه, bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا
Artinya:
“Demi Yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri maka pastilah Muhammad (sendiri) yang akan memotong tangannya.” [28]
Berbeda dengan Hukum / Undang-Undang buatan manusia yang tidak jarang kita saksikan betapa antara kasus yang satu dengan kasus yang lainnya itu tidak sama dalam penindakan hukumnya. Kasus korupsi yang besar-besaran malah hanya dipenjara beberapa tahun belaka, itu pun masih diberi remisi (pengurangan hukuman), sementara kasus korupsi lainnya yang jumlahnya lebih kecil malah diberi hukuman penjara yang lebih berat. Ini menunjukkan betapa Hukum buatan manusia itu tidak berlaku secara adil. Disamping itu, tidak pula memberikan efek jera kepada pelaku korupsinya sehingga sampai-sampai ada ungkapan, “Keluar dari penjara, wah malah tambah pintar korupsinya, karena di penjara justru dia belajar dari sesama teman penjara-nya bagaimana cara mencuri yang lebih canggih lagi”.
Kalau kita renungkan, sungguh aneh betapa orang yang sudah mencuri uang rakyat hingga milyaran atau bahkan trilyunan rupiah hanya diberi hukuman penjara beberapa tahun. Dan rakyat yang notabene uangnya sudah dicuri oleh sang koruptor, masih pula harus menanggung biaya makan sang koruptor di penjara 3 kali sehari selama bertahun-tahun ia di penjara. Bukankah biaya “pemeliharaan” penjara itu dibebankan ke rakyat lagi dalam bentuk pajak dan lain sebagainya ? Jadi, orang yang berbuat ma’shiyat malah justru diberi makan. Inilah keanehan Hukum buatan manusia.
Berbeda dengan Syari’at Islam, yang dengan tegas akan memotong tangan orang-orang yang mencuri, sehingga muncul efek jera dan membuat orang menjadi takut untuk berbuat ma’shiyat. Disamping itu juga tidak memunculkan ekses biaya yang mahal, karena sesudah dihukum potong tangan maka selesai sudah proses hukumnya. Tidak perlu lagi rakyat itu menanggung biaya “pemeliharaan” penjara sampai dengan bertahun-tahun lamanya.
Contoh:
Misalkan saja orang yang dipenjara di seluruh Indonesia ini berjumlah 500.000 orang. Lalu biaya makan per-hari-nya per orang Rp 10.000. Maka dalam sehari rakyat dan negara harus membiayai Rp 5.000.000.000,- Bayangkan, 5 milyar untuk sehari makannya orang yang berbuat ma’shiyat. Bila dipenjara selama 20 tahun, maka berapa biaya makan yang harus ditanggung oleh rakyat dan negara ?
Jadi sungguh tidak sama antara Hukum buatan manusia bila dibandingkan dengan Syari’at Islam yang agung.
Syari’at Islam itu luas dan sempurna, karena ia diturunkan dari Allooh سبحانه وتعالى yang Maha Bijaksana sehingga Syari’at Islam dapat ditujukan untuk membentuk, memperbaiki ruh seorang hamba, juga akalnya, pemikirannya, perkataannya maupun perbuatannya; yang mana hal ini tidak akan didapati dari Hukum buatan manusia (Hukum Wadh’i).
Hanya saja belum banyak orang yang mengetahui keutamaan Syari’at Islam, sehingga tidak sedikit di kalangan kaum Muslimin yang masih ketakutan bila hendak ditegakkan Syari’at Islam di negerinya. Mudah-mudahan dengan kajian kita ini, kita belajar untuk mengenal keutamaan Syari’at Islam dan jangan sampai ada diantara kita yang hatinya merasa berat terhadap Hukum yang berasal dari Allooh سبحانه وتعالى.
Sekian dulu bahasan pada kesempatan kali ini, mudah-mudahan Alloohسبحانه وتعالى selalu melimpahkan taufiq dan hidayah kepada kita semua untuk istiqomah sampai akhir hayat. Kita akhiri dengan Do’a Kafaratul Majlis :
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Jakarta, Jum’at malam, 24 Dzulhijjah 1435 H – 17 Oktober 2014 M.
—– oOo —–
[1] Dalam Al Qur’an Terjemahan atau bahkan kita jumpai pada umumnya di berbagai literatur, kata “الله” biasa ditulis dengan “Allah”, dan itu yang memang diakui resmi sebagai “Ejaan Yang Disempurnakan”. Namun tidak bisa dipungkiri, jika dibaca secara harafiah, maka suara yang keluar tidak akan berbeda dari bunyi suara orang Nashroni ketika menyebut Tuhan mereka. Padahal kata ini bagi kita kaum Muslimin biasa disebut dengan Lafadz Al Jalaalah yang secara tulisan maupun secara bacaan pada mulanya dan semestinya diberlakukan cara membaca yang benar. Dan pendekatan yang lebih dekat kepada suara yang harus kita dengar ketika kata “الله” diucapkan adalah jika berasal dari Ejaan “Allooh”. Silakan direnungkan.
[2] Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, Madinah An Nabawiyyah: Percetakan KSA, 283.
[3] Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, 168.
[4] Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, 1104.
[5] Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, 326.
[6] Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, 391.
[7] An Naisaburi, Abul Husein Muslim bin Al Hajjaj Al Qusyairy, Shohiih Muslim, Beirut: Daar Ihya Al Kutub Al ‘Ilmiyyah, I, 1412 H/ 1991 M, 1523.
[8] Al Asyqor, Prof. Dr. ‘Umar Sulaiman, Khoshoo-ish Asy Syari’ah Al Islamiyyah, Kuwait: Maktabah Al Falah, I, 1982 M, 40.
[9] Al Asyqor, Prof. Dr. ‘Umar Sulaiman, Khoshoo-ish Asy Syari’ah Al Islamiyyah, 41.
[10] Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, 176-177.
[11] As Sajistany, Abu Daawud Sulaiman bin Al Asy’ats, Sunan Abi Daawud, Riyadh : Maktabah Al Ma’aarif, II, 1417 H / 1997 M, 769.
[12] An Naisaburi, Abul Husein Muslim bin Al Hajjaj Al Qusyairy, Shohiih Muslim, 1587.
[13] An Naisaburi, Abul Husein Muslim bin Al Hajjaj Al Qusyairy, Shohiih Muslim, 1587.
[14] Al Asyqor, Prof. Dr. ‘Umar Sulaiman, Khoshoo-ish Asy Syari’ah Al Islamiyyah, 42-43
[15] Al Asyqor, Prof. Dr. ‘Umar Sulaiman, Khoshoo-ish Asy Syari’ah Al Islamiyyah, 44.
[16] Al Asyqor, Prof. Dr. ‘Umar Sulaiman, Khoshoo-ish Asy Syari’ah Al Islamiyyah, 45.
[17] Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, 114.
[18] Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, 847.
[19] Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, 559.
[20] Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, 688.
[21] Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, 247.
[22] Al Bukhoory, Muhammad bin Isma’iil, Al Jaami’u Ash Shohiih (Shohiih Al Bukhoory), Damaskus: Daar Ibnu Katsiir, I, 1423 H/2002 M, 92-93.
[23] Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, 251-252.
[24] Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, 157.
[25] Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, 443.
[26] Al Asyqor, Prof. Dr. ‘Umar Sulaiman, Khoshoo-ish Asy Syari’ah Al Islamiyyah, 52.
[27] Al Asyqor, Prof. Dr. ‘Umar Sulaiman, Khoshoo-ish Asy Syari’ah Al Islamiyyah, 42-43
[28] Al Bukhoory, Muhammad bin Isma’iil, Al Jaami’u Ash Shohiih (Shohiih Al Bukhoory), 1052-1053. Dan An Naisaburi, Abul Husein Muslim bin Al Hajjaj Al Qusyairy, Shohiih Muslim, 1315.
—–oOo —–
Silahkan download PDF : Muqoddimah Sumber-Sumber Hukum Islam #2 FNL