Skip to content

Tanda-Tanda Hari Kiamat (Bagian-5)

29 April 2011

(Transkrip Ceramah AQI 180208)

TANDA-TANDA HARI KIAMAT (BAGIAN-5)

Oleh:  Ust. Achmad  Rofi’i, Lc.

بسم الله الرحمن الرحيم

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allõh سبحانه وتعالى,

Pada kesempatan ini, kita masih akan menuntaskan membahas beberapa Hadĩts lagi yang berkaitan dengan “Tanda-tanda Kiamat yang sudah dan sedang terjadi / akan berulang terjadi”. Dan in syã Allõh barulah pada pertemuan yang akan datang, kita akan masuk pada kajian tentang “Tanda-Tanda Kiamat Besar”, termasuk didalamnya akan dibahas tentang Imam Mahdi.

Dibawah ini akan kami sampaikan apa yang diriwayatkan oleh Al Imãm Al Baihaqy رحمها الله dalam kitab beliau yang berjudul “AHwãlul Qiyãmah” (Dahsyatnya Kiamat). Dan juga akan disampaikan apa yang berasal dari kitab berkenaan dengan Hari Kiamat yang ditulis oleh Al ‘Allãmah Siddĩq Hasan Khõn (beliau adalah seorang ‘Ulama Ahlus Sunnah dari India); dimana judul kitabnya adalah “Al ‘Idzã’ah fi Asyrõtissã’ah”; kemudian juga akan disampaikan dari beberapa keterangan yang lainnya.

Semua yang tersebut diatas, mereka para ‘Ulama mengambil dalĩl-dalĩl dan Hadĩts-Hadĩts dari Kitab Al Hadĩts dan juga dari Kitab-Kitab ‘Aqĩdah, sesuai dengan bahasan pokok kita yakni membahas tentang perkara ‘Aqĩdah.

Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allõh سبحانه وتعالى,

Pada pertemuan sebelumnya sudah kami sampaikan beberapa riwayat yang demikian panjang tentang “Tanda-tanda Hari Kiamat”, mudah-mudahan kita semua sudah dapat mengetahui tentang perkara tersebut, walaupun secara global. Dan untuk kali ini, masih akan disampaikan beberapa Hadits lagi untuk melengkapi kajian tersebut; diantaranya adalah :

Hadits Riwayat Al Imãm Ad Dãrimy dalam “Sunan Ad Dãrimy” no: 3346, Berkata Husain Salim Asad bahwa sanadnya shohih pada Mu’adz bin Jabbal رضي الله عنه dan dia Mauquuf :

عن معاذ بن جبل قال : سيبلى القرآن في صدور أقوام كما يبلى الثوب فيتهافت يقرؤونه لا يجدون له شهوة ولا لذة يلبسون جلود الضأن على قلوب الذئاب أعمالهم طمع لا يخالطه خوف إن قصروا قالوا سنبلغ وإن أساؤوا قالوا سيغفر لنا إنا لا نشرك بالله شيئا

Artinya:
Berkata Mu’adz bin Jabbal رضي الله عنه, “Al Qur’an akan rusak pada dada-dada banyak kaum, sebagaimana rusaknya baju. Mereka membacanya, sedangkan mereka tidak merasakan keasyikan dan kelezatannya, mereka memakai kulit-kulit domba diatas hati serigala.
Pekerjaan mereka rakus, tidak tercampur rasa takut.
Jika mereka kurang dalam beramal, mereka mengatakan,Kita akan sampai.
Dan Jika mereka berbuat buruk, mereka mengatakan, Kita akan diampuni, karena kita tidak menyekutukan Allõh سبحانه وتعالى dengan apa pun.”

Maksudnya, mereka membaca Al Qur’an akan tetapi tidak memiliki suatu gairah, tidak memiliki suatu ketertarikan, serta tidak memiliki “kelezatan” dalam membacanya. Mereka “memakai kulit domba, akan tetapi hatinya serigala”. Amalan mereka itu dihiasi oleh sifat tamak (rakus), tidak memiliki perasaan takut kepada Allõh سبحانه وتعالى.

Apabila hal ini telah terjadi, maka itu juga merupakan tanda-tanda mendekatnya Hari Kiamat, yaitu bahwasanya Al Qur’an dibaca oleh banyak orang, akan tetapi bacaannya itu hanyalah merupakan “rutinitas”, hanyalah sekedar melaksanakan kewajiban bahwa Al Qur’an itu harus dibaca, tetapi orang yang membacanya tidak memiliki ketertarikan terhadap apa yang dimaksud dan apa yang terkandung dalam isi Al Qur’an tersebut.

Bandingkanlah dengan pada masa Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم, apabila dibacakan Al Qur’an, maka para Shohabat رضي الله عنهم hatinya bergetar dan bahkan mereka menangis mendengarkan ayat-ayat Al Qur’an. Mereka menangis karena sungguh-sungguh memahaminya, sungguh-sungguh menghayati makna yang terkandung didalamnya. Bahkan sampai diberitakan bahwa sosok Shohabat yang mulia yakni Abu Bakar As Siddĩq رضي الله عنه, bila beliau diberi kesempatan untuk meng-Imãmi sholat berjamã’ah, maka ‘Ã’isyah رضي الله عنها (puteri Abu Bakar As Siddĩq رضي الله عنه) mengatakan: “Jangan ya Rosũlullõh, karena ayahku bila membaca Al Qur’an pasti menangis”.

Artinya, bahwa Abu Bakar As Siddĩq رضي الله عنه itu sosok Shohabat yang hatinya lembut, halus, dan peka. Apabila mendengarkan ayat Al Qur’an, apalagi ayat-ayat yang berkenaan dengan ancaman Allõh سبحانه وتعالى dan berkenaan dengan siksa neraka yang pedih, maka beliau رضي الله عنه tidak tahan mendengarnya, pastilah beliau رضي الله عنه menangis. Kemudian apabila mendengarkan ayat Al Qur’an berkenaan dengan janji pahala dari Allõh سبحانه وتعالى atau berkenaan dengan kenikmatan di surga bagi orang-orang yang beriman dan ber-amal shõlih, maka hatinya pun bergetar, dipenuhi rasa penuh harap, ingin sekali menjadi penghuni surga Allõh سبحانه وتعالى.

Apa sebab Abu Bakar As Siddĩq ataupun para Shohabat lainnya رضي الله عنهم bisa bersikap demikian? Hal itu adalah karena mereka (para Shohabat رضي الله عنهم) beriman kepada Allõh سبحانه وتعالى, beriman kepada Al Qur’an dengan sepenuh hati, membenarkan Al Qur’an itu bukan saja dengan sekedar membacanya, akan tetapi juga sangat memahami serta menghayati isi kandungannya. Mereka membutuhkan Al Qur’an lebih daripada perkara makan mereka sendiri.

Bandingkanlah dengan keadaan kaum Muslimin di zaman sekarang, dimana betapa banyak diantara kaum Muslimin yang belum mampu membaca Al Qur’an dengan benar. Inilah yang hendaknya menjadi keprihatinan kita yang mendalam, yaitu sedemikian berhasilnya musuh-musuh Allõh سبحانه وتعالى menjauhkan kaum Muslimin dari Kitabullõh, yang seyogyanya Kitabullõh itu merupakan pedoman hidup dan petunjuk kesehariannya.

Itu baru dalam perkara membaca Al Qur’an; belum lagi perkara memahami isinya. Mendengar isi Al Qur’an saja, tidak jarang diantara kaum Muslimin yang “lari menjauh” (takut / enggan menerimanya / menolaknya), seolah-olah apa yang terdapat dalam Al Qur’an itu tidak patut dan tidak pantas untuk dipraktekkan dalam kehidupan sehari-harinya di zaman sekarang. Bahkan diantara mereka ada yang menentang Al Qur’an, sampai-sampai menyatakan bahwa Al Qur’an itu tidak relevan untuk zaman sekarang, atau berbagai tuduhan lain bahwa Al Qur’an tidak adil dalam perkara Waris, karena Al Qur’an telah membuat pembagian waris yang tidak sama antara laki-laki dan perempuan; lalu ada pula yang mengatakan bahwa Al Qur’an bertentangan dengan Hak Azazi Manusia, seakan-akan Hak Azazi Manusia itu lebih tinggi dari Hak Allõh سبحانه وتعالى sang Pencipta Manusia, dan lain sebagainya.

Maka apabila kita menimbang suatu masalah dengan menggunakan isi Al Qur’an, tidak mustahil dapatlah ditemukan bahwa ada orang yang “mengaku Muslim” di era kita hidup ini, akan tetapi ia bahkan “bersandiwara” dengan isi Al Qur’an itu sendiri. Ia mempelajari Al Qur’an akan tetapi ia memiliki tujuan untuk merusak Islam dari dalam”, agar kaum Muslimin terpedaya, menjadi Islamophobia (takut kepada dĩn / agamanya sendiri, yakni: Al Islãm). Phobia terhadap Islam, phobia terhadap Al Qur’an, phobia terhadap Syari’at Islam, phobia terhadap bahasa Arab yang merupakan bahasa Al Qur’an, bahkan sampai-sampai dibuat phobia dengan bangsa Arab padahal Muhammad Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم yang mulia adalah seorang Arab keturunan suku Quraisy (— jadi sedikit demi sedikit kaum Muslimin “digiring secara halus” untuk membenci Nabinya — pen.). Sedemikan rupa berbagai upaya dilakukan agar kaum Muslimin itu dibuat takut dan menjauh dari dĩn-nya sendiri, yakni: Al Islãm. Hal ini adalah karena mereka menginginkan untuk merusak Al Islãm dengan “meminjam tangan” dari kalangan orang-orang yang mengaku sebagai Muslim itu sendiri. ‘Allõhul musta’ãn.

Apabila di zaman dahulu kala (di zaman para Shohabat رضي الله عنهم), sedemikian taatnya mereka kepada Al Qur’an, maka di zaman sekarang yang terjadi adalah sebaliknya, sangatlah sulit untuk diajak taat kepada Al Qur’an. Apabila sudah ada atau sudah banyak diantara kaum Muslimin yang termasuk apa yang diutarakan dalam Hadits diatas yaitu “berbaju domba, tetapi berhati serigala”, maka berarti kita semakin hari semakin mendekat dengan Hari Kiamat. Karena itu adalah diantara Tanda-Tanda Hari Kiamat. Kalau sudah seperti ini keadaannya, bisa dibayangkan betapa jauhnya umat dari hidayah Allõh سبحانه وتعالى.

Banyak diantara kaum Muslimin menganggap sepele / ringan suatu perbuatan kufur ataupun ma’shiyat. Kalau mereka meninggalkan syari’at Allõh سبحانه وتعالى, tidak patuh kepada Allõh سبحانه وتعالى, atau kalau mereka melakukan penyimpangan dan ma’shiyat kepada Allõh سبحانه وتعالى, atau kalau mereka enggan untuk banyak ber-amal shoolih, maka mereka dengan ringannya akan berdalih seraya mengatakan : “Ah…. nanti kita juga akan sampai ke surga, karena Allõh سبحانه وتعالى itu kan Maha Pengasih lagi Maha Penyayang…”
Lalu kalau mereka berbuat kejahatan, mereka pun mengatakan: “Ah, Allõh سبحانه وتعالى itu kan Maha Pengampun…. Allõh سبحانه وتعالى akan memberikan pengampunan kepada kita, selama kita tidak berbuat syirik, Allõh سبحانه وتعالى pasti akan mengampuni kita….”

Dengan sebab menganggap ringan / sepele suatu perbuatan kufur ataupun ma’shiyat kepada Allõh سبحانه وتعالى, maka mereka pun menjadi mudah untuk terjatuh kedalam perbuatan kufur / ma’shiyat tersebut. Mereka “menggampangkan” berbuat dosa kepada Allõh سبحانه وتعالى, dengan menganggap bahwa dosa itu adalah permainan, dan bahwa Allõh سبحانه وتعالى itu Maha Pengampun sehingga mereka boleh bebas-bebas saja berbuat dosa. Oleh karena itu, sebagaimana dalah Hadits diatas dinyatakan bahwa “Al Qur’an akan rusak pada dada-dada banyak kaum, sebagaimana rusaknya baju. Mereka membacanya, sedangkan mereka tidak merasakan keasyikan dan kelezatannya, mereka memakai kulit-kulit domba diatas hati serigala. Pekerjaan mereka rakus, tidak tercampur rasa takut”. Na’ũdzu billahi min dzãlik.

Semoga Allõh سبحانه وتعالى senantiasa memberikan hidayah dan taufiq kepada kita semua agar dapat istiqõmah, dan terhindar dari digolongkan kedalam apa yang disebutkan dalam Hadĩts ini.

Apabila keadaan yang demikian sekarang sudah semakin terlihat dalam kehidupan sehari-hari kaum Muslimin maka itu justru merupakan Mu’jizat Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم, bahwa apa yang diberitakan melalui Hadits-Hadits Shohĩh tentang Tanda-Tanda Hari Kiamat itu sudah mulai terbukti satu demi satu; dan itu sebenarnya merupakan peringatan bagi kita: “Ingatlah, Hari Kiamat sudah semakin mendekat!” Maka kuatkan ‘aqĩdah, dan perbanyak berbuat amal shõlih.

Al Qur’an akan dijadikan sebagai seruling

Dalam Hadits Riwayat Al Imãm Ath Thobrony dalam “Al Mu’jam Al Kabĩr” no: 14532, di-shohĩh-kan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albãny dalam Shohĩh Al Jãmi’ush Shoghĩr no: 216, dari Shohabat ‘Auf bin Mãlik رضي الله عنه, bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:

أَخَافُ عَلَيْكُمْ سِتًّا: إِمَارَةُ السُّفَهَاءِ، وَسَفْكُ الدِّمَاءِ، وَبَيْعُ الْحُكْمِ، وَقَطِيعَةُ الرَّحِمِ، وَنَشْوٌ يَتَّخِذُونَ الْقُرْآنَ مَزَامِيرَ، وَكَثْرَةُ الشُّرَطِ

Artinya:
Aku takut 6 perkara menimpa kalian:
a) Kepemimpinan yang bodoh (dungu),
b) Tumpah darah
c) Jual beli hukum
d) Putus Silaturrohim
e) Anak-anak kecil menjadikan Al Qur’an sebagai seruling
f) dan banyaknya Polisi.

Dari Hadits tersebut diatas, dapat kita perhatikan bahwa merupakan Tanda-Tanda Hari Kiamat adalah kepemimpinan yang bodoh (dungu), terjadinya tumpah darah, hukum diperjual-belikan, terjadinya putus silaturrohim, banyaknya polisi dan anak-anak kecil menjadikan Al Qur’an sebagai seruling.

Maksudnya, diantara Tanda-Tanda Hari Kiamat adalah akan banyak anak-anak kecil yang dapat melantunkan pembacaan Al Qur’an dengan suara yang merdu.
Bukankah tanda-tanda yang demikian itu sudah bermunculan di zaman kita sekarang ?
Bila hal-hal seperti itu sudah terjadi, maka itulah Tanda bahwa Hari Kiamat semakin mendekat. Dekatnya seberapa, wallõhu a’lam, itu tergantung ketetapan Allõh سبحانه وتعالى.

Wanita berdagang bersama Suaminya

Dalam Hadits Riwayat Al Imãm Ahmad dalam Musnad-nya no: 3870, dan Syaikh Syuaib Al Arnã’uth mengatakan bahwa sanad Hadits ini adalah Hasan, dari Shohabat ‘Abdullooh bin Mas’ũd رضي الله عنه, beliau berkata bahwa Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم bersabda:

إنَّ بَيْنَ يَدَيْ السَّاعَةِ تَسْلِيمَ الْخَاصَّةِ وَفُشُوَّ التِّجَارَةِ حَتَّى تُعِينَ الْمَرْأَةُ زَوْجَهَا عَلَى التِّجَارَةِ وَقَطْعَ الْأَرْحَامِ وَشَهَادَةَ الزُّورِ وَكِتْمَانَ شَهَادَةِ الْحَقِّ وَظُهُورَ الْقَلَمِ

Artinya:
Diantara menjelang terjadinya hari Kiamat adalah orang-orang hanya memberikan salam pada orang-orang khusus (– orang-orang yang dikenalnya saja – pent.). Tersebar perdagangan, sehingga wanita menolong suaminya pada urusan perdagangan, dan putusnya silaturrohim, dan persaksian palsu dan disembunyikannya persaksian yang benar dan nampaknya pena (– karya tulis – pent.)”.

Maksudnya, wanita sudah di-ikutsertakan untuk mencari nafkah, padahal wanita semestinya hanyalah menerima nafkah. Karena suaminya lah yang semestinya wajib untuk mencari nafkah.

Akan tetapi akibat beban hidup yang semakin lama semakin berat, sehingga tidak mustahil di akhir zaman justru laki-laki mengajak istrinya untuk bekerja, bersama-sama memikul beban keluarga. Yang demikian ini sesungguhnya tidak sesuai dengan Sunnah Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم, karena secara syari’at wanita tidaklah memiliki kewajiban sedikitpun untuk memberi nafkah kepada keluarganya. Yang berkewajiban memberi nafkah adalah sang suami. Bahkan jika sang suami sudah tidak mampu untuk memberikan nafkah kepada isterinya, maka si isteri boleh meminta cerai (talak).

Akan tetapi apabila sang istri sangat besar rasa sayang dan cintanya kepada suami dan keluarganya, atau karena sang istri merasa sangat besar tanggung-jawabnya, sementara ia mengetahui bahwa suaminya sesungguhnya telah bekerja keras, akan tetapi hasilnya masih saja kurang, dan tidak cukup untuk menopang keluarga, sementara tanggungannya semakin hari adalah semakin besar; kemudian sang istri mulai berpikir untuk ikut membantu, maka itu adalah kemauan dari sang istri, dan itu terpulang kembali kepada suaminya. Kalau sang suami mengizinkan, maka boleh dilakukan (– tentunya dengan batasan bahwa bidang pekerjaan yang dilakukan sang istri hendaknya tidak bertentangan dengan kodratnya sebagai wanita dan tidak pula memunculkan fitnah baginya – pen.) dan tentu amal kebajikan sang istri terhitung shodaqoh yang tidaklah akan disia-siakan oleh Allõh سبحانه وتعالى. Namun demikian, kalau sang suami tidak mengizinkan istrinya bekerja, maka sang istri tidak boleh mencari nafkah. Sedemikian besarnya Al Islãm menjunjung tinggi dan memuliakan wanita.

Di zaman sekarang, fenomena yang terjadi adalah justru lapangan kerja itu lebih banyak dimasuki oleh para wanita. Sebagai contohnya di daerah perindustrian seperti di Cikarang, ataupun di Bekasi, ada sebuah pabrik boneka yang buruh-buruhnya terdiri dari ribuan orang wanita. Nah, kalau para wanita sudah keluar rumah untuk bekerja sedemikian banyaknya, maka pertanyaannya adalah apakah para Wali mereka mampu mengontrolnya?

Pada intinya adalah bahwa keluarnya wanita dari rumahnya itu adalah sebagaimana dalam Hadits yang diriwayat oleh Al Imãm At Turmudzy no: 1773, dari Shohabat bernama ‘Abdullõh bin Mas’ũd رضي الله عنه, bahwa Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم bersabda :

المرأة عورة فإذا خرجت استشرفها الشيطان

Artinya:
Wanita itu aurot. Apabila sudah keluar dari rumahnya maka ia dibuatnya cantik, mulia, dihiasi dan dibarengi oleh syaithoon”.

Oleh karena itu tidak mengherankan apabila kemudian banyak terjadi perselingkuhan, ataupun perzinahan, sebagai akibat dari keluarnya para wanita dari rumah-rumah mereka tanpa ada kontrol dari Wali-nya. Apalagi di negeri kita, dimana ikhtilãth (– bercampur baurnya antara laki-laki dan perempuan – pen.) masih dianggap lumrah di kalangan masyarakat.

Itulah apa yang digambarkan oleh Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم bahwa diantara Tanda mendekatnya Hari Kiamat adalah bahwa wanita ikut bekerja membantu bisnis suaminya.

Kemudian “Tanda-Tanda Hari Kiamat yang sudah terjadi dan masih memungkinkan akan terjadi atau berulang” yang lainnya adalah :

Putus silaturrohim

Mungkin karena perkara pembagian warisan, bisa juga karena pertikaian berkenaan dengan masalah harta, atau berkenaan dengan masalah bisnis, bahkan sampai hubungan keluarga pun lalu menjadi terputus; dan hal itu sudah banyak terjadi di zaman sekarang, sedang terjadi dan akan berulang terjadi sebagai pertanda mendekatnya Hari Kiamat.

Tersebarnya ‘ilmu, kitab / karya tulis banyak

Di zaman sekarang sangat mudah mendapatkan kitab. Kalau di zaman dahulu, orang menulis kitab itu dengan alat seadanya, sebagai contoh adalah dengan pena yang dicelupkan kedalam tinta, lalu dibuat menulis di atas kertas atau sejenisnya; ketika kering penanya maka akan dicelupkan lagi kedalam tinta, untuk kembali dipakai menulis, dan demikian seterusnya. Sehingga apa yang ditulisnya itu tidaklah mustahil kalau si penulis hafal. Karena dengan jerih-payahnya yang luar biasa. Lalu orang yang ber-‘ilmu itu (si penulis) harus pergi dari Madinah ke negeri Syam (Irak, Syiria) terkadang hanyalah untuk mendapatkan satu atau dua Hadits saja. Maka ia akan hafal dengan Hadits-Hadits yang diperolehnya itu.

Sementara di zaman sekarang, ‘ilmu (dĩn) didapatkan dengan cara yang mudah. Seseorang hanya tinggal pergi ke toko buku untuk membeli Kitabnya, atau pergi ke tempat fotocopy untuk mem-fotocopy Kitabnya, atau men-scanning, ataupun men-download Kitabnya secara gratis karena programnya juga sudah ada di komputer. Nah, akan tetapi bersamaan dengan kemudahan kitab-kitab itu didapat, maka yang justru tidak ada lagi di zaman sekarang ini adalah orang-orang yang se-‘ãlim orang-orang di zaman dahulu kala. Sekarang ini himmah” (همة) / kemauan keras-nya yang semakin tidak ada, sehingga keberkahan ‘ilmu itu pun menjadi menghilang.

Dan ini pertanda bahwa dunia sudah mendekat dengan kehancuran yang merupakan salah satu diantara tanda-tanda mendekatnya Hari Kiamat.

Syahãdat Azzũr (شَهَادَةَ الزُّورِ / Bersaksi Palsu)

Orang yang salah dikatakan benar, sementara orang yang benar dikatakan salah; dengan cara menggunakan bukti-bukti yang direkayasa untuk memutarbalikkan keadaan, sehingga semua orang pun menjadi terkecoh. Jika sudah mulai banyak orang bersaksi palsu / bersaksi dusta, maka itupun juga merupakan tanda-tanda Hari Kiamat, sebagaimana telah dijelaskan dalam Hadits diatas.

Wa kitmãnu syahãdatil haq (وَكِتْمَانَ شَهَادَةِ الْحَقِّ / Menyembunyikan Kebenaran)

Masih terkait dengan penjelasan diatas yakni perkara persaksian, maka tidak jarang yang terjadi adalah “menyembunyikan kesaksian yang benar (haq)”. Yang benar tidak dimunculkan, tetapi malah disembunyikan. Karena kalau diperlihatkan dan dimunculkan, maka resikonya akan besar. Ia bisa jadi akan berada dalam bahaya / tekanan / intimidasi dari orang-orang yang tidak menginginkan kebenaran itu muncul.

Di zaman sekarang tidak sedikit terjadi kasus dimana ketika ada orang yang memiliki bukti kebenaran, ia memilih untuk diam, karena kalau ia melaporkan masalahnya kepada petugas hukum di wilayahnya; ia bukannya mendapatkan solusi atas permasalahannya, ia bahkan akan mendapatkan lebih banyak masalah lagi. Oleh karena ia merasa bahwa dirinya tidak aman; maka pada akhirnya ia memilih untuk berdiam diri dan menyembunyikan kebenaran yang ada. Itupun juga merupakan tanda-tanda bahwa Hari Kiamat sudah semakin mendekat.

Padahal diatas sebelumnya telah disampaikan bahwa kitab yang identik dengan ‘ilmu itu semakin banyak, semakin mudah didapat. Jumlah Kitab di zaman sekarang sudah tidak terhitung banyaknya, bisa kita lihat tersebar di toko-toko buku.

Sementara di zaman dahulu, para Shohabat رضي الله عنهم tidak memiliki Kitab sebanyak seperti sekarang. Para Shohabat dan kaum Muslimin ketika itu tidak memiliki kitab-kitab sebanyak kita di zaman sekarang ini ! Akan tetapi justru Al Qur’an dan Al Hadĩts (‘ilmu dĩn) itu tertancap dalam-dalam di hati mereka masing-masing. Sehingga slogan mereka adalah : “Al ‘ilmu fissudũr lã fissutũr” ( العلم في الصدور لا في السطور ) / Ilmu itu yang ada di dalam dada, bukan di dalam catatan.

Hal itu menunjukkan bahwa yang disebut dengan ‘Ilmu (dĩn) adalah yang dihafal, bukan yang semata-mata ada di dalam Kitab. Yang disebut dengan ‘Ilmu (dĩn) yang bermanfaat bagi sang pemilik ‘ilmu itu adalah jika keyakinan serta pemahaman yang kuat terhadap kebenaran (al haq) yang tertancap di dalam hatinya itu kemudian akan membekas bagi dirinya serta akan merubah perilakunya — baik dalam bentuk lisan dan perbuatan — sehingga lisan dan perbuatannya pun akan menjadi selaras dengan al Haq yang diyakini oleh hatinya.

Nah, di zaman sekarang Kitab sangat banyak dan mudah didapat, akan tetapi barokatul ‘ilmi (keberkahan ‘ilmu dĩn) itu lah yang justru semakin menghilang. Mengapakah demikian? Bisa jadi diantaranya adalah karena faktor keikhlasan para Shohabat رضي الله عنهم dan orang-orang shõlih di zaman dahulu untuk menuntut ‘ilmu, kerelaan serta pengorbanan mereka yang besar untuk berada dalam keadaan sulit / susah payah untuk mendapatkan ‘ilmu tersebut; dimana itu semua menjadikan pribadi mereka tertempa. Semakin ikhlas (tulus) dan semakin banyak pengorbanan yang diberikan terhadap Allõh سبحانه وتعالى itulah yang akan memberikan buah keberkahan atas ‘ilmu yang dimiliki.

Maka yang demikian ini merupakan hal yang harus kita sadari. Hendaknya sedapat mungkin kita menegakkan apa yang menjadi keharusan bagi kita sebagai Ahlus Sunnah wal Jamã’ah, yaitu mencintai, mempelajari, dan menghidupkan Sunnah-sunnah Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم.

Zina sudah nampak

Zina sudah kelihatan, nampak, terang-terangan. Di zaman sekarang, perzinahan menjadi suatu persoalan yang dianggap biasa. Hal ini menunjukkan bahwa pergeseran nilai-nilai moral itu terjadi dengan sangat cepat. Bila di zaman dahulu, contohnya saja: “pacaran” adalah merupakan hal yang sangat memalukan / tabu, maka di zaman sekarang ia bahkan menjadi suatu kebanggaan. Padahal pacaran itu tidak ada dalam ajaran Islam, bahkan ia adalah suatu pintu Zina.

Sebagaimana dalam Hadits Shohĩh Riwayat Al Imãm Al Bukhõry no: 5231, dari Anas bin Mãlik رضي الله عنه, ia berkata, “Sungguh aku akan meriwayatkan pada kalian satu Hadits yang aku dengar dari Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم dimana tidak akan ada yang meriwayatkan Hadits ini selainku. Aku mendengar Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم bersabda:

لَأُحَدِّثَنَّكُمْ حَدِيثًا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُحَدِّثُكُمْ بِهِ أَحَدٌ غَيْرِي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يُرْفَعَ الْعِلْمُ وَيَكْثُرَ الْجَهْلُ وَيَكْثُرَ الزِّنَا وَيَكْثُرَ شُرْبُ الْخَمْرِ وَيَقِلَّ الرِّجَالُ وَيَكْثُرَ النِّسَاءُ حَتَّى يَكُونَ لِخَمْسِينَ امْرَأَةً الْقَيِّمُ الْوَاحِدُ

Artinya:
Sesungguhnya diantara tanda Hari Kiamat ialah ‘ilmu (dĩn) diangkat, jãhil (kebodohan) semakin banyak, zina semakin merebak, minum khomr semakin marak, jumlah laki-laki semakin sedikit, sedangkan jumlah wanita semakin banyak sehingga 50 wanita hanya diasuh oleh satu orang laki-laki.

Syaikh Abu Bakar Al Jazã’iry, seorang ‘Ulama di Madinah menjelaskan dalam salah satu majelis beliau bahwa apabila wanita mendengarkan bunyi telephone berdering di rumahnya, lalu ia mengangkat telephone tersebut, dan ternyata yang berbicara di telephone itu adalah laki-laki, maka wanita itu tidak boleh melenggak-lenggokkan suaranya atau melemah-lembutkan dan memerdu-merdukan suaranya, yang dikuatirkan dapat menawan dan menarik hati laki-laki (– yang bukan mahrom-nya –) yang berbicara dengannya. Karena yang demikian itu sudah menyalahi syar’i. Dan beliau juga mengatakan bahwa wanita bila menggunakan sandal (selop) maka janganlah menggunakan sandal (selop) yang ber-hak tinggi. Karena hal itu juga dapat menjadi bagian dari suatu fitnah, dimana bunyi ketukan sepatu hak tinggi-nya itu dapat mengundang perhatian laki-laki yang mana kemudian dapat menjadi sumber fitnah bagi diri wanita tersebut.

Sampai sedemikian, Al Islãm itu menjaga agar kaum Muslimin terhindar dari Zina. Akan tetapi di zaman sekarang, gencarnya propaganda yang datang dari media-media massa orang-orang kãfir menjadikan kaum Muslimin terpengaruh sehingga mereka pun menjadi lalai terhadap peringatan Allõh سبحانه وتعالى.

Wanita semakin banyak jumlahnya, sementara jumlah laki-laki semakin sedikit

Dalam Hadits Riwayat Al Imãm Al Bukhõry no: 5577, dari Shohabat Anas bin Mãlik رضي الله عنه, beliau رضي الله عنه berkata, “Sungguh akan aku ceritakan kepada kalian suatu Hadits yang tidak seorangpun dari kalian mendengarnya kecuali dariku. Aku mendengar Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda,

مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يَظْهَرَ الْجَهْلُ وَيَقِلَّ الْعِلْمُ وَيَظْهَرَ الزِّنَا وَتُشْرَبَ الْخَمْرُ وَيَقِلَّ الرِّجَالُ وَيَكْثُرَ النِّسَاءُ حَتَّى يَكُونَ لِخَمْسِينَ امْرَأَةً قَيِّمُهُنَّ رَجُلٌ وَاحِدٌ

Artinya:
“Diantara tanda hari kiamat
, yaitu:
a) Akan nampak kebodohan
b) Ilmu diangkat
c) Zina Nampak
d) Khomr diminum
e) Akan semakin sedikit bilangan laki-laki dan semakin banyak bilangan wanita, sehingga 50 wanita dipimpin (ditanggung) oleh seorang laki-laki’.”

Bayangkan, sehingga satu orang laki-laki berbanding 50 orang wanita (1:50). Berdasarkan survey, maka sekarang saja perbandingan antara jumlah laki-laki dan wanita adalah satu berbanding tujuh (1:7). Dengan perbandingan seperti ini saja, fitnah wanita itu sudah besar, maka apalagi ketika perbandingannya adalah 1:50. Tentulah fitnah wanita dimasa seperti itu sangat luar biasa besarnya. Sehingga kalau keadaannya sudah seperti yang diberitakan dalam Hadits, maka itulah yang diperingatkan oleh Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم berkenaan dengan fitnah akhir zaman yang akan terjadi dalam kehidupan kaum Muslimin.

Oleh karena itu hendaknya sebagai Muslim justru kita harus semakin berhati-hati, karena apabila wanita yang jelas-jelas diciptakan oleh Allõh سبحانه وتعالى sebagai suatu fitnah (ujian) bagi kaum laki-laki itu semakin banyak jumlahnya, dimana wanita itu secara fitroh adalah merupakan kesenangan bagi kaum laki-laki (– laki-laki yang tidak suka dengan wanita maka berarti ia tidak normal – pen.), maka berarti fitnah (ujian) dalam perkara wanita ini pun akan semakin besar.

Perhatikanlah firman Allõh سبحانه وتعالى dalam QS. Ãli ‘Imrõn (3) ayat 14:

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ

Artinya:
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allooh-lah tempat kembali yang baik (surga).”

Sebagai fitnah (ujian) di akhir zaman, maka Allõh سبحانه وتعالى akan menyediakan stok (jumlah) wanita lebih banyak. Itu sudah Sunnatullõh (sesuai dengan ketetapan yang Allõh سبحانه وتعالى berikan jauh sebelum manusia itu diciptakan), agar menjadi ujian bagi manusia untuk menyaring mereka, manakah diantara mereka yang tergolong orang yang beriman dan manakah yang tidak.

Nah, ketika para Wanita keluar rumahnya adalah dengan ber-tabarruj (berhias / berdandan / bersolek secantik-cantiknya) maka ia seyogyanya telah menjadikan dirinya sebagai pembuka pintu fitnah (ujian) bagi kaum laki-laki disekitarnya. Dan jikalau Wanita itu bicaranya sengaja dilemah-lembutkan/ dimerdu-merdukan, jalannya sengaja dilenggak-lenggokkan, penampilannya sengaja dihias agar secantik mungkin bila keluar rumah; maka ingatlah wahai para Wanita bahwa ada suatu Hadits yang diriwayatkan oleh Al Imãm Muslim no: 5704, dari Shohabat Abu Hurairoh رضي الله عنه, beliau berkata, “Telah bersabda Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم,

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا

Artinya:
Dua golongan termasuk dari penghuni neraka yang belum pernah aku melihatnya:
a) Kaum, yang bersama mereka ada cemeti bagaikan ekor sapi. Dengannya mereka memukuli orang-orang.
b) Wanita, mereka berpakaian tetapi mereka telanjang. Mereka melenggak-lenggok, dan diatas kepala mereka bagaikan punuk unta.
Mereka itu tidak akan masuk kedalam surga, bahkan tidak akan mencium baunya surga. Padahal baunya surga bisa menembus jarak sekian dan sekian (70 tahun).

Maksud dari Hadits diatas adalah bahwa ada dua kelompok manusia yang diancam akan menjadi Ahlun Nãr (penghuni neraka), dimana kelompok yang pertama adalah para Penguasa yang mendzolimi, dan menganiaya orang, dan kelompok yang kedua adalah wanita yang berpakaian akan tetapi mereka itu pada dasarnya adalah telanjang (karena pakaiannya yang ketat, membentuk tubuh, atau pakaiannya berasal dari bahan yang menerawang / tembus pandang ke kulit tubuhnya, dsbnya; sehingga meskipun ia berpakaian tetapi sebenarnya pakaian itu tidak menutupi aurotnya), berjalannya melenggak-lenggok sehingga menawan lawan jenisnya dan ada sanggul di kepalanya seperti punuk onta.

Jadi wanita yang suka berjalan melenggak-lenggok untuk menawan hati laki-laki itu adalah wanita calon Ahlun Nãr (penghuni neraka). Oleh karena itu, bila sekarang banyak wanita dijadikan sebagai “pameran”, misalnya dipamerkan atau dijadikan ratu kecantikan sejagad, maka hendaknya berhati-hati karena itu identik dengan zina.

Diantara mereka ada yang berdalih bahwa itu sebagai bagian dari seni. Akan tertapi ingatlah, bahwa dalam ajaran Islam seni itu diperbolehkan asalkan tidak bertentangan dengan syari’at. Kalau bertentangan dengan syari’at, apalagi dapat merusak moral, maka kita sebagai orang beriman hendaknya mengingat bahwa hati dan hawa nafsu yang ada pada diri ini haruslah dibimbing oleh Wahyu yang berasal dari Allõh سبحانه وتعالى. Janganlah mengatur segala sesuatu itu sekehendak diri kita sendiri, karena manusia itu tidak akan mampu melakukan berbagai perkara dalam hidupnya dengan benar, tanpa berdasarkan tuntunan Wahyu Allõh سبحانه وتعالى.

Melimpah ruahnya harta, sehingga shodaqoh pun ditolak

Perhatikanlah Hadits Shohĩh Riwayat Al Imãm Al Bukhõry no: 1414 dan Al Imãm Muslim no: 2385, dari Abu Musa Al Asy’ary رضي الله عنه, beliau berkata bahwa Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم bersabda :

لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ يَطُوفُ الرَّجُلُ فِيهِ بِالصَّدَقَةِ مِنَ الذَّهَبِ ثُمَّ لاَ يَجِدُ أَحَدًا يَأْخُذُهَا مِنْهُ وَيُرَى الرَّجُلُ الْوَاحِدُ يَتْبَعُهُ أَرْبَعُونَ امْرَأَةً يَلُذْنَ بِهِ مِنْ قِلَّةِ الرِّجَالِ وَكَثْرَةِ النِّسَاءِ

Artinya:
Akan datang kepada manusia suatu zaman dimana seorang laki-laki berkeliling untuk men-shodaqohkan emasnya, akan tetapi tidak ada yang mau menerima. Dan seorang laki-laki diikuti oleh 40 wanita dan itu disebabkan karena laki-laki hanya sedikit dan banyaknya wanita.”

Maksudnya bukan saja wanita yang melimpah, tetapi juga harta akan melimpah. Bayangkan seorang laki-laki membagi-bagikan emas, ia ingin ber-shodaqoh tetapi tidak ada yang mau menerimanya, karena samua orang sudah kaya-raya. Nah, kalau perkara yang disebutkan dalam Hadits ini di zaman sekarang belum terjadi, maka kelak pasti akan terjadi.
Sedangkan keadaan dimana jumlah laki-laki sudah lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah wanita, maka sekarang sudah mulai terbukti.

Itulah berbagai Hadits yang disampaikan dari Kitab “AHwãlul Qiyãmah” (Dahsyatnya Kiamat) karya Al Imãm Al Baihaqy Asy Syãfi’iy رحمه الله.

Berikutnya akan disampaikan pula berbagai Hadits dari Kitab lain yang berjudul “Al ‘Idzã’ah Fi Asyrõtissã’ah” yang ditulis oleh Al ‘Allãmah Siddĩq Hasan Khõn.

Ada suatu Hadits yang diriwayatkan oleh Al Imãm Ahmad no: 23303, dan menurut Syaikh Syuaib Al Arnã’uth sanad Hadits ini Hasan, para perowinya terpercaya, dari Hudzaifah Ibnul Yaman رضي الله عنه, bahwa Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم bersabda:

لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَكُونَ أَسْعَدَ النَّاسِ بِالدُّنْيَا لُكَعُ بْنُ لُكَعٍ

Artinya:
Tidak akan terjadi hari Kiamat sehingga orang yang paling bahagia di dunia pada saat itu adalah Luka’ bin Luka.”

Yang dimaksudkan dalam Hadits diatas adalah apabila orang yang paling hina dari kalangan manusia, justru ia menjadi manusia yang paling senang hidupnya, paling bahagia kehidupannya di dunia disaat itu, maka itu berarti bahwa Hari Kiamat sudah semakin mendekat.

Luka’ bin Luka’ adalah nama seorang budak yang paling rendah, dungu, dan tercela di zaman dahulu kala.

Orang yang sabar, dirundung fitnah

Perhatikanlah Hadits Riwayat Al Imãm At Turmudzy no: 2260, yang di-shohĩh-kan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albãny, dari Shohabat Anas bin Mãlik رضي الله عنه, bahwa Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم bersabda,

يأتي على الناس زمان الصابر فيهم على دينه كالقابض على الجمر

Artinya:
Akan datang pada manusia suatu zaman, (dimana) orang yang sabar diantara mereka dalam berpegang diatas dĩn-nya, bagaikan orang yang menggenggam bara api.

Maksudnya, orang yang berpegang teguh pada As Sunnah itu justru keadaannya sangatlah sulit, sehingga diibaratkan bagaikan “menggenggam bara api”. Hal ini pun sebagaimana disebutkan dalam Kitab “Al I’tishõm” karya Al Imãm Asy Syã’tiby رحمه الله (‘Ulama Ahlus Sunnah yang hidup pada abad ke-7 Hijriyah).

Terlebih lagi pada abad ke-15 Hijriyah, bagaimana pula dengan orang-orang yang ingin menegakkan Sunnah di masa seperti sekarang ini? Berbagai ujian kerap dirasakan oleh kaum Muslimin. Apabila ada Muslim yang berjenggot karena ia ingin menjalankan Sunnah Rosũl, maka ia justru mendapatkan celaan, dikatakan “Seperti kambing…”, atau jikalau ada Muslim yang celananya mengatung (tidak isbal, yakni tidak menutupi matakaki-nya) maka ia dikatakan “Korban kebanjiran..”. Sedangkan wanita yang memakai cadar, maka ia justru dikatakan “Seperti Ninja…”. Dan jikalau ada Muslim yang taat kepada Sunnah Rosũl, maka ia malah dikatakan “Kembali ke zaman onta…”, dan aneka celaan lainnya.

Hal ini sebetulnya adalah sebagaimana apa yang dirasakan oleh Al Imãm Asy Syã’tiby رحمه الله, sehingga dijelaskan oleh beliau dalam Kitabnya bahwa bahkan seorang Muslim yang berpegang-teguh pada Sunnah Rosũl, ia justru dikatakan sebagai Ahlul Bid’ah / Al Mujassimah, atau bahkan dituduh sebagai pengikut paham tertentu.

Sebagai contohnya di zaman sekarang, kalau ada Muslim yang berusaha taat pada Sunnah Rosũl, ia dituduh sebagai pengikut paham Wahabi. Tuduhan itu adalah tidak benar, karena ia pada dasarnya tidaklah mengikuti Muhammad bin ‘Abdul Wahhãb رحمه الله, melainkan yang diikutinya hanyalah Muhammad Bin ‘Abdullõh Bin Abdul Muththolib Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم. Kalau seseorang itu ta’ashub kepada pendapat orang, maka boleh dikatakan ia itu sebagai pengikut paham tertentu. Akan tetapi bila seseorang itu senantiasa mengemukakan daliil yang berasal dari Al Qur’an dan Al-Hadĩts, maka ia pada dasarnya hanyalah semata-mata mengikuti Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم.

Itulah yang digambarkan oleh Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم yang sudah mulai terjadi, bahwa orang yang sabar itu bagaikan “menggenggam bara api”, ia akan selalu dirundung fitnah.

Berbangga-bangga dengan bangunan Masjid

Di dalam Hadits shohĩh riwayat Al Imãm An Nasã’i رحمه الله no: 689, dari Anas bin Mãlik رضي الله عنه, bahwa Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم bersabda :

من أشراط الساعة أن يتباهى الناس في المساجد

Artinya:
Salah satu tanda hari Kiamat adalah manusia berbangga-bangga dengan bangunan masjid.”

Maksudnya, kalau masjidnya bagus maka orang menjadi bangga. Kalau orang bisa membangun masjid dengan bentuk yang bagus, indah, megah dan unik, bahkan sampai ada yang membuatnya dari bahan emas, maka ia pun akan merasa bangga. Jadi kalau orang sudah bangga dengan fisik masjidnya, maka itu lah tanda dekatnya dengan Hari Kiamat.

Padahal Pendahulu Ummat yang shõlih di zaman dahulu kala, mereka itu bangganya adalah dengan memakmurkan aktivitas di dalam masjid, dan bukan berbangga dengan fisiknya masjid. Memakmurkan masjid itu misalnya dengan halaqotul ‘ilmi, nashihah, sholat berjamã’ah, dll.

Dalam suatu Hadits Riwayat Al Imãm Al Hakim no: 7883, Syaikh Nashiruddin Al Albãny menyatakan dalam Silsilah Hadits Dho’ĩf dan Maudhũ’ no: 447 bahwa Hadits ini adalah Maudhũ’ (Palsu), dari Shohabat Anas bin Mãlik رضي الله عنه, bahwa Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم bersabda:

يكون في آخر الزمان عباد جهال و قراء فسقة

Artinya:
Akan terjadi menjelang Hari Kiamat, ‘Ubbãd (Ahli ‘Ibadah) yang Juhãl (Jãhil atau bodoh) wa Quro’ (pembaca Al Qur’an).”

Hadits ini adalah Hadits Maudhũ’ (Palsu), sebagaimana telah terdahulu penjelasannya. Walau demikian, realitasnya di masyarakat di zaman kita sekarang ini memang terjadi. Maksudya ia rajin ber-ibadah tetapi ia bodoh (dalam perkara dĩn); “wa Quro’” artinya ia biasa membaca Al Qur’an akan tetapi ia melaksanakan wirid-wirid yang tidak diajarkan oleh Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم. Hal itu disebabkan karena ia jãhil (bodoh) di dalam perkara dĩn, ia menganggap bahwa amalan-amalan yang ia kerjakan itu adalah bagian dari ajaran Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم, padahal bukan. Keadaan ini pun sejalan dengan Hadits lain yang shohĩh yang mengkhobarkan tentang diangkatnya ‘ilmu (dĩn) dan merebaknya kebodohan di kalangan ummat ini, yang telah kita bahas di kajian yang lalu.

Perhatikanlah, bukankah di saat menjelang bulan Robbi’ul Awwal banyak orang melaksanakan peringatan Maulid Nabi? Mereka menganggap bahwa perayaan Maulid (Mauludan) adalah bagian dari dĩn, sehingga mereka menganggapnya sebagai ibadah. Padahal perayaan Maulid itu tidak ada landasan atau daliil tentangnya. Bahkan perayaan Maulid tersebut menyerupai orang Nashroni yang merayakan Natal (– tasyabbuh –), sehingga dengan demikian merupakan suatu kejãhilan dimana kaum Muslimin justru malah beribadah menyerupai orang kãfir. Padahal tasyabbuh menyerupai orang kãfir adalah dilarang oleh Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم.

‘Ubbãd yang Juhãl, artinya Ahli Ibadah, tetapi bodoh.
Qurõ’ artinya pembaca Al Qur’an, tetapi ia bodoh dan Fasãqoh, maksudnya adalah Fãsiq, atau orang yang berma’shiyat kepada Allõh سبحانه وتعالى.

Dan di zaman sekarang, memang kita bisa temukan bahwa ada diantara pembaca Al Qur’an ataupun pembaca Hadĩts-nya akan tetapi ia bukan lah orang-orang yang shõlih melainkan orang-orang yang fãsiq, karena ibadahnya didasarkan atas Hawa-Nafsu-nya, dan bukan didasarkan atas ‘ilmu dĩn.

Apabila sesuai Hawa Nafsu-nya, maka ia gunakan ayat Al Qur’an dan Hadits-nya, akan tetapi bila tidak sesuai Hawa Nafsu-nya, maka ia enggan mengamalkannya.

Bulan terlihat lebih besar

Dalam Hadits berikut ini, akan dijelaskan / dikhobarkan bahwa bulan (pada saat awal bulan) akan terbit, namun akan dianggap bahwa bulan itu sudah tanggal dua; padahal sebenarnya ia baru saja terbit. Maksudnya, ketika itu sebenarnya baru tanggal satu di awal bulan, akan tetapi karena bulan sudah kelihatan besar maka ia dikatakan sebagai tanggal dua. Hal ini pun merupakan tanda dari mendekatnya Hari Kiamat.

Hal ini sebagaimana dalam Hadĩts Riwayat Al Imãm Adhdhiyã’ Al Maqdisy dalam “Al Ahadĩts Al Mukhtãroh” no: 2325, dan menurut Syaikh Abdul Mãlik bin Dhuhaisy, sanadnya Hasan, demikian juga di-Hasan-kan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albãny dalam “Shohĩh Jãmi’ush Shoghĩr” no: 10841 dan “Silsilah Hadiits Shohĩh” no: 2292 sebagai berikut :

عَنْ أَنَس رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ :«إِنَّ مِنْ اقْتِرَاب السَّاعَة أَنْ يُرَى الْهِلاَل لِلَيْلَة فَيُقَالُ : لِلَيلَتَينِ ، وَأَنْ يَظْهَر مَوتُ الْفَجْأة ، وَأَنْ تُتَّخَذ الْمَسَاجِد طُرُقاً

Artinya:
Dari Anas رضي الله عنه, bahwa Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم bersabda, “Sesungguhnya bagian dari tanda dekatnya Hari Kiamat adalah bahwa Bulan terlihat dalam satu malam seperti untuk dua malam (– maksudnya: Lebih besar dari biasanya, pen–), dan banyak terjadi mati mendadak, dan masjid dijadikan tempat lewat.”

Irak, Syam dan Mesir menolak mata uangnya

Hal ini sebagaimana dalam Hadits Riwayat Al Imãm Muslim no: 7459, dari Shohabat Abu Hurairoh رضي الله عنه, bahwa Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم bersabda:

مَنَعَتِ الْعِرَاقُ دِرْهَمَهَا وَقَفِيزَهَا وَمَنَعَتِ الشَّأْمُ مُدْيَهَا وَدِينَارَهَا وَمَنَعَتْ مِصْرُ إِرْدَبَّهَا وَدِينَارَهَا وَعُدْتُمْ مِنْ حَيْثُ بَدَأْتُمْ وَعُدْتُمْ مِنْ حَيْثُ بَدَأْتُمْ وَعُدْتُمْ مِنْ حَيْثُ بَدَأْتُمْ

Artinya:
Irak menolak mata uang (dirham) dan takarannya (– takarannya kurang lebih seberat 40 Kg – pen.). Syam (– sekarang Palestina, Syria, Lebanon, Yordania — pen.) akan menolak takaran (– takarannya kurang lebih seberat 75 Kg — pen.) dan dinarnya. Mesir akan menolak takaran (– takarannya kurang lebih seberat 80 Kg – pen.) dan mata uang dinarnya. Kemudian kalian akan kembali lagi dari awal. Kemudian kalian akan kembali lagi dari awal. Kemudian kalian akan kembali lagi dari awal.

Maksud dari Hadits diatas ini adalah bahwa orang-orang kãfir pada akhir zaman akan menguasai kawasan Irak, Syam dan Mesir (dimana sekarang hal ini sudah terjadi), sehingga mereka enggan untuk membayar jizyah dan upeti mereka. Kemudian kaum Muslimin akan mengalami keadaan dimana Islam kembali kepada keterasingan (dianggap aneh), sebagaimana dikemukakan oleh Al Imãm An Nawawy رحمه الله dalam men-syarah Hadits ini.

Manusia tidak peduli apakah hartanya berasal dari halal atau harom

Kemudian dalam Hadits Riwayat Al Imãm Al Bukhõry no: 2083, dari Shohabat Abu Hurairoh رضي الله عنه, bahwa Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم bersabda:

لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لَا يُبَالِي الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ أَمِنْ حَلَالٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ

Artinya:
Sungguh benar-benar akan datang pada manusia suatu zaman, dimana seseorang tidak lagi memperdulikan asal pengambilan hartanya, dari halal kah atau dari harom kah.”

Manusia ambisius terhadap dunia, dan menjauh terhadap Allõh

Berikutnya, dalam Hadits Riwayat Al Imãm Al Hakim no: 7917, beliau berkata sanad Hadits ini Shohĩh akan tetapi Al Imãm Al Bukhõry dan Al Imãm Muslim tidak meriwayatkannya, dan Hadits ini di-shohĩh-kan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albãny dalam Silsilah Hadits Shohĩh no: 1510. Dari Shohabat ‘Abdullõh bin Mas’ũd رضي الله عنه, bahwa Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم telah bersabda:

اقتربت الساعة و لا يزداد الناس على الدنيا إلا حرصا و لا يزدادون من الله إلا بعدا

Artinya:
Hari Kiamat semakin dekat dan manusia tidak bertambah terhadap dunia kecuali kegigihan (ambisius), dan tidak bertambah terhadap Allooh kecuali menjauh.”

Itu adalah tanda-tanda diantara banyak sekali Tanda Hari Kiamat yang sudah diberitakan oleh Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم kepada kita semua, dan mudah-mudahan kita tidak termasuk orang yang melanggar apa yang disabdakan oleh Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم tersebut.

Masih banyak lagi yang belum disampaikan, in syã Allõh dalam kajian berikutnya mudah-mudahan kita masuk kepada pembahasan yang menurut para ‘Ulama adalah merupakan “Tanda-tanda Kiamat Besar” dan setelah yang besar, ada lagi yang lebih besar, namanya “Sepuluh Tanda”. Dan bila “Sepuluh Tanda” itu telah terjadi, maka berarti Hari Kiamat sudah “di ambang pintu” (amat sangat dekat).

Yang tersebut diatas barulah merupakan “Tanda-Tanda Hari Kiamat yang telah terjadi, sedang terjadi, maupun yang berulang terjadi”; yang mudah-mudahan menjadi suatu kewaspadaan terhadap diri kita ketika melihat Tanda-Tanda tersebut telah bermunculan, maka hendaknya kita mempunyai kiat untuk meng-efektifkan sisa hidup kita. Dan kita bermohon kepada Allõh سبحانه وتعالى, mudah-mudahan Allooh سبحانه وتعالى selalu melimpahkan hidayah dan taufiq-Nya sehingga kita tidak pernah meleset sesaat pun dari firman Allõh سبحانه وتعالى dan sabda Rosũl-Nyaصلى الله عليه وسلم. Karena kita amat sangat butuh akan hidayah Allõh سبحانه وتعالى, amat sangat butuh akan taufiq Allõh سبحانه وتعالى agar kita dapat istiqomah; dan kita pun amat sangat miskin serta sangat membutuhkan kasih sayang Allõh سبحانه وتعالى, dan berharap mudah-mudahan sebagaimana berkumpulnya kita di masjid ini, maka Allõh سبحانه وتعالى kumpulkan kelak di dalam surga-Nya.

TANYA JAWAB

Pertanyaan:
Bagaimanakah solusinya bagi seseorang yang putus silaturrohim-nya dengan saudara-saudaranya, hanya karena ia menjalankan Sunnah (kembali kepada Sunnah) Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم. Karena ia ingin menjalankan syari’at yang benar sesuai Sunnah Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم akan tetapi ia malah dipisahkan (dibenci) oleh sudara-saudaranya yang tidak menjalankan Sunnah?

Jawaban:

Pertama, bila seseorang hendak berdakwah, ingin menasihati, meluruskan orang lain maka ia harus ber-‘ilmu terlebih dahulu. Yaitu ‘ilmu tentang apa yang akan disampaikan, ‘ilmu tentang apa yang akan dinasihatkan, termasuk diantaranya adalah ‘ilmu tentang cara yang baik dan efektif menyampaikan nasihat kepada orang lain. Bila hanya menguasai ‘ilmu-nya, akan tetapi ia tidak mengetahui cara dan metode-nya, maka bisa menjadi “salah resep”. Maksudnya, mungkin orang lain itu sebetulnya bisa menerima nasehatnya, akan tetapi karena cara menyampaikannya kurang tepat, maka orang lain bahkan akan menjadi antipati dan bukan malah menerima nasehatnya.

Kedua, hendaknya disadari oleh kita semua bahwa hidayah itu ada di tangan Allõh سبحانه وتعالى. Orang hanya bisa memberi jalan saja, seperti menjelaskan bahwa firman Allõh سبحانه وتعالى itu begini, sabda Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم itu begini. Nah kemudian, perkara orang yang diberitahu itu ia mau menerima ataukah ia tidak mau menerima, maka hendaknya janganlah merasa gusar ataupun bersedih. Jangankan kita, Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم saja hanyalah penyampai. Beliau صلى الله عليه وسلم hanyalah diberi tugas untuk menyampaikan Risãlah. Tidak untuk mem-vonis atau meng-eksekusi seseorang.

Ketiga, kalau anda menjalankan Sunnah Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم, berusaha beramal diatas Al Qur’an dan As Sunnah, maka anda harus benar dalĩl-nya dan benar pula pemahaman-nya. Ketika anda sudah memenuhi itu semua, lalu ada orang yang tidak suka kepada anda, bahkan memutuskan tali silaturrohim dengan anda, maka kesalahan adalah bukan pada diri anda. Hendaknya anda tetap bersabar, dan hendaknya anda yang tetap selalu berusaha untuk menyambung silaturrohim yang terputus itu. Hal ini sebagaimana dalam Hadits Riwayat Al Imãm Al Bukhõry no: 5991, dari Shohabat ‘Abdullõh bin ‘Amr رضي الله عنه, bahwa Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم bersabda:

لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ ، وَلَكِنِ الْوَاصِلُ الَّذِى إِذَا قَطَعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا

Artinya:
Seorang yang menyambung silahturohim bukanlah seseorang yang membalas kebaikan seseorang dengan kebaikan yang semisalnya. Akan tetapi seseorang yang menyambung silahturohim adalah orang yang berusaha kembali menyambung silahturohim setelah sebelumnya diputuskan oleh pihak lain.”

Jangan lantas anda lalu menjauh dengan saudara-saudara anda. Jangan demikian. Apalagi mereka masih kerabat atau orang tua anda sendiri, hendaknya tetap mendekati mereka dan jangan sampai putus silaturrohim.

Ingatlah, Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم ketika menghadapi pamannya (Abu Tholib) yang tidak mau ditawari untuk masuk ke dalam surga, akan tetapi bukankah sampai akhir hayat Abu Tholib sekali pun, Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم selalu berusaha mendekatinya dan mendakwahinya ?

Hal itu sebagaimana dalam Hadits Riwayat Al Imãm Al Bukhõry no: 1360 dan Al Imãm Muslim no: 24, dari Musayyib bin Hazn رضي الله عنه, beliau bercerita sebagai berikut :

أَنَّهُ لَمَّا حَضَرَتْ أَبَا طَالِبٍ الوَفَاةُ جَاءَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَوَجَدَ عِنْدَهُ أَبَا جَهْلِ بْنَ هِشَامٍ، وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِي أُمَيَّةَ بْنِ المُغِيرَةِ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَبِي طَالِبٍ: ” يَا عَمِّ، قُلْ: لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، كَلِمَةً أَشْهَدُ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ ” فَقَالَ أَبُو جَهْلٍ، وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي أُمَيَّةَ: يَا أَبَا طَالِبٍ أَتَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ المُطَّلِبِ؟ فَلَمْ يَزَلْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْرِضُهَا عَلَيْهِ، وَيَعُودَانِ بِتِلْكَ المَقَالَةِ حَتَّى قَالَ أَبُو طَالِبٍ آخِرَ مَا كَلَّمَهُمْ: هُوَ عَلَى مِلَّةِ عَبْدِ المُطَّلِبِ، وَأَبَى أَنْ يَقُولَ: لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَمَا وَاللَّهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ مَا لَمْ أُنْهَ عَنْكَ» فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى فِيهِ: {مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ} [التوبة: 113]

Artinya:
Ketika Abu Tholib hendak meninggal dunia, Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم mendatanginya. Di dekat Abu Tholib, ada Abu Jahal bin Hisyam, dan ‘Abdullõh bin Abi Umayyah bin Mughiroh.
Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم berkata kepada pamannya, “Wahai paman, ucapkanlah ‘Lã ilãha illallõh”, kalimat yang aku jadikan sebagai saksi untuk membela paman dihadapan Allõh.”
Namun Abu Jahal dan ‘Abdullõh bin Abi Umayyah menimpali, “Hai Abu Tholib, apakah kamu membenci agama ‘Abdul Muththolib?
Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم terus mengajak pamannya untuk mengucapkan kalimat tauhĩd, namun dua orang itu selalu mengulang-ulang ucapannya. Hingga Abu Tholib memilih ucapan terakhir, dia mengikuti agama ‘Abdul Muththolib dan enggan untuk mengucapkan “Lã ilãha illallõh.
Kemudian Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم berkata, “Demi Allõh, aku akan memohonkan ampunan untukmu kepada Allõh, selama aku tidak dilarang.”
Lalu Allõh سبحانه وتعالى menurunkan firman-Nya yaitu QS. At-Taubah (9) ayat 113.

Allõh سبحانه وتعالى berfirman dalam QS. At-Taubah (9) ayat 113:

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ

Artinya:
Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allooh) bagi orang-orang musyrik, sekalipun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabatnya, sesudah jelas bagi mereka bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam.”

Perhatikan pula firman Allõh سبحانه وتعالى dalam QS. Al-Qoshsosh (28) ayat 56 berikut ini:

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

Artinya:
Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allõh memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allõh lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.”

Berarti Abu Tholib sudah ditawari surga oleh Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم, akan tetapi ia tidak mau. Namun meskipun demikian, tetap saja Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم terus dan terus dengan gigih berusaha mendekati pamannya itu sampai akhir hayatnya, dengan harapan mudah-mudahan pamannya mendapatkan hidayah Allõh سبحانه وتعالى.

Pertanyaan:
1) Benarkah kita dilarang mendo’akan orang kãfir?
2) Apakah yang dimaksud dengan kãfir? Apakah orang yang melakukan praktek dukun bisa dikatakan kãfir?
3) Jika seandainya ada keluarga kami yang berpraktek sebagai dukun lalu ia meninggal, apakah kami sebagai anggota keluarga wajib mendo’akannya ?

Jawaban:
1) Orang kãfir dido’akan atau tidak? Kita pahami dulu apa yang dimaksud dengan do’a.

Do’a” artinya “Menyeru”. Kalau “do’a” diartikan dengan makna “diseru”, maka adalah benar. Serulah orang-orang kãfir itu, ajaklah mereka masuk ke dalam Al Islãm, supaya mereka bersama kita.

Akan tetapi kalau dengan “do’a memohonkan ampunan” kepada Allõh سبحانه وتعالى untuknya padahal telah jelas ia mati dalam keadaan tetap menjadi dukun dan tidak pernah bertaubat sebelum matinya, maka yang demikian ini adalah tidak boleh.

Misalnya anda berdo’a kepada keluarga anda yang mati dalam kesyirikan dengan do’a : “Allõhumaghfirlahu, warhamhu, wa’afihi wa’fu’anhu”, maka ini tidak boleh. Tidak boleh mendo’akan demikian karena mereka itu mati dalam keadaan kãfir (tidak mati dalam keadaan Islam).

Nabi Nuh عليه السلام saja dilarang oleh Allõh سبحانه وتعالى untuk mendo’akan anaknya yang bernama Kan’an. Karena anaknya itu tidak mau beriman kepada Allõh سبحانه وتعالى, maka Allõh سبحانه وتعالى pun berfirman sebagaimana dalam QS. Hud (11) ayat 45-46:

وَنَادَى نُوحٌ رَبَّهُ فَقَالَ رَبِّ إِنَّ ابْنِي مِنْ أَهْلِي وَإِنَّ وَعْدَكَ الْحَقُّ وَأَنْتَ أَحْكَمُ الْحَاكِمِينَ (٤٥) قَالَ يَا نُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ فَلا تَسْأَلْنِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنِّي أَعِظُكَ أَنْ تَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ )٤٦(

Artinya:
(45) “Nuh memohon kepada Robb-nya sambil berkata, Ya Robb-ku, sesungguhnya anakku adalah termasuk keluargaku, dan janji-Mu itu pasti benar. Engkau adalah hakim yang paling adil.”
(46) “Dia (Allõh) berfirman,Wahai Nuh! Sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu, karena perbuatan itu sungguh tidak baik, sebab itu jangan engkau memohon kepada-Ku sesuatu yang tidak engkau ketahui (hakekat)nya. Aku menasihatimu agar (engkau) tidak termasuk orang yang bodoh.”

Bahkan secara nasab-pun Kan’an dinyatakan bukan keluarga Nabi Nuh عليه السلام. Jadi tidak boleh mendo’akan orang yang mati dalam keadaan kãfir.

Demikian pula dengan Nabi yang lain, contohnya: Nabi Ibrohim عليه السلام juga dilarang oleh Allõh سبحانه وتعالى ketika beliau hendak mendo’akan orangtuanya yang sampai meninggalnya masih tetap dalam keadaan kãfir. Hal ini sebagaimana firman Allõh سبحانه وتعالى dalam QS. At Taubah (9) ayat 113-114.

Berbeda kalau kita memiliki keluarga yang berprofesi sebagai dukun, akan tetapi ia masih hidup. Kalau ia masih hidup, maka kita boleh mendo’akan agar ia diberi hidayah oleh Allõh سبحانه وتعالى. Akan tetapi kalau sudah meninggal, dan meninggalnya dalam keadaan kãfir, maka tidak boleh mendo’akan memintakan ampunan baginya.

2) Orang yang melakukan praktek perdukunan, menurut Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم adalah telah kãfir. Sebagaimana dijelaskan dalam Hadits Riwayat Al Imãm Ibnu Mãjah no: 639, dari Shohabat Abu Hurairoh رضي الله عنه, bahwa Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم bersabda:

من أتى كاهنا فصدقه بما يقول فقد كفر بما أنزل على محمد

Artinya:
Barangsiapa yang mendatangi dukun (tukang ramal), dan ia membenarkan apa yang diucapkannya, maka ia kafir dengan ajaran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم.”

Maksudnya, orang yang datang ke dukun, maka ia kãfir terhadap ajaran Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم). Jika orang yang mendatangi saja dan percaya pada dukun itu, maka ia sudah dianggap kãfir; apalagi orang yang melakukan praktek perdukunan-nya. Demikian itu hukumnya secara syari’at Islãm.

Oleh karena itu, apabila ada orang yang mengaku bahwa dirinya mengetahui Ilmu Ghoib, maka ini berbahaya, karena ia terancam menjadi kãfir. Karena hanya Allõh سبحانه وتعالى lah yang mengetahui perkara yang ghoib, sebagaimana firman-Nya dalam QS. An Naml (27) ayat 65:

قُلْ لا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ الْغَيْبَ إِلا اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ

Artinya:
Katakanlah: “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghoib kecuali Allõh” dan mereka tidak mengetahui bilamana mereka akan dibangkitkan.”

Dan menurut Syari’at Allõh سبحانه وتعالى dan ajaran Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم, maka orang yang disebut dukun atau tukang sihir atau paranormal atau apapun namanya itu, maka ia sebenarnya harus dibunuh. Hal ini sebagaimana dalam Hadits Riwayat Al Imãm Al Hakim 4/360 dan Al Imãm At Turmudzi no: 1460 syaikh Nashiruddin Al Albãny berkata dho’ĩf, dari Jundub bin Ka’ab al-Azdi رضي الله عنه, bahwa Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم bersabda dalam hadits marfu’ :

حَدُّ السَّاحِرِ ضَرْبَةٌ بِالسَّيْفِ

Artinya:
Hukuman bagi para tukang sihir adalah dipenggal lehernya dengan pedang.”

Itu kalau menurut Syari’at Islãm. Hal ini adalah untuk mencegah kesyirikan berkembang di muka bumi. Akan tetapi, kalau menurut ajaran Hak Azasi Manusia, maka bahkan syaithõn-pun bukan lagi dianggap musuh, ia harus diberi hak azazi. Sementara disisi lain, Hak Allõh سبحانه وتعالى justru malah dikesampingkan.

3) Bila dukun atau tukang sihir itu mati, dan ia mati dalam keadaan syirik, maka tidak boleh dido’akan. Karena Allõh سبحانه وتعالى tidak akan mengampuni orang-orang yang mati dalam keadaan syirik. Hal ini sebagaimana firman-Nya dalam QS. An Nisã’ (4) ayat 48 sebagai berikut:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ

Artinya:
Sesungguhnya Allõh tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya….”

Pertanyaan:
Apakah yang dimaksud Shirõthol Mustaqĩm?

Jawaban:

Shirõthol Mustaqĩm” artinya: “Jalan yang lurus”. Menurut Ahlus Sunnah wal Jamã’ah, jalan yang dimaksud adalah disebut “Jisrun” (Jembatan). Kelak di Akhirat nanti, semua umat Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم akan melewati jalan tersebut, sesuai dengan amalannya. Ada yang jalannya cepat seperti kilat, ada yang jalannya merangkak, dan seterusnya; sesuai dengan amalan yang dilakukannya di dunia.

Pertanyaan:
Mohon penjelasan tentang “Ruqyah”. Bagaimana dengan air di-mantra (di-ruqyah). Bagaimana dengan orang yang bisa memindahkan penyakit dari manusia lalu dipindahkan ke hewan (kambing, dsbnya)?

Jawaban:

Ruqyah” artinya: “Jampi, mantra, bacaan-bacaan”. Kalau bacaan-bacaan itu bukan dari Al Qur’an atau Al-Hadĩts, atau kalau bacaan-bacaan itu tidak sesuai petunjuk Allõh سبحانه وتعالى dan Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم dari riwayat yang shohĩh, maka itu bukanlah Ruqyah, melainkan namanya “Sya’wadzun” atau “Sya’wadzatun” atau “mantra”.

Kalau ada air yang diberi mantra, atau diberi kertas bertuliskan huruf Arab atau yang lainnya, kemudian ia disuruh untuk diminum, maka itu bukan Ruqyah. Tidak ada ajarannya di dalam Syari’at Islãm.

Kalau ada orang mengatakan bahwa ia bisa memindahkan penyakit dari manusia kepada hewan, maka itupun bukan Ruqyah. Bahkan itu perbuatan aniaya terhadap hewan yang sehat. Itu termasuk praktek perdukunan, maka tidak boleh dilakukan.

Hendaknya kaum Muslimin berhati-hati, sekalipun yang mengerjakannya berkedok (mengaku dirinya) sebagai Ustadz atau Kyai sekalipun, akan tetapi bila yang dilakukannya tidak sesuai syari’at, maka hindarilah orang yang demikian. Karena tidak mustahil dalam melaksanakan kegiatannya itu, si dukun bekerjasama dengan Jin.

Ruqyah yang sesuai syari’at itu tidak mengajarkan demikian. Ruqyah itu sangat murah, bahkan gratis, tanpa modal. Anda sebenarnya bisa memproteksi diri anda sendiri. Seperti diajarkan oleh Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم, setiap selesai sholat Shubuh, dalam dzikir diantaranya disunnahkan untuk membaca Surat Al Ikhlash, Surat Al Falaq dan Surat An Nãs masing-masing 3 kali. Demikian pula selesai sholat Maghrib. Itu pun sudah merupakan Ruqyah.

Ada pun tajam dan tumpulnya Ruqyah itu, maka itu tergantung iman dan taqwa dari orang yang melakukan Ruqyah.

Kalau ada orang kesurupan, maka bisa di-Ruqyah; boleh dibacakan Surat Al Baqoroh atau ayat Kursi. Tetapi kalau orang yang kesurupan itu kemasukan jin atau syaithõn, lalu ia meminta sesuatu, maka jangan lah dituruti, diusir saja. Kalau jin atau syaithõn tersebut tetap tidak mau pergi, maka bacakan Ruqyah terus berulang-ulang sampai ia keluar dari tubuh orang yang kesurupan itu. Memang bisa memakan waktu lama. Tergantung jin atau syaithõn yang masuk ke orang itu dan juga tergantung tingkat keshõlihan dan ketaqwaan orang yang me-Ruqyah.

Pertanyaan:
Mohon penjelasan tentang Dajjal.

Jawaban:
Hal tersebut in syã Allõh akan dibahas pada pertemuan yang akan datang. Nanti bahasan kita pun akan sampai kepada masalah Dajjal. Dajjal adalah makhluk Allõh سبحانه وتعالى, berbentuk fisik, jasadnya seperti manusia, bermata satu, rambutnya kribo, dsbnya, maka kelak akan kita bahas secara lebih detail pada pertemuan yang akan datang. Dan Dajjal itu pasti akan muncul.
Dajjal” juga bisa berarti perilaku (kata kiasan). Misalnya: Orang yang berdustanya keterlaluan, ia bahkan sampai memalsukan Hadits Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم maka orang yang demikian itu juga bisa disebutDajjal”. Orang yang mengaku sebagai Nabi padahal sebenarnya bukan (diistilahkan sebagai Nabi Palsu) maka ia juga disebut “Dajjal”. Hal ini akan kita bahas pada kajian yang mendatang.

Alhamdulillah, kiranya cukup sekian dulu bahasan kita kali ini, mudah-mudahan bermanfaat. Kita akhiri dengan Do’a Kafaratul Majlis :

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Jakarta, Senin malam, 9 Shafar 1429 H – 18 Februari 2008 M.

——- 0O0 ——-

Silakan download PDFTanda Hari Kiamat Bag-5 AQI 180208FNL

 

4 Comments leave one →
  1. suryanto permalink
    1 May 2011 11:15 am

    Assalamu‘alaikum Warrohmatulloohi Wabarokaatuh,
    Ustadz A Rofi’i, mohon izin copy paste, untuk dipelajari, dan mohon dibenarkan pola pikir saya dalam memahami artikel Ustadz di kolom hikmah no: 79 “Diantara penghapus Dosa”
    Artinya:
    Dari Abu Saa’id Al Khudry dan Abu Hurairoh رضي الله عنهما, bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda, “Tidaklah rasa capai, sakit, bingung, sedih, luka dan gundah menimpa seorang Muslim, hingga duri yang menusuknya, kecuali Allooh سبحانه وتعالى hapuskan dengannya kesalahan-kesalahannya.
    (Hadits Riwayat Imaam Al Bukhoory no: 5642 dan 5643)

    Yang Saya pahami Hadist diatas adalah sebagai berikut:
    Bahwa sebagai kepala keluarga adalah berkewajiban salah satunya untuk memberikan nafkah keluarga, dan dalam perjalanan mencari nafkah akan mengalami “rasa capai, sakit, bingung, sedih, luka dan gundah”, apakah pemahaman saya dikategorikan Hadist diatas? Mohon dibetulkan.

    Dan saya memohon kepada Ustadz untuk mendoakan keluarga saya agar Allooh memberikan taoufiq serta hidayah Nya. Atas kesediaan dan waktunya saya ucapkan terima kasih.
    Semoga Allooh selalu melindungi dan menerima amal baik Ustad A Rofi’i Aamiin.

    • 6 May 2011 7:36 am

      Wa ‘alaikumussalaam Warohmatulloohi Wabarokaatuh,

      Apa yang Bapak pahami, jika hal itu dirasakan pada saat menunaikan apa yang menjadi kewajiban kita, baik yang berkenaan dengan manusia terhadap manusia, ataukah manusia terhadap Allooh Subhaanahu Wa Ta’aalaa; maka itu adalah BENAR.
      Semoga Allooh Subhaanahu Wa Ta’aalaa memberikan jalan yang terang kepada Bapak dan keluarga, agar senantiasa mengarungi hidup dan kehidupan ini dibawah pancaran sinar Al Qur’an dan As Sunnah yang shohiihah, sebagaimana yang dipahami oleh Pendahulu Ummat yang shoolih, kemudian diistiqomahkan diatas itu sampai dengan meninggalkan dunia yang fana ini… Aamiiin.

  2. madie permalink
    4 May 2011 1:51 am

    Assalamu’alikum Ustadz….! Sangat bermanfaat hadits-haditsnya. Cuman ana mo tanya Ustad, apakah betul syeikh Albaany itu bukan muhadist, melainkan tukang servis jam. Mohon jawabanya dikirim ke email ana yah, syukron
    [ madieaza@gmail.com ]

    • 6 May 2011 8:07 am

      Wa ‘alaikumussalaam Warohmatulloohi Wabarokaatuh,

      1. Service Jam itu adalah benar sebagai profesi Syaikh Nashiruddin Al Albaany رحمه الله pada awal-awal kehidupan beliau رحمه الله disaat masih mencari dan mempelajari Hadits-Hadits dan ilmu tentangnya.

      2. Jika Syaikh Nashiruddin Al Albaany رحمه الله, dan orang-orang seperti beliau رحمه الله melakukan upaya mencari rizqy dari Allooh سبحانه وتعالى dan tidak menggantungkan hidupnya pada dakwah dan karya tulisnya maka tidak perlu aneh; karena orang-orang yang “kaliber-nya” (dalam bidang dien) jauh lebih tinggi dari beliau رحمه الله sekalipun, justru mereka adalah pedagang dan businessman dan TIDAK MENCARI MAKAN DARI UMMAT DAN DAKWAH, sebagai contohnya: Imaam Ahmad bin Hanbal, Imaam Al Bukhoory, Imaam Abdullooh bin Mubaarok رحمهم الله dimana mereka adalah pedagang dan pengusaha, bahkan para Nabi seperti Nabi Daud عليه السلام adalah pengrajin kayu, lalu Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم pun adalah penggembala domba. Maka dari itu, jika ada seorang ‘Ulama tetapi berbisnis, maka itu adalah mulia dan tidak tercela, bahkan dengan berusaha / berikhtiarnya dia itu tadi maka hal itu menjadi contoh dan dakwah bagi ummatnya.

      3. Perlu diketahui bahwa Syaikh Nashiruddin Al Albaany رحمه الله adalah seorang mantan DOSEN DI UNIVERSITAS ISLAM MADINAH. Ada pun tentang SPESIALISASI beliau رحمه الله dalam ILMU HAADITS adalah nampak dari kiprah beliau رحمه الله yang tak kenal lelah dalam bidang Hadiits dan dibuktikan dengan banyaknya karya tulis beliau رحمه الله dalam bidang Hadits, yang memenuhi khasanah ilmu dien (terutama dalam bidang Hadits) bagi kaum Muslimin.

      Juga karya-karya beliau رحمه الله dalam bidang Hadits telah membantu umumnya kaum Muslimin untuk sampai kepada pengetahuan mana Hadits-Hadits yang Lemah dan Palsu (agar kaum Muslimin bisa menghindarkan diri dan menjauhkan diri darinya); dan mana Hadits-Hadits yang Shohiih (agar kaum Muslimin bisa berpatokan dengannya dan mengamalkannya).

      Adapun pujian dan pengakuan para ‘Ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah dari berbagai penjuru dunia terhadap ke-ilmuan Syaikh Nashiruddin Al Albaany رحمه الله yang menunjukkan bahwa Syaikh Nashiruddin Al Albaany رحمه الله adalah seorang Muhaddits, adalah:

      (1) Syaikh ‘Abdul Aziz bin ‘Abdullah bin Baaz رحمه الله mengatakan :
      Saya tidak pernah mengetahui seorang pun di atas bumi ini yang lebih alim dalam bidang hadits pada masa kini yang mengungguli Syaikh Al Albaany رحمه الله”
      (Majalah ash Sholah, Yordania th. 4 Edisi 23/Sya’ban/th. 1420 H., hal. 76)

      (2) Syaikh bin Baaz رحمه الله juga mengatakan :
      Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albaany رحمه الله adalah mujaddid zaman ini dalam dugaanku, walloohu a’lam

      (3) Syaikh Muhammad bin Shoolih Al ‘Utsaimiin رحمه الله berkata mensifati Syaikh Al Albaany رحمه الله :
      Ahli hadits negeri Syam, pemilik ilmu yang sangat luas tentang hadits secara riwaayat dan dirooyah. Allooh سبحانه وتعالى menganugerahkan manfaat yang banyak kepada manusia melalui karya-karya ilmiahnya berupa ilmu dan semangat mempelajari ilmu hadits” (Hayaatul Albaany II/543 oleh Muhammad bin Ibrohim asy Syaibani)

      (4) Syaikh Al ‘Utsaimiin رحمه الله juga berkata :
      Imaam ahli hadits. Saya belum mendapati seorang pun yang menandinginya di zaman ini
      (Kaset Majalis Huda wa Nur Aljazair no. 4 tanggal 9/Rabi’ul Awal 1420 H)

      (5) Pujian Asy Syaikh Muhammad bin Shoolih Al ‘Utsaimin رحمه الله, “Yang saya ketahui tentang Syaikh, dari pertemuan saya dengan beliau – dan itu sangat sedikit – bahwa beliau sangat teguh di dalam mengamalkan As Sunnah dan memerangi bid’ah, baik dalam’ aqiidah maupun amaliyah. Dan dari telaah saya terhadap karya tulis beliau, saya mengetahui bahwa beliau memiliki ilmu yang luas di dalam hadits, riwaayat maupun dirooyah. Dan bahwasannya Allooh memberikan manfaat yang banyak dari karya tulis beliau, baik dari segi ilmu maupun metodologi….”
      (Shohiih At-Targhiib Wa At-Tarhiib” jilid 1)

      (6) Syaikh al ‘Allaamah ‘Abdul Muhsin bin Hamd al ‘Abbad, pengajar di Masjid Nabawy saat ini berkata,Syaikh Al ‘Allaamah al Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al Albaany رحمه الله. Saya tidak menjumpai orang pada abad ini yang menandingi kedalaman penelitian haditsnya” (Rifqon Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah hal. 35-36)

      (7) Syaikh Humud bin ‘Abdullooh at Tuwaijiri mengatakan, “Sekarang ini Al Albaany menjadi tanda atas sunnah. Mencela beliau berarti mencela sunnah
      (Maqolatul Albaany hal. 224 oleh Nurudin Tholib)

      (8) Syaikh Dr. Bakr bin ‘Abdillah Abu Zaid, anggota Komisi Fatwa Saudi Arabia mengatakan dalam membantah ucapan Muhammad Ali ash Shobuni, “Ini merupakan kejahilan yang sangat dan pelecehan yang keterlaluan, karena kehebatan ilmu Al Albaany dan perjuangannya membela sunnah dan ‘aqiidah salaf sangat populer dalam hati para ahli ilmu. Tidak ada yang mengingkari hal itu kecuali musuh yang jaahil
      (at Tahdzir min Mukhtashorot as Shobuni fi Tafsiir hal. 41)

      (9) Syaikh al Muhaddits Abdush Shomad Syarafuddin, pengedit Kitab Sunan Kubro karya Imaam an Nasaa’i telah menulis surat kepada Al Albaany رحمه الله sebagai berikut, “Telah sampai sepucuk surat kepada Syaikh ‘Ubaidullah ar Rahmany, ketua Jaami’ah as Salafiyah dan penulis Mir’aah al Mafaatih Syarah Misykah al Mashoobih, sebuah pertanyaan dari Lembaga Fatwa Riyadh Saudi Arabia tentang hadits yang sangat aneh lafadznya, agung maknanya dan memiliki korelasi erat dengan zaman kita. Maka, seluruh ulama disini semua bersepakat untuk mengajukan pertanyaan tersebut kepada seorang ahli hadits yang paling besar abad ini, yaitu Syaikh Al Albaani رحمه الله, ‘alim Rabbani
      (Hayaatul Albaany I/67, Majalah at Tauhiid, Mesir th. 28 Edisi 8/Sya’ban/th. 1420 H, hal. 45)

      (10) Ucapan ahli hadits asal India kelahiran Uttar Pradesh Dr. Muhammad al Mushthofa al A’zhomi, “Bila Syaikh (Al Albaany) berbeda hukum denganku dalam masalah shohiih dan dho’iifnya hadits, maka saya menetapkan pendapatnya, karena saya percaya kepadanya, baik dari segi ilmu dan dien
      (Dr. Musthofa al A’zhomi dalam Muqoddimah Shohiih Ibni Khuzaimah I/6, 32)

      (11) Sikap hormat Asy Syaikh al-‘Allamah Muhammad ‘Amiin asy-Syinqithi رحمه الله (ahli Tafsiir yang tidak ada bandingannya di zamannya) yang tak lazim kepada Syaikh Al Albaany, dimana saat beliau melihat Al Albaany berlalu padahal beliau tengah mengajar di Masjid Nabawy, beliau menyempatkan diri berdiri untuk mengucapkan salam kepada Al Albaany demi menghormatinya. (Shohiih At-Targhiib Wa At-Tarhiib” Jilid 1)

      12) Pujian Al-‘Allaamah Muhibbuddin al-Khothib رحمه الله, “Diantara para da’i kepada as-Sunnah, yang menghabiskan hidupnya demi bekerja keras untuk menghidupkannya adalah saudara kami Abu Abdurrohman Muhammad Nashiruddin bin Nuh Najati Al Albaany.” (Shohiih At-Targhiib Wa At-Tarhiib” jilid 1)

      13) Syaikh Muhammad bin Ibrohim Aalu Syaikh رحمه الله pernah menyebut Al Albaany dengan pujian, “Beliau adalah Ahli Sunnah, pembela kebenaran dan musuh yang menghantam para pengikut kebaathilan.” (Shohiih At-Targhib Wa At-Tarhib” jilid 1)

      Sumber :
      Syaikh al Albaany Dihujat, Ustadz Abu Ubaidah, Pustaka Abdullah Jakarta, Cetakan Pertama, 5 Oktober 2005, 1 Ramadhan 1426 H & Kitab “Shohiih At-Targhiib Wa At-Tarhiib” Jilid 1. Penerbit: Pustaka Sahifa Jakarta

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: