Muqoddimah “Sumber-Sumber Hukum Islam” (Kajian-1)
(Resume Ceramah – Baytul Mukhlishiin 02/03102014)
MUQODDIMAH “SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM” (KAJIAN-1)
Oleh: Ustadz Achmad Rofi’i, Lc. M.M.Pd
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allooh [1] سبحانه وتعالى,
Alhamdulillah kita dapat bermajelis kembali untuk membahas sebuah tema yang berjudul “Sumber-Sumber Hukum Islam” atau “Mashoodir Ahkaamil Islaam” (مصادر أحكام الإسلام). Pada pertemuan yang lalu, kita telah mengulas bagaimana posisi “Sumber-Sumber Hukum Islam” itu terletak dalam struktur atau peta global hubungan antara Islam dengan Tatanan Kehidupan Manusia.
Adapun pada pertemuan kali ini, kita akan mulai mengkaji tentang “Sumber-Sumber Hukum Islam” itu sendiri. Dan Kitab-Kitab yang menjadi rujukannya antara lain adalah:
1) Kitab yang berjudul “Ma’aalimu Ushuulil Fiqhi ‘Inda Ahlus Sunnati Wal Jamaa’ah” (Rumusan-Rumusan Ushul Fiqih menurut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah) yang merupakan karya dari Syaikh Muhammad bin Husein bin Hasan Al Jiizaany.
2) Kitab yang berjudul “Al Madkhol Ilaa Asy Syari’ah Wal Fiqhi Al Islaamy” (Pengantar Menuju Syari’at dan Fiqih Islam ) karya Al Ustadz (Prof. Dr.) ‘Umar Sulaiman Al Asyqor.
3) Kitab yang berjudul “Ar Risaalah” karya Al Imaam Muhammad bin Idris Asy Syaafi’iy رحمه الله.
4) Kitab yang berjudul “Al Wajiizu Fii Ushuulil Fiqhi” (Ringkasan Ushuul Fiqih), karya Dr. Abdul Kariim Zaidan, seorang ‘Ulama Ahlus Sunnah dari Iraq.
Gambar-1. Kitab-Kitab rujukan
Dalam Kitab “Ma’aalimu Ushuulil Fiqhi” atau Kitab tentang Pokok-Pokok Ushul Fiqih, pada Pembahasan Pertama (Mabhatsul Awwal); Syaikh Muhammad bin Husein bin Hasan Al Jiizaany menyebutkan tentang “Al Adillatusy Syar’iyyah” (Dalil-Dalil Syar’ie). Dalil-Dalil Syar’ie inilah yang akan kita pelajari lebih lanjut.
Telah kita ketahui bahwa Hukum itu ada 2 jenis, yaitu:
(1) Hukum Syar’i (حكم شرعي), dimana yang menetapkan Hukum tersebut adalah Syari’ (Pembuat Syari’at), dan Pembuat Syari’at yang dimaksud adalah : Allooh سبحانه وتعالى.
(2) Hukum Wadh’i (حكم وضعي), atau disebut juga “Basyarun” (بشري), dimana yang menetapkan Hukum tersebut adalah BUKAN Allooh سبحانه وتعالى. Dengan kata lain, ia adalah Hukum buatan manusia atau Hukum yang merupakan ketetapan yang berasal dari SELAIN Allooh سبحانه وتعالى dan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Contoh: Berbagai Dewan / Majelis / Lembaga yang merupakan wadah tempat bergabungnya sekumpulan orang (wakil dari masyarakat) dimana mereka itu bertugas untuk menetapkan dan merumuskan Undang-Undang buatan manusia, maka produk mereka dengan demikian tergolong kedalam Hukum Wadh’i.
Semestinya seorang Muslim itu TIDAK BOLEH merumuskan Hukum Wadh’i yang menyelisihi, apalagi bertentangan dengan Hukum Syar’ie. Kalau ia justru malah merumuskan hukum-hukum yang berfungsi untuk menyelisihi, bertentangan atau bahkan mengganti Hukum Syar’ie, maka hal tersebut sangatlah berbahaya; karena dari tinjauan ‘aqiidah ia dapat berkonsekwensi pada murtad.
Kembali kepada bahasan kita diatas, suatu Hukum dikenal sebagai Hukum Syar’i, apabila ia ber-Dalil Syar’i. Atau dengan kata lain, argumentasi dari Hukum Syar’i itu adalah Dalil Syar’i. Dan malam hari ini, kita akan meninjau Dalil-Dalil Syar’i tersebut dari sisi Pokok dan Sumber dalil-nya (Ashluhaa wa Masdariha).
Dalam Kitab berjudul “Ma’aalimu Ushuulil Fiqhi ‘Inda Ahlus Sunnati Wal Jamaa’ah”, Penulis (Syaikh Muhammad bin Husein bin Hasan Al Jiizaany) menjelaskan sebagai berikut:
Artinya:
“Ahlus Sunnah Wal Jama’ah sepakat bahwa Dalil yang permanen secara Syar’i ada 4, yaitu: (1) Al Qur’an; (2) As Sunnah; (3) Al Ijma’; (4) Al Qiyas. Dan itu adalah secara global.”[2]
Al Imaam Muhammad bin Idris Asy Syaafi’iy رحمه الله adalah ‘Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang sampai dengan hari ini beliau itu lah satu-satunya ‘Ulama yang menjadi perintis / pencetus dari suatu cabang ‘ilmu dalam syari’at bernama ‘Ushuul Fiqih.
Beliau (Al Imaam Asy Syafi’i رحمه الله) menegaskan sebagai berikut:
Artinya:
“Tidak diperkenankan siapapun untuk mengatakan apapun, Halal dan Harom, kecuali jika berasal dari ilmu. Sedangkan ilmu adalah khobar (berita) yang terdapat dalam Al Kitab (Al Qur’an) atau As Sunnah (Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم) atau Al Ijmaa’ atau Al Qiyaas.”[3]
Jadi beliau secara jelas menunjukkan bahwa itulah yang namanya Dalil-Dalil Syar’i untuk Ushuul Fiqih.
Sayangnya kaum Muslimin pada zaman sekarang, sangat jarang berargumentasi dengan merujuk pada 4 (empat) sandaran pokok ini. Yang lebih diutamakannya malah kebiasaan nenek moyang, kebiasaan kebanyakan orang, tradisi, adat-istiadat, dan sejenisnya. Mereka umumnya berkata, “Tapi kan, itu sudah tradisi nenek moyang kami kok…..” atau “…Ah kebanyakan orangtua dan nenek moyang kami sudah biasa melakukan amalan ini sejak zaman dahulu kala….”.
Padahal bila kita merujuk pada Al Qur’an Surat Al Baqoroh (2) ayat 170, Allooh سبحانه وتعالى justru mengingkari penyandaran pada kebiasaan / tradisi nenek moyang tersebut dengan firman-Nya sebagai berikut:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۗ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ
Artinya:
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” Mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?”[4]
Dalam bahasa Arab dikenal ungkapan para ‘Ulama sebagai berikut: “In kunta naaqilan faa-ashihatu wa in kunta mudda’iyyan faad-daliil” (إن كتن ناقلا فالصحة وإن كنت مدعيا فالدليل), yang artinya: “Jika engkau menukil maka hendaknya engkau menukil secara otentik / valid, dan jika engkau menuduh maka engkau harus mendatangkan data & fakta / buktinya”.
Jadi, kebiasaan nenek moyang, tradisi, adat istiadat, kebiasaan kebanyakan orang, perkataan kyai – perkataan ajeungan – perkataan ustadz – perkataan wali; itu semua bukan tergolong dalil syar’i; karena dalil syar’i adalah apa-apa yang berasal dari Al Qur’an, As Sunnah, Al Ijma’ dan Al Qiyas sebagaimana dijelaskan oleh Al Imaam Asy Syafi’iy رحمه الله. Mestinya kaum Muslimin di Indonesia yang “mengaku” bermadzab Syaafi’iy harus konsekwen dengan apa yang telah dijelaskan oleh Al Imaam Asy Syafi’iy رحمه الله itu sendiri.
Kemudian Syaikh Muhammad bin Husein bin Hasan Al Jiizaany dalam Kitabnya menjelaskan lebih lanjut :
Artinya:
“Menurut mereka (– para ‘Ulama – pent) bahwa ke-empat dalil ini kembali kepada satu pokok yaitu Al Qur’an dan As Sunnah. Karena keduanya adalah keseluruhan dari Islam dan bahkan tonggaknya.”[5]
Hal itu disebabkan karena keduanya berasal dari Wahyu.
Al Qur’an adalah Wahyu, sebagaimana firman Allooh سبحانه وتعالى dalam QS. Al Hijr (15) ayat 9 :
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
Artinya:
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.”[6]
As Sunnah As Shohiihah itu juga adalah Wahyu, sebagaimana dijelaskan dalam QS. An Nisaa’ (4) ayat 113 :
… وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ …
Artinya:
“… Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab dan Hikmah kepadamu…”[7]
Yang dimaksud dengan “Hikmah” dalam ayat diatas menurut para ‘Ulama adalah Hadits-Hadits Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم yang shohiihah atau yang dikenal dengan sebutan As Sunnah.
Juga dalam QS. An Najm (53) ayat 3-4 :
وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ ﴿٣﴾ إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ ﴿٤
Artinya:
(3) “Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.”
(4) “Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”[8]
Dengan demikian Al Qur’an dan As Sunnah disebut sebagai satu kesatuan, karena keduanya berasal dari Wahyu.
Al Imaam Asy Syafi’i رحمه الله menjelaskan sebagai berikut,
Artinya:
“Bahwasanya tidak semestinya suatu pernyataan dalam keadaan apapun kecuali adalah dengan Kitabullooh (Al Qur’an) dan Sunnah Rosuul-Nya. Dan bahwa selain keduanya adalah mengikutinya (– Al Qur’an dan As Sunnah — pent).”[9]
Jadi menurut Al Imaam Asy Syaafi’iy رحمه الله, baik Al Ijma’ maupun Al Qiyas, haruslah mengikuti Al Qur’an dan As Sunnah.
Al Ijma’ adalah kesepakatan para ‘Ulama Ahlus Sunnah (setelah wafatnya Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم) dalam menetapkan suatu hukum-hukum dalam diin (agama). Nah, kesepakatan itu tentunya dibangun untuk meyakini dan mengamalkan Al Qur’an dan As Sunnah; dan bukan untuk menyelisihi Al Qur’an dan As Sunnah. Oleh karena itu, pada hakekatnya Al Ijma’ adalah kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah.
Demikian pula halnya dengan Al Qiyas, dimana Al Qiyas ini adalah suatu analogi (mempermisalkan atau memperbandingkan atau menyamakan antara sesuatu dengan sesuatu yang lain). Analogi itu tidak mungkin berdiri sendiri, tetapi akan kembali kepada apa yang menjadi perkara Pokok (Ushuul) dan Cabang-nya (Furu’) dari Al Qur’an dan As Sunnah. Al Qiyas adalah: menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa atau hal yang tidak memiliki nash (tidak ada ketentuannya di dalam Al-Quran, Al-Hadiits dan Al Ijma’) dengan membandingkannya atau menyamakannya atau mengukurnya dengan peristiwa atau kejadian atau hal lain yang sudah memiliki nash, berdasarkan ‘illat (penyebab atau alasan) yang memiliki kesamaan.
Dengan demikian menurut Al Imaam Asy Syaafi’iy رحمه الله, Al Qur’an, As Sunnah, dan Al Ijma’, semuanya itu adalah menunjukkan pada satu perkara yang sama. Sebab apa yang ada dalam Al Qur’an itu Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم menyetujuinya dan ummat Islam seluruhnya menyepakati terhadap Al Qur’an dan As Sunnah. Al Qur’an itu sendiri juga menyuruh manusia untuk mengikuti Al Qur’an dan mengikuti Muhammad صلى الله عليه وسلم, dan orang-orang yang beriman seluruhnya sepakat terhadap perkara ini.
Perhatikan QS. An Nisaa’ (4) ayat 174 :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمْ بُرْهَانٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكُمْ نُورًا مُبِينًا
Artinya:
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu. (Muhammad dengan mu’jizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Al Qur’an).”[10]
Juga QS. Aali ‘Imron (3) ayat 31 :
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Artinya:
“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku (– Muhammad صلى الله عليه وسلم – pent.), niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[11]
KEKHUSUSAN AL QUR’AN & AS SUNNAH
Nah, berikut ini akan kita bahas beberapa poin yang menjadi kekhususan dari Al Qur’an dan As Sunnah sehingga menyebabkannya menjadi Dalil yang Paling Utama / “Khoshoish Ashlil Adillah” (خصائص أصل الأدلة الكتاب والسنة) :
1) Karena Al Qur’an dan As Sunnah itu adalah Wahyu dari Allooh سبحانه وتعالى.
Allooh سبحانه وتعالى adalah Maha Benar, berarti apa yang menjadi keputusan-Nya, apa yang menjadi ketetapan-Nya pasti lah benar dan tidak mungkin salah. Dan Rosuul-Nya, Muhammad صلى الله عليه وسلم adalah ma’shum (terjaga dari kesalahan); berarti keputusannya pun juga ma’shum sebagaimana telah dijelaskan dalam QS. An Najm (53) ayat 3-4.
Bukankah kita sering mendengar ucapan, “Maha Benar Allooh dengan segala firman-Nya” ini didengung-dengungkan di pengajian-pengajian, bahkan di upacara-upacara seremonial keagamaan di berbagai lembaga di negeri kita? Tetapi mengapakah apa yang diucapkan itu hanya sebatas ucapan belaka? Mengapakah perbuatannya masih seringkali menyelisihi ucapannya? Mengapakah perbuatan dalam keseharian hidupnya justru banyak melanggar, bahkan bertentangan dengan apa yang menjadi keputusan Allooh, aturan Allooh, dan hukum Allooh; seakan-akan tidak percaya bahwa Allooh سبحانه وتعالى itu Maha Benar, firman-Nya Maha Benar dan keputusan-Nya, aturan-Nya, hukum-Nya pun pastilah benar adanya.
Bukankah berarti ada yang “error” (salah) dalam hal ini ?
Bisa jadi karena akalnya yang “sakit”, dimana akalnya tidak mampu mencerna apa yang diucapkannya sendiri, atau bisa jadi karena ke-jaahil-an (kebodohannya) sehingga tidak mampu mencerna suatu ‘ilmu (diin).
Sehingga ucapan “Maha Benar Allooh dengan segala firman-Nya” itu pada akhirnya hanyalah ibarat “tong kosong nyaring bunyinya” belaka.
Hendaknya setiap kita kaum Muslimin melakukan introspeksi, sudah seberapa jauhkah kita membenarkan Allooh سبحانه وتعالى dan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
2) Al Qur’an dan As Sunnah sampai kepada kaum Muslimin itu dengan jalan yang akurat.
Al Qur’an disampaikan oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, As Sunnah juga berasal dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Jadi Al Qur’an dan As Sunnah sampai kepada kita dari jalan yang akurat yang semuanya berporos pada Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Allooh سبحانه وتعالى menurunkan Al Qur’an kepada Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم melalui malaikat Jibril, kemudian Al Qur’an sampai kepada kita dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم adalah melalui para Shohabatnya رضي الله عنهم.
Dan sebagaimana dikatakan oleh Al Imaam Al ‘Auzaa’i رحمه الله, seorang Tabi’iin, beliau menjelaskan bahwa yang disebut ‘Ilmu Syar’i itu adalah sebagai berikut:
العلم ما جاء به أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم فما كان غير ذلك فليس بعلم
Artinya:
“Ilmu itu adalah apa saja yang dibawa oleh para shohabat Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم. Kalau ‘Ilmu itu tidak berasal dari shohabat Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, maka ia bukan ‘Ilmu.”[12]
Para Shohabat رضي الله عنهم itu adalah orang-orang yang dididik, diajari, dikader secara langsung oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Sementara apa yang diajarkan serta disampaikan oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم kepada para Shohabatnya tidak lain hanyalah Al Qur’an dan As Sunnah.
Perhatikan QS Al An’aam (6) ayat 19 :
قُلْ أَيُّ شَيْءٍ أَكْبَرُ شَهَادَةً ۖ قُلِ اللَّهُ ۖ شَهِيدٌ بَيْنِي وَبَيْنَكُمْ ۚ وَأُوحِيَ إِلَيَّ هَٰذَا الْقُرْآنُ لِأُنْذِرَكُمْ بِهِ وَمَنْ بَلَغَ ۚ أَئِنَّكُمْ لَتَشْهَدُونَ أَنَّ مَعَ اللَّهِ آلِهَةً أُخْرَىٰ ۚ قُلْ لَا أَشْهَدُ ۚ قُلْ إِنَّمَا هُوَ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ وَإِنَّنِي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ
Artinya:
“Katakanlah: “Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?” Katakanlah: “Allah”. Dia menjadi saksi antara aku dan kamu. Dan Al Quran ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Quran (kepadanya). Apakah sesungguhnya kamu mengakui bahwa ada tuhan-tuhan yang lain disamping Allah?” Katakanlah: “Aku tidak mengakui”. Katakanlah: “Sesungguhnya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah)”.[13]
3) Al Qur’an dan As Sunnah dijamin oleh Allooh سبحانه وتعالى ke-orisinil-an (keasliannya)
Hal ini adalah sebagaimana firman Allooh سبحانه وتعالى dalam QS. Al Hijr (15) ayat 9:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
Artinya:
“Sesungguhnya Kami lah yang menurunkan Al Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.”[14]
Kita diberi amanah oleh Allooh سبحانه وتعالى berupa diri kita sendiri, keluarga ataupun harta saja belum tentu kita ini mampu memeliharanya, tetapi Allooh سبحانه وتعالى mampu untuk memelihara seluruh alam semesta tanpa rasa lelah, ngantuk ataupun tertidur barang sedikitpun, sebagaimana dijelaskan dalam Ayat Kursi di QS. Al Baqoroh (2) ayat 255 :
اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ۚ لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ ۚ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ۗ مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ ۚ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ ۖ وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلَّا بِمَا شَاءَ ۚ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ ۖ وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا ۚ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ
Artinya:
“Allah, tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Maha Hidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluq-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari Ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”[15]
Al Imaam Ibnul Qoyyim رحمه الله memberikan penjelasan tentang ayat ini sebagai berikut,
Artinya:
“Dan Allooh سبحانه وتعالى menjamin terpeliharanya apa yang telah Allooh سبحانه وتعالى wahyukan dan Allooh turunkan kepada Muhammad صلى الله عليه وسلم untuk menjadi argumentasi / daliil terhadap seluruh manusia sampai dengan hari Kiamat.”[16]
Apabila ada manusia yang masih mengingkari kebenaran Islam atau misalkan bertanya “Mana bukti bahwa Islam itu benar?”; maka sungguh Allooh سبحانه وتعالى telah memberikan bukti, argumentasi / daliil untuk menjawab itu semua di dalam Al Qur’an dan As Sunnah yang terpelihara hingga hari Kiamat.
Tidak ada satu huruf pun di dalam Al Qur’an itu yang berubah sejak diturunkannya kepada Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم hingga hari Kiamat nanti. Kalau ada yang berupaya untuk mengubah atau menggantinya, pasti akan ketahuan. Di dunia ini, betapa banyak para penghafal Al Qur’an yang akan langsung mengkoreksi apabila ada upaya dari segelintir orang untuk merubah Al Qur’an itu, walau hanya 1 huruf sekalipun. Ini lah antara lain bentuk pemeliharaan Allooh سبحانه وتعالى.
As Sunnah pun demikian, dimana di dalam Islam dikenal cabang ‘Ilmu yang bernama ‘Ilmu Sanad. Kemudian ada pula cabang ‘Ilmu Mustholahul Hadiits, ‘Ilmu Al Jarh wat Ta’diil, ‘Ilmu Ar Rijaal, yang tak lain itu semua pada akhirnya adalah untuk mengetahui apakah suatu Hadiits itu Shohiih ataukah tidak, bagaimana menyikapi Hadiits yang Shohiih, bagaimana menyikapi Hadiits yang dho’iif. Darimana sumber Hadiits itu berasal, dan seterusnya.
Dan itu semua tidak lain adalah bagian dari jaminan keotentikan Al Qur’an dan As Sunnah.
4) Al Qur’an dan As Sunnah itu adalah Hujjah (– fakta, bukti, argumentasi / daliil –) yang Allooh سبحانه وتعالى turunkan untuk manusia.
Allooh سبحانه وتعالى mencipta manusia. Allooh سبحانه وتعالى pula yang memberi rizqy pada manusia. Allooh سبحانه وتعالى yang memberi hidup. Allooh سبحانه وتعالى yang menurunkan para Rosuul. Allooh سبحانه وتعالى mempersiapkan dalam diri manusia itu; antara lain ada akal, ada hati, ada fisik, ada pancaindra, dan sebagainya. Lalu Allooh سبحانه وتعالى menurunkan Wahyu. Jadi Wahyu ini untuk di-imani, sudah ada alatnya berupa hati; juga Wahyu ini untuk dipikirkan / direnungkan oleh manusia, sudah ada alatnya berupa akal; juga Wahyu ini untuk dikerjakan oleh manusia, sudah ada alatnya berupa fisik dan pancaindra. Untuk beribadah kepada Allooh سبحانه وتعالى, Allooh telah ciptakan alam semesta untuk memudahkan manusia beribadah pada-Nya. Untuk menjelaskan Wahyu-Nya, telah Allooh سبحانه وتعالى turunkan para Rosuul-Nya untuk memberikan penjelasan. Maka semua sudah Allooh سبحانه وتعالى lengkapi.
Jadi apabila ada manusia yang mau kaafir kepada Allooh سبحانه وتعالى, maka ia tidak bisa lari, ia pasti akan dihadapkan pada Hujjah yang Allooh سبحانه وتعالى telah siapkan semua secara lengkap. Apa yang mau ia katakan dihadapan Allooh سبحانه وتعالى kelak ? Tinggal manusia itu sendiri yang mempertanggungjawabkan pilihannya di hari Akhirat nanti, apakah ia mau beriman ataukah ia mau kaafir kepada Allooh سبحانه وتعالى. Dan pastilah pilihannya itu mengandung konsekwensi, kebahagiaan di dunia dan di akhirat bagi orang-orang yang beriman, dan adzab yang pedih bagi orang-orang yang kaafir. Na’uudzu billaahi min dzaalik.
Al Imaam Asy Syaafi’iy رحمه الله menyatakan sebagai berikut,
Artinya:
“Allooh سبحانه وتعالى telah menegakkan Hujjah pada manusia itu dari dua sisi, yang menjadi Pokok keduanya adalah Al Kitaab (Al Qur’an), kemudian Sunnah Nabi-Nya.”[17]
Jadi kembali lagi adalah kepada Al Qur’an dan As Sunnah. Kalau dalam bahasa organisasi keseharian kita, maka Al Qur’an itu adalah ibarat Anggaran Dasar (AD) dan As Sunnah itu adalah Anggaran Rumah Tangga (ART)-nya.
Al Imaam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata tentang ayat ini,
Artinya:
“Sesungguhnya Allooh سبحانه وتعالى telah menegakkan hujjah pada makhluq-Nya, dengan melalui Kitab-Nya (Al Qur’an) dan Rosuul-Rosuul-Nya. Allooh سبحانه وتعالى berfirman, “Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al Furqan (Al Qur’an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam – (QS. Al Furqon ayat 1) [18]. Dan Allooh سبحانه وتعالى berfirman, “Dan Al Qur’an ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al Qur’an (kepadanya)” – (QS. Al An’aam ayat 19). Dengan demikian setiap orang yang sudah sampai kepadanya Al Qur’an, berarti orang itu telah diberi peringatan. Dan Hujjah Allooh سبحانه وتعالى berarti telah tegak padanya.”[19]
Oleh karena itu, kita kaum Muslimin, harus giat berpartisipasi dalam menyebarkan Al Qur’an. Karena dengan menyebarkan Al Qur’an, berarti kita ikut ambil bagian dalam menegakkan Hujjah Allooh سبحانه وتعالى. Terhadap Al Qur’an itu paling tidak kita harus giat melaksanakan program 4-T yakni: Tilawaah, Tajwiid, Tahsiin dan Tafsiir. Itu minimal kita laksanakan pada diri kita sendiri terlebih dahulu, baru sesudahnya kita ajarkan pada keluarga dan orang disekitar kita.
5) Asal muasal Al Qur’an dan As Sunnah adalah Berita dari Allooh سبحانه وتعالى
Berita itu ada 2 kemungkinan: (a) Berita yang shohiih / benar; dan (b) Berita yang dusta/ palsu.
Nah, Al Qur’an dan As Sunnah yang merupakan Berita dari Allooh سبحانه وتعالى adalah pasti tergolong berita yang benar, karena ia berasal dari Yang Maha Benar.
Al Imaam Ibnu ‘Abdil Baar رحمه الله mengatakan bahwa,
Artinya:
“Pokok-nya ‘Ilmu itu adalah Al Qur’an dan As Sunnah.”[20]
Coba kita renungkan, apabila kita perbandingkan maka ‘Ilmu Pengetahuan yang berasal dari Manusia (contohnya saja ‘Ilmu Sosial), ia baru bisa disebut ‘Ilmu sesudah dilakukan berbagai penelitian dan uji hipotesa terhadapnya sampai akhirnya terbentuklah suatu “teori”. Itulah ‘Ilmu Pengetahuan yang berasal dari manusia. Manusia harus bersusah-payah terlebih dahulu sebelum ia menghasilkan suatu “teori”; dimana “teori” itu pun masih dapat berubah dari zaman ke zaman.
Berbeda halnya dengan ‘Ilmu Syar’i (diin). Manusia tidak perlu bersusah-payah menemukan argumentasi atau teorinya, karena semua argumentasi / daliil sudah lengkap disediakan oleh Allooh سبحانه وتعالى. Sebenarnya, manusia tinggal melaksanakannya saja. Nah, masalahnya maukah kita manusia meng-imani-nya ataukah tidak ?
Kalau saja ada manusia yang melakukan penelitian terhadap kebenaran Al Qur’an dan Hadiits Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم yang shohiihah; maka hasil penelitian tersebut hanyalah sekedar menambah keyakinan kita atas kebenaran berita yang berasal dari Allooh سبحانه وتعالى itu.
Contohnya adalah Hadits tentang sayap lalat sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al Imaam Al Bukhoory dalam Shohiih-nya no: 3320, dari Shohabat Abu Hurairohرضي الله عنه, bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
عن أَبَي هُرَيْرَةَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، يَقُولُ : قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِي شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ ثُمَّ لِيَنْزِعْهُ فَإِنَّ فِي إِحْدَى جَنَاحَيْهِ دَاءً والأُخْرَى شِفَاءً
Artinya:
“Jika jatuh seekor lalat pada minuman kalian maka benamkanlah, kemudian (sesudahnya) keluarkanlah; sesungguhnya di salah satu sayapnya terdapat penyakit dan pada sebelah sayap lainnya terdapat kesembuhan.”[21]
Berbagai penemuan dari para ilmuwan di bidang kedokteran, sebagaimana dilaporkan dalam buku “Insect Immunology” karya Edward Steinhaus, menjelaskan bahwa:
– M.A. Stewart, pada tahun 1934 M, mendapati lalat berbentuk larva, ketika ‘dicelupkan’ ke dalam luka-luka, mengeluarkan bahan ammonia dan kalsium karbonat yang menjadikan luka itu alkali. Di dalam keadaan ini, kuman-kuman dapat dibunuh disamping meredakan bengkak serta mencegah kematian sel-sel. Selain itu, larva-larva ini berperan menelan kuman-kuman bakteria dan membunuhnya.
– S.W. Simmons pada tahun 1935 M mendapati, lendir yang dikeluarkan oleh larva mampu membunuh kuman-kuman berbahaya seperti Staphylococcus aureus, Haemolytic streptococci dan Clostridium welchii.
– Kemudian pada tahun yang sama (1935 M), W. Robinson mendapati larva juga mengeluarkan allantoin. Allantoin merupakan bahan protein yang membantu pertumbuhan sel-sel.[22]
Jadi setelah dilakukan penelitian oleh para ilmuwan di abad ke-20, terbuktilah bahwa apa yang diberitakan oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dalam Hadits tentang sayap lalat itu benar adanya, yaitu pada salah satu sayap lalat yang lain terdapat obat. Padahal Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم telah memberitakannya sejak 1435 tahun yang lalu dimana pada zaman tersebut penelitian ilmu kedokteran belumlah secanggih di zaman kita sekarang.
Bagi kita kaum Muslimin, hal ini hanya sekedar penambah keyakinan belaka, bahwa ternyata Islam itu relevan dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan. Tetapi sekalipun Ilmu Pengetahuan manusia di zaman sekarang belum mampu membuktikan kebenarannya, maka sebagai kaum Muslimin kita tetap beriman pada berita apa pun yang berasal dari Allooh سبحانه وتعالى dan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Kita kaum Muslimin akan berkata, “Berarti akalku yang belum mampu menjangkaunya! Tetapi aku beriman bahwa apa yang Allooh سبحانه وتعالى beritakan pastilah benar adanya.”
Dapatlah diambil kesimpulan dari poin kelima ini bahwa Al Qur’an dan As Sunnah (yang merupakan Isi Berita dari Allooh سبحانه وتعالى dan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم) itu adalah Wahyu, sedangkan Cara Penyampaiannya adalah melalui Berita (Khobar). Dan keduanya (Al Qur’an dan As Sunnah) adalah tergolong berita (khobar) yang benar.
6) Al Qur’an dan As Sunnah adalah pendekatan menuju mengetahui tentang Halal dan Harom, dan tentang Hukum-Hukum Allooh سبحانه وتعالى / Syari’at-Nya
Ibnu Taimiyyah رحمه الله mengatakan bahwa [23],
Artinya:
“Dan Allooh سبحانه وتعالى mewajibkan kepada manusia untuk mengimani Al Qur’an, mengimani apa saja yang datang dari Allooh سبحانه وتعالى, dan mentaatinya, menghalalkan apa yang dihalalkan oleh Allooh سبحانه وتعالى dan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, serta mengharomkan apa yang diharomkan oleh Allooh سبحانه وتعالى dan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.”
7) Wajib berpegang teguh dengan Al Qur’an dan As Sunnah
Kalau berkenaan dengan Hukum Wadh’i (Hukum buatan Manusia / Basyarun, seperti: berbagai Undang-Undang buatan manusia / hasil rumusan ketetapan manusia, maka tidak wajib untuk ditaati sepenuhnya apabila ia bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah. Hal ini sebagaimana dalam Hadits Riwayat Al Imaam Al Bukhoory no: 7144, dari ‘Abdullooh bin ‘Umar رضي الله عنه bahwa:
قال النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم : السمع والطاعة على المرء المسلم، فيما أحب وكره، ما لم يؤمر بمعصية، فإذا أمر بمعصية؛ فلا سمع ولا طاعة
Artinya:
Nabi صلى الله عليه وسلم telah bersabda, “Mendengar dan taat itu wajib atas seorang Muslim, baik dalam perkara yang dia suka, maupun yang dia benci; selama tidak diperintah dengan ma’shiyat. Jika diperintah ma’shiyat, maka tidak ada kewajiban untuk mendengar dan taat.”[24]
Juga sebagaimana dalam Hadits Riwayat Al Imaam Ibnu Maajah no: 2865, di-shohiih-kan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albaany رحمه الله dalam Shohiih Sunnan Ibnu Maajah, dari ‘Abdullooh bin Mas’uud رضي الله عنه bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda [25],
سَيَلِي أُمُورَكُمْ بَعْدِي، رِجَالٌ يُطْفِئُونَ السُّنَّةَ، وَيَعْمَلُونَ بِالْبِدْعَةِ، وَيُؤَخِّرُونَ الصَّلاَةَ عَنْ مَوَاقِيتِهَا فَقُلْتُ : يَارَسُولَاللهِ، إِنْ أَدْرَكْتُهُمْ،كَيْفَ أَفْعَلُ؟ قَالَ : تَسْأَلُنِي يَا ابْنَ أُمِّ عَبْدٍكَيْفَ تَفْعَلُ؟ لاَ طَاعَةَ، لِمَنْ عَصَى اللَّهَ
Artinya:
“Akan mengurusi perkara kalian orang-orang setelah aku, dimana mereka memadamkan sunnah, mereka mengerjakan Bid’ah, mereka mengakhirkan sholat dari waktu-waktunya.”
Lalu aku (‘Abdullooh bin Mas’uud رضي الله عنه) bertanya, “Wahai Rosuulullooh, jika aku mengalami zaman mereka, bagaimanakah aku harus berbuat?”
Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم menjawab, “Wahai Ibnu ummi ‘Abdin, engkau bertanya apa yang harus engkau perbuat? Tidak ada ketaatan terhadap siapapun yang berma’shiyat pada Allooh سبحانه وتعالى.”
Adapun bila Hukum Wadh’i (Undang-Undang buatan manusia) itu selaras dengan Al Qur’an dan As Sunnah; maka hendaknya kita mentaatinya; bukan karena ia merupakan Undang-Undang hasil ketetapan manusia, tetapi kita mentaatinya karena ia tidak menyelisihi, dan tidak bertentangan dengan ketetapan Allooh سبحانه وتعالى dan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Jadi ini beda yang sangat tipis batasnya. Niat dalam hati kita itu adalah untuk mentaati Allooh سبحانه وتعالى dan Rosuul-Nya صلى الله عليه وسلم terlebih dahulu, sedangkan ketaatan kita kepada Ulil Amri yang tidak memerintah diatas Syari’at Islam, ataupun ketaatan kita terhadap berbagai peraturan dan perundangan buatan manusia itu adalah sebatas bila ia tidak menyelisihi ketaatan kita kepada Allooh سبحانه وتعالى dan Rosuul-Nya صلى الله عليه وسلم. Apabila menyelisihi, maka utamakanlah ketaatan kepada Allooh سبحانه وتعالى dan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم terlebih dahulu sekuat kemampuan kita. Karena ketaatan kepada Allooh سبحانه وتعالى dan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم itu adalah Wajib bagi kaum Muslimin.
Perhatikanlah firman Allooh سبحانه وتعالى dalam Al Qur’an Surat An Nisaa’ (4) ayat 59 berikut ini:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul-(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” [26]
Pelajaran yang dapat dipetik dari ayat diatas adalah bahwa: ketaatan kepada Ulil Amri itu tidaklah mutlak. Berbeda dengan ketaatan kepada Allooh سبحانه وتعالى dan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم yang bersifat mutlak.
Ayat diatas dimulai dengan seruan “Hai orang-orang yang beriman (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ)……” hingga “….. Ulil Amri diantara kamu (وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ)……”, maka Ulil Amri yang dimaksud dalam ayat diatas itu adalah: Ulil Amri dari kalangan “orang-orang yang beriman”. Dengan demikian kewajiban mentaati itu adalah ditujukan terhadap Ulil Amri yang berasal dari kalangan “orang-orang yang beriman”, yang tentunya apabila ia memerintah maka ia akan mengedepankan keimanannya dan mengedepankan ketaatannya kepada Allooh سبحانه وتعالى dan Rosuul-Nya صلى الله عليه وسلم dan mengedepankan Hukum / Syari’at Allooh سبحانه وتعالى.
Dengan Ulil Amri yang seperti itupun masih memungkinkan terjadinya perbedaan pendapat. Lalu sebagaimana dalam ayat diatas, Allooh سبحانه وتعالى memberikan tuntunan agar bila terjadi perbedaan pendapat (– maksudnya: seandainya antara Ulil Amri dari kalangan orang yang beriman itu, terjadi perbedaan pendapat dengan rakyatnya –), maka hendaknya mereka menjadikan Al Qur’an dan As Sunnah sebagai hujjah untuk menyelesaikan perbedaan yang ada dan menuntaskan persoalan mereka tersebut.
Tentunya “ketaatan terhadap Ulil Amri” yang dimaksud dalam ayat diatas TIDAK ditujukan terhadap Ulil Amri dari kalangan “orang-orang yang tidak beriman”, yakni orang-orang yang tidak memerintah diatas pedoman Al Qur’an dan As Sunnah, atau orang-orang yang tidak memerintah diatas Syari’at Islam, atau orang-orang yang justru memerintah diatas Hukum Wadh’i (Basyarun) yang menyelisihi tuntunan Allooh سبحانه وتعالى dan Rosuul-Nya صلى الله عليه وسلم
Oleh karena sebagaimana telah dijelaskan dalam poin sebelumnya, manusia itu hanya diperintah untuk mengikuti serta mentaati Al Qur’an dan As Sunnah, manusia tidak boleh menghalalkan apa-apa yang diharomkan Allooh سبحانه وتعالى dan Rosuul-Nya صلى الله عليه وسلم. Juga sebaliknya, manusia tidak boleh mengharomkan apa-apa yang dihalalkan oleh Allooh سبحانه وتعالى dan Rosuul-Nya صلى الله عليه وسلم. Manusia tidak boleh merubah hukum-hukum Allooh سبحانه وتعالى, apalagi mengganti Syari’at-Nya dengan Hukum Wadh’i (perundangan buatan manusia) yang menyelisihi Syari’at Allooh سبحانه وتعالى tersebut.
Al Imaam Ibnu Katsiir رحمه الله ketika menafsirkan QS. An Nisaa’ (4) ayat 59, maka beliau membawakan Hadits yang diriwayatkan oleh Al Imaam Ahmad (tercantum dalam Musnad-nya no: 622 dan Syaikh Syuaib Al Arnaa’uth mengatakan bahwa Sanad Hadits ini Shohiih, sesuai dengan syarat Shohiih Al Bukhoory dan Shohiih Muslim), dari Shohabat Aali bin Abi Tholib رضي الله عنه, bahwa beliau berkata:
بعث رسول الله صلى الله عليه و سلم سرية واستعمل عليهم رجلا من الأنصار قال فلما خرجوا قال وجد عليهم في شيء فقال قال لهم أليس قد أمركم رسول الله صلى الله عليه و سلم أن تطيعوني قال قالوا بلى قال فقال اجمعوا حطبا ثم دعا بنار فأضرمها فيه ثم قال عزمت عليكم لتدخلنها قال فهم القوم أن يدخلوها قال فقال لهم شاب منهم إنما فررتم إلى رسول الله صلى الله عليه و سلم من النار فلا تعجلوا حتى تلقوا النبي صلى الله عليه و سلم فإن أمركم أن تدخلوها فادخلوا قال فرجعوا إلى النبي صلى الله عليه و سلم فأخبروه فقال لهم لو دخلتموها ما خرجتم منها أبدا إنما الطاعة في المعروف
Artinya:
“Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم mengutus sepasukan tentara dan menunjuk pemimpinnya seorang dari kalangan Anshor. Dan ketika mereka sudah keluar dan mendapati suatu masalah, pemimpin itu berkata kepada para tentaranya, “Bukankah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم telah memerintahkan kalian untuk mentaatiku?”
Maka para tentara menjawab, “Benar.”
Kemudian pemimpin itu berkata, “Kumpulkanlah oleh kalian kayu, kemudian nyalakanlah dia dengan api.”
Dan setelah api itu menyala, pemimpin itu kembali berkata, “Aku berazzam terhadap kalian agar kalian memasuki api itu.”
Maka terbersitlah dalam hati para tentara untuk memasuki api tersebut.
Tiba-tiba ada seorang pemuda dari kalangan tentara itu berkata, “Sesungguhnya kalian lari menuju Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم karena kalian menyelamatkan diri dari api. Maka janganlah kalian tergesa-gesa sehingga kalian menemui Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم (terlebih dahulu). Jika Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم memerintahkan kalian untuk memasukinya, maka masukilah api itu oleh kalian.”
Maka kembalilah tentara-tentara tersebut pada Nabi صلى الله عليه وسلم dan memberitakan apa yang terjadi.
Maka Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم pun bersabda kepada mereka, “Seandainya kalian memasuki api itu, niscaya kalian tidak akan keluar selama-lamanya. Sesungguhnya ketaatan itu HANYA dalam perkara yang MA’RUF.” [27]
Bahkan Wajib-nya taat terhadap Al Qur’an dan As Sunnah itu dijelaskan oleh Allooh سبحانه وتعالى dalam QS. Al Ahdzaab (33) ayat 36:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
Artinya:
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” [28]
Al Imaam Asy Syaafi’iy رحمه الله memberikan penjelasan tentang poin ke-7 ini sebagai berikut,
Artinya:
“Tidak dinyatakan benar suatu perkataan apapun keadaannya kecuali harus berdasarkan pada Kitabullooh (Al Qur’an) dan Sunnah Rosuul-Nya.” [29]
8) Wajib mengikuti Pokok ini (Al Qur’an dan As Sunnah), tidak boleh meninggalkan sedikitpun dari apa yang ditunjukkan oleh Pokok ini, harom hukumnya menyelisihi Pokok ini
Selalu kembali kepada yang pokok, yaitu: Al Qur’an dan As Sunnah. Perlu diketahui bahwa 1 (satu) ayat Al Qur’an itu dapat digunakan sebagai dalil dari berbagai masalah. Demikian pula dengan As Sunnah, dimana 1 Hadits yang shohiihah dapat digunakan sebagai dalil dari berbagai masalah.
Contohnya: Dalam penggunaan Hadits Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم tentang, “Innamaal a’maalu bin niyaat” ( إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ ), yang artinya: “Amal itu tergantung niatnya”. Menurut Al Imaam Asy Syaafi’iy رحمه الله, dalam Hadits tersebut tersangkut tidak kurang dari 80 permasalahan fiqih.
Bayangkan, 80 permasalahan fiqih dapat merujuk pada 1 Hadits ini.
Oleh karena itu seandainya saja kaum Muslimin merasa sudah puas dengan apa yang berasal dari Allooh سبحانه وتعالى dan Rosuul-Nya صلى الله عليه وسلم, maka sebenarnya perkara apa saja itu telah ada jawabannya dalam Al Islam. Hanya saja, kaum Muslimin di zaman kita sekarang ini lebih sibuk mengambil ilmu dari Barat dan dari Timur, serta lalai dari mempelajari Al Qur’an dan As Sunnah itu secara benar dan tuntas. Oleh karena itu kaum Muslimin hendaknya mempelajari Al Qur’an dan As Sunnah, atau kalau tidak paham maka hendaknya ia bertanya kepada ‘Ulama yang paham tentang Al Qur’an dan As Sunnah sebagaimana dalam QS. An Nahl (16) ayat 43:
فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
Artinya:
“… Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui.” [30]
Sebenarnya cukup sudah Al Qur’an dan As Sunnah itu untuk digunakan menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada sejak dari zaman dahulu hingga hari Kiamat nanti. Semuanya dapat terjawab di dalam Al Qur’an dan As Sunnah.
Al Imaam Ibnu ‘Abdil Barr رحمه الله berkata sebagai berikut,
Artinya,
“Allooh سبحانه وتعالى telah memerintahkan kepada manusia untuk mentaati Muhammad صلى الله عليه وسلم, untuk mengikuti secara mutlak perkara apa saja yang berasal dari Muhammad صلى الله عليه وسلم secara menyeluruh, tidak ada pengecualiannya (sebagaimana kita diperintah untuk mengikuti Kitabullooh / Al Qur’an). Dan tidak boleh ada orang yang mengatakan untuk sesuai dengan Al Qur’an, tetapi tidak sesuai dengan Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم sebagaimana dikatakan oleh Ahlul Hawa.” [31]
Dan Ibnu Taimiyyah رحمه الله berkata sebagai berikut:
Artinya:
“Karena itu Hujjah (argumentasi) yang Wajib untuk diikuti adalah Al Qur’an, As Sunnah dan Al Ijma’, yang demikian itu adalah kebenaran yang tidak ada kebathilan di dalamnya. Karena itu Wajib untuk diikuti dan tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan apa pun. Secara umum adalah Wajib, dan tidak boleh meninggalkan apa pun yang ditunjukkan oleh pokok-pokok ini, dan siapapun tidak diperkenankan untuk keluar dari apa yang telah ditunjukkan oleh Hujjah ini. Dan itu terbangun diatas 2 (dua) pokok: (Pertama), Hal ini berasal dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم . (Kedua), Apa saja yang berasal dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم Wajib diikuti; yang keduanya ini adalah merupakan keimanan dimana berlawanan dengannya adalah kekufuran dan kemunafikan.” [32]
Demikianlah antara lain 8 (delapan) poin kekhususan dari Al Qur’an dan As Sunnah yang menyebabkannya menjadi Dalil yang Paling Utama (Pokok). Adapun karena keterbatasan waktu, maka poin-poin lainnya (yakni poin ke-9 hingga ke-29) akan disebutkan secara ringkas saja, yakni sebagai berikut:
9) Wajib pasrah secara utuh terhadap Pokok ini (Al Qur’an dan As Sunnah) dan tidak menolaknya
10) Bahwa menolak Pokok ini (Al Qur’an dan As Sunnah) menyebabkan cacatnya Iman
11) Bahwa Pokok ini (Al Qur’an dan As Sunnah) dapat mengurai pertentangan dan menjadi rujukan bagi setiap perselisihan
12) Pokok ini (Al Qur’an dan As Sunnah) melarang adanya musyawarah
13) Pokok ini (Al Qur’an dan As Sunnah) mewajibkan adanya perubahan suatu fatwa bagi yang berfatwa menyelisihinya
14) Bahwa Pokok ini (Al Qur’an dan As Sunnah) mewajibkan untuk meninggalkan pendapat dan mencampakkannya, jika menyelisihi Pokok ini
15) Bahwa Pokok ini (Al Qur’an dan As Sunnah) adalah Iman yang didahulukan dan merupakan timbangan untuk mengetahui benarnya suatu pendapat dari yang tidak benar
16) Bahwa Pokok ini (Al Qur’an dan As Sunnah) jika ditemui, maka Ijtihad menjadi jatuh dan pendapat menjadi batal. Dan Ijtihad dan pendapat hanya bisa diambil pada saat tidak adanya Pokok ini. Sebagaimana Tayamum dilarang kecuali pada saat tidak adanya air
17) Bahwa selamanya Ijma’ / kesepakatan Muslimin tidak akan terjadi, jika menyelisihi Pokok ini
18) Bahwa Al Qiyas menyesuaikan dengan Pokok ini (Al Qur’an dan As Sunnah), dan keduanya tidak berkontradiksi
19) Bahwa Pokok ini (Al Qur’an dan As Sunnah) tidak bertentangan dengan akal, bahkan akal yang sehat akan sesuai dengan naql (dalil) yang benar
20) Bahwa Pokok ini (Al Qur’an dan As Sunnah) dikedepankan daripada akal, jika akal dan Pokok ini secara dzohir seolah bertentangan
21) Bahwa Pokok ini (Al Qur’an dan As Sunnah) seluruhnya benar, tidak ada kebatilan di dalamnya
22) Bahwa Pokok ini (Al Qur’an dan As Sunnah) selamanya tidak mungkin digunakan untuk menegakkan kebatilan
23) Bahwa Pokok ini (Al Qur’an dan As Sunnah) memberi ilmu dan keyakinan, berbeda halnya dengan orang yang mengatakan bahwa dalil sam’i (dalil berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah) tidak memberi kecuali prasangka
24) Bahwa dalam Pokok ini (Al Qur’an dan As Sunnah) terdapat jawaban terhadap segala sesuatu karena Pokok ini mencakup penjelasan seluruh perkara Islam, baik Pokoknya (Ushuul) maupun Cabangnya (Furu’)
25) Bahwa Pokok ini (Al Qur’an dan As Sunnah) secara makna adalah jelas, demikian pula apa yang dikandungnya. Tidak ada bias dalam pemahamannya
26) Bahwa berpegangteguh dengan Pokok ini (Al Qur’an dan As Sunnah) adalah kebaikan, kebahagiaan dan keberuntungan. Sedangkan menyelisihi serta menentangnya adalah kesengsaraan dan kesesatan
27) Bahwa Pokok ini (Al Qur’an dan As Sunnah) adalah perkara yang sangat pokok bagi kebaikan seorang hamba baik di dunia maupun di akherat
28) Bahwa Pokok ini (Al Qur’an dan As Sunnah) harus diagungkan, dihormati dan dijunjung tinggi
29) Bahwa Pokok ini (Al Qur’an dan As Sunnah) menjadi rujukan bagi seluruh dalil, baik yang disepakati maupun yang diperselisihkan. [33]
Demikianlah ke-29 poin kekhususan Al Qur’an dan As Sunnah, semoga kita kaum Muslimin berusaha untuk istiqomah dalam melaksanakan apa yang telah sampai ilmunya kepada kita hari ini. Dan janganlah ada diantara kita yang hatinya lebih tertambat kepada Hukum buatan manusia (Hukum Wadh’i), yang tidak bisa disebandingkan dengan keagungan Syari’at Allooh سبحانه وتعالى .
Sekian dulu bahasan pada kesempatan kali ini, mudah-mudahan Alloohسبحانه وتعالى selalu melimpahkan taufiq dan hidayah kepada kita semua untuk istiqomah sampai akhir hayat. Kita akhiri dengan Do’a Kafaratul Majlis :
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Jakarta, Jum’at malam, 10 Dzulhijjah 1435 H – 3 Oktober 2014 M.
—– 0O0 —–
[1] Dalam Al Qur’an Terjemahan atau bahkan kita jumpai pada umumnya di berbagai literatur, kata “الله” biasa ditulis dengan “Allah”, dan itu yang memang diakui resmi sebagai “Ejaan Yang Disempurnakan”. Namun tidak bisa dipungkiri, jika dibaca secara harafiah, maka suara yang keluar tidak akan berbeda dari bunyi suara orang Nashroni ketika menyebut Tuhan mereka. Padahal kata ini bagi kita kaum Muslimin biasa disebut dengan Lafadz Al Jalaalah yang secara tulisan maupun secara bacaan pada mulanya dan semestinya diberlakukan cara membaca yang benar. Dan pendekatan yang lebih dekat kepada suara yang harus kita dengar ketika kata “الله” diucapkan adalah jika berasal dari ejaan “Allooh”. Silakan direnungkan pe-lafadz-an kata “الله”.
[2] Al Jiizaany, Muhammad bin Husein bin Hasan, Ma’aalimu Ushuulil Fiqhi ‘Inda Ahlus Sunnati Wal Jamaa’ah, Riyadh: Daar Ibnil Jauzy, I, 1416 H/ 1966 M, 70.
[3] Asy Syaafi’iy, Muhammad bin Idris, Ar Risaalah, Mesir: Musthofa Albaany Al Halaaby Wa Auladihi, I,1357 H/1938 M, 39.
[4] Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, Madinah An Nabawiyyah: Percetakan KSA, 41.
[5] Al Jiizaany, Muhammad bin Husein bin Hasan, Ma’aalimu Ushuulil Fiqhi ‘Inda Ahlus Sunnati Wal Jamaa’ah, 70.
[6] Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, 391.
[7] Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, 140.
[8] Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, 871.
[9] Al Jiizaany, Muhammad bin Husein bin Hasan, Ma’aalimu Ushuulil Fiqhi ‘Inda Ahlus Sunnati Wal Jamaa’ah, 70.
[10] Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, 153.
[11] Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, 80.
[12] Al Hanbali, Ibnu Rojab, Fadhlu ‘Ilmi as Salafi alaa ‘Ilmil Kholafi, Beirut: Daarul Basyaa’ir Al Islamiyyah, II, 1424 H / 1983 M, 68-69.
[13] Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, 189.
[14] Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, 391.
[15] Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, 63.
[16] Al Jiizaany, Muhammad bin Husein bin Hasan, Ma’aalimu Ushuulil Fiqhi ‘Inda Ahlus Sunnati Wal Jamaa’ah, 72.
[17] Al Jiizaany, Muhammad bin Husein bin Hasan, Ma’aalimu Ushuulil Fiqhi ‘Inda Ahlus Sunnati Wal Jamaa’ah, 72.
[18] Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, 559.
[19] Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, 189.
[20] Al Jiizaany, Muhammad bin Husein bin Hasan, Ma’aalimu Ushuulil Fiqhi ‘Inda Ahlus Sunnati Wal Jamaa’ah, 73.
[21] Al Bukhoory, Muhammad bin Isma’iil, Al Jaami’u Ash Shohiih (Shohiih Al Bukhoory), Damaskus: Daar Ibnu Katsiir, I, 1423 H/2002 M, 815.
[22] http://lampuislam.blogspot.com/2014/01/mukjizat-hadist-tentang-sayap-lalat.html ; http://www.faktailmiah.com/2011/06/01/sayap-lalat-dan-antibiotika.html
[23] Al Jiizaany, Muhammad bin Husein bin Hasan, Ma’aalimu Ushuulil Fiqhi ‘Inda Ahlus Sunnati Wal Jamaa’ah, 73.
[24] Al Bukhoory, Muhammad bin Isma’iil, Al Jaami’u Ash Shohiih (Shohiih Al Bukhoory), 1765.
[25] Al Qozwainy, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Yazid (Ibnu Maajah), Sunan Ibnu Maajah, Riyadh: Maktabah Al Ma’aarif, II, 1417 H /1997 M, 486.
[26] Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, 128.
[27] Hanbal, Ahmad, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal. Beirut: Mu’assasahAr Risaalah, 2/56-57.
[28] Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, 673.
[29] Al Jiizaany, Muhammad bin Husein bin Hasan, Ma’aalimu Ushuulil Fiqhi ‘Inda Ahlus Sunnati Wal Jamaa’ah, 73.
[30] Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, 408.
[31] Al Jiizaany, Muhammad bin Husein bin Hasan, Ma’aalimu Ushuulil Fiqhi ‘Inda Ahlus Sunnati Wal Jamaa’ah, 73.
[32] Al Jiizaany, Muhammad bin Husein bin Hasan, Ma’aalimu Ushuulil Fiqhi ‘Inda Ahlus Sunnati Wal Jamaa’ah, 73-74.
[33] Al Jiizaany, Muhammad bin Husein bin Hasan, Ma’aalimu Ushuulil Fiqhi ‘Inda Ahlus Sunnati Wal Jamaa’ah, 74-79.
—– 0O0 —–
Silakan download File dalam PDF : Muqoddimah Sumber-Sumber Hukum Islam #1 FNL