Misi Rosuul (Wadzoif Ar-Rosuul), Kajian-1
(Transkrip Ceramah AQI 01092014)
MISI ROSUULULLOOH (WADZOIF AR ROSUUL) (Kajian-1)
Oleh: Ustadz Achmad Rofi’i, Lc.M.M.Pd.
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allooh سبحانه وتعالى,
Alhamdulillah, sungguh besar nikmat Allooh سبحانه وتعالى kepada kita. Tidak pernah putus-putusnya Allooh سبحانه وتعالى senantiasa menganugrahkan kepada kita nikmat sehat dan nikmat-nikmat lainnya, sehingga kita bisa hadir dalam pertemuan pengajian hari ini.
Yang harus selalu kita sadari adalah bahwa nikmat yang telah dianugrahkan kepada kita itu kelak akan ditanya serta diminta pertanggung-jawabannya di Hari Kiamat. Oleh karena itu, hendaknya kita bukan sekedar tidak lalai dalam menikmati anugrah kenikmatan ini, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana kita mensyukurinya. Kita kelak akan ditanya oleh Allooh سبحانه وتعالى, adakah kita tergolong hamba-Nya yang bersyukur ataukah hamba-Nya yang kufur-nikmat ?
Hendaknya setiap kita melakukan evaluasi serta introspeksi terhadap diri kita masing-masing, sudah sejauh mana kita melaksanakan apa yang menjadi “Hak-Hak Allooh سبحانه وتعالى, Hak-Hak Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dan Hak-Hak Al Islaam”.
“Hak-Hak Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم” adalah “Al Ittiba’”. “Al Ittiba’” artinya: kita menjadikan setiap keyakinan, perkataan dan perbuatan dalam hidup kita ini adalah senantiasa bertumpu pada landasan (daliil) yang berasal dari Al Qur’an dan As Sunnah, diatas pemahaman yang benar dari kalangan salafush shoolih dan para imam yang mu’tabar. Dengan demikian, kita senantiasa berusaha untuk mengarahkan setiap kegiatan dalam hidup kita ini agar selaras dengan Wahyu.
“Al Ittiba’” ini berlawanan / bertolak-belakang dengan sikap “Taqliid”; dimana “Taqliid” adalah ketika keyakinan, perkataan dan perbuatan yang dilakukan seseorang itu tidak berlandaskan pada daliil. Ia hanya “ikut-ikutan” kebanyakan manusia yang jaahil. Ia tidak menjadikan dirinya berpedoman pada Wahyu. Oleh karena itu, apabila kita jumpai ada orang yang berkata, “Ah ini sudah umum dikerjakan…”, “Ini sudah merupakan pendapat mayoritas …” atau “Ini sudah turun-temurun dari sejak zaman nenek-moyang kami…” atau perkataan yang sejenis itu, maka ketahuilah bahwa orang yang demikian itu tidak tahu atau tidak paham akan daliil. Ia tidak paham bahwa keyakinan, perkataan dan perbuatannya itu hendaknya senantiasa berusaha berlandaskan pada daliil.
Kalau saja kaum Muslimin paham secara mendasar perbedaan diantara makna “Al Ittiba’” dan “Taqliid” tersebut, serta kemudian berupaya menjadikan gerak langkah hidupnya diatas “Al Ittiba’” dan bukan diatas “Taqliid”; maka akan damailah ummat Islam. Karena banyak terjadinya perselisihan dalam ummat ini, antara lain adalah karena faktor ini.
Kitab-kitab yang membahas tentang perkara Al Ittiba’ antara lain adalah kitab yang berjudul “Al Amru bil Ittiba’ Wan Nahyu ‘An Al ‘Ibtida’ (Perintah agar ber-Ittiba’ dan Larangan untuk berbuat Bid’ah)” yang ditulis oleh Al Imaam Jalaluddin As Suyuuthi رحمه الله.
Dengan demikian, sejak zaman dahulu Al Imaam As Suyuuthi رحمه الله sudah menjelaskan adanya kontradiksi antara Al Ittiba’ dengan Bid’ah.
Kitab yang lain adalah suatu kitab berjudul “Asy Syari’ah” yang ditulis oleh ‘Ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah abad ke-3 Hijriyyah yang bernama Muhammad bin Al Husain al Ajurriy رحمه الله. Kitab yang beliau tulis ini bahkan tebalnya bisa 9 kali lipat tebal kitab yang ditulis oleh Al Imaam As Suyuuthi رحمه الله.
Dalam kitab-kitab tersebut, para ‘Ulama penulisnya (keduanya ber-madzab Syaafi’iy) menjelaskan dengan terang dan gamblang bahwa Ittiba’ kepada Muhammad Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم adalah bagian dari wujud pengabdian kita kepada Allooh سبحانه وتعالى. Hal ini sebagaimana firman-Nya dalam QS. An Nisaa’ (4) ayat 80 :
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ
Artinya:
“Barangsiapa yang menta’ati Rosuul itu, maka sesungguhnya ia telah menta’ati Allooh….”
Aplikasi Al Ittiba’
Seringkali kita menganggap bahwa diri kita sudah ber-Ittiba’ kepada Muhammad Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم sebagaimana firman Allooh سبحانه وتعالى diatas, akan tetapi betulkah kita ini sudah sungguh-sungguh mengaplikasikan ketaatan kepada sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dalam keseharian hidup kita ?
Yang dimaksud dengan sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم adalah Islam secara totalitas. Sudahkah dalam seluruh sisi kehidupan kita, kaum Muslimin di negeri ini, berpedoman sepenuhnya terhadap sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم ? Ataukah kita masih merupakan suatu kaum yang memilah dan memilih daliil mana yang kira-kira menyenangkan bagi dirinya ? Apabila sesuai dengan hawa nafsu-nya maka diterima, namun bila bertentangan dengan hawa nafsu maka ia pun enggan menerimanya ? Adakah kita masih tergolong kaum yang demikian ?
Padahal Allooh سبحانه وتعالى berfirman dalam QS. An Nisaa’ (4) ayat 65:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Artinya:
“Maka demi Robb-mu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu (Muhammad) berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”
Al Imaam Al Barbahaary رحمه الله, penulis Kitab “Syarhu As Sunnah” (Penjelasan As Sunnah), beliau menjelaskan bahwa, “Sunnah itu adalah Islam, dan Islam itu adalah Sunnah.”
Beliau, Al Imaam Al Barbahaary رحمه الله , yang hidup di sekitar tahun 430-an Hijriyah, berarti sekitar 1000 tahun yang lalu, sudah menulis kitab yang menjelaskan sebagaimana tersebut diatas. Dengan demikian, hendaknya dipahami penjelasan beliau, bahwa kalau kita tidak berada diatas Sunnah, maka berarti kita bukan diatas Islam.
Wadzoif Ar Rosuul fil Qur’an (Misi Muhammad Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم di dalam Al Qur’an)
Al Qur’an isinya adalah Berita dari Allooh سبحانه وتعالى (Wahyu). Berita dalam Al Qur’an itu harus kita baca, kita pahami, dan selanjutnya kita kerjakan / kita amalkan.
Kalau kita belum mengamalkannya, belum mengaplikasikan apa yang disampaikan di dalamnya; maka pertanyaannya adalah kemanakah ilmu yang telah kita dapat selama ini? Apakah Al Qur’an itu hanya cukup sebagai riwayat saja, yang setelah dibaca, dikaji lalu selesai sampai disitu, tanpa ada upaya lebih lanjut untuk mengaplikasikannya dalam seluruh gerak langkah keseharian hidup kita ?
Atau ada suatu “PR (pekerjaan rumah)” bagi setiap pribadi ummat Muhammad صلى الله عليه وسلم, bahwa ia semestinya tertuntut dan tertagih ketika ia telah paham, maka selanjutnya sejauh mana ia mengamalkannya. Kalau tidak / belum, maka adakah ia merasa berdosa ataukah ia merasa biasa-biasa saja? Kalau ia merasa berdosa karena belum bisa maksimal dalam mengamalkan Al Qur’an dan As Sunnah, berarti hatinya hidup. Akan tetapi, kalau ia merasa biasa-biasa saja, tidak merasa berdosa, tidak merasa bersalah sama sekali, maka berarti hatinya adalah sakit dan perlu diobati. Karena Allooh سبحانه وتعالى berfirman dalam QS. An Nuur (24) ayat 63 :
…. فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Artinya:
“… maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rosuul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.”
Di dalam QS. Al Ahzaab (33) ayat 21, Allooh سبحانه وتعالى berfirman :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Artinya:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rosuulullooh itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allooh dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allooh.”
Ayat ini sudah sering kita dengar, dan banyak diantara kita kaum Muslimin yang sudah pula memahami maknanya, akan tetapi cobalah kita tingkatkan lebih lanjut. Bukan saja pernah membaca, pernah memahami maknanya, tetapi marilah kita pahami serap apa yang terkandung dalam makna ayat tersebut, lalu kita evaluasi sudah sejauh manakah ayat tersebut ter-refleksikan oleh setiap diri kita.
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rosuulullooh”, maknanya adalah bahwa Muhammad Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم itu secara utuh adalah sebagai utusan Allooh سبحانه وتعالى untuk manusia. Allooh سبحانه وتعالى lah yang memberikan jaminannya.
“Uswatun”, “Uswah” — artinya : “Tauladan, contoh”; maknanya: Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم adalah tauladan / contoh yang Allooh سبحانه وتعالى berikan bagi kita manusia, maka konsekuensi dari pernyataan ini adalah hendaknya kita mengikuti beliau صلى الله عليه وسلم.
Dan oleh Allooh سبحانه وتعالى, diberitakan kepada kita ummat manusia bahwa: “Uswatun Hasanah” merupakan sifat yang ada pada diri Muhammad Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
“Hasanah”, artinya adalah “Baik”. Kalau ada “Uswatun Hasanah” / contoh yang baik, berarti ada pula contoh / panutan yang tidak baik. Adapun mengenai Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, Allooh سبحانه وتعالى menyatakan bahwa beliau itu contoh / ikutan / tauladan yang baik bagi manusia.
Oleh karena itu, kalau ada orang berpaham liberalisme atau ahli filsafat yang mengatakan bahwa ada contoh dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم yang tidak baik, atau kalau ada orang yang beranggapan bahwa sunnah beliau صلى الله عليه وسلم tidak perlu diikuti karena mereka bilang sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman; maka orang yang beranggapan seperti itu sudah cacat Iman-nya. Berarti ia tidak mengimani bahwa Muhammad صلى الله عليه وسلم adalah Uswatun Hasanah yang jaminannya langsung berasal dari Allooh سبحانه وتعالى. Orang seperti ini harus diingatkan agar mereka bertaubat kepada Allooh سبحانه وتعالى, kalau tidak mau bertaubat maka ia dapat terancam murtad, karena mengingkari firman Allooh سبحانه وتعالى.
Dalam ayat ini pula, Allooh سبحانه وتعالى memberikan khobar kepada kita bahwa ada 2 jenis orang yang akan menganggap bahwa Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم itu bukan panutan yang baik. Kedua jenis orang tersebut adalah:
(1) Orang yang tidak beriman kepada Allooh سبحانه وتعالى dan Hari Akhir;
(2) Orang yang tidak banyak menyebut Allooh سبحانه وتعالى, dan tidak banyak mengingat Allooh سبحانه وتعالى. Orang yang sedikit mengingat Allooh سبحانه وتعالى, maka akan mudah goyah ketika terkena syubhat dalam meng-kriteria-kan Muhammad صلى الله عليه وسلم sebagai panutan yang baik atau bukan.
Oleh karena itu, tak jarang kita temui ada orang yang mengaku sebagai muslim, akan tetapi dalam kesehariannya loyalitas dirinya ditujukan kepada orang-orang yang faasiq, kepada orang-orang yang dzolim, dan bahkan kepada musuh Allooh سبحانه وتعالى. Bahkan orang itu membenci Allooh سبحانه وتعالى, membenci syari’at-Nya, karena ia memang tidak beriman kepada-Nya, tidak beriman kepada Hari Akhir, dan sangat jarang / sedikit mengingat Allooh سبحانه وتعالى.
Yang harus kita camkan dari ayat diatas adalah bahwa: “Muhammad Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم adalah Panutan yang baik”.
Perhatikan pula QS. Aali ‘Imroon (3) ayat 31, Allooh سبحانه وتعالى berfirman:
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Artinya:
“Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allooh, ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allooh mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allooh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Makna “katakanlah” adalah bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bukan mengarang, beliau صلى الله عليه وسلم hanya menyampaikan saja. Redaksi-nya adalah dari Allooh سبحانه وتعالى langsung. Oleh malaikat Jibril عليه السلام, disampaikan dan diajarkan kepada Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, bahkan kata “Qul (katakanlah)” saja pun harus diucapkan. Hal ini menunjukkan bahwa Al Qur’an itu kalimatnya atau ayatnya sama sekali bukan dari Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, melainkan murni adalah firman Allooh سبحانه وتعالى.
“Qul (katakanlah)”, maksudnya perkataan ini tertuju kepada ummat, dan ummat itu ada 2 (dua):
(1) Ummatud da’wah, yaitu ummat yang diseru oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Ummat ini tidak beriman kepada Allooh سبحانه وتعالى, oleh karena itu ummat ini didakwahi, tetapi mereka tidak mau menerima seruan tersebut.
(2) Ummatul ‘Ijaabah, yaitu ummat yang mau menerima, mau meng-imani ajakan (panggilan) dakwah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Mudah-mudahan kita termasuk ummat yang seperti ini.
Ayat ini (QS. Aali ‘Imroon : 31), yang merupakan perintah Allooh سبحانه وتعالى sudah dilaksanakan oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Oleh karena itu ketika beliau صلى الله عليه وسلم berkhutbah pada saat Haji Wada’, maka beliau mempersaksikan kepada para Shohabat رضي الله عنهم yang hadir ketika itu bahwa beliau صلى الله عليه وسلم telah menyampaikan risalah yang telah Allooh سبحانه وتعالى amanahkan pada diri beliau. Hal ini sebagaimana dalam Hadits shohiih riwayat Al Imaam Ibnu Huzaimah 4/251 no: 2809, dari Shohabat Jaabir bin ‘Abdillah رضي الله عنه bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda :
وَإِنِّي قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُ إِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ كِتَابَ اللَّهِ، وَأَنْتُمْ مَسْئُولُونَ عَنِّي مَا أَنْتُمْ قَائِلُونَ؟ فَقَالُوا: نَشْهَدُ إِنَّكَ قَدْ بَلَّغْتَ رِسَالَاتِ رَبِّكَ، وَنَصَحْتَ لِأُمَّتِكَ، وَقَضَيْتَ الَّذِي عَلَيْكَ، فَقَالَ بِأُصْبُعِهِ السَّبَّابَةِ يَرْفَعُهَا إِلَى السَّمَاءِ، وَيُنَكِّسُهَا إِلَى النَّاسِ اللَّهُمَّ اشْهَدْ، اللَّهُمَّ اشْهَدْ “
Artinya:
“Dan sesungguhnya telah aku tinggalkan pada kalian apa yang kalian tidak akan sesat setelahnya, apabila kalian berpegang teguh dengannya yaitu kitab Allooh, dan kalian akan ditanya tentang aku apa yang kalian katakan.”
Maka mereka berkata, “Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan risalah-risalah Robb-mu, dan telah menasihati kepada umatmu dan telah engkau tunaikan apa yang wajib atasmu.”
Maka beliau besabda dengan jari telunjuknya diangkat ke langit dan membalikkannya ke para manusia, “Ya Allooh saksikanlah, ya Allooh saksikanlah.”
Dengan demikian, kewajiban kita sebagai ummat Muhammad صلى الله عليه وسلم adalah membaca, memahami, melaksanakan lalu meng-estafet-kan risalah beliau itu ke generasi demi generasi selanjutnya.
QS. Aali ‘Imroon : 31 tersebut pun mengandung makna bahwa ada pedoman yang kita tidaklah boleh lupa yaitu: Kita tidak mungkin sampai kepada Allooh سبحانه وتعالى, tanpa mengikuti (Ittiba’) kepada Muhammad Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Kita tidak bisa disebut Cinta kepada Allooh سبحانه وتعالى, kalau kita tidak mengikuti (Ittiba’) kepada Muhammad Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Dan ini adalah suatu rumus yang harus kita camkan dalam-dalam di hati kita.
Kemudian dalam ayat tersebut dikatakan bahwa barangsiapa yang mengikuti (Ittiba’) kepada Muhammad صلى الله عليه وسلم, maka ia akan dicintai Allooh سبحانه وتعالى serta diampuni dosa-dosanya. Ini juga suatu rumus.
Bahkan dalam bahasan tentang Mahabbatullooh (Cinta kepada Allooh), orang yang mencintai Nabi صلى الله عليه وسلم akan bersama Nabi صلى الله عليه وسلم; hal ini sebagaimana firman-Nya dalam QS. An Nisaa’ (4) ayat 69:
وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُوْلَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِم مِّنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاء وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا
Artinya:
“Barang siapa yang mentaati Allooh dan Rosuul (Muhammad), maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang yang diberikan nikmat oleh Allooh, (yaitu) para nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang shoolih. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.”
Dengan demikian, orang yang cinta kepada Allooh سبحانه وتعالى maka ia pun akan dicintai Allooh سبحانه وتعالى, dan ia akan berada dalam bimbingan, lindungan, pertolongan dan dukungan Allooh سبحانه وتعالى. Kalau sudah demikian, maka kaum Muslimin tidak perlu takut kepada siapapun kecuali kepada Allooh سبحانه وتعالى. Kalau ada kaum Muslimin yang masih merasa takut kepada sesuatu selain Allooh سبحانه وتعالى, hal itu adalah karena ia tidak dicintai Allooh سبحانه وتعالى. Dan itu akibat karena ia sendiri pun tidak mencintai Allooh سبحانه وتعالى.
Setiap saat kita berpeluang berbuat dosa. Dan ketika kita berpeluang berbuat dosa, maka sesuai QS. Aali ‘Imroon : 31, Allooh سبحانه وتعالى akan selalu membukakan pintu ampunan, karena kita dicintai Allooh سبحانه وتعالى. Hanya saja yang perlu kita perhatikan, bahwa kuncinya adalah: Kita ikuti sunnah Muhammad Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Itulah yang disebut sebagai Berita Gembira, berupa prospek, profit, keuntungan bagi kita semua, karena Allooh سبحانه وتعالى adalah Maha Pengampun, Maha Penyayang.
Kunci bagi ummat Islam untuk sukses dan selamat dunia akhirat adalah Ittiba’ (mengikuti) Muhammad Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Dalam suatu Hadits Shohiih yang diriwayatkan oleh Al Imaam At Turmudzy dalam Sunan-nya no: 2676, dari shohabat Al Irbaad Ibnu Saariyah رضي الله عنه, beliau berkata:
“Suatu hari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم sholat Shubuh bersama kami, selesai sholat kemudian beliau menghadap kepada kami. Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم memberikan mau’idzoh (pesan / nasehat) kepada kami. Nasehat itu sangat membekas, sehingga mata-mata kami melelehkan air mata. Hati-hati kami sangat takut. Kemudian diantara kami ada yang bertanya, “Ya Rosuulullooh, engkau memberikan nasehat kepada kami seolah-olah engkau akan berpisah dengan kami, maka apakah pesan yang hendak engkau sampaikan pada kami?”
Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم pun bersabda:
أوصيكم بتقوى الله والسمع والطاعة وإن عبد حبشي فإنه من يعش منكم يرى اختلافا كثيرا وإياكم ومحدثات الأمور فإنها ضلالة فمن أدرك ذلك منكم فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين عضوا عليها بالنواجذ
Artinya:
“Aku wasiatkan kepada kalian supaya tetap bertaqwa kepada Allooh, tetaplah mendengar dan taat, walaupun yang memerintah kalian adalah seorang budak dari Habasyah. Sungguh, orang yang masih hidup diantara kalian setelahku, maka ia akan melihat perselisihan yang banyak; maka wajib atas kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan Sunnah Khulafaa’ur Rosyidiin yang mendapat petunjuk. Peganglah erat-erat dan gigitlah dia dengan gigi gerahammu. Dan jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru (dalam dien), karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu adalah Bid’ah. Dan setiap Bid’ah itu adalah sesat.”
Hadits diatas menekankan kepada kita kaum Muslimin agar selalu Ittiba’ kepada Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Maka jangan sampai kita tidak ber-Ittiba’, karena kalau kita tidak ber-Ittiba’ maka kita akan sesat.
Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allooh سبحانه وتعالى,
Hadits diatas menjadi pengantar (muqoddimah) bagi bahasan kita yang akan kita kaji mulai hari ini hingga beberapa kajian ke depan yang berjudul “Wadzoif Ar Rosuul (Misi Rosuul)”.
Tidak kurang dari 13 Misi Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, yaitu:
I. Iqomatul Hujjah (Menegakkan Hujjah)
Menyampaikan argumentasi, maknanya kalau itu berasal dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم maka tidak boleh ada orang yang menolaknya. Dan ketika kelak di Hari Akhirat ia disiksa dalam neraka akibat dosa-dosanya, maka tidak bisa ia memprotes kepada Allooh سبحانه وتعالى dengan alasan tidak tahu. Karena Hujjah sudah disampaikan.
Daliilnya adalah QS. An Nisaa’ (4) ayat 165, Allooh سبحانه وتعالى berfirman :
رُسُلا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا
Artinya:
“(Mereka Kami utus) selaku Rosuul-rosuul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allooh sesudah diutusnya rosuul-rosuul itu. Dan adalah Allooh Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Berarti kalau sudah disampaikan Hujjah (argumentasi) maka kelak di Hari Akherat tidak akan ada lagi alasan untuk membela diri / membantah kepada Allooh سبحانه وتعالى.
Perhatikan pula QS. Al Isroo’ (17) ayat 15, Allooh سبحانه وتعالى berfirman:
مَنِ اهْتَدَى فَإِنَّمَا يَهْتَدِي لِنَفْسِهِ وَمَنْ ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا وَلا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولا
Artinya:
“Barangsiapa berbuat sesuai dengan petunjuk / hidayah (Allooh), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan meng-adzab sebelum Kami mengutus seorang rosuul.”
Maknanya adalah bahwa dengan diutusnya Muhammad Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم maka Hujjah Allooh سبحانه وتعالى sudah tegak sampai Hari Kiamat.
Nah, sudahkah kita sebagai ummat Muhammad صلى الله عليه وسلم turut ambil bagian dalam menyampaikan Hujjah tersebut kepada orang lain, terutama kepada keluarga kita? Setiap diri kita hendaknya memerankan apa yang telah menjadi Misi Rosuul tersebut. Dan janganlah hendaknya setelah menjadi Muslim, ia lalu bersikap pasif, tidak berperan apa-apa dalam menyampaikan Hujjah sebagaimana Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم telah menyampaikannya kepada ummatnya. Hendaknya kita sebagai kaum Muslimin, selain menerangi diri kita sendiri dengan cahaya kebenaran Al Islaam, kita juga berusaha untuk menerangi orang yang ada di sekitar kita.
Sekian dulu bahasan kita kali ini, Misi Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم yang lainnya akan kita bahas dalam pertemuan yang akan datang, mudah-mudahan bermanfaat. Dan kita akhiri dengan Do’a Kafaratul Majlis :
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْك
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Jakarta, Senin malam, 7 Dzulqo’dah 1435 H – 1 September 2014 M
—– 0O0 —–
Silahkan download PDF : Misi Rosuul (Bagian-1) AQI 01092014 FNLE