At-Taqwa (bagian-1)
(Transkrip Ceramah AQI 220210)
AT TAQWA (bagian-1)
Oleh: Ustadz Achmad Rofi’i, Lc.
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allooh سبحانه وتعالى,
Bahasan kali ini adalah tentang cara lain untuk menuju surga Allooh سبحانه وتعالى. Selain “Laa Ilaaha Illallooh”, maka diantara cara menuju surga, salah satunya adalah: “At Taqwa”. Secara global, kalau kita membahas tentang “At Taqwa” maka tidak kurang dari beberapa perkara di bawah ini yang perlu dibahas :
1) Muqoddimah,
2) Pemahaman para ’Ulama tentang makna taqwa,
3) Taqwallooh dalam Al Qur’an,
4) Hakikat taqwa,
5) Kedudukan taqwa,
6) Urgensi taqwa,
7) Keutamaan taqwa,
8) Sifat-sifat orang yang bertaqwa,
9) Buah dan hasil bertaqwa.
Kalau kita bisa mengetahui dan menghayati perkara-perkara tersebut dan bisa menghidupkan maknanya serta mafhum hakikat Taqwa dalam kehidupan kita, maka jaminan-nya adalah “Al Jannah” (Surga). Yang menjaminnya adalah Allooh سبحانه وتعالى.
Masalahnya adalah: Sejauh mana kita bisa “berjual-beli” dengan Allooh سبحانه وتعالى dalam perkara “Taqwa” itu.
Kita tengok pernyataan Al Imaam Al Ghodzaali رحمه الله dalam Kitab beliau yang berjudul “Ihyaa ‘Ulumuddiin” sebagai berikut :
“Taqwa adalah “Kanzun ‘Adziimun” (simpanan berharga). Harta terpendam yang sangat bernilai. Jika engkau bisa meraih derajat Taqwa, berapa banyak engkau akan memperoleh di dalamnya “Jauhar” (permata yang mulia), kebaikan yang banyak, bahkan rizqi yang murah datang kepadamu. Seolah-olah kebaikan dunia dan akhirat terkumpul di dalam Taqwa. Yang demikian itu dimasukkan dalam satu karakter, dimana ia bertaqwa kepada Allooh سبحانه وتعالى. Renungkanlah apa yang ada dalam Al Qur’an, berapa banyak kebaikan, semuanya dikaitkan dengan Taqwa, tidak bisa dipisah-pisahkan. Berapa banyak Allooh berjanji dan janji-Nya itu berupa kebajikan dan pahala yang besar kepada kita, jika kita bertaqwa kepada Allooh سبحانه وتعالى. Dan berapa banyak keterkaitan kebahagiaan itu terpaku pada Taqwa. Bila kita bertaqwa, maka kita akan bahagia.”
Demikianlah pernyataan dari Al Imaam Al Ghodzaali رحمه الله.
Maka marilah kita lihat betapa Taqwa itu adalah merupakan berita gembira, sebagaimana yang disebutkan dalam Al Qur’an surat Thoha (20) ayat 132 :
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقاً نَّحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى
Artinya:
“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan sholat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rizqi kepadamu, kamilah yang memberi rizqi kepadamu dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertaqwa.”
Dalam bahasa Indonesia, “akibat” artinya “nilai akhir”. Jadi menurut Allooh سبحانه وتعالى, bahwa “akibat” (nilai akhir) yang akan diraih oleh manusia adalah karena “bertaqwa” dan untuk “orang-orang yang bertaqwa”. Semua yang Allooh سبحانه وتعالى janjikan itu adalah untuk mereka orang yang bertaqwa. “Taqwa”-lah yang menjadi kunci kebahagiaan dan kesuksesan.
Sedangkan dalam Al Qur’an surat Az Zukhruf (43) ayat 35 difirmankan sebagai berikut:
وَزُخْرُفاً وَإِن كُلُّ ذَلِكَ لَمَّا مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةُ عِندَ رَبِّكَ لِلْمُتَّقِينَ
Artinya:
“Dan (kami buatkan pula) perhiasan-perhiasan (dari emas untuk mereka) dan semuanya itu tidak lain hanyalah kesenangan kehidupan dunia, dan kehidupan akhirat itu di sisi Tuhanmu adalah bagi orang-orang yang bertaqwa.”
Bayangkan, semua isi akhirat yang bermakna baik, Allooh سبحانه وتعالى khususkan bagi mereka orang yang bertaqwa. Kalau orang ketika hidup di dunia itu susah, serba kekurangan, lalu di akhirat juga susah (masuk neraka), maka ia sungguh-sungguh orang yang merugi.
Kalau saja ketika hidup di dunia ini, ia susah (serba kekurangan, miskin) tetapi ketika di akhirat senang ia bahagia (masuk surga) maka itu adalah keberuntungan.
Maka marilah kita yakin dengan janji Allooh سبحانه وتعالى, bahwa semua orang yang bertaqwa akan diberikan semua isi akhirat (surga). Akhirat yang dimaksud adalah yang bermakna Surga, Haudh, Syafaa’ah, dan semua yang merupakan kebaikan di akhirat itu akan Allooh سبحانه وتعالى berikan kepada orang yang bertaqwa.
Dalam Hadits Riwayat Al Imaam At Turmudzy no: 2004, dari Shohabat Abu Hurairoh رضي الله عنه, beliau berkata bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم ditanya:
عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ الْجَنَّةَ فَقَالَ « تَقْوَى اللَّهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ ». وَسُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ فَقَالَ « الْفَمُ وَالْفَرْجُ
Artinya:
“Ya Rosuulullooh, apakah yang paling banyak menyebabkan manusia masuk neraka dan apa yang paling banyak menyebabkan manusia masuk surga?”.
Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم menjawab: “Yang banyak menyebabkan manusia masuk surga adalah taqwa kepada Allooh dan berakhlak baik, sedangkan yang banyak menyebabkan manusia masuk neraka adalah mulut dan kemaluan”.
Apakah “Taqwa” itu?
Kata “Taqwa” berasal dari kata: Waqoo (وقى) – Yaqii (يقى) – Wiqooyatan (وقاية).
Juga berasal dari kata: Al Wiqoo (الوقاء) – Ittiqoo (الاتقاء) – Tuqyah (تقية) – At Taqwa (تقوى).
Semuanya sama maknanya.
Dengan demikian, “Taqwa” secara bahasa Arab berarti:
1) Al Hifdzu (memelihara, menjaga)
2) Ash Shiyaanah (merawat, men-service, memperbaiki)
3) Al Hadzar (waspada, hati-hati)
4) Al Wiqooyah (pencegahan)
Kalau saja kita bisa mengingat arti “Taqwa” secara bahasa saja, maka sebenarnya kita bisa mengendalikan diri, yaitu:
1) Mencegah, yaitu: mencegah diri kita dari segala apa-apa yang menyalahi Syari’at Allooh سبحانه وتعالى.
2) Memelihara, yaitu: memelihara hati serta anggota tubuh kita: mulut, hidung, mata, telinga, tangan dan kaki kita; agar tidak melampaui apa yang menjadi ketetapan Allooh سبحانه وتعال.
3) Memperbaiki, yaitu: bila selama ini kita merasa belum optimal mengabdi kepada Allooh سبحانه وتعالى, atau masih melanggar apa-apa yang dilarang Allooh سبحانه وتعالى, maka segeralah memperbaiki diri.
4) Waspada, hati-hati, yaitu: bila kita masih diberi hidup oleh Allooh سبحانه وتعالى, maka gunakanlah umur dan sisa hidup kita kedepan untuk senantiasa berusaha untuk waspada, agar tidak melanggar apa-apa yang dilarang Allooh سبحانه وتعالى.
Beberapa perkataan para ‘Ulama Ahlus Sunnah tentang “Taqwa”
1) Abu Hurairoh رضي الله عنه ditanya tentang “Taqwa”, maka beliau menjawab, “Pernahkah kamu melewati jalan yang penuh duri? Kalau pernah, apa yang engkau perbuat?”
Dijawab, “Aku akan mencari jalan lain, atau akan aku batalkan perjalanan atau aku mempercepat perjalanan.”
Kata Abu Hurairoh رضي الله عنه, “Itulah yang disebut Taqwa, yaitu engkau hindari duri-duri itu, atau engkau lalui dengan segera, atau engkau mempercepat jalanmu.”
2) Seorang ‘ulama Ahlus Sunnah bernama Ibnul Mu’tamar رحمه الله telah menuliskan sebuah syi’ir (puisi) tentang “Taqwa”.
Sebagai pengetahuan bagi kita kaum muslimin, sebenarnya yang dimaksud dengan “nasyid” itu adalah “membaca puisi (sajak) dalam bahasa Arab”, dan bukan menyanyi sebagaimana yang dipahami oleh sebagian kalangan kaum Muslimin di negeri kita. Jadi “Nasyid” adalah membaca sajak, dan bukan menyanyi.
Berikut ini adalah syi’ir (sajak) dari Ibnul Mu’tamar رحمه الله :
“Hindarkan dirimu dari dosa, baik dosa kecil maupun dosa besar, itulah Taqwa.
Lakukan seperti orang yang berjalan di atas bumi yang penuh dengan duri,
Berhati-hati terhadap apa yang dilihat,
Jangan engkau sepelekan dosa kecil,
Sungguh gunung yang besar itu berawal dari kerikil.
Hendaknya seorang hamba mengetahui apa yang harus ia hindari, lalu ia hindari.”
3) Kemudian terdapat pula pernyataan dari ‘Ulama Ahlus Sunnah bernama Ma’ruf Al Kurkhy رحمه الله yang meriwayatkan dari Bakr Al Hunais رحمه الله, beliau berkata, “Bagaimana seseorang bisa menjadi orang yang bertaqwa, apa yang harus ia hindari?”
Ma’ruf Al Kurkhy رحمه الله pun menjawab:
“Kalau kamu tidak bisa bertaqwa, maka kamu akan memakan riba.
Kalau kamu tidak bisa bertaqwa, maka kamu akan menemui wanita (– yang bukan mahromnya – pen.), lalu kamu tidak menundukkan pandanganmu.
Kalau kamu tidak bisa bertaqwa, (maka) kamu akan metelakkan pedangmu pada lehermu.”
Artinya, kalau ada orang yang mau memakan riba, berarti orang itu tidak bertaqwa kepada Allooh سبحانه وتعالى. Dan orang yang apabila bertemu dengan wanita, lalu matanya melihat wanita itu dengan sebebas-bebasnya (maksudnya: melotot memandang wanita yang bukan mahromnya), maka berarti ia tidak bertaqwa. Karena “menundukkan pandangan” itu maksudnya adalah “memalingkan muka”.
Dalam Hadits Riwayat Al Imaam Abu Daawud no: 2151, dishohiihkan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albaany dalam “Shohiih Sunnan Abu Daawud” no: 1865, dari Shohabat Buraidah رضي الله عنه, bahwa Rosuululllooh صلى الله عليه وسلم bersabda kepada Ali رضي الله عنه,
يَا عَلِيُّ لَا تُتْبِعِ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ فَإِنَّ لَكَ الْأُولَى وَلَيْسَتْ لَكَ الْآخِرَةُ
Artinya:
“Wahai Ali, janganlah engkau turutkan pandangan (pertama) dengan pandangan (kedua), karena engkau berhak (tidak berdosa) pada pandangan (pertama), tetapi tidak berhak pada pandangan (kedua).”
Jadi kalau orang tidak bertaqwa kepada Allooh سبحانه وتعالى, maka justru wanita yang bukan miliknya dan bukan istrinya lah yang akan dinikmati oleh pandangannya. Berbeda dengan orang yang bertaqwa kepada Allooh سبحانه وتعالى, yang akan berusaha untuk menjaga pandangannya.
Adapun pedang bagi orang yang bertaqwa adalah disangkutkannya di pinggang, atau untuk memenggal leher orang kaafir yang memerangi kaum muslimin. Kalau diletakkan di leher sendiri, itu berarti ia bunuh diri. Dengan demikian, orang yang tidak bertaqwa itu berarti sama dengan akan membunuh dirinya sendiri.
4) Berikutnya adalah ‘Ulama Ahlus Sunnah lainnya yang bernama Sulaiman Ibnul Mughiiroh رحمه الله, dimana beliau ini hidup di zaman Tabi’iin; beliau membuat suatu syi’ir sebagai berikut:
“Melakukan dosa lalu menyepelekan dosa itu, lalu ia melihat dalam mimpinya:
Ya Sulaiman, janganlah kamu menyepelekan dosa kecil,
Sebab dosa kecil kelak akan menjadi besar.
Sesungguhnya dosa kecil bila dilakukan terus-menerus,
Maka di sisi Allooh akan dicatat dan tidak disia-siakan.
Maka kalahkan hawa-nafsumu dari melakukan perkara yang sia-sia.
Jangan termasuk orang yang susah dikendalikan.
Dan singsingkan lengan bajumu .
Sesungguhnya orang yang mencintai itu, jika ia benar cinta kepada Allooh,
Maka hatinya akan terbang dan pikirannya akan berpikir dengan sungguh-sungguh.
Maka mintalah kepada Allooh petunjuk,
Sehingga kamu akan merasa cukup kepada Allooh
Sebagai Pemberi Petunjuk dan sebagai Pemberi Pertolongan.”
5) Al Imaam Ahmad bin Hanbal رحمه الله, berkata: “Taqwa adalah engkau tinggalkan apa yang engkau cenderungi, terhadap sesuatu yang engkau takuti.”
Artinya, taqwa itu adalah meninggalkan sesuatu yang kita cenderungi yaitu hawa-nafsu, dan memilih untuk menghadapkan diri kita kepada sesuatu yang kita takuti yaitu Allooh سبحانه وتعالى.
Yang kita cenderungi itu adalah hawa nafsu, misalnya: rumah bagus, mobil mewah, wanita cantik, harta melimpah, jabatan tinggi, popularitas dstnya. Termasuk yang dicenderungi oleh manusia adalah: ingin bebas, tanpa ikatan; dan bersikap semaunya sendiri. Orang yang mempropagandakan Hak Azasi Manusia, maka ia adalah termasuk orang yang ingin bersikap semaunya sendiri. Ia lupa bahwa hidup ini adalah untuk beribadah dan bertaqwa kepada Allooh سبحانه وتعالى; yang tentunya tidak akan lepas dari apa yang telah dituntunkan oleh sang Pencipta manusia itu untuk kebaikan dunia akhiratnya. Berarti ada Hak Allooh سبحانه وتعالى yang harus ia patuhi, bukan hanya semata-mata Hak Azazi Manusia belaka.
Bayangkan, bahkan perkara ma’shiyat pun dianggapnya sebagai Hak Azazi Manusia. Pornography, minum khomr, merokok, dll itu seringkali pembelaannya diperjuangkan melalui Hak Azazi Manusia, sekalipun ia menyalahi Syari’at Allooh سبحانه وتعالى. Namun mereka berdalih bahwa itu Hak Azazi Manusia. Padahal ketika berbagai perkara ma’shiyat itu justru dikembangkan maka pada dasarnya hal itu akan menurunkan derajat manusia ke dalam dunia hewan, bukan lagi ke dalam dunia manusia yang mulia. Na’uudzu billaahi min dzaalik.
6) Ali bin Abi Tholib رضي الله عنه berkata bahwa “Taqwa” itu ada empat perkara :
a) Takut kepada Allooh سبحانه وتعالى.
b) Ridho (menerima) apa-apa yang Allooh سبحانه وتعالى turunkan, yaitu Al Qur’an dan As Sunnah, serta mengamalkannya.
c) Qona’ah (merasa cukup) dengan karunia Allooh سبحانه وتعالى, walaupun sedikit.
d) Isti’dad, mempersiapkan diri menuju hari kematian dengan beramal shoolih sesuai yang di-syari’atkan Allooh سبحانه وتعالى.
7) Seorang ‘Ulama Ahlus Sunnah berkata bahwa: “Taqwa adalah bahwa ketika Allooh melarang, maka Allooh tidak melihatmu. Dan Allooh tidak kehilanganmu, ketika Allooh memerintahkanmu.”
Maksudnya, ketika Allooh سبحانه وتعالى melarang, maka Allooh سبحانه وتعالى tidak melihat kita (dalam perkara yang dilarang-Nya itu). Contoh: Allooh سبحانه وتعالى melarang riba, maka orang yang bertaqwa itu adalah orang yang Allooh سبحانه وتعالى tidak melihatnya dalam perkara riba. Contoh lain: Allooh سبحانه وتعالى melarang judi, maka orang yang bertaqwa itu adalah orang yang Allooh سبحانه وتعالى tidak melihatnya bermain judi.
Kemudian maksud dari “Ketika Allooh سبحانه وتعالى memerintahkanmu, maka Allooh سبحانه وتعالى tidak kehilanganmu (dalam perkara yang diperintahkan-Nya itu). Contoh: Allooh سبحانه وتعالى memerintahkan sholat lima waktu kepada kita, maka kita selalu ada dalam sholat lima waktu itu.
Dengan kata lain, dalam perkara yang dilarang Allooh سبحانه وتعالى, maka orang yang bertaqwa itu tidak akan ada di situ; dan dalam perkara yang diperintah Allooh سبحانه وتعالى, maka orang yang bertaqwa itu berusaha untuk selalu ada di situ.
Tetapi sayangnya, bahkan tak jarang ada khotib-khotib di mimbar Jum’at yang walaupun ia selalu menyerukan: “Saya ber-wasiat kepada diriku dan kepada anda semua (jama’ah), agar ber-taqwa kepada Allooh سبحانه وتعالى.”
Tetapi tidak sedikit diantara khotib itu yang tidak paham tentang apa yang dikhotbahkannya; bahwa ber-taqwa maknanya adalah menjalankan perintah Allooh سبحانه وتعالى dan menjauhi larangan Allooh سبحانه وتعالى. Tak jarang khotbahnya menyalahi Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, demikian pula sholatnya pun menyalahi Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم; sehingga pada dasarnya sang khotib sendiri pun tidak paham perkara apa yang harus dijauhinya dan perkara apa yang harus dikerjakannya. Ini adalah hal yang perlu dibenahi di negeri kita ini, agar kualitas dakwah pun dapat semakin hari semakin baik. Dan kualitas ummat Islam-nya pun mudah-mudahan ke depannya semakin baik pula.
Taqwa itu memang mudah diucapkan, tetapi dalam pelaksanaannya adalah perlu pembiasaan, serta perlu pendidikan. Perlu adanya hukuman ketika melanggar, dan perlu diberi hadiah sebagai apresiasi dari suatu ketaatan (kepada Allooh سبحانه وتعالى). Jadi dibutuhkan perbaikan terus menerus untuk perjalanan menggapai makna “Taqwa” itu.
Hakikat Taqwa
Pada hakikatnya taqwa adalah mengerjakan ketaatan terhadap Allooh سبحانه وتعالى berlandasan kepada Iman, karena berharap pahala / ganjaran dari Allooh سبحانه وتعالى dalam perkara yang diperintah maupun yang dilarang.
Orang tersebut mengerjakan apa yang Allooh سبحانه وتعالى perintahkan dengan Iman, bahwa perintah itu adalah perintah Allooh سبحانه وتعالى dan ia membenarkan akan janji Allooh سبحانه وتعالى. Bila Allooh سبحانه وتعالى memerintahkan, yakinilah bahwa itu benar adanya, dan benar pula bahwa Allooh سبحانه وتعالى akan memberikan kepada kita pahala dan balasan.
Bila seseorang tidak melaksanakan amalan shoolih, atau terbebani (terpaksa) dalam beramal shoolih; maka itu adalah karena ia belum beriman kepada Allooh سبحانه وتعالى dengan benar. Orang yang sudah benar dalam beriman kepada Allooh سبحانه وتعالى, maka ia akan membenarkan bahwa bentuk konsekuensi dari ketaqwaannya itu adalah dengan mengakui dan menerima Syari’at Allooh سبحانه وتعالى.
Kalau ada orang mengaku beriman dan bertaqwa kepada Allooh سبحانه وتعالى, tetapi ia memiliki keyakinan bahwa ia boleh meninggalkan syari’at Allooh سبحانه وتعالى, mengingkari syari’at-Nya, bahkan menukar syari’at-Nya dengan Hukum buatan manusia; maka orang yang demikian itu pengakuan taqwanya adalah palsu belaka.
“Taqwa” dalam artian kedua adalah meninggalkan apa-apa yang dilarang oleh Allooh سبحانه وتعالى dengan beriman bahwa itu adalah larangan Allooh, lalu ia takut dengan ancaman Allooh سبحانه وتعالى.
Perintah bertaqwa itu adalah langsung dari Allooh سبحانه وتعالى. Perhatikanlah Al Qur’an surat An Nisaa’ (4) ayat 1:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيراً وَنِسَاء وَاتَّقُواْ اللّهَ الَّذِي تَسَاءلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيباً
Artinya:
“Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allooh menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allooh memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allooh yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrohim. Sesungguhnya Allooh selalu menjaga dan mengawasi kamu.”
Kemudian perhatikan pula Al Qur’an surat Aali ‘Imroon (3) ayat 102 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allooh sebenar-benar taqwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.”
Juga dalam Al Qur’an surat Al Ahzaab (33) ayat 70 – 71, Allooh سبحانه وتعالى berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيداً
Artinya:
(70) “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allooh dan katakanlah perkataan yang benar,”
يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَن يُطِعْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزاً عَظِيماً
(71) “Niscaya Allooh memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allooh dan Rosuul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.”
Kemudian Allooh سبحانه وتعالى mengancam orang-orang yang tidak bertaqwa itu dalam QS. Aali ‘Imroon (3) ayat 131 :
وَاتَّقُواْ النَّارَ الَّتِي أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ
Artinya:
“Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kaafir.”
Ayat tersebut (QS. Aali ‘Imroon (3) ayat 102) sudah seringkali kita dengar. Minimal setiap Jum’at selalu disampaikan oleh Khotib sholat Jum’at. Artinya, dalam satu tahun sebanyak limapuluh dua kali diperdengarkan (diucapkan) oleh para Khotib sholat Jum’at.
Kalau ada diantara kita yang sudah mencapai usia 60 tahun, berarti sudah lebih dari 1000 kali ia mendengar ayat tersebut dibacakan. Kalau kita belum menjadi orang bertaqwa juga, maka mungkin hati kita yang tertutup, atau mungkin ada kesalahan dalam penyampaian dan penjelasan ayat tersebut, atau mungkin ada sebab yang lain.
Di dalam ayat-ayat tersebut kita kaum Muslimin diperintahkan untuk “bertaqwa dengan sebenar-benar taqwa”.
Ancaman Allooh سبحانه وتعالى dalam ayat lainnya adalah dalam QS. Al Baqoroh (2) ayat 281 sebagai berikut :
وَاتَّقُواْ يَوْماً تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللّهِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ وَهُمْ لاَ يُظْلَمُونَ
Artinya:
“Dan peliharalah dirimu dari (adzab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allooh. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedangkan mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).”
Juga peringatan agar kita bertaqwa kepada Allooh سبحانه وتعالى yang kepadanya kelak kita ini akan dikumpulkan kembali oleh-Nya sebagaimana dalam Al Qur’an surat Al Maa-idah (5) ayat 96 sebagai berikut :
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعاً لَّكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ وَحُرِّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ الْبَرِّ مَا دُمْتُمْ حُرُماً وَاتَّقُواْ اللّهَ الَّذِيَ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
Artinya:
“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. dan bertaqwalah kepada Allooh yang kepada-Nya lah kamu akan dikumpulkan.”
Dan dalam Al Qur’an surat Al Hasyr (59) ayat 18, Allooh سبحانه وتعالى kembali memperingatkan :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allooh dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertaqwalah kepada Allooh, sesungguhnya Allooh Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Demikianlah dari sekian banyak ayat dalam Al Qur’an dimana Allooh memerintahkan kita agar kita bertaqwa, berhati-hati, dan selalu berada di atas Syari’at Allooh سبحانه وتعالى.
Al Imaam Ath Tholq bin Habib رحمه الله berkata dalam Kitab berjudul “At Taqwa” halaman 11, sebagai berikut : “Jika terjadi fitnah, maka padamkan (hentikan) fitnah itu dengan Taqwa.”
Lalu orang-orang bertanya: “Apa yang dimaksud dengan Taqwa?”
Al Imaam Ath Tholq رحمه الله pun menjawab:
1) “Engkau beramal karena taat kepada Allooh سبحانه وتعالى, diatas cahaya (pedoman) yang berasal dari Allooh سبحانه وتعالى.
2) Karena engkau berharap pahala (ganjaran) dari Allooh سبحانه وتعالى.
3) Engkau tinggalkan ma’shiyat karena Allooh سبحانه وتعالى, diatas cahaya (pedoman) yang berasal dari Allooh سبحانه وتعالى.
4) Karena engkau takut kepada hukuman Allooh سبحانه وتعالى.”
Itulah yang dinamakan “Taqwa”. Itulah perkara yang harus kita introspeksi dalam berbagai perkara kehidupan sehari-hari kita. Tak jarang diantara kaum Muslimin ada yang terlalu berlebihan, sehingga memahami “Taqwa” hanyalah dengan menggunakan logika (rasio) saja, cohtohnya: Bisa dipahami atau tidak, masuk akal atau tidak, sesuai dengan perasaan atau tidak, sesuai dengan ke-umuman manusia atau tidak, sesuai dengan pendapat mayoritas orang atau tidak, dstnya. Marilah logika yang demikian itu kita tinggalkan, marilah kita kembali kepada pengertian menurut para ‘Ulama Ahlus Sunnah bahwa kita mengabdi kepada Allooh سبحانه وتعالى itu hendaknya adalah dengan menggunakan pedoman yang berasal dari Allooh سبحانه وتعالى saja. Ketika hendak beramal, maka beramal lah dengan pedoman yang Allooh سبحانه وتعالى berikan. Ketika hendak meninggalkan ma’shiyat, maka tinggalkanlah ma’shiyat itu juga dengan pedoman yang Allooh سبحانه وتعالى berikan.
Contoh dalam perkara riba, maka hentikanlah riba itu dengan kita bertaqwa kepada Alloohسبحانه وتعالى; dan gantilah sistem ribawi itu dengan sistem ekonomi yang sesuai syari’at Islam. Demikian pula bila ada wanita yang masih membuka aurot-nya, maka hentikanlah ma’shiyat itu dengan bertaqwa kepada Allooh سبحانه وتعالى dengan memakai Jilbab, dan berbagai contoh lainnya.
Al Imam Al Ghodzaali رحمه الله berkata dalam Kitab yang berjudul “At Taqwa” halaman 12 : “Ketahuilah olehmu, mudah-mudahan engkau diberikan keberkahan dalam diin-mu dan Allooh tambahkan keyakinanmu.”
Selanjutnya beliau berkata:
“Bahwa Taqwa, menurut guru-guru kami adalah: “Engkau membersihkan hati dari dosa yang belum pernah engkau lakukan seperti itu, sehingga engkau mendapatkan kekuatan dan kemauan yang tinggi untuk meninggalkannya serta mencegah dirimu dari ma’shiyat.”
Maksudnya, bahwa “Taqwa” adalah kita hendaknya mempunyai upaya yang gigih dan serius untuk membersihkan dan membebaskan diri kita dari suatu dosa; yang belum pernah kita lakukan seperti itu. Dan itu dilakukan dengan cara: memperkuat kemauan (azam) agar kita jauh dari dosa tersebut. Kalau hal ini dikerjakan, maka dosa-dosa yang belum pernah kita lakukan tidak akan terjadi. Karena dosa-dosa yang lalu akan terhapus dengan cara bertaubat; sementara dosa yang akan datang (akan terhindarkan) dengan cara kita tidak pernah mendekatinya karena kita punya kemauan yang kuat untuk menghindarkan diri daripadanya.
Demikian itulah yang dimaksud oleh Al Imaam Al Ghodzaali رحمه الله.
Adapun Al Imaam Hasan Al Basri رحمه الله dalam Kitab “At Taqwa” halaman 15, beliau menjelaskan bahwa wujud gambaran Taqwa yang konkrit adalah jika taqwa itu selalu ada (melekat) karakternya pada orang yang disebut “Bertaqwa kepada Allooh”, yakni selama ia banyak meninggalkan perkara yang halal karena ia takut terjerembab dalam perkara yang haram.
Maksudnya, barang itu halal, tetapi diusahakan agar tidak banyak dinikmati, karena khawatir terlalu banyak menikmati yang halal, lalu kepada yang haram pun menjadi penasaran, ingin mencoba-nya. Dengan kata lain, meski halal sekali pun, tetap dikendalikan, tidak berlebihan.
Perkataan Shohabat ‘Abdullooh bin Mas’uud رضي الله عنه dalam Kitab “Tafsir Ibnu Katsiir” (3/130), ketika menafsirkan QS. Aali ‘Imroon (3) ayat 102, maka ‘Abdullooh bin Mas’uud رضي الله عنه menafsirkan bahwa “Sebenar-benar Taqwa” itu ada tiga perkara:
1) Allooh سبحانه وتعالى harus ditaati dan jangan dima’shiyati.
2) Allooh سبحانه وتعالى harus selalu diingat dan jangan dilupa.
3) Allooh سبحانه وتعالى harus disyukuri dan jangan dikufuri.
Dengan berbagai ungkapan tersebut, seharusnya sekarang kita semakin faham tentang makna “Taqwa”. Mudah-mudahan Allooh سبحانه وتعالى menjadikan kita semakin bertaqwa, taat, berusaha untuk tidak ma’shiyat, selalu ingat kepada Allooh سبحانه وتعالى, tidak lupa untuk bersyukur pada-Nya dan hindarilah kufur.
TANYA-JAWAB
Pertanyaan:
1) Ketika berdo’a, dalam Al Qur’an para Nabi dan Rosuul berdo’a dengan “Robbi” atau “Robbana”. Sedangkan dalam Hadits, kita diajari berdo’a dengan “Alloohumma”. Apakah ada perbedaan kedekatan seseorang dengan Allooh سبحانه وتعالى dengan penggunaan “Robbi atau Robbana” dengan “Alloohumma”?
2) Tentang beribadah, sebaiknya bagaimana, apakah kita beribadah sebagai strategi ataukah beribadah sebagai komitmen?
Jawaban:
1) Ketika orang berdo’a dengan mengggunakan “Robbi” atau “Robbana” itu menunjukkan bahwa ada keterkaitan antar Tauhid Rubuubiyyah dan Tauhid ‘Uluuhiyyah.
Dimana Tauhid Rubuubiyyah, sebagaimana kita sudah yakini bahwa keyakinan bahwa Allooh-lah Yang Mencipta, Yang Memberi rizqi, memberi hidup, mematikan, memberikan untung dan memberi rugi, dan Allooh-lah yang mengatur seluruh alam semesta ini. Karena kita yakin yang seperti itu, maka kita menyeru: “Ya Robb, ya Robbana…”
Ketika orang berdo’a dengan “Alloohumma”, maknanya adalah Tauhid ‘Uluuhiyah, menyatakana bahwa “Ya Allooh, yang aku berdo’a kepada-Nya”. Sabda Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم: “Do’a adalah ibadah”. Maka berdo’a dengan “Alloohumma” maksudnya adalah “Engkau yang aku ibadahi, yang aku serahkan semua amalanku kepada-Mu, aku bermohon kepada-Mu”.
2) Tentang ibadah itu strategi atau komitmen yang paling benar adalah: Bahwa Ibadah adalah Hak Allooh سبحانه وتعالى; berarti merupakan kewajiban manusia. Karena Hak Alloohسبحانه وتعالى, maka kita harus menunaikan apa yang menjadi Hak Allooh tersebut yang mana hal itu adalah kewajiban bagi kita manusia.
Perhatikanlah Hadits Riwayat Al Imaam Al Bukhoory no: 2856 dan Al Imaam Muslim no: 30, dari Shohabat Mu’adz bin Jabal رضي الله عنه, beliau berkata:
عَنْ مُعَاذٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كُنْتُ رِدْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى حِمَارٍ يُقَالُ لَهُ عُفَيْرٌ فَقَالَ يَا مُعَاذُ هَلْ تَدْرِي حَقَّ اللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ وَمَا حَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ قُلْتُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ فَإِنَّ حَقَّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوهُ وَلَا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَحَقَّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ أَنْ لَا يُعَذِّبَ مَنْ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا أُبَشِّرُ بِهِ النَّاسَ قَالَ لَا تُبَشِّرْهُمْ فَيَتَّكِلُوا
Artinya:
“Suatu hari aku dibonceng Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم di atas punggung keledai, yang keledai itu beliau beri nama ‘Ufair. Ketika itu Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda: “Ya Mu’adz, tahukah kamu hak Allooh atas manusia dan hak manusia atas Allooh?”.
Aku menjawab: “Allooh dan Rosuul-Nya yang lebih tahu”.
Kemudian Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda: “Hak Allooh atas manusia (kewajiban manusia kepada Allooh) adalah agar mereka beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan Allooh dengan sesuatu apa pun. Dan hak manusia atas Allooh adalah bahwa Allooh tidak meng-adzab manusia yang tidak menyekutukan Allooh سبحانه وتعالى.”
Itulah Hak Allooh سبحانه وتعالى. Adapun Hak manusia adalah: “Allooh tidak akan meng-adzab seseorang yang tidak berbuat syirik kepada-Nya.”
Pertanyaan:
Bagaimana dengan orang gila? Apakah ia masuk neraka atau surga?
Jawaban:
Di sinilah letak Keadilan Allooh سبحانه وتعالى. Bahwa menyuruh manusia yang berkonsekuensi pahala dan dosa, jika orang itu memenuhi beberapa prosedur:
a) Ia muslim,
b) Ia berakal,
c) Ia sudah baligh.
Maka bila seseorang muslim sudah baligh, tetapi ia tidak berakal (karena gila, majnuun), maka untuk orang yang demikian itu seperti disabdakan oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dalam Hadits Riwayat Al Imaam Abu Daawud no: 4405, dari Shohabat Ali رضي الله عنه bahwa:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ، وَعَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَعْقِلَ.
Artinya:
“Pena (catatan pahala dan dosa) diangkat (dibebaskan) dari tiga golongan: orang yang tidur sampai bangun, anak kecil sampai bermimpi (baligh), orang gila sampai ia kembali sadar (berakal).”
Orang yang gila, tidak dicatat oleh Allooh سبحانه وتعالى. Yang dihitung (dicatat) itu hanyalah ketika ia waras.
Sekian bahasan kali ini, mudah-mudahan bermanfaat. Dan mari kita tutup dengan do’a Kafaratul Majlis :
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Jakarta, Senin malam, 9 Rabi’ul Awwal 1431 H – 22 Februari 2010 M
—–0O0—–
Silakan download PDF: At Taqwa (Bagian-1) AQI 220210 FNL
mohon izin mengcopy. guna kepentingan dakwah. jazakallah
Silakan saja, selama menjaga keotentikan naskahnya. Semoga bermanfaat