At-Taqwa (Bagian-2)
(Transkrip Ceramah AQI 080310)
AT TAQWA (Bagian-2)
Oleh: Ustadz Achmad Rofi’i, Lc.
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allooh سبحانه وتعالى,
Dalam Hadits Riwayat Al Imaam At Turmudzy no: 2004, Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
عن ابي هريرة : قال سئل رسول الله صلى الله عليه و سلم عن أكثر ما يدخل الناس الجنة ؟ فقال تقوى الله وحسن الخلق وسئل عن أكثر ما يدخل الناس النار فقال الفم والفرج
Artinya:
“Terbanyak perkara yang menyebabkan orang masuk ke dalam Surga adalah bertaqwa kepada Allooh dan berakhlak yang baik”.
Taqwa adalah perintah Allooh سبحانه وتعالى. Jadi kalau kita bertaqwa kepada Allooh سبحانه وتعالى, sesungguhnya kita sedang menjalankan apa yang menjadi perintah Allooh سبحانه وتعالى. Jadi tidak boleh goyah, miring ke kiri atau ke kanan. Tentu banyak sekali ayat tentang Taqwa dalam Al Qur’an, tidak kurang dari 256 ayat yang membicarakan tentang Taqwa dari berbagai jenisnya.
Tentu kita tidak akan membicarakan seluruh ayat-ayat tersebut, tetapi kiranya cukup beberapa ayat saja, lalu kita teruskan kepada bahasan, yang antara lain tentang :
1) Makna Taqwa dalam Al Qur’an,
2) Kedudukan, derajat dan tingkatan Taqwa dalam pemahaman para ‘Ulama Ahlus Sunnah,
3) Urutan aplikasi sikap konkrit dari Taqwa
In-syaa Allooh pada pertemuan yang akan datang kita akan membahas selanjutnya tentang Urgensi dan Kemuliaan Taqwa.
Taqwallooh adalah instruksi langsung dari Robbul ‘Alamiin. Merupakan perintah dari Penguasa Alam Semesta kepada kita semua agar kita bertaqwa.
Seperti disebutkan dalam Al Qur’an surat Aali ‘Imroon (3) ayat 102 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allooh sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.”
Bahwa kita bertaqwa itu janganlah basa-basi, atau tanggung-tanggung, melainkan taqwa yang sungguh-sungguh. Apabila kita pahami kalimat “Taqwa yang sesungguhnya itu”, akan kita ketahui banyak perkataan para ‘Ulama Ahlus Sunnah tentang hakekat Taqwa itu sepertti apa.
Bila kita tahu hakekat Taqwa seperti apa, maka kita bisa instropeksi kepada diri kita sendiri seperti apakah ketaqwaaan yang sudah kita kerjakan selama ini.
Dalam ayat tersebut, setelah Allooh سبحانه وتعالى memerintahkan agar kita bertaqwa dengan sebenar-benar Taqwa, maka Allooh سبحانه وتعالى berikutnya melarang dengan peringatan-Nya sebagai berikut: “Jangan sekali-kali kalian mati kecuali kalian dalam keadaan muslim (beragama Islam).”
Kalimat tersebut adalah sama dengan perintah. Sama dengan: “Matilah kalian dalam keadaan muslim.” Tetapi lebih tegas lagi ayatnya bila sebagai berikut: “Janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.”
Itulah perintah Allooh سبحانه وتعالى kepada kita semua, yang kita sekalian in-syaa Allooh mudah-mudahan termasuk orang yang beriman. Siapa saja diantara kita yang beriman kepada Allooh سبحانه وتعالى, langsung Allooh memerintahkan kepada kita, tanpa perantara, dan bukan untuk esok atau suatu saat nanti, melainkan untuk sekarang, hari ini, saat ini juga; kita diperintahkan untuk bertaqwa kepada Allooh سبحانه وتعالى.
Adapun dalam Al Qur’an surat An Nisaa’ (4) ayat 1 :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيراً وَنِسَاء وَاتَّقُواْ اللّهَ الَّذِي تَسَاءلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيباً
Artinya:
“Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Robb-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allooh menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allooh memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allooh yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrohim. Sesungguhnya Allooh selalu menjaga dan mengawasi kamu.”
Dalam ayat tersebut, Allooh سبحانه وتعالى menyebutkan dua kali (diulang) kalimat “Bertaqwalah kepada Allooh”, maknanya adalah sebagai penekanan, bahwa itu bukanlah perintah biasa, melainkan perintah yang mengandung konsekuensi yang tinggi.
Dan perintah itu adalah bagi kita sekalian.
Kemudian dalam Al Qur’an surat Al Ahzaab (33) ayat 70 – 71 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيداً
Artinya:
(70) “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allooh dan katakanlah perkataan yang benar.”
يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَن يُطِعْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزاً عَظِيماً
Artinya:
(71) “Niscaya Allooh memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa menta’ati Allooh dan Rosuul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.”
Maka bertaqwa adalah perintah dari Allooh سبحانه وتعالى.
Dan dalam Al Qur’an surat Aali ‘Imroon (3) ayat 131, Allooh سبحانه وتعالى berfirman :
وَاتَّقُواْ النَّارَ الَّتِي أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ
Artinya:
“Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir.”
Lalu dalam Al Qur’an surat Al Maa’idah (5) ayat 96, Allooh سبحانه وتعالى berfirman :
وَاتَّقُواْ اللّهَ الَّذِيَ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
Artinya:
“Dan bertaqwalah (kepada) Allooh, yang kepada-Nya lah kamu akan dikumpulkan.”
Juga dalam Al Qur’an surat Al Hasyr (59) ayat 18, firman-Nya adalah sebagai berikut :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allooh dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertaqwalah kepada Allooh, sesungguhnya Allaooh Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Dalam ayat tersebut kalimat “Wattaqullooh” (bertaqwalah kepada Allooh) diulang dua kali, menunjukkan bahwa Taqwa adalah perintah yang datang langsung dari Allooh سبحانه وتعالى.
Maka siapa saja yang tidak bertaqwa kepada Allooh, ia telah berbuat ma’shiyat, menyelisihi dan melanggar perirntah Allooh سبحانه وتعالى dan ia telah jauh dari apa yang diperintahkan oleh Allooh سبحانه وتعالى.
Ayat-ayat terebut diatas menunjukkan bahwa tidak boleh ada diantara kita yang kemudian tidak bertaqwa kepada Allooh سبحانه وتعالى, karena Taqwa adalah perintah langsung dari Robbul ‘Alamiin kepada setiap diri kita.
Perkataan para ‘Ulama Ahlus Sunnah tentang Hakekat Taqwa
1) Bahwa yang dimaksud dengan Taqwa itu adalah seperti yang dikatakan oleh Al Imaam Al Hasan Al Bashry رحمه الله :
ما زالت التقوى بالمتقين حتى تركوا كثيراً من الحلال مخافة الحرام
Artinya:
“Makna kalimat Taqwa, sikap Taqwa masih tetap terkait dengan istilah orang yang bertaqwa, ketika mereka banyak meninggalkan perkara yang halal karena takut terjerembab pada yang harom.”
Taqwa bukan hanya sekedar meninggalkan hal-hal yang dilarang dan mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Allooh سبحانه وتعالى, akan tetapi perkara-perkara yang halal pun harus kita batasi, jangan diperbanyak. Karena dengan memperbanyak yang halal itu khawatir akan mendekatkan diri kita kepada perkara yang harom. Jadi senantiasa lah bersikap hati-hati.
Terhadap perkara yang halal saja masih harus kita batasi, karena sesungguhnya di titik itulah manusia itu diuji. Bila ingin mengetahui kompetensi seseorang atau apakah seseorang itu memiliki prestasi yang tinggi, maka ia akan diuji dengan perkara yang lebih sulit lagi. Ketika dihadapkan dengan perkara yang lebih sulit, bisakah ia melewati ujian tersebut? Kalau ia berhasil melaluinya, berarti ia lulus dari ujian dan memperoleh kedudukan yang sangat mulia disisi Allooh سبحانه وتعالى.
2) Adapun perkataan Al Imaam Ats Tsaury رحمه الله tentang Hakikat Taqwa adalah sebagai berikut :
“Mereka disebut orang yang Muttaqiin (orang-orang yang bertaqwa kepada Allooh), adalah karena mereka berusaha untuk mengendalikan diri, serta membatasi diri dari perkara yang ia harus jauh daripadanya.”
3) Adapun Al Imaam Musa bin A’yun رحمه الله menjelaskan Hakikat Taqwa sebagai berikut :
“Orang bertaqwa kepada Allooh adalah orang yang berusaha membebaskan dirinya (mensucikan diri) dari banyak perkara yang halal, karena takut (khawatir) ia terjerembab ke dalam perkara yang harom. Karena sikap demikianlah, maka orang itu disebut orang yang bertaqwa.”
Bisa kita renungkan betapa di zaman sekarang ini, orang ingin hidup benar-benar dalam keadaan halal itu adalah sangat sulit. Sebagai contoh, ada seseorang yang bertanya sebagai berikut : “Bagaimanakah hukum menggunakan ATM untuk sekedar transfer (mengirim uang), bolehkah ?”
Pertanyaan ini sangat bagus. Orang yang berhati-hati maka ia menyadari bahwa ikut serta menggunakan jasa bank ribawi (institusi ribawi, perbankan), meskipun orang itu mendapatkan manfaat berupa kemudahan dengan proses transfer itu, tetapi sebenarnya pada hakekatnya ia turut serta berpartisipasi dalam mensukseskan program yang diberlangsungkan oleh bank sistem ribawi tersebut. Oleh karena itu, bisa kita lihat bahwa ta’awwun terhadap perkara yang harom itu paling tidak terkena debu ke-harom-annya.
Hal ini sebagaimana dalam Hadits Riwayat Al Imaam Ibnu Majah no: 2278, di-dho’iif-kan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albaany dalam “Dho’iif Sunan Ibnu Maajah” no: 2278; dan dalam Hadits Riwayat Al Imaam Abu Daawud no: 3333, di-dho’iif-kan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albaany dalam “Dho’iif Sunan Abu Dawud” no: 3331, dari Shohabat Abu Hurairoh رضي الله عنه, bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ : لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يَبْقَى مِنْهُمْ أَحَدٌ ، إِلاَّ أَكَلَ الرِّبَا ، فَمَنْ لَمْ يَأْكُلْ ، أَصَابَهُ مِنْ غُبَارِهِ.
Artinya:
“Sungguh akan datang pada manusia suatu masa (ketika) tiada seorangpun diantara mereka yang tidak akan memakan (harta) riba. Siapa saja yang (berusaha) tidak memakannya, maka ia tetap akan terkena debu (riba) nya.”
Hadits diatas adalah di-dho’iif-kan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albaany رحمه الله. Meskipun demikian, terdapat dalam lafadz yang lain dari Shohabat Abu Hurairoh رضي الله عنه, yang di-shohiih-kan oleh Syaikh Ahmad Syakir, dalam Kitab “Umdatut Tafsiir Mukhtashor Tafsiir Ibnu Katsiir” (I/332) :
يأتي على النَّاسِ زمانٌ يأكُلونَ فيهِ الرِّبا قالَ : قيلَ لَهُ : النَّاسُ كلُّهم ؟ قالَ : مَن لَم يأكلهُ مِنهُم نالَهُ من غبارِهِ
Artinya:
Akan datang pada manusia suatu zaman dimana mereka memakan riba. Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم ditanya, “Semua manusia ?”
Maka Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda, “Barangsiapa yang tidak memakannya, tetap akan mendapati debunya.”
Di zaman kita hidup saat ini, hal demikian itu memang sulit sekali menghindarinya, sebab kenyataannya hampir setiap diri kita punya ATM. Karena orang beralasan bila uangnya disimpan di rumah, maka itu tidak aman. Atau bila uang disimpan di rumah, kita sering tidak bisa mengendalikan diri, mudah membelanjakan uang tersebut untuk hal-hal yang sebenarnya kurang bermanfaat. Tetapi ketika uang disimpan dalam suatu institusi keuangan, maka pengeluaran uang akan lebih bisa dikendalikan. Jadi disisi lain memang ada unsur manfaat.
Meskipun demikian, perlu dicermati tentang kepemilikan ATM tersebut, apabila ditujukan untuk makna Tamattu’ (merasakan kelezatan ribawi itu) atau untuk makna Al Fahru (kebanggaan) menggunakan fasilitas ATM, ataupun dalam rangka sengaja ikut serta ta’awwun terhadap riba, maka perkara itu adalah harom.
Tetapi bila bersifat dhoruuroh (darurat, terpaksa) misalkan: membawa-bawa uang tunai sekian juta dalam bepergian atau di dalam rumah, akan membahayakan dirinya karena mengundang perampok / penjahat (apalagi di zaman dimana keamanan kurang terjaga saat ini), maka sebagaimana dikatakan para ‘Ulama bahwa menabung (menyimpan) dalam institusi perbankan adalah karena dalam keadaan darurat, maka boleh menyimpan uang itu di bank dengan catatan ia tidak memanfatkan bunga ribanya, dan tidak boleh ikut dalam perkara-perkara harom yang tidak ada kedaruratan didalamnya.
Makna Taqwa dalam Al Qur’an
Dalam Al Qur’an kalimat Taqwa itu tidak kurang dari tiga makna, yaitu :
1) Taqwa bermakna Takut kepada Allooh سبحانه وتعالى
Dalam Al Qur’an surat Al Baqoroh (2) ayat 41, Allooh سبحانه وتعالى berfirman :
وَآمِنُواْ بِمَا أَنزَلْتُ مُصَدِّقاً لِّمَا مَعَكُمْ وَلاَ تَكُونُواْ أَوَّلَ كَافِرٍ بِهِ وَلاَ تَشْتَرُواْ بِآيَاتِي ثَمَناً قَلِيلاً وَإِيَّايَ فَاتَّقُونِ
Artinya:
“Dan berimanlah kamu kepada apa yang telah Aku turunkan (Al Qur’an) yang membenarkan apa yang ada padamu (Taurat), dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama kafir kepadanya, dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu harus bertaqwa.”
Di akhir ayat QS. Al Baqoroh (2) ayat 41 diberi penegasan dengan kata: “Fattaquuni” (فَاتَّقُونِ), yaitu “…hanya kepada Aku (Allooh) kamu harus bertaqwa”.
Demikian pula dalam Al Qur’an surat Al Baqoroh (2) ayat 281, maknanya adalah takutlah hanya kepada Allooh سبحانه وتعالى karena kelak di hari kiamat kita harus mempertanggung-jawabkan apa yang kita perbuat selama di dunia ini dihadapan Allooh سبحانه وتعالى :
وَاتَّقُواْ يَوْماً تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللّهِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ وَهُمْ لاَ يُظْلَمُونَ
Artinya:
“Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allooh. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya (dirugikan).”
Perhatikan juga firman Allooh سبحانه وتعالى dalam QS. Al-An’aam (6) ayat 15 :
قُلْ إِنِّيَ أَخَافُ إِنْ عَصَيْتُ رَبِّي عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ
Artinya:
“Katakanlah: ‘Sesungguhnya aku takut akan azab hari yang besar (hari kiamat), jika aku mendurhakai Tuhanku’.”
Jadi dengan kata lain adalah bermakna: “Takutlah kalian kepada suatu hari dimana hari itu kalian dikembalikan kepada Allooh”. Dan hari dimana kita dikembalikan kepada Alloohسبحانه وتعالى adalah: mati. Artinya kita harus takut jika kematian itu datang, maka amal shoolih apa yang sudah kita persiapkan untuk menghadapi kematian tersebut ? Karena kita tidak bisa lari dari kematian, apabila waktunya itu telah datang.
2) Taqwa dalam Al Qur’an bisa bermakna Taat kepada Allooh سبحانه وتعالى
Diartikan sebagai “Taat” atau “Ibadah”, seperti dalam Al Qur’an surat Ali ‘Imroon (3) ayat 102:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allooh dengan sebenar-benar Taqwa.”
Menurut Tafsir Ibnu ‘Abbas رضي الله عنه adalah “Taatlah kamu kepada Allooh dengan sebenar-benar taat.” (dalam ayat ini, maka Taqwa = Taat).
3) Taqwa dalam Al Qur’an bermakna membersihkan hati dari dosa
Perhatikanlah Al Qur’an surat An Nuur (24) ayat 52 :
وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَخْشَ اللَّهَ وَيَتَّقْهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ
Artinya:
“Dan barang siapa yang taat kepada Allooh dan Rosuul-Nya dan takut kepada Allooh dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan.”
Dalam ayat tersebut, disebutkan tiga kali dalam makna yang berbeda: Taat, Takut dan Bertaqwa. Adapun “bertaqwa” dalam hal ini adalah membersihkan hati dari dosa, seperti yang dijelaskan oleh syaikh Ahmad Farid dalam kitab beliau berjudul “At Taqwa”. Maka hakikat Taqwa bermakna: “Harus menghindarkan diri agar hati tidak dekat dengan dosa”. Dan itu sangatlah tidak mudah.
Setiap manusia itu tidak pernah lepas dari berpikir, akan tetapi janganlah pikirannya merupakan pikiran-pikiran yang buruk yang dapat mendatangkan dosa pada dirinya. Pikiran-pikiran itu harus dikendalikan. Oleh karena itu, menurut Al Imaam Al Ghodzaali رحمه الله tingkatan kualitas shoum itu ada tiga, yaitu :
a) Shoum tingkat pertama adalah shoum yang hanya mendapatkan lapar dan dahaga,
b) Shoum tingkat kedua adalah shoum dimana jasadnya tidak melakukan ma’shiyat,
c) Shoum tingkat ketiga adalah shoum dimana hati dan pikirannya pun tidak melayang melakukan dosa.
Pikiran dan hati agar tidak berdosa, adalah sangat tidak mudah. Pikiran itu inspirasinya berasal dari apa yang kita lihat dan kita dengar. Semakin banyak melihat dan mendengar, maka bisikan hati dan pikiran terlintas pada kita untuk berpikir sesuatu, maka tidak mustahil untuk berpikir perkara yang ma’shiyat.
Kedudukan Taqwa
Oleh para ‘Ulama disebutkan bahwa kedudukan Taqwa itu ada tiga peringkat:
1) Bertaqwa dengan membebaskan diri dari Syirik,
2) Bertaqwa dengan membebaskan diri dari Bid’ah,
3) Bertaqwa dengan membebaskan diri dari Ma’shiyat.
Contohnya perhatikanlah Al Qur’an surat Al Maa’idah (5) ayat 93 :
لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آمَنُواْ وَعَمِلُواْ الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُواْ إِذَا مَا اتَّقَواْ وَّآمَنُواْ وَعَمِلُواْ الصَّالِحَاتِ ثُمَّ اتَّقَواْ وَّآمَنُواْ ثُمَّ اتَّقَواْ وَّأَحْسَنُواْ وَاللّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Artinya:
“Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang shoolih karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertaqwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang shoolih, kemudian mereka tetap bertaqwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertaqwa dan berbuat kebajikan. Dan Allooh menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”
Taqwa peringkat pertama adalah membebaskan diri dari Syirik, maka kita harus menjauhkan diri dari perkara yang menyekutukan Allooh سبحانه وتعالى. Karena lawan dari Syirik adalah At Tauhiid. Berarti orang yang ber-Tauhid kepada Allooh سبحانه وتعالى adalah orang yang bertaqwa.
Taqwa peringkat kedua adalah menjauhkan diri dari Bid’ah. Jadi ketika ia beriman maka berikutnya ia harus berpegang hanya pada As Sunnah dan Al Jama’ah sebagaimana yang diperintahkan oleh Allooh سبحانه وتعالى dan Rosuul-Nya صلى الله عليه وسلم, dan ia tidak memiliki keyakinan yang lain, selain daripada Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Taqwa peringkat ketiga adalah dalam bermakna menjauhi perkara-perkara yang ma’shiyat, jadi ia selalu berusaha untuk berbuat kebaikan dan selalu berada dalam keadaan Istiqomah.
Itulah tiga peringkat yang menunjukkan kualitas dalam kedudukan Taqwa seseorang.
Derajat Kualitas Taqwa
Derajat atau tingkatan kualitas Taqwa adalah menjadi perkara yang harus kita usahakan, yaitu :
1) Berusaha agar kita tidak syirik (tidak menyekutukan Allooh سبحانه وتعالى)
Tidak ada syirik dalam diri kita. Kalau masih ada syirik dalam diri kita, maka kita belum bertaqwa kepada Allooh سبحانه وتعالى.Yang dimaksud syirik (menyekutukan Allooh سبحانه وتعالى), adalah sampai pada ketika kita sholat di shaf pertama, di sebelah kanan dari imam sholat, itulah shaf paling utama dimana kita dimintakan ampun oleh malaikat, termasuk shaf kelas satu. Ketika kita berada di shaf pertama itu, lalu muncul ada rasa bangga dalam hati kita, dan kemudian muncul rasa puas ketika ada orang yang menyebut-nyebut keutamaan diri kita berada di shaf pertama itu, maka itu sudah merupakan bagian dari syirik (kecil). Yang disebut dengan riya’ (syirik tersembunyi).
Contoh lainnya lagi, ketika kita bershodaqoh, lalu diumumkan lah oleh petugas penerima shodaqoh. Meskipun tidak disebutkan namanya, akan tetapi ketika diumumkan itu maka orang yang bershodaqoh muncul dalam dirinya rasa bangga; maka itupun termasuk riya’ (syirik yang tersembunyi).
Bila dilihat dari sisi Taqwa, maka hal yang demikian itu tidak boleh terjadi. Taqwa kita kepada Allooh سبحانه وتعالى harus berkualitas, membutuhkan keikhlasan yang tinggi. Dan itu tidak mudah. Maka Taqwa perlu kesungguhan dan kegigihan serta latihan.
2) Menjauhkan diri dari sesuatu yang bermakna dosa
Lihat Al Qur’an surat Al A’roof (7) ayat 96 :
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُواْ وَاتَّقَواْ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ وَلَـكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُواْ يَكْسِبُونَ
Artinya:
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”
Kalimat “beriman dan bertaqwa” ditafsirkan oleh ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz رضي الله عنه (Kholifah kelima) bahwa, “Taqwa adalah meninggalkan apa yang Allooh سبحانه وتعالى haromkan dan menunaikan apa yang difardhukan Allooh سبحانه وتعالى, apabila Allooh سبحانه وتعالى memberikan rizqy dan karunia. Maka itu adalah kebaikan dan kebajikan.”
Jadi beliau memahami bahwa yang dimaksud dengan Taqwa, secara global adalah meninggalkan apa yang diharomkan Allooh سبحانه وتعالى dan menunaikan apa yang diperintahkan oleh Allooh سبحانه وتعالى.
3) Membersihkan perkara yang membuat hati kita sibuk dengan sesuatu selain Allooh سبحانه وتعالى
Perhatikan Al Qur’an surat Aali ‘Imroon (3) ayat 102 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
Artinya:
“Hai orang yang beriman, bertaqwalah dengan sebenar-benar taqwa.”
Ini hal yang sangat sulit. Sampai-sampai para shohabat pun bertanya-tanya bagaimana tentang Taqwa yang “sebenar-benar Taqwa” itu kepada Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Karena mereka takut jika amalan mereka selama ini tidak masuk dalam kategori Taqwa. Maka ayat tersebut ditambahkan dengan ayat yang datang kemudian dalam QS. At Taghoobun (64) ayat 16 yaitu:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Artinya:
“Bertaqwalah kepada Allooh semampumu”.
Agar kita optimal dalam bertaqwa kepada Allooh سبحانه وتعالى, usahakan bagaimana caranya agar mulai dari hati, pikir, ucap, dan perilaku kita senantiasa dipadukan dengan pedoman Allooh سبحانه وتعالى. Ibarat orang berlalu-lintas, bila lampu lalu lintasnya merah berarti berhenti (stop), bila lampu lalu lintasnya hijau maka jalan lah. Jadi selalu ada indikator. Dan indikator itu ada pada hati (iman) yaitu Taqwa yang ada di dalam dada. Asal dari Taqwa bertitik-tolak pada hati. Jika hati kita bersih, penuh rasa takut kepada Allooh سبحانه وتعالى maka setiap saat kita selalu merasa dilihat, diperiksa, dimonitor dan diawasi oleh Allooh سبحانه وتعالى sehingga kita tidak berani sembarangan menggunakan fasilitas berupa badan kita ini semau diri kita sendiri. Semua harus dikendalikan sesuai dengan perintah Allooh سبحانه وتعالى.
Allooh سبحانه وتعالى berfirman dalam QS. An Nuur (24) ayat 30 :
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
Artinya:
“Katakanlah (Muhammad), kepada orang-orang mu’minin tundukkanlah pandangan mereka, peliharalah kemaluan mereka dan katakan kepada setiap perempuan beriman, agar mereka menundukkan pendangan mereka dan memelihara kemaluan mereka”.
Laki-laki dan perempuan diperintahkan untuk menjaga perkara itu.
Di zaman sekarang, menundukkan pandangan saja bukan perkara yang mudah. Karena wanita di zaman sekarang berada dimana-mana, bercampur aduk antara laki-laki dan perempuan di berbagai tempat, mulai dari angkot hingga ke kantor-kantor dan pasar-pasar. Lalu para wanita itu berpakaiannya bahkan tidak lebih sopan daripada laki-laki. Dapat dikatakan bahwa laki-laki lebih sopan dalam berpakaian dibandingkan sebagian dikalangan wanita yang membuka aurot tersebut. Karena sekitar 80% aurot laki-laki tertutup, sementara wanita di zaman sekarang bisa jadi hanya 30% dari aurotnya yang tertutup. Dan ini sengaja dipropagandakan oleh musuh-musuh Islam, diiklankan, dipajang di billboard yang besar-besar di tengah jalan sehingga menyulitkan bagi kaum Muslimin untuk menjalankan perintah Allooh سبحانه وتعالى dalam menundukkan pandangan. Padahal semua laki-laki yang normal pastilah tertarik kepada wanita. Dan wanita yang normal pun pastilah tertarik kepada laki-laki.
Lebih menyedihkan lagi, malah di zaman sekarang ini, kalau ada laki-laki bertemu wanita lalu mereka tidak berani saling menatap, malah mereka akan dikatakan pengecut, berlagak suci, kalah wibawa, dsbnya. Menunjukkan bahwa ukuran yang ada di zaman sekarang sama dengan yang ada di zaman Jahiliyyah. Padahal yang benar adalah: Bila bertemu lawan jenis, maka masing-masing harus menundukkan atau memalingkan pandangannya, karena hal itu adalah harom. Karena bila mata sudah tidak terkendali, maka syahwat pun menjadi tidak terkendali. Oleh karena itu, di zaman sekarang marak terjadi perselingkuhan atau kejahatan seksual dimana-mana. Hal ini pada dasarnya bermula dari saling berpandangan mata.
Maka Taqwa tingkat satu (paling bawah tingkatannya) adalah: Orang yang mengatakan bahwa yang penting dirinya tidak diadzab oleh Allooh سبحانه وتعالى. Dosa sedikit dianggapnya tidak mengapa, karena dianggapnya tidak abadi dalam neraka. Seolah-olah ia rela diadzab Allooh سبحانه وتعالى meskipun tidak abadi di neraka; padahal sesungguhnya adzab Allooh سبحانه وتعالى itu sangatlah pedih.
Taqwa tingkat kedua (tingkatannya lebih diatas lagi), ialah menjauhi perkara-perkara yang menjadikan dirinya berdosa. Ia berusaha untuk menghindarkan diri dari perbuatan dosa dan ia aktif dalam upaya melaksanakan Amar Ma’ruf Nahi Munkar.
Dan di zaman sekarang ini, orang menghindarkan diri dari dosa, adalah juga tidak mudah. Ada orang yang merasa bahwa usianya masih muda, sehingga ia pun mengatakan bahwa ibadah itu nanti saja kalau sudah tua, sudah pensiun, dsbnya. Asumsi demikian itu salah, karena kematian itu dapat datang kapan saja, tidak memandang usia tua maupun muda.
Maka marilah kita tingkatkan, jauhkan diri kita dari dosa. Tetapi kita tidak akan bisa melakukan hal itu, jika kita tidak tahu mana yang dosa dan mana yang bukan dosa. Indikator itu harus kita ketahui terlebih dahulu. Dan untuk mengetahuinya maka jawabannya adalah tuntutlah (ilmu) diin di pengajian-pengajian (Majlis Ta’lim), kunjungilah majlis ilmu, karena Ilmu Allooh-lah yang menjadi standar untuk menentukan mana perkara yang merupakan dosa (harom), dan mana perkara yang bukan dosa (halal). Yang menjelaskan itu adalah Syari’at Allooh سبحانه وتعالى.
Taqwa pada tingkat ketiga (tingkatan taqwa yang paling tinggi) adalah bagaimana agar men-sejajarkan antara fisik (lahir) dan batin kita. Bagaimana agar lahir dan batin kita tidak terjerembab (cenderung) kepada berpikir sesuatu yang menyalahi atau ma’shiyat kepada Allooh سبحانه وتعالى.
Maka marilah kita tingkatkan prestasi Taqwa kita sedikit demi sedikit, agar mudah-mudahan kelak kita dapat kembali kepada Allooh سبحانه وتعالى dalam keridhoan-Nya.
TANYA-JAWAB
Pertanyaan:
1) Mengenai Syirik, dan do’a menghindari Syirik, sampai dimana cakupannya yang diketahui dan yang tidak diketahui ?
2) Berkaitan dengan Maulid Nabi (Mauludan) di lingkungan masyarakat kita dan oleh banyak da’i dikatakan tentang “Nur Muhammad”. Mohon penjelasan tentang konsep “Nur Muhammad”.
Jawaban:
1) Do’a berlindung dari syirik adalah sebagai berikut:
اللهم إني أعوذ بك أن أشرك بك وأنا أعلم ، وأستغفرك لما لا أعلم
(Alloohumma innii a’uudzubika an usyrika bika wa ana a’lam wa astaghfiruka lima laa a’lam)
Artinya:
“Ya Allooh, sesungguhnya kami berlindung kepada-Mu dari menyekutukan-Mu dengan sesuatu yang kami mengetahuinya dan kami meminta ampun kepada-Mu terhadap apa yang kami tidak ketahui.”
Do’a diatas itu adalah sebagaimana dalam “Shohiih Al Jaami’ush Shoghiir” no: 3731, dari Shohabat Abu Bakar Ash Shiddiq رضي الله عنه, di-shohiih-kan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albaany, bahwa bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
الشركُ فيكم أخفى من دبيبِ النملِ ، و سأدلُك على شيءٍ إذا فعلتَه أذْهَبَ عنك صَغارُ الشركِ و كبارُه ، تقولُ : اللهمَّ إني أعوذُ بك أنْ أُشرِكَ بك و أنا أعلمُ ، و أستغفرُك لما لا أعلمُ . . .
Artinya:
“Syirik itu pada kalian lebih tersembunyi dari langkah semut. Dan aku akan tunjukkan padamu sesuatu yang jika engkau melakukannya, maka Allooh akan lenyapkan syirik kecil maupun besar. Engkau katakan: “Alloohumma innii a’uudzubika an usyrika bika wa ana a’lam wa astaghfiruka lima laa a’lam“ (“Ya Allooh, sungguh aku berlindung pada-Mu dari menyekutukan-Mu sedangkan aku mengetahuinya, dan aku memohon ampunan-Mu dari apa yang aku tidak ketahui)….”
Do’a itu dicontohkan dan diajarkan pula oleh Kholiifah kedua ‘Umar Ibnul Khoththoob رضي الله عنه, dan harus kita sadari bahwa ‘Umar bin Khoththoob رضي الله عنه demikian dalam pemahamannya, sehingga beliau sedemikian berhati-hatinya dan senantiasa mohon perlindungan kepada Allooh سبحانه وتعالى dari syirik, baik syirik yang disadari maupun syirik yang tidak disadari. Syirik yang diketahui maupun syirik yang tidak diketahui.
Maka kewaspadaan kita terhadap syirik harus ditingkatkan, agar ketajaman kita terhadap syirik bertambah. Sehingga kualitas Taqwa kita pun bertambah. Misalnya kita beramal bukan karena Allooh سبحانه وتعالى, tetapi karena orang, maka itu riya’. Demikian pula, kita meninggalkan amalan tertentu karena seseorang, itupun termasuk riya’. Dan riya’ adalah termasuk syirik, meskipun ia syirik asghor (syirik kecil). Tetapi itu tergolong syirik. Maka bila kita ber-amal-shoolih, hendaknya semata-mata karena Allooh سبحانه وتعالى. Hal seperti itu adalah contoh syirik yang sering tidak kita sadari (tidak kita ketahui).
2) Perkara “Mauludan”, sudah dijelaskan dalam kajian kita terdahulu bahwa Mauludan itu tidak ada tuntunannya dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Tidak pernah diajarkan atau dicontohkan sejak zaman Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, termasuk zaman para Shohabat maupun para Tabi’iin. Munculnya Mauludan adalah cukup “kesiangan”, yaitu di abad ke-7 Hijriyah, (600 tahun setelah Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم wafat). Seolah-olah Mauludan itu lalu dianggap sebagai suatu perkara yang baik. Mereka yang mengadakan peringatan Maulid itu seolah-olah lebih tahu dibandingkan para pendahulunya dari kalangan Shohabat, Tabi’iin dan Tabi’ut Tabi’iin). Padahal para pendahulu ummat ini (Shohabat, Tabi’iin dan Tabi’ut tabi’iin) itu lebih paham tentang Syari’at Islam, namun mereka tidak pernah mengadakan peringatan Maulid (Mauludan). Mauludan bahkan termasuk perkara munkar, karena merupakan bentuk tasyabbuh dengan orang Nashroni (yang merayakan Hari Natal). Jadi masyarakat jatuh kedalam perkara yang munkar itu adalah akibat kejahilannya terhadap diin ini.
Adapun tentang “Nur Muhammad”, yang artinya adalah “Cahaya Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم”. Kalau dipersepsikan bahwa “Nur Muhammad” itu adalah wahyu Allooh سبحانه وتعالى, atau sebagai Risaalah, ajaran yang dibawakan oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم; maka yang demikian itu bisa kita terima. Walaupun sebenarnya istilah tersebut (Nur Muhammad) tidaklah dikenal sebelumnya sehingga “Nur Muhammad” dalam hal ini adalah istilah dan terminologi baru.
Namun apabila “Nur Muhammad” diartikan sebagai “Cahaya Muhammad”, atau diartikan sebagai sikap kultus terhadap Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, karena menganggap bahwa Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم mengeluarkan sinar (cahaya), maka itu adalah pemahaman kebatinan, pemahaman Shufi, dan istilah “Nur Muhammad” yang seperti ini adalah tidak ada dalam pemahaman Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Dengan kata lain, itu adalah pemahaman yang menyimpang.
Bahkan diantara sikap kultus mereka adalah bahwa Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم itu memancarkan sinar. Sehingga sampai memunculkan istilah “Al Madinah Al Munawaroh” (Kota Madinah yang disinari oleh sinar Muhammad صلى الله عليه وسلم). Sebenarnya itu adalah bagian dari paham kebatinan, paham Shufi. Dan Shufi itu tidak ada pada zaman Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Karena menurut para ‘Ulama Ahlus Sunnah, penyebutan yang benar adalah Al Madinah An Nabawiyah (Kota Kenabian). Walloohu a’lam.
Pertanyaan :
1) Mohon penjelasan apakah yang dimaksud Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
2) Mohon penjelasan bahwa di luar Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah Bid’ah.
3) Bagaimanakah menyikapi Maulid Nabi?
4) Bagaimana menghindari Riya’?
Jawaban:
1) Ahlus Sunnah Wal Jama’ah artinya :
– “Ahlu” artinya “pengikut”.
– “Sunnah” artinya “Apa saja yang berasal dari Muhammad Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم”, bisa Al Qur’an bisa juga Hadits. “Jalan dan pedoman dari Muhammad صلى الله عليه وسلم” disebut “Sunnah”. “Apa saja yang terpancar dari Muhammad صلى الله عليه وسلم berupa perbuatan, perkataan, diamnya dan kepribadian beliau” adalah “Sunnah”.
Jadi “Ahlus Sunnah” adalah orang yang mengikuti semua ajaran Nabi Muhamamad صلى الله عليه وسلم.
“Al Jama’ah” seperti yang dijelaskan oleh Al Imaam Asy Syaa’thiby رحمه الله itu artinya adalah “Shohabat Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم”.
Dengan demikian, “Ahlus Sunnah Wal Jama’ah” artinya: “orang yang mengikuti apa saja yang berasal dari Muhammad Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dan yang berasal dari para shohabat beliau صلى الله عليه وسلم”.
Perhatikanlah sabda Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم berikut ini:
تفرقت اليهود على إحدى وسبعين أو اثنتين وسبعين فرقة والنصارى مثل ذلك وتفترق أمتي ثلاث وسبعين فرقة
Artinya:
“Sesungguhnya Bani Isroo’iil terpecah menjadi 72 golongan, dan akan terpecah ummatku menjadi 73 golongan, semuanya didalam Neraka kecuali satu golongan.”
Lalu para Shohabat bertanya: “Wahai Rosuulullooh, siapa dia?”
Beliau menjawab, “Yaitu mereka yang berada pada apa yang telah ditempuh olehku dan oleh Shohabatku.” (Hadits Riwayat Imaam At Turmudzy no: 2640, dari Abu Hurairoh رضي الله عنه dan dihasankan oleh Syaikh Al Albaany)
2) Bid’ah adalah kebalikan dari Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Termasuk pula “Al Firqoh” adalah kebalikan dari Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Bid’ah adalah menambah (yang baru) pada ajaran (Sunnah) Muhammad Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Bid’ah dengan demikian adalah di luar ajaran Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
3) Menyikapi masalah “Mauludan” anda tidak usah bingung, karena tidak ada satu dalil pun yang membuat hati kita menjadi tenang dan tenteram bahwa mencintai Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم itu adalah dilakukan dengan cara menyelenggarakan “Mauludan”. Tidak ada tafsir dari para shohabat, tabi’iin dan tabi’ut tabi’iin tentang Mauludan, kecuali dari mereka yang mengadakan Mauludan itu sendiri. Maka tidaklah menjadi indikator bahwa Mauludan adalah bentuk cinta Rosuul, lalu yang tidak menyelenggarakan Mauludan berarti tidak cinta Rosuul. Dalil demikian ini, tidak ada sama sekali. Maka anda tenang saja, tidak usah bingung, anda harus yakin.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Al Imaam Al Laalika’i رحمه الله dalam kitabnya “Syarah Ushuul I’tiqod Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah”, seorang Shohabat Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم yang bernama ‘Abdullooh bin Mas’uud رضي الله عنه berkata sebagai berikut:
الجماعة ما وافق الحق وإن كنت وحدك
Artinya:
“Yang dimaksud Al Jama’ah adalah orang yang (berada) diatas al Haq (kebenaran), betapapun (ia) sendirian”.
Jadi anda tidak usah bingung atau gentar, tenang saja; meskipun menepati sunnah (al haq) di zaman kita sekarang ini semakin terasing dan kita bisa jadi sendirian dalam kebenaran tetapi pada hakekatnya kita tetap berjama’ah bersama Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, shohabat, tabi’iin dan tabi’ut tabi’iin.
4) Cara bagaimana agar kita tidak Riya’, ialah meyakini bahwa tidak ada yang bisa memberi manfaat dan madhorot kecuali Allooh سبحانه وتعالى. Anda tidak bisa mengharap apa-apa dari orang. Paling-paling hanya pujian yang tidak ada manfatnya. Bahkan bila anda mengharapkan pujian dari orang, amalan anda di dunia menjadi hampa (hilang). Riya’ akan menghapus pahala. Misalnya membaca Al Qur’an itu karena senang dipuji orang, maka membacanya itu tidak akan mendapat pahala dari Allooh سبحانه وتعالى, karena gugur amalannya itu.
Kaidahnya, jika seseorang melakukan Syirik Akbar (Syirik Besar) maka syirik ini dapat menyebabkan seseorang murtad dan seluruh amalannya gugur; sedangkan bila seseorang melakukan Syirik Asghor (Syirik Kecil), meskipun tidak menjadikannya murtad namun paling tidak amalan (yang dilakukannya dengan Riya’ itu) akan menjadi sia-sia. Tidak ada yang bisa memberikan manfaat dan madhorot itu kecuali Allooh سبحانه وتعالى.
Camkanlah kaidah ini: “Jika Allooh memberi, tidak akan ada yang bisa menghalangi dan jika Allooh menghalangi, maka tidak ada yang bisa memberi.”
Pertanyaan:
Dijelaskan di atas bahwa Maulud Nabi diadakan setelah 600 tahun Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم wafat. Waktu itu umat Islam sudah banyak yang imannya melemah, barangkali para penyelenggara perayaan Maulud ketika itu bermaksud untuk mengingatkan kembali ajaran-ajaran Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم melalui peringatan Maulud Nabi صلى الله عليه وسلم.
Memang di zaman sekarang ini, adakalanya yang terjadi setelah itu adalah sikap berlebih-lebihan. Misalnya: setelah peringatan Maulud, malah bersholawat sambil mabuk-mabukan, dsbnya. Sehingga tidak pantas dilakukan seperti itu.
Tetapi sekiranya di bulan Rabi’ul Awwal ini kita melakukan peringatan Maulud benar-benar hanya semata-mata untuk mengingatkan kembali apa yang dibawakan oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, terutama kepada generasi muda, karena mereka banyak yang belum memahami, nah yang seperti itu bagaimana?
Jawaban:
Kategori Bid’ah tidak kurang dari 6 (enam) kriterianya. Diantaranya adalah: memunculkan suatu amalan dengan motivasi sebab yang tidak disyari’atkan, maka itu termasuk kategori Bid’ah. Maka apabila kita mengadakan sesuatu perkara yang baru dengan memasukkan sebab, dimana sebab itu tidak syar’i (tidak disyari’atkan), maka itu adalah Bid’ah.
Kalau substansinya itu adalah agar orang bercermin, mencontoh, menjadikan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم menjadi figur (teladan), maka tidak boleh dengan cara yang tidak sesuai Syari’at. Lakukanlah amalan yang sesuai dengan syari’at. Misalnya: dengan Ta’lim (pengajian), adakan suatu pengajian berkala dimana temanya betul-betul mendidik generasi muda bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم sebagai pemimpin itu seperti apa. Beliau sebagai pemuda itu seperti apa, beliau sebagai suami itu seperti apa, dan seterusnya. Semua itu disampaikan kepada umat. Maka umat akan bercermin, mencontoh kehidupan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Karena apabila yang dilakukan dalam acara Maulud itu berupa sholawatan, Ratiban, yang semuanya itu ditujukan sebagai kultus terhadap Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, maka yang demikian itu adalah tidak bisa dibenarkan.
Maka hendaknya ketika mengingat kembali ajaran Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم adalah gunakan media yang syar’i, janganlah menggunakan media yang tidak syar’i. Karena kita tidak boleh meninggikan “Laa ilaaha illallooh” dengan cara selain syari’at Allooh berkenaan dengan perkara “Laa ilaaha illallooh”. Dan tidak boleh pula membantah Bid’ah dengan Bid’ah yang lain. Bantahlah Bid’ah itu dengan Sunnah, maka barulah benar caranya.
Maka kita tentunya menyikapinya dengan Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, bahwa sepanjang hayat kita, Siroh Nabawiyah (Sejarah Nabi) itu merupakan bagian yang seharusnya tertanam dalam generasi muda kita. Seperti misalnya adakan semacam kajian yang temanya “Meneladani Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم”, dimana di situ dikaji secara rutin mulai dari awal tentang siapa itu Rosuul, sebelum menjadi Rosuul bagaimana, sesudah menjadi Rosuul bagaimana, dan seterusnya.
Itu adalah bagian dari upaya bagaimana agar ajaran, akhlak dan kepribadian serta Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم diketahui oleh kaum muslimin dan kemudian menjadi karakter yang diadopsi dalam kehidupan kaum muslimin. Tetapi janganlah berniat mendidik umat namun dengan menggunakan cara yang tidak disunnahkan oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم sendiri.
Menjadikan bulan Rabi’ul awwal sebagai waktu perayaan Maulud, itupun tidak ada dalilnya. Karena para ‘Ulama tidak ada yang sepakat bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم lahir pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal. Tidak ada yang sepakat. Diperselisihkan oleh para ‘Ulama tentang kapan lahirnya Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم. Maka tidak bisa dikatakan bahwa bulan Rabi’ul Awwal adalah Maulud Nabi.
Semestinya bila kita hendak mengenang Rosuululloohصلى الله عليه وسلم maka hendaknya dilakukan sepanjang masa, sepanjang hayat, bukan hanya sebatas pada tanggal tertentu saja mengenangnya.
Sekian bahasan kita kali ini, mudah-mudahan bermanfaat. Dan kita tutup dengan do’a Kaffaratul Majlis:
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْك
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Jakarta, Senin malam, 23 Rabi’ul Awwal 1431 H – 8 Maret 2010 M.
——- 0O0 ——-
Silahkan download PDF: at-taqwa-bagian-2-aqi-080310-fnl