Pengaruh/Pendidikan Buruk Orangtua terhadap Anak (Toxic Parents)
(Transkrip Ceramah Kajian MIA 23092021-11112021)
PENGARUH/PENDIDIKAN BURUK ORANGTUA TERHADAP ANAK (TOXIC PARENTS)
Oleh: Ust. Dr. Achmad Rofi’i, Lc., M.M.Pd.
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allooh سبحانه وتعالى ,
Di akhir zaman seperti saat ini, ada kebutuhan untuk membahas suatu kasus yang merupakan Fitnah yang terjadi di dalam rumah tangga Muslim terkait dengan “Pengaruh Pendidikan Buruk Orangtua terhadap Anak” atau dikenal dengan istilah “Toxic Parents”, atau dalam Bahasa Arab disebut: “Al-Waalidu As-Saamu (الوالد السام)”.
Hendaknya kita para orangtua membiasakan diri untuk selalu bertumpu pada Wahyu dalam segala gerak kehidupan kita di dunia ini, termasuk dalam mengurus rumah tangga, terutama dalam mendidik anak, agarsegala perkara yang dihadapi dapat menjadi berupa SOLUSI; karena secara otomatis akan berada dalam bimbingan / tuntunan dari Allooh سبحانه وتعالى dan Rosuul-Nya صلى الله عليه وسلم. Sedangkan kalau berbagai perkara di dunia ini diselesaikan dengan bertumpu pada sekedar Budaya (apalagi yang tidak selaras dengan Syari’at Allooh), maka bisa dipastikan yang dihadapi adalah MASALAH, dalam sedikit ataupun banyak perkaranya. Akan tetapi sikap demikian ini bukanlah merupakan sikap pesimistis, tetapi lebih karena perkara ini juga merupakan bentuk dari konsekwensi ‘Aqidah, dimana Muslim seharusnya dalam berbagai perkara hendaknya selalu bertumpu pada Wahyu dalam menjalani kehidupannya. Titik tolak Muslim sesungguhnya dapat dipastikan pastilah berasal dari Wahyu, bukan Budaya. Memang benar bahwa Budaya itu tidak dilarang dalam Islam, namun selama Budaya itu tidak bertentangan dengan Wahyu Allooh سبحانه وتعالى.
I. MUQODDIMAH
“Toxic Parents” ini sesungguhnya secara dominan merupakan bagian dari kasus yang terjadi dalam lingkup “Tarbiyatul Aulad (تربية الأولاد) / Pendidikan Anak”.
Dalam Tarbiyatul Aulad, ada 4 rukun yang perlu diperhatikan, antara lain:
- Orangtua, yaitu: Al-Waalid (الوالد) / Al-Abu (الأب) untuk Bapak dan Al-Waalidah (الوالدة) / Al-Ummu (الأم) untuk Ibu.
“Al-Waalid” itu dalam Bahasa Arab-nya berasal dari akar kata “Walada (ولد)” – “Yalidu (يلد)” – “Wilaadatan (ولادة)” – “Waalidun (والد)” – “Mauludun (مولود)” – “Maulidun (مولد)”. Kata “Walada – Yalidu” ini dapat ditemui di Al-Qur’an surat Al-Ikhlas ayat 3 (لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ), “lam yalid wa lam yuulad”.
“Wiladah” itu kata kerja yang dibendakan, atau disebut “mashdar”; jadi kalau “Walada” artinya “Lahir”, maka “Yalidu” artinya “Melahirkan”, dan “Wiladah” artinya adalah “Kelahiran”, kemudian “Waalid” artinya adalah “Yang melahirkan”.
Dengan demikian, “Orang yang menyebabkan anak lahir” ke dunia ini disebut “Waalidun”.
Di dalam Al-Qur’an, kita kenal kata “Birrul Waalidaini” adalah berasal dari kata tersebut dimana “Waalidaini” berarti “kedua orangtua (ibu + bapak)”.
Manusia yang diciptakan Allooh سبحانه وتعالى tanpa keberadaan Ibu dan Bapak adalah Nabi ‘Adam ‘alaihis salam, sedangkan yang diciptakan Allooh سبحانه وتعالى tanpa keberadaan Bapak adalah Nabi ‘Isa ‘alaihis salam; adapun selainnya adalah seperti kita manusia biasa yang diciptakan Allooh سبحانه وتعالى dari proses turun temurun biologis yang melibatkan seorang Ibu dan seorang Bapak (Waalidaini).
Sedangkan kata “Al-Abu” dan “Al-Ummu” bisa bermakna dua, yaitu bisa bermakna orangtua secara gen turun temurun biologis, dan bisa pula bermakna bukan orangtua secara biologis, tetapi merupakan “nilai dari orang yang mendidik/mengasuh”. Oleh karena itu dalam dunia Pendidikan, seorang Guru (Agama) disebut juga “Bapak Pendidikan Diin” / “Al-Ubuwwah ad-Diiniyyah” (الأبوة الدينية) / Syaikhun (شيخ) atau Mu’allimun (معلم).
2) Anak, dikenal dengan beberapa istilah:
a) Ibnun (anak laki-laki) & Bintun (anak perempuan),
b) Shobiyyun (bayi yang baru lahir)
c) Ghulam (anak kecil yang belum baligh)
d) Thiflun (anak kecil yang sudah mulai tumbuh)
e) Waliidun (anak kecil)
3) Manhaj (Pedoman Pendidikan) yang merupakan seperangkat konsep dan rencana Pendidikan dari kedua orang tua pada anaknya.
4) Rumah (Bayt), rumah ini adalah merupakan sarana dimana proses Pendidikan anak dapat berlangsung.
Kemudian selain 4 faktor diatas, ada juga faktor yang berpengaruh dalam Pendidikan Anak yakni: 5) Lingkungan (Bi’ah / بيئة), dan 6) Masyarakat (Mujtama’ / مجتمع).
Ketika pendidikan seorang anak bermasalah, maka perlu diteliti terlebih dahulu seluruh faktor diatas secara proporsional, manakah yang menimbulkan penyebab dari masalah tersebut. “Toxic Parents” adalah salah satu dari 6 faktor diatas yang dapat menjadi penyebabnya, dan faktor inilah yang akan dibahas dalam kajian ini.
Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah rohimahullooh menulis Kitab yang berjudul “Tuhfathul Mauduud fi Ahkamil Mauluud (Hadiah Indah bagi sang Anak tentang Hukum-Hukum Pendidikan Anak)”; dimana Kitab ini merupakan buah karya yang baik untuk dijadikan sebagai salah satu rujukan tentang bagaimana mendidik anak dari kecil hingga dewasa sesuai panduan syari’at Allooh سبحانه وتعالى dan Rosuul-Nya صلى الله عليه وسلم.
Diriwayatkan bahwa pada masa ‘Umar bin al-Khoththoob رضي الله عنه, ada seorang Bapak yang menyeret putranya untuk diadukan kepada Amirul Mu’minin. Di depan ‘Umar رضي الله عنه, sang Bapak tersebut mengeluhkan kelakuan putranya yang tak mau menghormati serta bersikap durhaka kepadanya. Orang tua itu berkata, “Mohon nasehatilah dia, wahai Amirul mu’minin.”
‘Umar رضي الله عنه lalu menasehati anak lelaki tersebut, “Apakah engkau tidak takut kepada Tuhan-mu, sedangkan keridhoan-Nya tergantung pada keridhoan orangtuamu?”
Tak disangka-sangka sang Anak itu berbalik bertanya: “Wahai Kholiifah, apakah disamping terdapat perintah (Allooh) agar anak berbakti kepada orangtuanya, bukankah terdapat juga perintah-Nya agar orangtua bertanggung-jawab kepada anaknya?”
‘Umar bin al-Khoththoob رضي الله عنه menjawab: “Ya, benar memang ada. Seharusnya seorang Bapak menyenangkan dan mencukupi nafkah istri sekaligus ibu dari putra-putrinya, dan memberikan nama yang baik kepada putra-putrinya, serta mengajari putra-putrinya Al-Qur’an maupun syari’at-syari’at Allooh lainnya.”
Mendengar penjelasan Amirul Mu’minin, maka anak laki-laki itu pun balas menjawab: “Jika demikian, bagaimana aku berbakti kepada Bapakku? Demi Allooh, Bapakku tidak sayang kepada Ibuku yang diperlakukannya tak ubahnya seorang hamba sahaya. Sekali-kalinya dia mengeluarkan uang untuk ibuku, sebanyak 400 dirham untuk menebus ibuku. Dia juga tak menamaiku dengan nama yang baik: Aku dinamai ayahku dengan nama “Juala” (Jadian). Dia juga tak mengajariku tentang Kitab Allooh, satu ayat pun!”
Seketika itu ‘Umar bin al-Khoththoob رضي الله عنه berpaling, matanya memandang tajam ke arah orangtua anak itu, sambil berkata: “Kalau begitu, bukan anakmu yang durhaka, tetapi kamulah orangtua yang durhaka!”
(Kamaluddin bin ‘Abdul Ghoni, Qodhoya at-Tarbiyyah ad-Diiniyyah fil Mujtama’il Islamy, hal. 103-104)
Kisah diatas termasuk kisah yang masyhur betapapun dari sanad-nya tidak ada keterangan yang pasti, namun dapat menjadi gambaran contoh daripada Orangtua durhaka (Toxic Parents), apabila ia: (1) Tidak menyayangi secara lahir maupun batin pada sang Istri yang merupakan sumber pendidikan pertama kali bagi anak kandungnya, (2) Berkata-kata buruk/kasar dan tidak memanggil anak-anaknya dengan sebutan yang baik. (3) Tidak mendidik anak-anaknya dengan pendidikan yang baik sesuai dengan syari’at Allooh سبحانه وتعالى dan Rosuul-Nya صلى الله عليه وسلم, dimana pendidikan baik itu tentulah yang akan memberi manfaat dunia akherat bagi masa depan mereka.
Bukankah fenomena seperti ini sesungguhnya bisa saja banyak terjadi di dalam masyarakat, dimana sejak kecil sang anak dititipkan pengasuhannya kepada “baby sitter” / “khodimat” / pembantu rumah tangga; dengan alasan orangtuanya sibuk bekerja? Padahal yang dinamakan “mengurus, menyayangi dan mendidik anak” tentulah tidak lepas dari lelah letihnya sang orangtua dalam usahanya itu, tapi justru keikhlasan berletih-letih mengurus sang buah hati itulah yang in syaa Allooh pada masa yang akan datang akan mendatangkan pahala kebaikan bagi sang orangtua dari Allooh سبحانه وتعالى.
Tentulah tidak sama, sang Anak yang sejak bayi merasakan dekapan kehangatan sang Ibu, dengan sang Anak yang dijauhkan dari dekapan Ibunya. Tentulah tidak sama, seorang Anak yang sejak mulai belajar berbicara ia dibimbing orangtuanya untuk mengenal Allooh سبحانه وتعالى, mengenal Rosuul-Nya صلى الله عليه وسلم, mengenal kalimat Tauhid, mengenal Al-Islam; dengan seorang Anak yang bahkan sejak bayi diberi mainan gadget handphone karena orangtuanya tidak mau terganggu kesibukannya oleh sang Anak?
Fenomena lain yang banyak ditemui dalam masyarakat adalah bahwa ketika di usia mulai mengenyam pendidikan sekolah, orangtuanya menyerahkan anaknya begitu saja ke sekolah-sekolah dan bahkan sang orang tua tidak mengkontrol apakah institusi yang diberi amanah tersebut berkomitmen untuk mengajarkan ‘Aqidah yang benar, Adab Akhlaq yang baik pada sang anak ataukah tidak. Maka bagaimanakah jadinya bila sang anak tumbuh dewasa tanpa mendapatkan tarbiyah yang baik? Bukankah hal tersebut pada hakekatnya merupakan kerugian pula bagi orangtua itu kelak, bila sang anak tidak tahu bagaimana cara menunaikan Birrul Walidain kepada orangtuanya, karena sejak kecil memang tidak memperoleh ilmu diin yang cukup tentang hal tersebut.
Sesungghnya doa anak yang shoolih adalah diantara suatu amalan yang pahalanya dapat terus mengalir bahkan setelah sang orangtua meninggal, sebagaimana dalam Hadits berikut ini dari Abu Hurairoh رضي الله عنه, bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
إِنَّ مِمَّا يَلْحَقُ الْمُؤْمِنَ مِنْ عَمَلِهِ وَحَسَنَاتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ عِلْمًا عَلَّمَهُ وَنَشَرَهُ وَوَلَدًا صَالِحًا تَرَكَهُ وَمُصْحَفًا وَرَّثَهُ أَوْ مَسْجِدًا بَنَاهُ أَوْ بَيْتًا لاِبْنِ السَّبِيلِ بَنَاهُ أَوْ نَهْرًا أَجْرَاهُ أَوْ صَدَقَةً أَخْرَجَهَا مِنْ مَالِهِ فِي صِحَّتِهِ وَحَيَاتِهِ يَلْحَقُهُ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِ
“Sesungguhnya diantara amalan dan kebaikan seorang mukmin yang akan menemuinya setelah kematiannya adalah: 1)Ilmu yang diajarkan dan disebarkannya, 2) Anak shõlih yang ditinggalkannya, 3) Mush-haf yang diwariskannya, 4) Masjid yang dibangunnya, 5) Rumah untuk ibnu sabil yang dibangunnya, 6) Sungai (sumur air) yang dialirkannya untuk umum, atau 7) Shõdaqõh yang dikeluarkannya dari hartanya di waktu sehat dan semasa hidupnya, semua ini akan menemuinya setelah dia mati.”
(HR. Ibnu Mãjah no: 242, dari Abu Hurairoh رضي الله عنه, di-Hasan-kan oleh Syaikh Nashiruddin al-Albãny)
Juga dalam Riwayat lain:
عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم : وقال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( إن الرجل لترفع درجته في الجنة فيقول أنى هذا ؟ فيقال باستغفار ولدك لك
Dari Abu Hurairoh رضي الله عنه, dari Nabi صلى الله عليه وسلم bahwa beliau صلى الله عليه وسلم bersabda: “Sungguh derajat seseorang diangkat di dalam surga, lalu dia bertanya, “Darimana aku mendapatkan seperti ini?”
Lalu dijawab, “Karena istighfar (permohonan ampun) dari anakmu terhadapmu.”
(Ibnu Maajah, Sunnan Ibnu Maajah, Beirut: Daar Ihya Al-Kutub Al-A’robiyyah, hal.1207, no: 3660, dihasankan oleh Syaikh Nashiruddin al-Albaany dalam Shohiih Sunnan Ibnu Maajah no: 3650)
Belum lagi disebarkannya propaganda “Kesetaraan Gender” oleh kaum yang tak beriman, dimana propaganda tersebut bertujuan merusak generasi kaum Muslimin dengan membidik para Wanita Muslimah-nya. Bila “Al-Ummun” (sang Ibu) yang seharusnya menjadi sumber Pendidik pertama bagi sang anak telah disibukkan dengan gaya hidup materialisme, hedonisme, disibukkan dengan tuntutan “emansipasi, diskriminasi wanita” yang propagandanya memang membidik wanita Muslimah agar meninggalkan rumah-rumahnya dan melalaikan tugas utamanya yakni mempersiapkan generasi penerus Muslim yang tangguh (generasi teguh ‘aqidah-nya, baik akhlaq-nya, gemar ber-amal shoolih dan ber-amar ma’ruf nahi munkar; atau diistilahkan sebagai “shoolih” dan “mushlih” dimana keshoolihannya tidak hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri, tetapi juga bagi masyarakat sekitarnya), dan kelalaian ini pada akhirnya dapat memporak-porandakan apa yang seharusnya menjadi benteng-benteng kehidupan keluarga Muslim terutama dimasa Fitnah Akhir Zaman telah menguasai seluruh lini kehidupan seperti saat ini.
Perlu diingat bahwa tugas utama dan orientasi para orangtua sesungguhnya adalah:
- Mempersiapkan Generasi Qurrotu Ainin / Qurrotu A’yun, sebagaimana doa berikut ini:
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
“ROBBANAA HAB LANAA MIN AZWAAJINAA WA DZURRIYATINAA QURROTA A’YUNIN, WAJ’ALNAA LILMUTTAQINA IMAAMAA.” (Wahai Robb kami, karuniakanlah pada kami dan keturunan kami serta istri-istri kami penyejuk mata kami. Jadikanlah pula kami sebagai imam bagi orang-orang yang bertaqwa)”
(QS. Al-Furqon/25:74)
Al-Hasan al-Bashri rohimahullooh, seorang ‘Ulama Tabi’iin, ketika ditanya apakah Qurrota A’yun dalam ayat diatas berlaku di dunia ataukah di akherat, maka beliau menjawab: “Di dunia.”
Lalu ditanya lagi, “Seperti apakah wujudnya?”
Maka beliau menjawab,
هِيَ وَاللَّهِ أَنْ يَرَى الْعَبْدُ مِنْ وَلَدِهِ (حَبِيبَهُ) طَاعَةَ اللَّهِ
“Seseorang yang melihat pada anaknya atau (melihat) pada istrinya (kekasihnya) ta’at kepada Allooh.”
(Ibnu Hajar al-Asqolany, Fathul Baari, 8/ 491)
Adapun Ibnu ‘Abbas رضي الله عنه menjelaskan bahwa:
مَنْ يَعْمَلُ بِالطَّاعَةِ فَتَقَرُّ بِهِ أَعْيُنُنَا فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ
“Orang yang ta’at pada Allooh, sehingga matanya merasakan kesejukan baik di dunia maupun di akherat.”
(Ibnu Abi Hatim [wafat 327 H], Tafsir Ibnu Abi Hatim, 8/2741, no. 15483)
Sedangkan dalam Al-Baghowy dalam Tafsirnya menjelaskan sebagai,
أَوْلَادًا أَبْرَارًا أَتْقِيَاءَ
“Anak-anak yang berbakti dan bertaqwa.”
(Al-Baghowy, Tafsir al-Baghowy, 6/99)
Untuk mencapai tujuan ini, maka anak-anak kaum muslimin yang hendak menikah sepatutnya diberi “training/pelatihan pembekalan keluarga Islami” (training fiqih munakahat), agar ia mengetahui apa tujuan dari hidup berkeluarga sesuai tuntunan Islam. Kalau sekedar “kawin” untuk memuaskan hawa nafsu syahwat belaka, maka apa bedanya manusia dengan hewan? Padahal, manusia diciptakan Allooh سبحانه وتعالى sebagai makhluq yang mulia, yang seyogyanya menjadikan kehidupan berumah tangganya sebagai sarana Ibadah kepada Allooh سبحانه وتعالى.
2) Mempersiapkan anak sebagai investasi masa depan (akherat), sebagaimana telah dijelaskan dalam hadits-hadits Abu Hurairoh رضي الله عنه diatas. Disamping itu, seorang anak yang shoolih yang telah diberi pendidikan diin yang baik dimasa hidup sang orangtuanya, tentulah akan mengamalkan birrul walidain dengan cara yang telah diajarkan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dalam Hadits berikut ini:
Dari ‘Abdullooh bin ‘Umar ي الله عنه bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
إن أبر البر صلة الولد أهل ود أبيه
“Sesungguhnya sebaik-baik birrul walidain seorang anak adalah menyambung silaturrahim kepada orang-orang yang orangtuanya (semasa hidupnya) berhubungan baik dengan-nya.”
(HR. Muslim, Shohiih Muslim, no: 2552)
3) Menjaga diri dan keluarga dari Api Neraka, dengan cara:
a) Mengajari anak dan istri agar taat kepada Allooh سبحانه وتعالى, dan tidak suka bermaksiat kepada Allooh سبحانه وتعالى,
Dari seorang Tabi’iin, Qotadah, beliau berkata,
مُرُوهُمْ بِطَاعَةِ اللَّهِ ، وَانْهَوْهُمْ عَنْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ
“Perintahkanlah anggota keluarga kalian agar ta’at pada Allooh dan laranglah mereka dari bermaksiyat kepada Allooh.”
(‘Abdur Rozzaq, Tafsir ‘Abdur Rozzaq, 3/323, no: 3253)
b) Wasiati, pesankan kepada anak istrimu agar mereka bertaqwa
Dari Mujahid berkata,
أوصوا أهليكم بتقوى الله
“Berpesanlah pada mereka agar mereka bertaqwa kepada Allooh.”
(As-Suyuthy, Ad-Durrul Mantsur, 8/225)
II. PERAN ORANGTUA MENURUT AL-QUR’AN
Diantara peran orangtua menurut Al-Qur’an adalah sebagai berikut:
- Wiqoyyah / mencegah dan melindungi: Orangtua harus berperan melindungi anak-anaknya, dan mencegah mereka dari api neraka, sebagaimana firman Allooh سبحانه وتعالى:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allooh terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrîm/66:6)
Seorang Tabi’iin, Qotadah, ketika menafsirkan ayat ini berkata:
تأمرهم بطاعة الله وتنهاهم عن معصية الله وأن تقوم عليهم بأمر الله وتأمرهم به وتساعدهم عليه فإذا رأيت لله معصية ردعتهم عنها وزجرتهم عنها
“Yakni, hendaklah engkau memerintahkan mereka untuk berbuat taat kepada Allooh dan melarang mereka dari berbuat durhaka kepada-Nya. Dan hendaklah engkau menerapkan perintah Allooh kepada mereka, kemudian perintahkan dan bantulah mereka untuk menjalankannya. Apabila engkau melihat mereka berbuat maksiat kepada Allooh, maka peringatkan dan cegahlah mereka.” (Ibnu Katsiir, Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, 8/188)
Pada prinsipnya, “mencegah/melindungi” itu adalah lebih baik dari pada “mengobati” (bila telah terjadi penyimpangan pada perilaku sang anak); oleh karena itu “mencegah/melindungi” dilakukan pada tahapan awal. Sebelum anak-anak itu terlahir, sebelum anak-anak itu belajar mendengar dari orang lain/terkena pengaruh lingkungan, maka peran orangtuanya lah yang berkewajiban untuk melindungi anak-anaknya dengan cara membentengi mereka dengan ilmu diin, pendidikan keluarga yang Islami, serta nasehat-nasehat / pengalaman hidup yang mengandung hikmah dari orangtua yang bisa ditiru sang anak.
Bahkan diantara melindungi keluarga dari api neraka adalah dimulai sejak memilih jodoh/ pasangan hidup yang shoolih/ah, sebagaimana dalam suatu Hadits shoohih diriwayatkan bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم memerintahkan seorang laki-laki untuk memilih jodoh perempuan yang baik agamanya. Beliau صلى الله عليه وسلم bersabda:
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ: لِمَالِهَا، وَلِحَسَبِهَا، وَلِجَمَالِهَا، وَلِدِينِهَا. فَاظْفَرْ بذات الدين تربت يداك
“Wanita itu dinikahi karena 4 perkara, karena: 1) Hartanya, 2) Kecantikannya, 3) Keturunannya, dan karena 4) Agamanya; maka nikahilah wanita itu karena Agamanya, niscaya hidupmu akan mengalami kebaikan (keberkahan).”
(HR. Muslim, Shohiih Muslim, no: 1466, dari ‘Aa’isyah rodhiyalloohu ‘anha)
Juga dalam Hadits lain, Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
تَخَيَّرُوا لِنُطَفِكُمْ، وَانْكِحُوا الْأَكْفَاءَ، وَأَنْكِحُوا إِلَيْهِمْ
“Selektiflah kalian dalam memilih tempat menanam NUTHFAH (air mani) kalian.”
(HR. Ibnu Maajah, Sunnan Ibnu Maajah, 1/633, no: 1968, dishohiihkan oleh al-Albaany, dari ‘Aa’isyah rodhiyalloohu ‘anha)
Dan hendaknya tidak memulai keluarga dengan berpacaran terlebih dahulu; karena pacaran adalah diantara pintu zina. Bagaimanakah akan memulai keluarga yang diharapkan diberkahi Allooh سبحانه وتعالى bila dimulai dengan cara bermaksiat kepada-Nya?
Perlu diperhatikan, bahwa Komponen Manusia itu terdiri dari 5 hal, sebagaimana dalam Bagan-1 dibawah, yaitu: 1) Akal / Intelektualitas, 2) Jiwa, 3) Ruh, 4) Jasad, 5) Rasa. Orangtua hendaknya menjaga agar 5 komponen ini terpelihara dengan baik dalam diri anaknya; dan hanya dengan tuntunan Allooh سبحانه وتعالى dan Rosuul-Nya صلى الله عليه وسلم sajalah kelima komponen ini dapat terbina.
Bagan-1. Komponen Manusia
Al-Imam al-Ghozali rohimahullooh berkata:
اعلم أن للإنسان أوصافاً وأخلاقاً كثيرة على ما عرف شرحه في كتاب عجائب القلب وغوائله ولكن تنحصر مثارات الذنوب فِي أَرْبَعِ صِفَاتٍ: صِفَاتٍ رُبُوبِيَّةٍ , وَصِفَاتٍ شَيْطَانِيَّةٍ , وصفات سبعية ,وصفات بهيمية
“Ketahuilah olehmu bahwa perbuatan dosa itu bertolak dari empat sifat tercela: 1) Sifat Rububiyyah (mensifatkan diri bagai Tuhan), 2) Sifat Syaithoniyyah (seperti Syaithon), 3) Sifat Sabu’iyyah (Sifat Predator), dan 4) Sifat Bahimiyyah (Sifat Kebinatangan).”
(Al-Ghozali [wafat 505 H], Ihyaa’u ‘Ulumuddiin, 4/16)
Rusaknya manusia dari fitrohnya sebagai makhluq yang mulia adalah akibat kerusakan dari 5 komponen sebagaimana yang disebutkan dalam Bagan-1 diatas, sehingga menurut Al-Imam al-Ghozali rohimahullooh dalam Kitabnya “Ihyaa’u ‘Ulumuddiin” terbentuklah beberapa karakter manusia dengan sifat sebagai berikut: a) sifat binatang ternak (Bahimiyyah), b) sifat binatang buas (Sabu’iyyah), c) sifat syaithon (Syaithonniyyah), dan d) sifat ketuhanan (Rububiyyah).
Menurut Al-Imam al-Ghozali rohimahullooh, sifat-sifat ini tumbuh secara bertahap merusak fitroh manusia. Pada mulanya didahului oleh sifat Bahimiyyah yang mendominasi pertama kali. Sifat Bahimiyyah adalah sifat tamak, rakus, dan ambisi dalam memenuhi nafsu perut dan biologis; sehingga laksana binatang ternak seseorang akan sibuk mengumpulkan harta hanya demi memuaskan syahwatnya, tidak peduli halal maupun haromnya asal harta tersebut.
Kemudian berikutnya diiringi oleh sifat Sabu’iyyah; dimana laksana binatang buas, seseorang memiliki sifat amarah, dendam, agresifitas kepada orang lain dengan cara memukul, mencaci maki, dan membunuh; atau dengan kata lain adalah premanisme.
Lalu bila keduanya telah menyatu, digunakanlah akal licik untuk melakukan tipu daya, makar dan musliihat, dan pada saat itulah menjadi sifat Syaithoniyyah; dimana seseorang adalah bertubuh manusia namun berhati laksana syaithon.
“Kemudian yang terakhir, yang mendominasi ialah sifat Rububiyyah, yaitu kebanggaan, ketinggian, kedudukan, keangkuhan, dan superioritas atas seluruh makhluk,” tulis Al-Imam al-Ghozali rohimahullooh.
Sehingga pada titik ini, seseorang akan dipenuhi sifat sombong, bangga diri, pemaksa, suka pujian dan sanjungan, gila kehormatan dan kekayaan, cinta status quo, serta mendambakan superioritas atas semua golongan manusia sehingga laksana fir’aun; seakan-akan ia ingin mengatakan, “Aku adalah Tuhan kalian yang paling tinggi!”
Menurut Al-Imam al-Ghozali rohimahullooh, inilah biang-biang dari segala dosa seperti kufur, bid’ah, dan nifaq. Kemudian, memancarlah darinya beragam dosa dari sumber-sumber ini ke seluruh anggota tubuh, dimana sebagiannya hanya terbatas pada hati. Dan sebagian lagi telah mempengaruhi ke mata, telinga, lidah, perut dan kemaluan, lalu ke seluruh anggota tubuh lainnya.
Bagan-2. Kualitas Karakter Manusia
Sehingga orangtua lah yang berperan untuk mendidik sang Anak agar terbentuk menjadi manusia dengan karakter yang mulia, ataukah justru sebaliknya (lihat Bagan-2. Kualitas Karakter Manusia)
2) Ri’ayyah / memelihara, dengan cara: sang Ibu banyak membaca Al-Qur’an disaat kehamilan, memberikan asupan ASI yang baik ketika bayi telah lahir, melaksanakan ‘Aqiqoh 7 hari setelah kelahiran sang bayi, sang bayi di-Tahnik dengan kurma, diberi nama yang baik, serta didoakan kebaikan, dan lain sebagainya sebagaimana tuntunan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Dari Samuroh bin Jundub رضي الله عنه, beliau mengatakan bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda,
كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى
“Setiap bayi yang lahir tergadai dengan ‘aqiiqohnya, disembelihkan hewan ‘aqiiqoh pada hari ke-7-nya, kemudian digunduli kepalanya dan diberi nama.”
(HR. Abu Daawud no: 2840, di-Shohiih-kan oleh Syaikh Nashiruddin al-Albaany رحمه الله)
Dari ‘Aa’isyah rodhiyalloohu ‘anha, beliau berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يُؤْتَى بِالصِّبْيَانِ فَيُبَرِّكُ عَلَيْهِمْ وَيُحَنِّكُهُمْ.
“Didatangkan kepada Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم anak kecil, lalu beliau mendoakan mereka dan mentahnik mereka.”
(HR. Muslim, Shohiih Muslim, no: 2147, dari ‘Aa’isyah rodhiyalloohu ‘anha)
Al-Imam An-Nawawi rohimahullooh berkata, “Para pakar bahasa menyatakan bahwa tahnik adalah mengunyah kurma atau semacamnya, kemudian menggosokkannya ke langit-langit mulut si bayi”.
(Yahya bin Syarh An-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Shohiih Muslim bin Al-Hajjaj, 3/193)
Juga terdapat contoh dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bahwa hendaknya orangtua mendo’akan bayi yang baru lahir itu secara khusus, sebagaimana ‘Abdullooh bin ‘Abbaas رضي الله عنه berkata,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعَوِّذُ الْحَسَنَ وَالْحُسَيْنَ وَيَقُولُ إِنَّ أَبَاكُمَا كَانَ يُعَوِّذُ بِهَا إِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لَامَّةٍ
“Adalah Nabi صلى الله عليه وسلم meminta perlindungan kepada Allooh سبحانه وتعالى untuk Al Hasan dan Al Husein رضي الله عنهما dan bersabda, ‘Sesungguhnya ayah kalian berdua memohon perlindungan kepada Allooh سبحانه وتعالى untuk melindungi Ismail dan Ishaq عليهما السلام dengan mengatakan, ‘Aku berlindung dengan kalam-Mu yang sempurna dari setiap syaithon dan kejahatannya, dan dari setiap pandangan yang mencela’.”
(HR. Al-Bukhoory no: 3371)
3) Tarbiyyah / mendidik, dengan cara: menumbuhkan Tauhid di dalam diri sang Anak, kemudian membantunya untuk memelihara Tauhid tersebut; serta menjaga sang Anak dari aneka virus ‘Aqidah berupa paham-paham menyimpang yang bertentangan dengan Islam seperti: Sekulerisme, Pluralisme, Liberalisme, Materialisme, Atheisme, dan lain sebagainya.
Orangtua berusaha menjadikan sang Anak tumbuh berkembang dalam kebaikan Akal, Ruh, Jiwa, Jasad dan Rasa-nya; dimana sang Anak dibimbing untuk memiliki rasa Cinta-Takut-Harap kepada Allooh سبحانه وتعالى dan justru bukan menakut-nakuti sang Anak dengan syaithon ataupun memenuhinya dengan aneka cerita dongeng, khayal, khurofat yang buruk. Bacakan pada sang Anak siroh Nabawiyyah, bagaimana perjuangan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dan para shohabatnya rodhiyalloohu ‘anhum dalam meninggikan Kalimatullooh, agar sang Anak sedari kecil terbina untuk mengambil ibroh dari kisah-kisah tersebut sehingga tumbuh dalam dirnya kecintaan akan Al-Islam.
‘Abdullooh bin ‘Umar rodhiyalloohu ‘anhuma berkata:
أدب ابنك فإنك مسؤول عنه ما ذا أدبته وما ذا علمته وهو مسؤول عن برك وطواعيته لك
“Didiklah anakmu, karena sesungguhnya engkau akan dimintai pertanggungjawaban mengenai pendidikan dan pengajaran yang telah engkau berikan kepadanya. Dan dia juga akan ditanya mengenai kebaikan dirimu kepadanya, serta ketaatannya kepada dirimu.”
(Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah, Tuhfathul Mauduud Bi Ahkamil Mauluud, hal. 331)
Tarbiyyah/ mendidik sang Anak itu adalah disamping mengawasi keimanan dan pergaulan sang Anak, juga memperbaiki bila sang Anak melakukan kekeliruan, lalu menunjukkan solusi Islami untuk memperbaiki kekeliruan tersebut. Dalam tahap ini bisa melibatkan proses “reward and punishment”; sang Anak diberi motivasi lalu dihargai bila melakukan kebaikan, dan sebaliknya sang Anak diberi pencegahan dan bila perlu hukuman bila ia membangkang serta melakukan keburukan. Contoh Tarbiyyah adalah sebagaimana dalam Hadits berikut:
Dari Amr bin Syu’aib, dari bapaknya dari kakeknya rodhiyalloohu ‘anhu, beliau meriwayatkan bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda,
مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ أدب ابنك فإنك مسؤول
“Perintahkan anak-anak kalian untuk mengerjakan sholat ketika mereka berumur 7 tahun. Pukul mereka jika tidak mengerjakannya ketika mereka berumur 10 tahun. Pisahkanlah tempat-tempat tidur mereka.”
(HR. Abu Daawud no. 495, menurut Syaikh Nashiruddiin al-Albaany Hadits ini Hasan Shohiih)
Jadi jika sudah berusia 10 tahun, sang Anak masih sulit diperintah untuk menunaikan sholat, maka orangtua boleh memberi pukulan peringatan (tentu bukanlah pukulan kekerasan yang dapat mencederai sang Anak, namun sekedar pukulan peringatan yang cukup untuk membuat sang Anak sadar akan kewajibannya menunaikan Ibadah Sholat).
Atau dalam Hadits lain, diriwayatkan bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم pernah mendidik ‘Umar bin Abi Salamah adab makan yang benar. Beliau صلى الله عليه وسلم berkata pada ‘Umar:
يَا غُلاَمُ سَمِّ اللَّهَ ، وَكُلْ بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ
“Wahai anak kecil, sebutalah nama Allooh (bacalah “Bismillah”) ketika makan; dan makanlah dengan tangan kananmu. Makanlah yang ada di dekatmu.“
(HR. Al-Bukhoory no: 5376 dan HR. Muslim no: 2022)
4) Taurits / mewariskan, dengan cara mewariskan nilai-nilai yang baik, Tauhid yang lurus serta akhlaq mulia pada sang Anak. Warisan itu tidak hanya berupa harta, tetapi warisan itu bisa berupa Nilai-Nilai Tauhid dan Kebaikan. Sebagai contoh adalah Wasiat Nabi Yaqub ‘alaihissalam kepada Anaknya disaat menjelang kematiannya, yang diabadikan dalam QS. Al-Baqoroh/2:133 berikut ini:
أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ إِلَٰهَكَ وَإِلَٰهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَٰهًا وَاحِدًا وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ
“Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab: “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.”
(QS. Al-Baqoroh/2:133)
Atau Wasiat Luqmanul Hakim kepada anaknya, sebagaimana dalam QS. Luqman/31:13 berikut ini:
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ ۖ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, diwaktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allooh, sesungguhnya mempersekutukan (Allooh) adalah benar-benar kedzoliman yang besar”.”
(QS. Luqman/31:13)
5) Taulid / kaderisasi, dengan cara meneruskan nilai-nilai kebaikan Tauhid & Al-Islam itu dari orangtua ke diri anaknya, lalu dari anak ke diri cucunya, dari cucu ke cicit dan seterusnya; sehingga diharapkan mereka semua menjadi keluarga shoolih yang memiliki cita-cita, visi misi yang sama yakni “Baiti Jannati” (Rumahku adalah Surgaku). Seluruh anggota keluarga istiqomah beriman dan beramal shoolih dengan kesadaran penuh agar mereka tidak cuma berkumpul bersama di dunia yang fana ini; namun juga bercita-cita, berharap agar bisa bersama-sama berkumpul di Surga Allooh سبحانه وتعالى di akherat kelak. Sehingga mereka adalah yang sebagaimana difirmankan Allooh سبحانه وتعالى dalam QS. Ar-Ra’d/13: 23-24:
جَنَّاتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ وَالْمَلائِكَةُ يَدْخُلُونَ عَلَيْهِمْ مِنْ كُلِّ بَابٍ (23) سَلامٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ (24)
“(yaitu) surga ‘Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang shoolih dari bapak-bapaknya, isteri-isterinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu; (sambil mengucapkan): “Salamun ‘alaikum bima shobartum”. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.”
Ibnu Katsiir rohimahullooh menjelaskan maksud ayat diatas dalam Kitab Tafsir Ibnu Katsiir bahwa Allooh سبحانه وتعالى akan mengumpulkan seseorang bersama keluarganya, orangtua, istri dan anak-cucunya di Surga; itulah dalil tentang satu keluarga bisa masuk surga bersama. Beliau rohimahullooh berkata,
يجمع بينهم وبين أحبابهم فيها من الآباء والأهلين والأبناء ، ممن هو صالح لدخول الجنة من المؤمنين; لتقر أعينهم بهم ، حتى إنه ترفع درجة الأدنى إلى درجة الأعلى ، من غير تنقيص لذلك الأعلى عن درجته
“Allooh mengumpulkan mereka dengan orang-orang yang mereka cintai di dalam Surga yaitu orangtua, istri dan anak keturunan mereka yang mu’min dan layak masuk Surga. Sampai-sampai, Allooh mengangkat derajat yang rendah menjadi tinggi tanpa mengurangi derajat keluarga yang tinggi (agar berkumpul di dalam Surga yang sama derajatnya, pent).” – (Tafsir Ibnu Katsiir, 4/451)
Kemudian juga dalam firman-Nya yang lain dalam QS. Ath-Thuur/52 :21:
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ ۚ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ
“Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.”
Syaikh ‘Abdurrohman bin Nashir As-Sa’diy rohimahullooh menafsirkan ayat diatas sebagai berikut:
ذريتهم الذين اتبعوهم بإيمان أي: الذين لحقوهم بالإيمان الصادر من آبائهم، فصارت الذرية تبعا لهم بالإيمان، ومن باب أولى إذا تبعتهم ذريتهم بإيمانهم الصادر منهم أنفسهم، فهؤلاء المذكورون، يلحقهم الله بمنازل آبائهم في الجنة وإن لم يبلغوها، جزاء لآبائهم، وزيادة في ثوابهم، ومع ذلك، لا ينقص الله الآباء من أعمالهم شيئا
“Keturunan yang mengikuti mereka dalam keimanan maksudnya adalah mereka mengikuti keimanan yang muncul dari orangtua atau kakek-buyut mereka. Lebih utama lagi jika keimanan muncul dari diri anak-keturunan itu sendiri. Allooh akan mengikutsertakan mereka dalam kedudukan orangtua atau kakek-buyut mereka di Surga walaupun mereka sebenarnya tidak mencapainya (kedudukan anak lebih rendah dari orangtua –pent), sebagai balasan bagi orangtua mereka dan tambahan bagi pahala mereka. Akan tetapi Allooh tidak mengurangi pahala orangtua mereka sedikitpun.”
(‘Abdur Rohman as-Sa’dy, Taisir Karimir Rohman hal. 815)
6) Tabdil / mengganti yang tidak baik, yaitu merubah karakter anak dari sesuatu yang buruk dan tidak terpuji terutama karena pengaruh luar rumah dan atau pergaulan, dengan yang baik dan terpuji sesuai dengan nilai dan norma yang syar’i.
7) Tawashul / kontinyuitas melanjutkan sampai akhir zaman, hal ini karena Pendidikan dan pengajaran seorang manusia berlangsung sejak sebelum menjadi janin, sejak lahir bahkan terus menerus higga manusia itu dewasa dan bersiap kembali menuju Penciptanya yaitu berupa kematian. Maka Pendidikan itu haruslah menerapkan prinsip kontinyuitas yang tersambung antara satu fase degan fase berikutnya menuju manusia yang utuh sesuai dengan tuntunan dan pedoman Wahyu yang sudah ada.
III. GEJALA “TOXIC PARENTS”
Gejala orangtua dikuatirkan masuk kedalam kategori “Toxic Parents” antara lain adalah memiliki sikap/sifat “19 M” sebagaimana dalam tabel berikut ini :
Tabel-3. Gejala Toxic Parents (19 M)
Dalam Tabel-3 diatas terdapat 19 M sifat/sikap negatif yang dapat memberi pengaruh pendidikan buruk dari orangtua terhadap anaknya, contohnya:
1) Mempertontonkan yang buruk-buruk kepada sang Anak, seperti: merokok, bergosip di depan anak;
2) Mengabaikan / Tidak peduli keadaan Anak, seperti: Bersikap masa bodoh apakah anaknya sholat ataukah tidak sholat tidak dipedulikan dan tidak ditegur, Membiarkan anak pacaran/pergaulan bebas;
3) Menyikapi Tidak Adil pada sang Anak, seperti: Anak yang satu diperlakukan istimewa sementara anak yang lain kurang diperhatikan;
4) Menyatakan bahasa buruk/ makian kepada Anak, seperti: “Kamu anak yang bodoh, penakut”, dll;
5) Membiasakan kebiasaan buruk, seperti: Membelikan anak gadget/mainan “games” dan membiarkan anak main game berjam-jam dan lalai dari Al-Qur’an;
6) Mendikte dengan kata-kata: “Pokoknya kamu harus ikut apa kata orangtua!” tanpa mau mendengar argumentasi/alasan sang Anak ketika menyikapi suatu keadaan/kondisi;
7) Memojokkan sang Anak bahwa sang Anak pastilah selalu di pihak yang salah, seperti: orangtua bila berbuat salah maka selalu melemparkan kesalahannya kepada sang Anak tanpa mau introspeksi diri;
8) Memanjakan sang Anak dengan kehidupan materialisme yang berlebih-lebihan dan tidak mengajar sang Anak untuk bershodaqoh;
9) Membebaskan sang Anak, tidak memberi aturan sesuai syari’at yang jelas bagi sang Anak sehingga sang Anak cenderung bersikap semaunya;
10) Mencela setiap tindak tanduk sang Anak sehingga sang Anak menjadi pribadi yang minder dan kurang percaya diri;
11) Merendahkan harga diri sang Anak;
12) Mempermalukan sang Anak, seperti: memarahi Anak tersebut dalam perkara kekurangan/ kelemahan/ kecacatan pribadinya di depan orang-orang banyak;
13) Mengungkap Aib sang Anak;
14) Mengungkit-ungkit kesalahan sang Anak di masa lalu padahal sang Anak telah bertaubat/ memperbaiki diri;
15) Membanding-bandingkan sang Anak dengan ana-anak lainnya, seakan-akan sang Anak tidak punya kebaikan, padahal dalam setiap individu Anak pastilah punya kelebihan masing-masing dan punya kekurangan masing-masing, dimana kelebihannya haruslah diapresiasi dan kekurangannya dicarikan solusi untuk diperbaiki;
16) Mengancam sang Anak dengan hukuman yang tidak mendidik dan diluar batas kemampuan sang Anak, sehingga bukannya memperbaiki sang Anak, alih-alih justru menjadikan sang Anak bersedih dan hancur hatinya;
17) Selalu menyalahkan sang Anak dalam segala perkara, tanpa menyelidiki penyebab suatu kesalahan/kelalaian terlebih dahulu, dan juga tanpa mau mendengarkan argumentasi sang Anak terlebih dahulu. Bisa jadi suatu kekeliruan/ kelalaian sang Anak adalah akibat faktor lingkungan, faktor pertemanan yang buruk, atau bisa jadi juga karena lemahnya ketauladanan orangtua di dalam rumah;
18) Menuntut sang Anak diluar batas kemampuan sang Anak dalam perkara yang bersifat duniawi dan melupakan tujuan utama agar sang Anak menjadi Anak Shoolih; contoh: Bila bapaknya seorang dokter maka si Anak harus jadi dokter seperti bapaknya, padahal kemampuan sang Anak bukanlah di bidang itu. Seyogyanya orangtua membimbing sang Anak agar menjadi ANAK SHOOLIH APAPUN PROFESI DUNIAWI yang digeluti sang Anak;
19) Menyikapi dengan otoriter, sehingga sang Anak menjadi tertekan.
Itulah diantara “19 M” sikap/sifat orangtua yang hendaknya dihindari ketika mendidik Anak. Sebelum menuntut sang Anak menjadi Anak yang Shoolih; maka hendaknya Orangtua memulai dari menshoolihkan dirinya sendiri terlebih dahulu. Apabila orangtuanya sudah shoolih; maka in syaa Allooh sang Anak tentulah akan mencontoh keshoolihan orangtuanya dalam keseharian kehidupan di keluarganya. Janganlah sampai terjadi dimana orangtua menyuruh sang Anak menjadi Anak yang shoolih sementara orangtua sendiri mencontohkan perilaku-perilaku ma’shiyat didepan anaknya; bukankah suri tauladan terbaik adalah justru dari orangtua terlebih dahulu? Jangan sampai orangtua menyuruh anaknya rajin sholat, sementara sang orangtua sendiri pun bermalas-malasan sholat, dll.
Terdapat peringatan dari Allooh سبحانه وتعالى dalam QS. Ash-Shoff/61:2-3:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ (2) كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ (3)
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allooh bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”
(QS. Ash-Shoff/61: 2-3)
Juga terdapat riwayat dari Abu Dzar rodhiyalloohu ‘anhu, bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
عن أَبِي ذَرٍّ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «الصَّلَاةُ خَيْرُ مَوْضُوعٍ، فَمَنْ شَاءَ اسْتَكْثَرَ وَمَنْ شَاءَ اسْتَقَلَّ» رَوَاهُ ابْن حِبَّانَ فِي صَحِيحِهِ وَالْحَاكِمُ فِي صَحِيحِهِ
“Sholat adalah sebaik-baik amalan, maka barangsiapa yang mau dia dapat memperbanyak (sholat sunnah – pent.) atau mempersedikit (sholat sunnah – pent.).”
(Hadits ini menurut Ibnu Hajar dalam “Fathul Baari” (2/479) dan Asy-Syaukany dalam “Nailul Author” (3/359) di-shohiih-kan oleh Ibnu Hibban dalam shohiih-nya dan Al-Hakim dalam “Al-Mustadrok”)
Ada pula seorang Tabi’iin yang bernama Sa’id bin al-Musayyib rohimahullooh yang berkata:
إني لأصلي فأذكر ولدي فأزيد في صلاتي
“Ada kalanya saat aku sholat, aku teringat akan anakku, maka aku pun menambah sholatku (agar anak-anakku dijaga oleh Allooh Ta’aalaa).”
(Al-Baghowi, Tafsir al-Baghowy, 5/196)
Bahkan keshoolihan orangtua in-syaa Allooh dapat pula memberikan manfaat positif bagi sang Anak, karena Allooh سبحانه وتعالى lah yang akan menjaga sang Anak, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Kahfi/18:82 :
وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ذَلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا (٨٢)
“Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedangkan ayahnya adalah seorang yang shoolih.”
IV. BERBAGAI PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI AKIBAT ORANGTUA KURANG BERPERAN
Akibat kurangnya peran orangtua dalam mendidik anaknya, maka terjadilah berbagai problematika dalam keluarga Muslim, antara lain:
- Kebodohan/kejahilan; dan yang paling berbahaya adalah kebodohan/kejahilan dalam perkara diin / agama, sehingga Anak yang awalnya terlahir dalam fitroh Islam, kemudian berubahlah menjadi Yahudi, Nashroni, Majusi, akibat pengaruh/arahan orangtuanya. Hal ini sebagaimana sabda Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم:
كُلُّ إِنْسَانٍ تَلِدُهُ أُمُّهُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
“Setiap manusia dilahirkan oleh ibunya diatas fitroh. Kedua orangtuanya lah yang menjadikannya Yahudi, Nashroni, atau Majusi.”
(Hadits Riwayat Muslim no: 2658, dari Shohabat Abu Hurairoh rodhiyalloohu ‘anhu)
2) Kenakalan Anak; seperti: perkelahian/tawuran remaja, dll
3) Petaka musnahnya manusia dan kemanusiaan, antara lain berupa merosotnya karakter dan moral bangsa akibat kurang terdidiknya generasi penerus, sehingga pada akhirnya mengancam eksistensi bangsa itu sendiri. Apalah artinya kemajuan suatu teknologi serta menjulangnya gedung-gedung pencakar langit di suatu negeri; kalaulah manusia di negeri itu rusak Iman dan rusak moralnya ?! Bukankah dunia itu akan ditinggalkan, sementara yang menentukan di Hari Akherat adalah justru IMAN dan AMAL SHOOLIH?
V. SEBAB REDUPNYA PERAN ORANGTUA
Diantara sebab redupnya peran orangtua dalam keluarga, adalah:
- Kemiskinan; dimana kelemahan dari sisi ekonomi ini apabila tidak disikapi dengan sikap Qona’ah maka seseorang dapat menggadaikan Imannya hanya karena urusan dunia.
- Keterbatasan ilmu dan wawasan orangtua; dimana faktor keterbatasan Ilmu (diin/agama) dan keterbatasan wawasan menjadikan orangtua tidak dapat berkomunikasi dengan baik dengan sang Anak, terutama di masa globalisasi seperti zaman sekarang ini.
- Waktu perhatian terhadap Anak yang kurang; hal ini dapat terjadi akibat kedua orangtua sibuk mencari nafkah sehingga sang Anak kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang semestinya.
- Tabiat dan karakter orangtua; tak jarang tabiat dan karakter buruk kedua orangtua yang dipertontonkan terus-menerus di dalam rumahnya, justru menjadikan sang Anak akan meniru tabiat/karakter buruk itu lalu meneruskannya lagi ke anak cucunya kelak, sehingga jadilah ia merupakan dosa jariyah yang sebenarnya dapat merugikan orangtua itu sendiri.
- Campur tangan selain kedua orang tua; tak jarang pula terdapat kendala berupa campurtangan pihak luar dalam menentukan kebijakan rumahtangga seperti: mertua, ipar, tetangga, lingkungan pertemanan anak, dan lain sebagainya; sehingga sang Anak terombang-ambing, kurang dapat teguh dalam menuruti nasehat yang baik dari kedua orangtuanya.
VI. TANTANGAN
Diantara tantangan yang dihadapi adalah sebagai berikut:
- Pandemi berkepanjangan menyebabkan sekolah offline terganggu; akibatnya materi pendidikan dari madrosah yang disampaikan di institusi-institusi pendidikan Islam di tanah air ini menjadi terkendala.
- Langka dan atau kurangnya persiapan menuju kehidupan berkeluarga; dimana pasangan yang siap nikah kurang memiliki ilmu diin yang mumpuni dalam urusan berkeluarga (fiqih munakahat), padahal berumahtangga itu adalah Ibadah kepada Allooh سبحانه وتعالى.
- Media massa yang terlalu deras; dimana tayangan media massa yang berasal dari orang-orang yang tak beriman kepada Allooh سبحانه وتعالى justru menjajakan kesyirikan, kekufuran, kema’shiyatan, dan aneka paham sekulerisme-pluralisme-liberalisme-materlialisme-atheisme yang dapat membahayakan dan mempengaruhi ‘Aqidah maupun moralitas anak dan keluarga; yang kalau anak dan keluarga Muslim itu TIDAK MEMILIKI FILTER TAUHID dan IMAN yang BAIK maka alih-alih mereka dapat terpengaruhi.
- Kesibukan kedua orangtua
- Kebijakan pemerintah yang tidak/kurang tegas terhadap pengendalian pengaruh globalisasi dan atau pembangunan keluarga Tangguh, terutama dari pengaruh internet yang seolah tanpa batasan bagi generasi belia.
VI, LANGKAH SOLUTIF
Beberapa langkah solutif untuk mengatasi problematika yang dihadapi adalah:
- Pembekalan pra-nikah
- Pembinaan dan konsultasi keluarga
- Keterlibatan para ‘Ulama, da’i dan para praktisi pendidikan
- Optimalisasi masjid dan majelis ta’lim
- Optimalisasi peran media Islam
Dengan mengefektifkan lima elemen diatas, diharapkan dapat membantu membentengi keluarga-keluarga Muslim di masa fase Fitnah Akhir Zaman seperti sekarang ini.
Alhamdulillah, sekian bahasan pada kesempatan ini, mudah-mudahan Alloohسبحانه وتعالى selalu memberikan kepada kita kemudahan untuk menjadi orang-orang yang shoolih, dan bertahan sampai akhir hayat hingga kita mendapatkan Husnul Khootimah. Kita akhiri dengan Do’a Kafaratul Majlis :
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Jakarta, Kamis pagi, 16 Safar & 6 Rabi’ul Akhir 1443 H – 23 September & 11 November 2021 M.
Silahkan download PDF : https://archive.org/download/toxic-parents-fnle/TOXIC%20PARENTS%20FNLE.pdf