Muqoddimah “Sumber-Sumber Hukum Islam” (Kajian-3)
(Resume Ceramah – Baytul Mukhlishiin 04/31102014)
MUQODDIMAH “SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM” (KAJIAN-3)
Oleh: Ustadz Achmad Rofi’i, Lc. M.M.Pd
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allooh [1] سبحانه وتعالى,
Pada pertemuan yang lalu kita telah membahas 7 poin dari total 17 poin “Ke-khas-an Syari’at Islam” dari Kitab setebal 101 halaman berjudul “Khoshoo-ish Asy Syari’ah Al Islamiyyah” (خصائص الشريعة الإسلامية) karya Al Ustadz (Prof. Dr.) ‘Umar Sulaiman Al Asyqor. Berikut ini kita masih akan membahas kelanjutan dari poin-poin “Ke-khas-an Syari’at Islam” tersebut agar kaum Muslimin mengetahui keutamaannya.
Gambar-2. Kitab “Khoshoo-ish Asy Syari’ah Al Islamiyyah”
KE-KHAS-AN SYARI’AT ISLAM
8) Syari’at Islam itu adalah Kokoh, Kontinyu dan Tetap (Tsabaat Asy Syari’ah Al Islamiyyah wa Istimrooruha wa Istiqrooruha)
Syaikh Prof. Dr. ‘Umar Sulaiman Al Asyqor berkata sebagai berikut, “Undang-Undang buatan manusia itu selalu butuh pada perubahan dan revisi terus-menerus sesuai dengan kemanusiaannya yang bersifat bodoh dan lemah.” [2]
Hal ini dapat dimaklumi, karena manusia itu kalau ada ilmu baru maka berubah lah cara berpikirnya, berubahlah paradigma pandangannya terhadap suatu masalah, sehingga berubahlah aturan yang dibuatnya. Atau kalau manusia itu mengalami perubahan peradaban, maka berubah lagi lah hukum / aturan yang dibuatnya. Itu karena manusia pada dasarnya adalah makhluq yang lemah dan bodoh. Hal ini sebagaimana dalam QS. Ar Ruum (30) ayat 54 :
اللَّهُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفًا وَشَيْبَةً ۚ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ ۖ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْقَدِيرُ
Artinya:
“Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” [3]
Kemudian dalam QS. Al Ahzab (33) ayat 72 :
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ ۖ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا
Artinya:
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” [4]
Dan dalam QS. Yaasin (36) ayat 77 :
أَوَلَمْ يَرَ الْإِنْسَانُ أَنَّا خَلَقْنَاهُ مِنْ نُطْفَةٍ فَإِذَا هُوَ خَصِيمٌ مُبِينٌ
Artinya:
“Dan apakah manusia tidak memperhatikan bahwa Kami menciptakannya dari setitik air (mani), maka tiba-tiba ia menjadi penantang yang nyata!” [5]
Prof. Dr. ‘Umar Sulaiman Al Asyqor dalam Kitabnya tersebut memberikan contoh keadaan yang terjadi di Irak, dimana 1 Undang-Undang dalam kurun waktu 10 tahun mengalami revisi / perubahan 10 kali. [6]
Dan bukankah di negeri kita pun demikian, Undang-Undang Dasar saja pernah mengalami revisi / amandemen sebanyak 4 kali dari tahun 1999 hingga tahun 2002. [7]
Hal ini berbeda dengan Syari’at Islam yang bersifat kokoh, kontinyu (berkelanjutan / terus-menerus) dan tetap (tidak berubah). Siapapun tidak boleh ada yang merubah Syari’at Islam. Merubah Syari’at Islam berarti kufur. Menghalalkan apa-apa yang harom, atau mengharomkan apa-apa yang halal, bisa berakibat fatal yaitu: kufur / keluar dari Al Islam.
Contohnya:
Musik itu Harom sebagaimana diberitakan keharomannya dalam Hadits Shohiih yang diriwayatkan oleh Al Imaam Al Bukhoory dalam Shohiih-nya no: 5590, dari Shohabat Abu Maalik Al Asy’ary رضي الله عنه, bahwa ia mendengar Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ
Artinya:
“Akan dijadikan halal oleh ummatku emas, sutera, khomr (minuman keras) dan Al Ma’aazif.” [8]
Al Imaam Ibnu Hajar Al Asqolaany رحمه الله dalam Kitabnya Fathul Baari, yang merupakan penjelas dari Kitab Shohiih Al Imaam Al Bukhoory, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kata “Al Ma’aazif” dalam Hadits ini adalah :
a) Alat-alat Lahwun, yakni sesuatu yang tidak berfaedah dalam pandangan Syar’ie atau dalam pandangan Wahyu.
b) Dan dikatakan juga bahwa makna lain dari “Al Ma’aazif” adalah Aswat ‘alaa Malaahi, yaitu suara yang tidak ada faedahnya atau tidak terpuji.
c) Makna ketiga, adalah: Duf (rebana) dan selainnya yang dipukul, yang selanjutnya dikenal sebagai Nyanyian. [9]
Dalam bahasa Arab, kalau orang mendengar kata ‘Aazif maka artinya adalah Alat musik dan penyanyinya.
Dengan demikian jelaslah bahwa musik itu Harom berdasarkan sabda Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dalam Hadits diatas.
Apabila ada Muslim yang berkata, “Iya sih, saya sadar kok bahwa musik itu Harom, tapi aduuh bagaimana ya…. lingkungan pekerjaan saya ini banyak musik-nya, saya masih kesulitan menghindarinya….”
Muslim yang berkata seperti ini, dimana ia masih meyakini keharoman musik tersebut, namun karena sesuatu dan lain hal ia masih kesulitan meninggalkannya, maka ia tergolongnya berdosa, tetapi tidak kufur.
Berbeda dengan Muslim yang berkata seperti ini, “Ah musik itu boleh kok, oke-oke aja…. Sekarang kan zamannya sudah modern, masa’ musik diharomkan segala…”
Nah, pernyataan yang seperti ini justru sangat berbahaya, karena ia dapat terjatuh kedalam menghalalkan apa-apa yang diharomkan oleh Allooh سبحانه وتعالى dan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, sehingga ia dapat terancam kekufuran apalagi bila ia sebenarnya sudah pernah mendengar Hadits ini tetapi memang sengaja menampik isi berita Hadits tersebut.
Syaikh Prof. Dr. ‘Umar Sulaiman Al Asyqor dalam Kitabnya “Khoshoo-ish Asy Syari’ah Al Islamiyyah” kemudian menjelaskan lagi sebagai berikut, “Hukum / Undang-Undang buatan manusia itu adalah hasil ketetapan manusia, dimana pendapat mereka itu bisa salah dan bisa benar; sehingga apa yang menjadi keputusan mereka bisa berubah dan bisa berganti.” [10]
Berikutnya, Syaikh Prof. Dr. ‘Umar Sulaiman Al Asyqor menjelaskan apakah yang menjadi rahasia dari Syari’at Islam itu sehingga ia senantiasa bersifat kokoh, kontinyu dan tetap [11], adalah karena :
a) Allooh سبحانه وتعالى menghendaki Syari’at Islam itu langgeng, sebab sudah merupakan jaminan Allooh سبحانه وتعالى bahwa Syari’at Islam akan terpelihara sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al Hijr (15) ayat 9 :
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
Artinya:
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” [12]
Pada masa pertumbuhan Syari’at selama 23 tahun, yakni dikala Rosuululloohصلى الله عليه وسلم masih hidup, Syari’at Islam memang mengalami fase pelengkapan dan penyempurnaan; namun sesudah turunnya QS. Al Maa’idah (5) ayat 3:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
Artinya:
“…. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu….” [13]
Maka dengan ayat tersebut, Allooh سبحانه وتعالى menyatakan bahwa Syari’at Islam sudah sempurna. Tidak boleh ditambah-tambah atau dirubah barang sedikitpun, setelah ia dinyatakan sempurna. Jadi memang sudah merupakan kehendak Allooh سبحانه وتعالى lah bahwa Syari’at Islam itu bersifat langgeng, kontinyu dan tidak berubah sesudah sempurnanya.
Oleh karena itu, Allooh سبحانه وتعالى tidak menjadikan ummat Islam sepakat diatas kesesatan, sebagaimana dalam Hadits Shohiih Riwayat Al Imaam Ibnu Maajah no: 3950, dari Shohabat Anas bin Maalik رضي الله عنه, beliau berkata bahwa ia mendengar Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
إِنَّ أُمَّتِي لاَ تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلاَلَةٍ
Artinya:
“Sesungguhnya, ummatku tidak akan sepakat diatas kesesatan.” [14]
b) Bagian dari karakteristik Syari’at ini adalah bahwa Syari’at Islam layak dan relevan untuk kehidupan manusia, betapapun berkembang dan meningginya kehidupan
Nah, apabila Syari’at Islam sudah diciptakan Allooh سبحانه وتعالى bersifat layak dan relevan untuk kehidupan manusia sampai dengan akhir zaman nanti, maka tentunya tidak perlu ada perubahan lagi didalamnya. Dengan demikian, ia itu langgeng, kontinyu dan tetap hingga Hari Kiamat.
Oleh karena itu yang justru harus kita upayakan adalah bagaimana kita kaum Muslimin menyesuaikan diri dengan Syari’at Islam, dan bukan Syari’at Islam yang harus menyesuaikan diri dengan hawa nafsu kita.
Sungguh tidak patut bila manusia malah membuat-buat hukum sendiri padahal hukum buatan mereka itu pada dasarnya tidaklah terjamin kelayakan / kerelevanannya bagi kehidupan mereka.
Masalahnya, maukah kaum Muslimin beriman pada Allooh سبحانه وتعالى dengan menerima Syari’at Islam ataukah tidak. Jadi, permasalahannya terletak pada ke-Iman-an kaum Muslimin itu sendiri.
Dalam kajian lalu, telah kita pelajari bahwa Masyarakat Islami yang madani itu dibentuk oleh Syari’at Islam, dan bukan sebaliknya. Terjadinya masyarakat Islami di Makkah dan Madinah di zaman Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, terjadinya Khilaafah Islamiyyah itu, Syari’at Islam lah yang membentuknya. Bukan manusia yang membentuk Masyarakat Islami, tetapi Syari’at Islam lah yang membentuk Masyarakat Islami.
9) Syari’at Islam itu bersifat Fleksibel (Al Muruunah)
Syari’at Islam itu fleksibel, dapat beradaptasi dengan apa yang ada di masyarakat sekitarnya; namun bukan berarti ia diciptakan Allooh سبحانه وتعالى untuk mengikuti kehendak hawa nafsu manusia. Bukan ! Tetapi Syari’at Islam itu diciptakan Allooh سبحانه وتعالى bersifat fleksibel dalam memenuhi apa yang menjadi hajat hidup manusia.
Syaikh Prof. Dr. ‘Umar Sulaiman Al Asyqor menjelaskan beberapa karakteristik yang menjadikan Syari’at Islam itu bersifat fleksibel, sehingga ia senantiasa dapat beradaptasi dengan kehidupan manusia [15], adalah sebagai berikut:
a) Islam bebas dari “syakliyyaat” (mode) dan “tuquus” (kostum) tertentu; berbeda halnya dengan perundangan Romawi dan syari’at Yahudi. Jadi Islam itu bebas dari keharusan seperti: keharusan menggunakan kostum tertentu, mode tertentu, dan sejenisnya.
Contoh: dalam masalah ‘Imaamah (sorban), tidak ditentukan mode tertentu untuknya, tetapi yang penting adalah bahwa ‘Imaamah itu menutup seluruh kepala (termasuk menutup telinga) dengan bahan yang tebal. Ketika seorang Muslim yang mamakai ‘Imaamah hendak berwudhu, maka ia tidak perlu membuka ‘Imaamah-nya, cukup dengan mengusap bagian atas ‘Imaamah-nya saja; sebagaimana dalam Hadits Riwayat Al Imaam Muslim no: 247, dari Shohabat Al Mughiroh رضي الله عنه :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ فَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ وَعَلَى الْعِمَامَةِ
Artinya:
“Bahwasanya Nabi صلى الله عليه وسلم berwudhu’ kemudian mengusap ubun-ubun dan di atas ‘imaamah (surban)-nya….” [16]
Oleh karena itu, penutup kepala (‘Imaamah) yang dipakai orang Pakistan tidak sama modenya dengan yang dipakai oleh orang Afghanistan. Beda lagi mode-nya dengan Sorban-nya orang Indonesia, atau dengan ‘Imaamah-nya orang Saudi Arabia. ‘Imaamah orang Saudi Arabia dengan orang Yaman juga beda. Dengan orang Sudan juga beda lagi. Keberagaman itu adalah karena adanya kaitan antara budaya masyarakat setempat dengan Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Hal ini menunjukkan bahwa Islam itu fleksibel, Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dapat disesuaikan dengan budaya setempat, dengan catatan selama budaya setempat itu masih berada dalam koridor yang Syar’ie.
b) Syari’at Islam itu sesuai dengan fitrah manusia.
Syari’at Islam itu sesuai dengan fitrah manusia, sementara fitrah manusia di berbagai belahan dunia itu pada dasarnya adalah sama.
Syaikh Prof. Dr. ‘Umar Sulaiman Al Asyqor menukil perkataan Sayyid Quthb رحمه الله, sebagai berikut: “Sesungguhnya ajaran Islam ini berbicara dengan manusia dibalik berbagai keadaan, dibalik berbagai lingkungan, dan dalam berbagai waktu (masa); oleh karenanya Syari’at Islam berbicara sesuai dengan fitrah manusia yang mana fitrah manusia itu tidak berganti dan tidak bergeser……” [17]
Allooh سبحانه وتعالى berfirman dalam QS. Ar Ruum (30) ayat 30 sebagai berikut :
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Artinya:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” [18]
c) Syari’at Islam itu ditetapkan untuk seluruh ummat manusia di dunia ini.
Syari’at Islam yang diciptakan Allooh سبحانه وتعالى untuk seluruh ummat manusia yang terdiri dari berbagai kalangan, berbagai bangsa dengan beragam kebiasaannya, dan dari berbagai masa ke masa itu hanyalah satu; dengan demikian Syari’at Islam pastilah bersifat fleksibel.
d) Nash-nash (redaksi) Al Qur’an selalu memberikan pernyataan yang bersifat global yang tidak mengikat pada perkara tertentu.
Contohnya, perhatikanlah QS. Al Baqoroh (2) ayat 185:
…يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ …
Artinya:
“…Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu …” [19]
Pernyataan “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu (يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ)” ini bersifat global. Apa yang mudah menurut kita, belum tentu mudah bagi orang lain. Apa yang sukar menurut kita, belum tentu sukar menurut orang lain. Apa yang mudah bagi suatu bangsa, belum tentu mudah bagi bangsa lainnya. Apa yang sukar bagi manusia di zaman dahulu, belum tentu sukar bagi manusia di zaman sekarang. Artinya “mudah” dan “sukar” itu tidak terdefinisikan karena ia bersifat global bagi seluruh ummat manusia dari berbagai bangsa, berbagai kebiasaan, dan dalam berbagai kurun waktu / masa; yang mana ini menunjukkan bahwa Islam itu fleksibel. Meskipun demikian, tentunya kita kaum Muslimin tidak boleh sengaja menggampang-gampangkan suatu permasalahan. Dan ini kembali kepada Iman kaum Muslimin itu sendiri. Tetapi pada intinya, Islam itu menghendaki kemudahan bagi manusia.
Perhatikan pula QS. Al Baqoroh (2) ayat 205 :
وَإِذَا تَوَلَّىٰ سَعَىٰ فِي الْأَرْضِ لِيُفْسِدَ فِيهَا وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَالنَّسْلَ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ
Artinya:
“Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan.” [20]
Allooh سبحانه وتعالى tidak menyukai “kerusakan”. Apa yang dimaksud dengan “kerusakan” itu tidak didefinisikan; berarti apa saja yang bermakna merusak bagi alam semesta (antara lain : darat, laut, udara), juga bagi hewan / binatang ternak dan tumbuh-tumbuhan, maka itu semua tidak disukai Allooh سبحانه وتعالى. Berarti makna “kerusakan” yang dimaksud dalam ayat ini sangat universal sekali sifatnya.
Dalam Hadits Shohiih Riwayat Al Imaam Ibnu Majah no: 2472, dari Shohabat Ibnu ‘Abbaas رضي الله عنهما, bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda :
الْـمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ فِـيْ ثَلَاثٍ : فِـي الْـمَـاءِ وَالْكَلَإِ وَالنَّارِ
Artinya:
“Kaum Muslimin itu bersekutu dalam tiga hal yaitu air, rumput dan api.” [21]
Misalkan saja, di saat terjadinya kebakaran hutan di negeri kita, maka polusi yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan tersebut bahkan dapat mengganggu komunitas saudara kita di Malaysia. Karena asap yang muncul dari kobaran api akibat kebakaran hutan tadi terbawa angin, lalu mencemari udara dan menyesakkan nafas saudara-saudara kita disana. Maka tidak boleh bermain-main dengan api di hutan. Demikian pula dengan air laut, tidak boleh sembarangan mencemari air laut dengan limbah industri ataupun minyak, karena pencemarannya dapat membahayakan orang banyak.
Dalam hadits yang lain, yaitu Hadits Riwayat Al Imaam Ibnu Maajah no: 2340, dari ‘Ubadah bin Shomit رضي الله عنه, bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda: :
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
Artinya:
“Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain.” [22]
Nah, apa yang dimaksud dengan “bahaya” dalam Hadits diatas tidak didefinisikan untuk suatu perkara tertentu, tetapi sifatnya sangat global; berarti apa saja yang mengundang “bahaya” dan “dapat membahayakan orang lain” maka itu tidak diperbolehkan.
e) Syari’at Islam membuka pintu Ijtihad ketika muncul suatu permasalahan yang tidak ditemui dalam nash Al Qur’an, As Sunnah ataupun Al Ijma’
Meskipun demikian Ijtihad yang dihasilkan itu haruslah mengacu kepada Al Qur’an, As Sunnah dan Al Ijma’; dan tidak boleh memunculkan kontradiksi diantaranya. Terbukanya pintu Ijtihad ketika menemui jalan buntu dalam menghadapi suatu permasalahan ini lah yang menyebabkan Syari’at Islam itu bersifat fleksibel.
f) Syari’at Islam telah memberi peluang yang seluas-luasnya kepada para ‘Ulama dan para Penguasa terhadap perkara-perkara yang dibolehkan, (dengan tetap) sesuai dengan apa yang ada didalam Al Qur’an dan Hadiits Nabi صلى الله عليه وسلم (As Sunnah)
Contohnya antara lain adalah: Undang-Undang masalah manajemen perkantoran, Undang-Undang tentang kelautan, Aturan Lalu Lintas, dan sebagainya.
Syari’at Islam memberikan kewenangan bagi para ‘Ulama dan para Penguasa untuk berpikir dan merumuskan / membuat peraturan-peraturan (dalam perkara yang dibolehkan) yang memudahkan mereka untuk menata kehidupan mereka, SELAMA peraturan-peraturan mereka itu harus TETAP MENGACU kepada Al Qur’an dan As Sunnah, tidak boleh menyelisihi Al Qur’an dan As Sunnah, apalagi mengganti Syari’at Allooh سبحانه وتعالى yang terdapat dalam kedua Pokok (Al Qur’an dan As Sunnah) itu.
Apabila ada orang yang menuduh bahwa Syari’at Islam itu “sempit” atau “tidak bisa memenuhi kebutuhan zaman”, maka bisa jadi karena orang yang mengatakannya itu justru ilmunya yang sempit, ia kurang memiliki pengetahuan secara benar dan menyeluruh terhadap Syari’at Islam ini; bahwa sebenarnya Syari’at Islam ini memberi peluang bagi para ‘Ulama dan para Penguasa untuk membuat peraturan-peraturan yang diperbolehkan, asalkan peraturan-peraturan itu tetap mengacu kepada Al Qur’an dan As Sunnah.
Yang menjadi masalah di zaman sekarang ini adalah bahwa di negara-negara sekuler dimana penduduk yang tinggal didalamnya kebanyakan kaum Muslimin itu justru membuat Undang-Undang / hukum-hukum buatan manusia / hukum Wadh’i yang menyelisihi, merubah serta mengganti Syari’at Allooh سبحانه وتعالى yang jelas-jelas terdapat dalam Al Qur’an dan As Sunnah.
Contoh:
Zina itu dilarang oleh Al Islam. Ada banyak ayat dan Hadits yang melarang Zina, antara lain perhatikan QS. Al Isroo’ (17) ayat 32:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
Artinya:
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” [23]
Namun di negara-negara sekuler yang penduduknya kaum Muslimin itu, alih-alih dilarang dan ditumpas, Zina itu malah “diperbolehkan”. Bagaimana mungkin ? Perhatikan saja, bukankah sampai-sampai di masyarakat itu ada istilah “Pekerja Seks Komersial” atau “Lokalisasi Pelacuran” ? Kalau sekedar di-lokalisasi, berarti Zina itu notabene masih diperbolehkan (bukannya diberantas habis), hanya saja “bahasa halusnya” itu: “Kalau mau Zina ya jangan disini lah, tapi di situ (tempat lokalisasi itu) saja….” Nah, berarti itu namanya masih diperbolehkan. Dan sikap yang seperti ini berarti belum menerapkan isi dari QS. Al Isroo’ (17) ayat 32 tersebut.
Hal ini terjadi karena Hukum Wadh’i / Undang-Undang buatan manusia di negara-negara sekuler itu telah menyelisihi Al Qur’an dan As Sunnah, sehingga ketika terjadi kerusakan moral yang hebat dikalangan generasi muda dan anak-anak mereka, maka mereka pun menjerit kebingungan, “Mengapa banyak terjadi pelecehan seksual di kalangan anak-anak remaja kami?”, “Mengapa banyak terjadi perselingkuhan pada pasangan kami?”, “Mengapa banyak terjadi aborsi terhadap bayi-bayi yang tak berdosa?”, “Mengapa banyak berjangkit virus Ebola, virus HIV?”, dan seterusnya, dan seterusnya.
Wahai kaum yang berakal, mengapa kalian berpaling dari Syari’at Allooh سبحانه وتعالى ? Mengapa kalian membuat Hukum-Hukum buatan kalian sendiri yang justru menyelisihi, merubah serta mengganti Hukum Allooh سبحانه وتعالى ? Maka rasakanlah akibat dari perbuatan kalian ketika kalian berpaling dari sang Pencipta kalian Yang Maha Bijaksana, Allooh سبحانه وتعالى.
Allooh سبحانه وتعالى berfirman dalam QS. Al A’roof (7) ayat 96 :
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Artinya:
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” [24]
Berbeda dengan Undang-Undang buatan manusia yang masih “mentoleransi” adanya Zina, maka Syari’at Islam secara tegas membendung dan memberantas Zina hingga ke akar-akarnya. Hukuman yang ditetapkan oleh Syari’at Islam pun tegas, yakni hukum dera / rajam, sebagaimana dalam QS. An Nuur (24) ayat 2 :
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ ۖ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
Artinya:
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” [25]
Jangan ada diantara kaum Muslimin yang berpikir bahwa Syari’at Islam itu mengerikan, hukum rajam itu menakutkan, dan aneka phobia lainnya terhadap Syari’at yang mulia ini. Berpikirlah dari sisi sebaliknya, bahwa sesungguhnya didalam Syari’at Allooh سبحانه وتعالى ini terdapat kebaikan dan maslahat yang sangat besar bagi manusia itu sendiri, karena dengan diterapkannya hukum rajam, maka munculllah efek jera bagi pelakunya atau bagi siapapun yang menyaksikan hukuman tersebut. Sehingga apabila direnungkan, sesungguhnya Syari’at Islam itu merupakan Imunisasi yang paling ampuh dan efektif bagi penyakit menular (HIV, Ebola, dll) juga terhadap berbagai kerusakan moral masyarakat dan generasi mudanya.
Demikianlah, jadi ketika Syari’at Islam memberi peluang yang seluas-luasnya kepada para ‘Ulama dan para Penguasa untuk berpikir dan merumuskan / membuat peraturan-peraturan (dalam perkara yang dibolehkan) yang memudahkan mereka untuk menata kehidupan mereka, maka itu jangan diartikan sebagai kebolehan bagi mereka untuk malah menyelisihi, merubah dan bahkan mengganti Hukum Allooh سبحانه وتعالى tersebut.
10) Syari’at Islam itu Mudah, bahkan apabila ada Kesulitan maka Syari’at Islam menghilangkan Kesulitan itu
Allooh سبحانه وتعالى berfirman dalam QS. Al Baqoroh (2) ayat 185 :
…يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ …
Artinya:
“….. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu …..” [26]
Juga firman-Nya dalam QS. Al Maa’idah (5) ayat 6 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ ۚ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَٰكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” [27]
Nah, jadi Syari’at Islam itu mudah, tidak ada yang sulit didalamnya. Kalau ada orang yang ketakutan / phobia terhadap Syari’at Islam, maka itu bisa jadi karena ia belum mempelajari Syari’at Islam ini dengan benar dan menyeluruh.
Contoh kemudahan dalam Syari’at Islam antara lain adalah dalam QS. An Nisaa’ (4) ayat 43 dimana ketika kaum Muslimin hendak berwudhu’ lalu tidak mendapati air, maka cukup dengan ber-tayamum :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغْتَسِلُوا ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” [28]
Perhatikan pula QS. Al Baqoroh (2) ayat 184 dimana ketika ada kaum Muslimin yang berat untuk menjalankan shoum Romadhoon, misal karena sudah sangat tua dan berpenyakit menahun, maka cukup baginya untuk membayar fidyah :
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ ۚ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ ۚ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya:
“(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” [29]
Lalu perhatikan juga kemudahan yang diberikan Syari’at Islam dalam QS. Al Baqoroh (2) ayat 173, dimana ketika seorang Muslim berada dalam keadaan sangat darurat, misalkan saja saat itu dia tidak punya makanan apa pun, dan yang ada hanyalah daging babi; maka ia boleh memakannya karena kalau tidak memakannya maka ia bisa mati karena tidak punya makanan apa pun selain itu dan ia sebenarnya tidak menginginkan untuk memakan daging babi tersebut melainkan sekedar untuk menyambung hidupnya :
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ ۖ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Artinya:
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [30]
Sedangkan dalam perkara sholat, maka perhatikanlah Hadits Shohiih Riwayat Al Imaam Al Bukhoory no: 1117, dari Shohabat Imron bin Hushoin رضي الله عنه :
كَانَتْ بِي بَوَاسِيرُ فَسَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الصَّلَاةِ فَقَالَ صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ
Artinya:
“Pernah penyakit wasir menimpaku, lalu aku bertanya kepada Nabi صلى الله عليه وسلم tentang cara sholatnya. Maka beliau صلى الله عليه وسلم menjawab: “Sholatlah dengan berdiri, apabila tidak mampu, maka duduklah dan bila tidak mampu juga maka berbaringlah.” [31]
Demikian pula dalam perkara Ibadah. Ibadah yang diperintahkan itu justru adalah yang sesuai kemampuan diri, janganlah yang memberatkan diri kita, tetapi hendaknya dilakukan secara dawam (terus-menerus). Hal ini sebagaimana dalam Hadits Riwayat Al Imaam Al Bukhoory no: 43 dan Al Imaam Muslim no: 785 :
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – دَخَلَ عَلَيْهَا وَعِنْدَهَا امْرَأَةٌ قَالَ مَنْ هَذِهِ . قَالَتْ فُلاَنَةُ . تَذْكُرُ مِنْ صَلاَتِهَا . قَالَ مَهْ ، عَلَيْكُمْ بِمَا تُطِيقُونَ ، فَوَاللَّهِ لاَ يَمَلُّ اللَّهُ حَتَّى تَمَلُّوا . وَكَانَ أَحَبَّ الدِّينِ إِلَيْهِ مَا دَامَ عَلَيْهِ صَاحِبُهُ
Artinya:
Dari Aisyah رضي الله عنها, bahwa pada suatu hari ketika Nabi صلى الله عليه وسلم pulang ke rumah ‘Aa’isyah, beliau melihat ada seorang wanita didekat ‘Aa’isyah رضي الله عنها. Lalu Nabi صلى الله عليه وسلم bertanya, “Siapakah wanita itu?”
‘Aa’isyah رضي الله عنها menjawab, “Ini Fulanah, dia sedang menceritakan tentang (lamanya) sholat malamnya.”
Kemudian Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda, “Janganlah begitu! Tetapi kerjakanlah semampumu. Demi Allooh, Allooh tidak akan jemu sampai kalian sendiri yang merasa jemu. Ibadah yang paling disukai Allooh adalah yang dilakukan secara tetap dan teratur.” [32]
Berbagai ayat dan hadits diatas menunjukkan betapa Syari’at Islam itu menepis kesulitan, dan menginginkan kemudahan bagi manusia. Bahkan terdapat kaidah dalam ‘Ushuul Fiqih sebagai berikut: “Al amru idzaa dhooqo ittasa’a (الأمر إذا ضاق اتسع )” yang artinya: “Suatu perkara apabila menyempit, maka ia menjadi luas”. Disinilah kehebatan Syari’at Islam, dimana ketika suatu perkara (– perkara apa saja –) menjadi sempit / sulit untuk dilaksanakan, maka pada saat itu lah justru terdapat kelapangan. Hal ini sebagaimana firman Allooh سبحانه وتعالى dalam QS. Al Baqoroh (2) ayat 185 yang telah kita bahas diatas. Jadi di dalam Islam itu ketika ada kesulitan, justru disitu ada kemudahan.
Karena Syari’at Islam ini pada hakekatnya adalah “jalan yang mudah”, sebagaimana firman Allooh سبحانه وتعالى dalam QS. Al A’laa (87) ayat 8 :
وَنُيَسِّرُكَ لِلْيُسْرَىٰ
Artinya:
“Dan Kami akan memberi kamu taufik ke jalan yang mudah.” [33]
Juga sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dalam Hadits Shohiih Riwayat Al Imaam Al Bukhoory no: 69, dari Shohabat Anas bin Maalik رضي الله عنه :
يَسِّرُوا وَلاَ تُعَسِّرُوا ، وَبَشِّرُوا وَلاَ تُنَفِّرُوا
Artinya:
“Permudahlah jangan dipersulit dan gembirakanlah jangan dibuat lari.” [34]
Itulah keindahan Syari’at Islam. Sangat berbeda keadaannya dibandingkan dengan hukum-hukum buatan manusia yang kita jumpai saat ini, yang bahkan sampai-sampai memunculkan suatu istilah: “Kalau bisa dipersulit, mengapa mesti dipermudah…”; sehingga pada akhirnya masyarakat itu semakin hari semakin sulit keadaannya. Atau contoh lainnya seperti dalam sistem Kapitalisme, dimana dalam sistem yang seperti ini justru “Orang kaya akan semakin kaya, dan orang miskin akan semakin miskin / susah”; atau dengan kata lain pada hakekatnya sistem Kapitalisme itu menyusahkan orang yang susah.
Demikianlah berbagai contoh tentang kemudahan Al Islam, bahkan ada suatu doa yang diajarkan oleh Allooh سبحانه وتعالى dalam QS. Al Baqoroh (2) ayat 286 agar kita kaum Muslimin memohon pada-Nya agar tidak diberikan beban apa-apa yang kita tidak sanggup memikulnya serta agar diampuni atas kesalahan-kesalahan kita :
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ ۖ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا ۚ أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
Artinya:
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.” [35]
Janganlah ada diantara kaum Muslimin yang memandang terhadap Al Islam dengan pandangan orang-orang kaafir yang seringkali mereka itu mengatakan, “Ah Islam itu banyak aturan, banyak larangannya….”, “Ah Islam itu susah sekali, banyak kekangan, tidak boleh ini, tidak boleh itu …”. Nah, cara pandang seperti itu datangnya dari orang-orang kaafir. Yang tidak suka pada Al Islam itu orang-orang kaafir. Yang menganggap bahwa Al Islam menyulitkan itu orang-orang kaafir. Yang menolak Syari’at Islam itu orang-orang kaafir. Karena orang-orang kaafir itu hanya melihat dari satu sisi saja, dari sisi hawa nafsu dirinya saja, mereka tidak melihat dari sisi yang lain bahwa Al Islam itu didatangkan Allooh سبحانه وتعالى sebagai rahmat bagi alam semesta. Nah, mengapa kaum Muslimin membangun paradigma berpikirnya dengan paradigma berpikir orang-orang kaafir ? Sungguh tidak patut apabila kaum Muslimin memandang Al Islam dengan cara pandang orang-orang yang tidak beriman pada Allooh سبحانه وتعالى. Padahal Al Islam adalah agama yang mudah.
Bagi kaum Muslimin, hidup itu untuk beribadah kepada Allooh سبحانه وتعالى. Bukankah ada kata pepatah, “Ada kemauan, ada jalan” ? Maka kaum Muslimin mestinya membangun kemauan dirinya bahwa ia itu ingin cinta Allooh سبحانه وتعالى, ia ingin ridho Allooh سبحانه وتعالى, ia ingin masuk Surga Allooh سبحانه وتعالى; maka in-syaa Allooh akan ada jalan ketika ia memiliki kemauan yang kuat.
11) Syari’at Islam itu Adil
Syari’at Islam itu dibangun diatas keadilan. Tentunya “adil” yang dimaksud adalah “adil” berdasarkan Allooh سبحانه وتعالى dan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم; “adil” berdasarkan Wahyu. Jadi “adil” dalam koridor Iman. Bukan “adil” menurut hawa nafsu manusia. Karena Undang-Undang / Hukum buatan manusia, sebagaimana telah kita bahas di awal kajian tadi, mesti tidak lepas dari salah dan kurang, karena manusia itu sendiri adalah makhluq yang lemah. Adapun Allooh سبحانه وتعالى adalah sang Pencipta manusia Yang Maha Adil, yang tidak punya kepentingan apa pun, sehingga keadilan menurut Allooh سبحانه وتعالى adalah mutlak.
Maha Adil-nya Allooh سبحانه وتعالى tertera dalam QS. Al Kahfi (18) ayat 49 :
وَوُضِعَ الْكِتَابُ فَتَرَى الْمُجْرِمِينَ مُشْفِقِينَ مِمَّا فِيهِ وَيَقُولُونَ يَا وَيْلَتَنَا مَالِ هَٰذَا الْكِتَابِ لَا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً إِلَّا أَحْصَاهَا ۚ وَوَجَدُوا مَا عَمِلُوا حَاضِرًا ۗ وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا
Artinya:
“Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: “Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang juapun.” [36]
Berbeda dengan keadilan versi hawa nafsu manusia yang sarat dengan kepentingan (kepentingan partai, kepentingan golongan, kepentingan segelintir orang, kepentingan pribadi dan lain sebagainya). Allooh سبحانه وتعالى tak punya kepentingan apapun, kalau kita berbuat baik maka kebaikan itu untuk diri kita sendiri, kalau kita berbuat buruk maka keburukan itu akan kembali ke diri kita sendiri juga, Allooh سبحانه وتعالى berfirman dalam QS. Al Isroo’ (17) ayat 7 :
إِنْ أَحْسَنْتُمْ أَحْسَنْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ ۖ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا
Artinya:
“Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri…..” [37]
Karena manusia itu makhluq yang lemah, penuh dengan kesalahan dan kekurangan,
maka hukum / undang-undang buatan manusia itu juga penuh dengan kekurangan, sehingga selalu ada revisi, ada amandemen, ada perubahan dari waktu ke waktu. Karena manusia itu makhluq yang pengetahuannya terbatas, maka ketika ia membuat suatu hukum / undang-undang maka hukum / undang-undang itu bisa dipengaruhi oleh sudut pandangnya, dipengaruhi oleh background kehidupannya, dipengaruhi oleh paradigma berpikirnya, dipengaruhi oleh pola kehidupan masyarakat tempat tinggalnya; yang ini semua bisa berubah dari waktu ke waktu ketika datang padanya ilmu pengetahuan yang baru atau adanya pengaruh dari lingkungan sosial budaya lain dan seterusnya.
Perhatikan pula firman Alloohسبحانه وتعالى dalam QS. An Nisaa’ (4) ayat 40 yang memberikan jaminan atas keadilan-Nya sebagai berikut :
إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ ۖ وَإِنْ تَكُ حَسَنَةً يُضَاعِفْهَا وَيُؤْتِ مِنْ لَدُنْهُ أَجْرًا عَظِيمًا
Artinya:
“Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar.” [38]
Juga firman-Nya dalan QS. Fushshilat (41) ayat 46 :
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ ۖ وَمَنْ أَسَاءَ فَعَلَيْهَا ۗ وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ
Artinya:
“Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hamba-Nya.” [39]
Dan firman-Nya dalam QS. Al An’aam (6) ayat 115 :
وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلًا ۚ لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ ۚ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Artinya:
“Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merubah rubah kalimat-kalimat-Nya dan Dialah yang Maha Mendenyar lagi Maha Mengetahui.” [40]
Al Imaam Qotaadah bin Da’aamah As Sadusi رحمه الله, seorang Tabi’iin, mengartikan kalimat “shidqon wa ‘adlan (صِدْقًا وَعَدْلًا)” dalam QS. Al An’aam (6) ayat 115 sebagai, “Benar terhadap apa yang difirmankan, dan Adil terhadap apa yang divoniskan.” [41]
Itu lah mengapa kita kaum Muslimin sering mendengar kata: “Maha Benar Allooh dengan segala firman-Nya”, karena apa yang Alloohسبحانه وتعالى firmankan pasti Benar adanya. Dan kalau Alloohسبحانه وتعالى menghukum / memvonis, maka vonis-Nya pastilah Adil.
Dari ayat-ayat diatas dapat pula diambil pelajaran bahwa Allooh سبحانه وتعالى itu sekali-kali tidak akan menganiaya kita hamba-hamba-Nya sebesar biji sawit pun, karena Allooh سبحانه وتعالى itu Maha Adil; oleh karena itu sudah merupakan jaminan Allooh سبحانه وتعالى bahwa Syari’at Islam itu diciptakan diatas asas keadilan yang tidak akan mendzolimi hamba-Nya barang sedikit pun. Sekarang tinggal kembali kepada diri kaum Muslimin itu sendiri, berimankah ia terhadap jaminan Alloohسبحانه وتعالى ini ?
Allooh سبحانه وتعالى pun menyuruh agar kita hamba-hamba-Nya ini berbuat adil, sebagaimana firman-Nya dalam QS. An Nisaa (4) ayat 58 :
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ ۚ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
Artinya:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” [42]
Juga firman-Nya dalam QS. Al Maa’idah (5) ayat 42 :
سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ ۚ فَإِنْ جَاءُوكَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ ۖ وَإِنْ تُعْرِضْ عَنْهُمْ فَلَنْ يَضُرُّوكَ شَيْئًا ۖ وَإِنْ حَكَمْتَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Artinya:
“Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.” [43]
Dan firman-Nya dalam QS. Al An’aam (6) ayat 152 :
وَلَا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّىٰ يَبْلُغَ أَشُدَّهُ ۖ وَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ ۖ لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۖ وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَىٰ ۖ وَبِعَهْدِ اللَّهِ أَوْفُوا ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Artinya:
“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.” [44]
Kemudian firman-Nya dalam QS. An Nisaa’ (4) ayat 135, dimana keadilan itu harus ditegakkan walaupun terhadap diri sendiri dan orang terdekat (karib kerabat) sekalipun:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَىٰ أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ ۚ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَىٰ بِهِمَا ۖ فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَىٰ أَنْ تَعْدِلُوا ۚ وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” [45]
Bahkan terhadap musuh atau orang yang kita benci atau tidak kita sukai sekalipun, kita tetap diperintahkan untuk berlaku adil, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al Maa’idah (5) ayat 8:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [46]
Jadi Syari’at Islam itu dibentuk diatas asas keadilan menurut Allooh سبحانه وتعالى dan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Sedangkan proses peradilannya tidaklah rumit karena bertumpu pada asas kesederhanaan. Sehingga tidak terjadi proses peradilan yang berkepanjangan. Namun walaupun asas peradilannya sederhana, tetapi ketika terjadi persengketaan antara dua pihak yang saling mengklaim kebenaran, maka seorang hakim dalam mengambil sebuah keputusan hukum itu haruslah dengan mempertimbangkan pengaduan dari kedua belah pihak. Seorang hakim tidak boleh mengambil keputusan kecuali setelah sang pengambil keputusan (qadli) mendengarkan pengaduan dari kedua belah pihak secara sempurna sehingga tidak ada lagi keraguan tentang kebenaran yang diputuskannya. Hal ini sebagaimana dalam Hadits Riwayat Al Imaam At Turmudzy no: 1331 :
عن علي قال : قال لي رسول الله صلى الله عليه و سلم إذا تقاضى إليك رجلان فلا تقض للأول حتى تسمع كلام الآخر فسوف تدري كيف تقضي قال علي فما زلت قاضيا بعد
Artinya:
Dari Ali رضي الله عنه, bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda: “Jika datang kepadamu dua orang untuk meminta putusan darimu, maka janganlah engkau beri putusan kepada orang pertama sebelum engkau mendengarkan juga (laporan) dari orang kedua, sehingga engkau tahu bagaimana seharusnya kamu memutuskan.” [47]
Dalam memutuskan suatu perkara hukum pun, haruslah disertakan alat bukti dari setiap orang yang bersengketa. Adapun alat bukti yang dimaksud dalam peradilan Islam adalah fakta kebenaran yang dikenal dengan nama bayyinah, sumpah, saksi, bukti tertulis dan pengakuan. Kaitannya dengan bukti dan sumpah dijelaskan dalam Hadits Shohiih Riwayat Al Imaam Muslim no: 1711, dari Shohabat Ibnu ‘Abbaas رضي الله عنه, bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
لو يعطى الناس بدعواهم لادعى رجال اموال قوم ودماء هم ولكن البينة على المدعى واليمين على من انكر
Artinya:
“Seandainya diberikan kepada manusia apa-apa yang mereka gugat, maka orang-orang akan menggugat harta-harta atau jiwa-jiwa suatu kaum. Tetapi (semestinya adalah) bahwa bukti itu didatangkan dari orang yang menggugat dan sumpah itu didatangkan atas orang yang tergugat.” [48]
Di negara-negara sekuler, tidak sedikit orang yang mengaku Muslim tetapi ketika dibimbing agar mau menerapkan apa yang dituntunkan oleh Allooh سبحانه وتعالى dan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم antara lain berkaitan dengan Peradilan dan Vonis untuk suatu perkara yang diperselisihkan atau dipersengketakan diantara mereka itu sesuai dengan Syari’at Islam, maka mereka berkilah dengan mengatakan, “Ah Negara kita kan bukan Negara Islam…”. Hal ini sangatlah naïf, karena sebagai seorang Muslim semestinya kepasrahan dan kepatuhan terhadap ketetapan, tuntunan dan Syari’at Allooh سبحانه وتعالى yang diimaninya itu seharusnya lebih diutamakan untuk diterima dan diterapkan dalam kehidupannya, dibandingkan dengan mengajukan berbagai bantahan seperti demikian. Hal itu menunjukkan lemahnya Iman, atau dengan kata lain berimannya itu hanya “setengah-setengah” terhadap Allooh سبحانه وتعالى. Apabila ada daliil yang sesuai dengan hawa nafsu-nya maka ia mau menerima, tetapi apabila ada daliil yang tidak sesuai dengan hawa nafsu-nya maka ia enggan menerimanya. Dan ini berbahaya, karena ada ancaman Allooh سبحانه وتعالى terhadap orang yang seperti ini. Perhatikanlah firman-Nya dalam QS. An Nisaa’ (4) ayat 150-151 sebagai berikut:
إِنَّ الَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيُرِيدُونَ أَن يُفَرِّقُوا بَيْنَ اللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيَقُولُونَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ وَيُرِيدُونَ أَن يَتَّخِذُوا بَيْنَ ذَٰلِكَ سَبِيلًا ﴿١٥٠﴾ أُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ حَقًّا ۚ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُّهِينًا ﴿١٥١
Artinya:
(150) “Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: “Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)”, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir),
(151) merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan.” [49]
Oleh karena Allooh سبحانه وتعالى menyuruh kaum Muslimin itu beriman secara menyeluruh terhadap apa pun yang berasal dari-Nya. Sungguh aneh apabila seseorang “mengaku Muslim” tetapi condong kepada Undang-Undang / hukum buatan manusia daripada kepada Syari’at Allooh سبحانه وتعالى. Sungguh aneh apabila seseorang “mengaku Muslim” tetapi menolak Syari’at Islam. Sungguh aneh apabila seseorang “mengaku Muslim” tetapi lebih sering berfatwa dengan HAM (Hak Asasi Manusia) dan melupakan Hak Allooh سبحانه وتعالى. Perhatikanlah firman Allooh سبحانه وتعالى dalam QS. Al Baqoroh (2) ayat 208 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” [50]
Kemudian, berikut ini ada contoh beberapa perkara yang dilarang dalam Syari’at Islam, karena apabila ia dikerjakan maka ia akan menghilangkan makna keadilan yang diperintahkan oleh Allooh سبحانه وتعالى tersebut. Beberapa perkara itu adalah sebagai berikut:
Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم melarang Jual-Beli Al-Ghoror / “Bai’ul Al Ghoror”; yang artinya: “Semua jual-beli yang mengandung ketidakjelasan atau pertaruhan atau perjudian; atau semua yang tidak diketahui hasilnya atau tidak diketahui hakikat dan ukurannya; karena ia dalam pandangan Syari’at bermakna menipu, dalam artian: Orang harus membayar dalam jumlah yang pasti, tetapi keuntungannya spekulatif.
Dalam Hadits Shohiih Riwayat Al Imaam Muslim no: 1513, dari Shohabat Abu Hurairoh رضي الله عنه, bahwa :
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
Artinya:
“Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم melarang jual beli Al-Hashooh dan jual beli Al-Ghoror.” [51]
Menurut Syaikh Abdurrohman bin Nashir As-Sa’di رحمه الله, Al Ghoror adalah “Al-mukhathoroh” (pertaruhan) dan “Al-Jahalah” (ketidak jelasan). [52]
Contohnya: Asuransi , dimana: Seseorang itu harus membayar (misalkan saja Asuransi Kesehatan) sebesar Rp 250.000 / bulan; berarti per tahun orang itu harus mengeluarkan uang secara pasti sejumlah Rp 3.000.000,-. Sementara orang tersebut bisa jadi Allooh سبحانه وتعالى beri kesehatan di tahun itu. Namun ia otomatis langsung kehilangan uang sebesar Rp 3.000.000,-; sedangkan ia belum tentu mendapat keuntungan apa-apa dari uang yang dikeluarkannya tersebut. Ini adalah perkara yang dilarang dalam Al Islam, karena masuk dalam kategori perjudian.
Contoh kedua: Orang mau membeli mangga dalam jumlah yang banyak, lalu ia datangi perkebunan mangga milik rakyat setempat. Ia menawar dengan cara seperti ini, “Saya beli ya mangga yang ada di kebun bapak ini seharga Rp 5.000.000,- dan saya ambil 1 bulan lagi.” Ini termasuk jual beli Ghoror, karena bisa saja dalam rentang waktu 1 bulan tersebut, pohon mangga-nya terkena hama, lalu rusaklah semua mangga-nya. Akhirnya terjadilah masalah antara si pembeli dan si penjual. Semestinya cara jual beli yang benar adalah si pemilik kebun memetik mangga-mangga yang akan dibeli itu dari pohonnya, lalu dihitung mangga-nya dalam jumlah butiran / kiloan / berapa ton, baru dilakukanlah transaksi jual beli.
Contoh lainnya: Menjual burung yang masih di udara, atau menjual ikan yang masih di kolam, atau menjual janin hewan yang masih dalam perut induknya atau menjual hewan yang lari, dan lain sebagainya yang bermakna spekulatif.
Itu semua dilarang dalam Syari’at Islam, karena menghilangkan makna keadilan yang dijunjung secara tinggi dalam Al Islam.
Demikianlah, masih ada beberapa poin lagi dari Kitab “Khoshoo-ish Asy Syari’ah Al Islamiyyah” ini, namun karena keterbatasan waktu maka in-syaa Allooh akan dibahas pada pertemuan berikutnya.
Sekian dulu bahasan pada kesempatan kali ini, mudah-mudahan Allooh سبحانه وتعالى selalu melimpahkan taufiq dan hidayah kepada kita semua untuk istiqomah sampai akhir hayat. Kita akhiri dengan Do’a Kafaratul Majlis :
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Jakarta, Jum’at malam, 8 Muharrom 1436 H – 31 Oktober 2014 M.
—– oOo —–
[1] Dalam Al Qur’an Terjemahan atau bahkan kita jumpai pada umumnya di berbagai literatur, kata “الله” biasa ditulis dengan “Allah”, dan itu yang memang diakui resmi sebagai “Ejaan Yang Disempurnakan”. Namun tidak bisa dipungkiri, jika dibaca secara harafiah, maka suara yang keluar tidak akan berbeda dari bunyi suara orang Nashroni ketika menyebut Tuhan mereka. Padahal kata ini bagi kita kaum Muslimin biasa disebut dengan Lafadz Al Jalaalah yang secara tulisan maupun secara bacaan pada mulanya dan semestinya diberlakukan cara membaca yang benar. Dan pendekatan yang lebih dekat kepada suara yang harus kita dengar ketika kata “الله” diucapkan adalah jika berasal dari Ejaan “Allooh”. Silakan direnungkan.
[2] Al Asyqor, Prof. Dr. ‘Umar Sulaiman, Khoshoo-ish Asy Syari’ah Al Islamiyyah, Kuwait: Maktabah Al Falah, I, 1982 M, 57.
[3] Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, Madinah An Nabawiyyah: Percetakan KSA, 649.
[4] Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, 680.
[5] Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, 714.
[6] Al Asyqor, Prof. Dr. ‘Umar Sulaiman, Khoshoo-ish Asy Syari’ah Al Islamiyyah, 58.
[7] http://id.wikipedia.org/wiki/Undang-Undang_Dasar_Negara_Republik_Indonesia_Tahun_1945
[8] Al Bukhoory, Muhammad bin Isma’iil, Al Jaami’u Ash Shohiih (Shohiih Al Bukhoory), Damaskus: Daar Ibnu Katsiir, I, 1423 H/2002 M, 1420-1421.
[9] Al Asqolany, Ahmad bin Ali bin Hajar, Fathul Baary Syarhu Shohiihil Bukhoory, Beirut: Daarul Ma’rifah, 1379 H, 10/55.
[10] Al Asyqor, Prof. Dr. ‘Umar Sulaiman, Khoshoo-ish Asy Syari’ah Al Islamiyyah, 58.
[11] Al Asyqor, Prof. Dr. ‘Umar Sulaiman, Khoshoo-ish Asy Syari’ah Al Islamiyyah, 58-59.
[12] Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, 391.
[13] Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, 157.
[14] Al Qozwainy, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Yazid (Ibnu Maajah), Sunan Ibnu Maajah, Riyadh: Maktabah Al Ma’aarif, II, 1417 H /1997 M, 651.
[15] Al Asyqor, Prof. Dr. ‘Umar Sulaiman, Khoshoo-ish Asy Syari’ah Al Islamiyyah, 60-63.
[16] An Naisaburi, Abul Husein Muslim bin Al Hajjaj Al Qusyairy, Shohiih Muslim, Beirut: Daar Ihya Al Kutub Al ‘Ilmiyyah, I, 1412 H/ 1991 M, 231.
[17] Al Asyqor, Prof. Dr. ‘Umar Sulaiman, Khoshoo-ish Asy Syari’ah Al Islamiyyah, 60.
[18] Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, 645.
[19] Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, 45.
[20] Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, 50.
[21] Al Qozwainy, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Yazid (Ibnu Maajah), Sunan Ibnu Maajah, 422.
[22] Al Qozwainy, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Yazid (Ibnu Maajah), Sunan Ibnu Maajah, 400.
[23] Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, 429.
[24] Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, 237.
[25] Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, 543.
[26] Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, 45.
[27] Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, 158-159.
[28] Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, 125.
[29] Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, 44.
[30] Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, 42.
[31] Al Bukhoory, Muhammad bin Isma’iil, Al Jaami’u Ash Shohiih (Shohiih Al Bukhoory), 270-271.
[32] Al Bukhoory, Muhammad bin Isma’iil, Al Jaami’u Ash Shohiih (Shohiih Al Bukhoory), 21. Dan An Naisaburi, Abul Husein Muslim bin Al Hajjaj Al Qusyairy, Shohiih Muslim, 542. Dan Hadits ini adalah redaksi Riwayat Al Imam Muslim.
[33] Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, 1051.
[34] Al Bukhoory, Muhammad bin Isma’iil, Al Jaami’u Ash Shohiih (Shohiih Al Bukhoory), 30.
[35] Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, 72.
[36] Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, 451.
[37] Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, 425.
[38] Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, 124.
[39] Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, 780.
[40] Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, 207.
[41] Al Asyqor, Prof. Dr. ‘Umar Sulaiman, Khoshoo-ish Asy Syari’ah Al Islamiyyah, 73.
[42] Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, 128.
[43] Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, 166.
[44] Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, 214.
[45] Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, 144-145.
[46] Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, 159.
[47] At Turmudzy, Muhammad bin Isa, Sunnan At Turmudzy, Riyadh: Maktabah Al Ma’aarif. I, 1417 H, 314.
[48] An Naisaburi, Abul Husein Muslim bin Al Hajjaj Al Qusyairy, Shohiih Muslim, 1336.
[49] Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, 148.
[50] Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, 50.
[51] An Naisaburi, Abul Husein Muslim bin Al Hajjaj Al Qusyairy, Shohiih Muslim, 1153.
[52] As-Sa’di, Abdurrohman bin Nashir, Bahjah Qulub Al-Abror wa Qurrotu Uyuuni Al-Akhyaar Fi Syarhi Jawaami Al-Akhbaar, Daarul Jiil, II, 1992 M, 164.
[53] http://id.wikipedia.org/wiki/Asuransi
Asuransi adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada tindakan, sistem, atau bisnis dimana perlindungan finansial (atau ganti rugi secara finansial) untuk jiwa, properti, kesehatan dan lain sebagainya mendapatkan penggantian dari KEJADIAN-KEJADIAN YANG TIDAK DAPAT DIDUGA yang dapat terjadi seperti kematian, kehilangan, kerusakan atau sakit, dimana melibatkan PEMBAYARAN PREMI SECARA TERATUR dalam jangka waktu tertentu sebagai ganti polis yang menjamin perlindungan tersebut.
—– oOo —–
Silakan download PDF : Muqoddimah Sumber-Sumber Hukum Islam #3 FNL