Perayaan Maulid Nabi Muhammad
(Transkrip Ceramah AQI 100406)
PERAYAAN MAULID NABI MUHAMMAD صلى الله عليه وسلم
oleh : Ust. Achmad Rofi’i, Lc.
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allooh سبحانه وتعالى,
Seperti kita lihat setiap 12 Robii’ul Awwal di negeri kita selalu diadakan perayaan Maulid Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, padahal sudah nyata dalam sejarah Islam dan dalam ‘aqiidah Islam, bahwa Maulid Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم tidak pernah tercatat landasan dan ajarannya.
Perayaan Maulid Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم itu secara syari’at bukan saja tidak ada ajarannya, bahkan justru berbahaya. Oleh karena itu dibawah ini kami sampaikan kepada anda sekalian berdasarkan referensi-referensi yang ada secara ringkas. Berikut ini beberapa perkara penting yang sering dijadikan dalil dan dijadikan tradisi dalam acara peringatan Maulid itu.
Maulid Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم di Indonesia dan di luar Indonesia biasa diperingati dengan acara di rumah-rumah dan ada juga yang dilaksanakan dengan cara yang legal dan resmi melalui instansi-instansi pemerintah maupun swasta.
Kalau “Maulid” dikaitkan dengan cinta kepada Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, maka tidak bisa diingkari bahwa Maulid Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم itu menjadi perkara yang berkenaan dengan diin (agama). Dan kalau sudah berkenaan dengan Dien, maka harus ada landasan dan dalilnya. Kalau tidak ditemukan dalil dan landasannya, maka harus diakui bahwa itu menjadi bagian dari perbuatan Bid’ah.
“Maulid” atau “Maulud” atau “Miladah”, artinya “Kelahiran Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم”. Padahal secara sejarah para ulama tidak bisa memastikan dengan pasti satu kata sepakat bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم lahir tanggal 12 Rabi’ul Awwal. Sehingga bila ada orang mengatakan harus diperingati tanggal 12 Rabi’ul Awwal, dalilnya hanyalah sebatas: “Mungkin”. Dan “Kemungkinan” tidak lah bisa dijadikan suatu dalil. Itulah yang hendaknya menjadi pemahaman awal kita.
Untuk itu, maka kita akan cari dari mana dan kapan awal munculnya peringatan Maulid Nabi tersebut.
Pernah disampaikan dalam satu Kitab bahwa Maulid Nabi itu pertama kali muncul dan yang mengadakannya adalah seorang raja yang bernama Al Mudhoffar Abi Sa’id Kubray. Cerita tersebut diriwayatkan oleh Al Imam As Suyuuthi رحمه الله di dalam kitab beliau yang bernama “Husnul Maqshad Fi ‘Amalil Maulid”.
Al Imam As Suyuuthi رحمه الله dikenal sebagai pengikut madzhab Imam Syafi’i dan beliau (Imam As Suyuuthi رحمه الله) menceritakan bahwa Maulidan itu dilaksanakan pada masa Raja Al Mudhoffar.
Al Mudhoffar meninggal tahun 630 Hijriyah. Tetapi bisa diyakini bahwa menurut Ibnu Katsiir, orang ini (Mudhoffar) dilahirkan pada tahun 549 Hijriyah. Kalau meninggalnya tahun 630 Hijriyah berarti ia berusia 81 tahun. Berarti peringatan Maulid dilaksanakan pada abad ke-6 Hijriyah. Dia memegang tampuk kerajaan pada tahun 563 H, atau setelah dia berusia 14 tahun. Kalau ia meninggal tahun 630 H, berarti itu adalah abad ke-7 Hijriyah. Mulai abad ke -6 akhir atau abad ke-7 Hijriyah awal itulah Maulid Nabi mulai dikumandangkan.
Namun ada khabar lain bahwa Maulid Nabi itu sudah dimulai pada akhir abad ke-4. Yaitu pada masa pemerintahan Fathiimiyah di Mesir. Sejak saat itu muncul dan mulai menjadi mode budaya Maulidan. Demikian itu telah dikemukakan oleh para ulama antara lain Al Qalqasandi, yang merupakan perkataan jamaah dari kalangan muta-akhiriin.
Yang terakhir adalah yang dikemukakan oleh Abu Syamah bahwa Maulidan itu bermula pada masa orang yang menguasai negara Mousil (sekarang Syria) yang bernama Syeikh ‘Umar bin Muhammad Al Mala’, termasuk orang shoolih, dimulai abad ke-6 atau ke-7 Hijriyah.
Dari ketiga versi tersebut diatas, yang dianggap paling benar adalah khabar yang kedua, yang mengatakan bahwa Maulid diadakan pada masa pemerintahan Fathiimiyah di Mesir, dengan beberapa pertimbangan, karena masa ‘Umar bin Muhammad Al Mala’ dan Al Mudhoffar perayaan Maulid sudah membudaya di Mesir dan kemudian berkembang di negara mereka. Maka kalau itu dianggap benar, sesungguhnya Maulidan itu baru mulai muncul pada akhir abad ke-4, berarti 400-an tahun setelah Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم wafat.
Pada zaman Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم tidak pernah dikenal perayaan Maulid itu, demikian pula pada zaman para Shohabat, dan pada masa Tabi’iin maupun pada masa Tabi’ut Tabi’iin tidak lah dikenal. Justru dikenalnya pada masa pemerintahan Fathiimiyah di Mesir, 400–an tahun kemudian.
Munculnya peringatan Maulid adalah karena Taqliid (mengekor)danTasyabbuh (menyerupai). Taqliid adalah mengekor, mengikuti secara buta terhadap orang-orang Nashrani, dimana kaum Nashrani telah mempunyai budaya yang disebut Natal, yaitu memperingati kelahiran Yesus (Nabi Isa عليه السلام). Lalu ditiru oleh kaum muslimin yang kemudian menamakannya dengan Maulid Nabi.Yang demikian itu sesuai dengan sabda Rosuululloohصلى الله عليه وسلم , dalam Hadits Riwayat Al Imaam Muslim no: 6952, dari Shohabat Abu Saa’id Al Khudry رضي الله عنه sebagai berikut:
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ « فَمَنْ
Artinya:
“Kalian akan mengikuti adat tradisi ummat sebelum kalian sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Hingga sekiranya mereka masuk dalam lubang dobb (– sejenis biawak –) sekalipun, niscaya kalian akan mengikutinya juga.”
Para Shohabat bertanya, “Wahai Rosuulullooh, apakah yang dimaksud itu orang-orang Yahudi dan Nashroni?”
Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم menjawab, “Kalau bukan mereka, siapa lagi?”
Ternyata benar; kalau kaum Nashroni mengadakan perayaan Natal, maka kaum muslimin ikut-ikutan dengan mengadakan Maulidan. Itulah bagian daripada Taqliid.
Maulidan juga merupakan Tasyabbuh (menyerupai), yaitu menyerupai peribadatan atau syi’ar dari orang yang beraqidah agama lain. Kalau orang Nasrani mempunyai aqidah dan ibadah sendiri,lalu diserupai oleh kaum muslimin maka itu lah yang disebut Tasyabbuh. Dan Tasyabbuh adalah dilarang, diharomkan oleh Allooh سبحانه وتعالى, sesuai dengan sabda Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Artinya:
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia bagian dari kaum itu.”
(Hadits Riwayat Imaam Abu Daawud no: 4033, dan Syaikh Nashirudiin Al Albaany mengatakan Hadits ini Hasanun Shohiih, dari Shohabat ‘Abdullooh bin ‘Umar رضي الله عنه)
Tetapi kaum muslimin zaman sekarang akan marah kalau dikatakan bahwa mereka mengikuti ajaran Nashroni, atau Tasyabbuh dengan Nashoro. Mereka tetap mempunyai penyakit, yaitu penyakit turunan, yaitu mengikuti apa yang menjadi warisan orang-orang sebelumnya (leluhur) dan budaya turun-temurun dalam masyarakat dan bangsa itu. Kalau bapaknya melakukan itu, maka kaum muslimin akan mengatakan: “Ini kan sudah turun-temurun, sudah umum”.
Maka sikap seperti inipun merupakan Taqliid juga, tetapi bukan kepada agama lain, melainkan Taqliid kepada nenek-moyang.
Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allooh سبحانه وتعالى,
Kita hendaknya kembali kepada jalan Allooh سبحانه وتعالى, bahwa dalam beragama tidak boleh seorang di antara kita, hanya karena melihat orang sholat lalu ikut-ikutan sholat. Ada orang melakukan A, lalu kita ikut melakukan A.Ada orang banyak melakukan sesuatu, lalu kita ikut-ikutan, tanpa melihat dasar landasan atau dalilnya, hanya karena musiman atau “trendy”. Ada orang ibadah memakai baju putih, lalu ikut-ikutan memakai baju putih.Orang beribadah memakai peci putih,lalu ikut-ikut memakaipeci putih.Ada orang memakai udeng-udeng(sorban) lalu ikut-ikutan memakai udeng-udeng. Itu namanya Taqliid, dan itu tidak boleh.
Allooh سبحانه وتعالى berfirman:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
Artinya:
“Janganlah kamu melakukan suatu perkara yang kamu tidak tahu ilmunya tentang itu, sebab sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati kamu akan dimintai tanggungjawabnya oleh Allooh.” (QS Al Isroo (17) ayat 36)
Jadi hukum asal dalam beragama menurut ajaran Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, bahwa Ibadah itu harom, kecuali ada daliil yang mengajarkan tentang itu. Kalau ada ajaran dan dalilnya, maka kita harus mengamalkannya.
Ada beberapa fakta, yang kiranya tidak bisa dikemukakan disini, tetapi setidaknya menjadi pertimbangan bagi Anda sekalian bahwa peringatan Maulid termasuk kultus terhadap Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, yang memang dilarang oleh beliau صلى الله عليه وسلم. Seperti disabdakan beliau صلى الله عليه وسلم dalam sebuah Hadits shohiih:
لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ
Artinya:
“Jangan kalian berlebihan terhadapku, seperti orang Nashroni berlebihan terhadap Isa Ibnu Maryam”. (Hadits Riwayat Imam Al Bukhoory dari ‘Umar bin Khoththoob رضي الله عنه)
Jadi kalau itu kultus dan mengagungkan kepada Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, maka itu dilarang oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Ada yang menganjurkan melakukan peringatan Maulid, seperti yang dikatakan oleh Al Barzanji. Barzanji adalah nama tempat (daerah). Nama lengkapnya adalah Ja’far bin Hasan Abdul Karim Al Barzanji Zainal ‘Abidin. Termasuk warga Madinah, dan termasuk mufti dalam Madzhab Syafi’i. Ia meninggal tahun 1177 Hijriyah (abad ke-12 Hijriyah). Demikian dikemukakan oleh Az Zarkali dalam kitabnya: “Al A’lam”.
Dikatakannya begini: “Telah dianjurkan untuk melaksanakan Maulid, mengingat kelahiran Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Siapa yang menganjurkan itu adalah para imam yang mempunyai riwayat. Maka berbahagialah bagi orang yang mengagungkan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم”.
Berarti orang tersebut termasuk yang mendukung acara Maulidan tersebut. Tetapi ingat, orang ini hidup di abad 12 Hijriyah. Jadi merupakan turunan saja dari ajaran yang pernah ada pada abad ke-4, pada pemerintahan Fathiimiyah di Mesir.
Ada lagi orang lain yaitu Imam al Manawi, ia juga orang yang men-syarah Al Jami’ ush Shoghiir melalui kitab yang namanya “Faidhul Qadir”, ia juga mengatakan: “Wajib bagi orang yang hadir dan mendengar untuk berdiri ketika disebut tentang kelahiran Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم sebagai bukti mengagungkan atas datangnya dzat Nabi صلى الله عليه وسلم”.
Katanya, kalau Rosuul disebut dalam suatu perkataan dimana perkataannya sebagai berikut: “Asraqad anwaru Muhammadin wahtafad min hal buduru”. Atau ada kata-kata: “Sholatu Robbi dzil Jalali ‘ala nuril huda bahil jamali”. Atau yang sering kita dengar adalah:“Marhaban ya Marhaban ya Marhaban, Marhaban jaddal Husaini, Marhaba.Ya Nabi ya salamun ‘alaika, ya Rosul salamun ‘alaika”.
Ketika kata-kata itu dibacakan, maka yang hadir berdiri. Katanya, untuk menghormati ruh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم yang datang.
Kemudian ada yang mempunyai doa, apabila mereka selesai dari acara peringatan Maulid Nabi صلى الله عليه وسلم itu dengan mengucapkan:
“Allohumma inna qad hadhorna qiraata matayassara min maulida nabiyyikal karim faqdhi – Allohumma ‘alaina khal alqabuli watakrimi waaskinna bijiwarihi fi jannatinna’im” (dinukil dari kitab Al Anwar Al Qudsiyah dan Maulid yang ditulis oleh Al Manawi).
Terjemahannya: “Ya Allooh sesungguhnya kami telah menghadiri pembacaan dari kisah lahirnya Nabi-Mu, yang mulia, maka tunaikanlah kebutuhan kami. Ya Allooh karuniakan kepada kami diterimanya ibadah kami, dan kemuliaan itu. Dan berikanlah kesempatan untuk tinggal menjadi tetangga Rosuul di surga”.
Kalau kita selesai membaca Al Qur’an memang ada Hadits, dimana Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
عند كل ختمة دعوة مستجابة
Artinya:
“Setiap orang selesai dan khatam membaca Al Qur’an, maka ia mempunyai kesempatan berdo’a dan do’a itu akan dikabulkan oleh Allooh سبحانه وتعالى”.
Lalu oleh mereka, pembacaan Barzanji disamakan dengan membaca AlQur’an.Kata mereka: “Ya Allooh kami sudah selesai membaca cerita Nabi-Mu, maka kabulkanlah permintaan kami”.Karena mereka selesai membaca kisah Maulid Nabi صلى الله عليه وسلم lalu berdoa kepada Allooh سبحانه وتعالى.Yang demikian itu dijadikan Tawassul. Dan masih ada doa-doa yang lain, yang sering mereka ucapkan setelah membaca kitab Barzanji, atau Kitab Diba’i, yang semua itu dimuat dalam kitab Majmu’ Syarif.
Al Marghini mengatakan bahwa: “Akan dikabulkan suatu doa ketika mengingat kelahiran Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم dan ketika selesai dari memperingati kelahiran beliau”.
Yang mengatakan demikian itu bukan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, bukan pula Shohabat, tetapi seseorang yang bernama Al Marghini dan itu dinukil dari Kitab “Al Asror Ar Robbaniyah”.
Semua itu berasal dari orang-orang muta-akhiriin (yaitu orang-orang yang hidupnya jauh dari masa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, para Shohabat, Tabi’iin dan Tabi’ut Tabi’iin), karena hidupnya adalah baru pada abad ke-12 Hijriyah.
Sementara pada abad-abad sebelumnya atau di masa-masa Islam sebelumnya (yang masih murni), tidak akan ditemukan orang yang meng-keramatkan dan mengutamakan peringatan Maulid Nabi صلى الله عليه وسلم.
Maulid Nabi صلى الله عليه وسلم, kalau kita lihat di awal sejarahnya diperingati dengan besar-besaran. Bahkan sampai sekarang. Pada awal sejarahnya pada zaman pemerintahan Fathiimiyah, Raja Al Mudhoffar dalam suatu Maulid telah berinfak sebanyak 5000 ekor kambing, 10.000 ekor ayam, 100.000 keju, 30.000 piring halwa (roti padat). Yang hadir adalah diantaranya para tokoh Shufi, yang memperdengarkan lagu-lagu pujian Shufi, dari sejak sholat Dhuhur sampai dengan Sholat Shubuh. Dan melagukan lagu Yarqus (Rock), berisi joged-joged. Disebutkan bahwa dana untuk itu semua mencapai 300.000 Dinar (Emas). Itu infak untuk Maulidan.
Data itu perlu disampaikan kepada kita, bahwa memang benar Maulidan itu sudah ada sejak abad ke-4 Hijriyah.Tetapi yang menjadi dasar bagi kita adalah bahwa sesuatu diyakini sebagai agama, Dien, ajaran, adalah jika didasarkan pada abad Nol (0) Hijriyah.
Kalender Hijriyah dihitung dimulai sejak bulan Muharram hijrahnya Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم ke Madinah. Dengan demikian dapat dipastikan setelah 13 tahun setelah ke-Rosuulan. Atau 13 tahun kebelakang belum dihitung dalam penanggalan. Sejak dari Nol Hijriyah itu atau sejak 13 tahun Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم berda’wah, apalagi selama beliau di Mekkah, tidak pernah ditemukan dalam sejarah dan siroh mana pun Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم memperingati hari kelahiran beliau.
Setelah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم wafat pun juga tidak ada riwayatnya. Sampai kepada Shohabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in, sampai zamannya Imaam Asy Syafi’i juga tidak pernah ada peringatan Maulid Nabi صلى الله عليه وسلم. Kalau begitu, itu pasti ajaran baru.Kalau ajaran baru berarti Muhdats.Padahal Muhdats itu oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dilarang. Sabda beliau صلى الله عليه وسلم (و إياكم و محدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة و كل بدعة ضلالة) sebagaimana dalam Hadits Shohiih yang diriwayatkan oleh Al Imaam At Turmudzy dalam Sunan-nya no: 2676 dari Shohabat Al Irbaad Ibnu Saariyah رضي الله عنه sebagai berikut :
أوصيكم بتقوى الله والسمع والطاعة وإن عبد حبشي فإنه من يعش منكم يرى اختلافا كثيرا وإياكم ومحدثات الأمور فإنها ضلالة فمن أدرك ذلك منكم فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين عضوا عليها بالنواجذ
Artinya:
“Aku wasiatkan kepada kalian supaya tetap bertaqwa kepada Allooh, tetaplah mendengar dan taat, walaupun yang memerintah kalian adalah seorang budak dari Habasyah. Sungguh, orang yang masih hidup diantara kalian setelahku, maka ia akan melihat perselisihan yang banyak; maka wajib atas kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan Sunnah Khulafaa’ur Rosyidiin yang mendapat petunjuk. Peganglah erat-erat dan gigitlah dia dengan gigi gerahammu. Dan jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru (dalam dien), karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu adalah Bid’ah. Dan setiap Bid’ah itu adalah sesat.”
Demikian disabdakan oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dalam suatu khutbah yang bernama Khutbatul Hajah dan itu menjadi bukti. Bahwasanya yang disebut dengan Maulidan itu mempunyai akibat terhadap perkara aqidah yang tidak kecil, karena dengan Maulidan telah memunculkan kultus terhadap Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Padahal seperti disebutkan diatas bahwa kultus terhadap Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dilarang. Juga dalam Hadits Riwayat Imaam Al Bukhoory no: 3445, dari ‘Umar bin Khoththoob رضي الله عنه, bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ
Artinya:
“Janganlah kalian berlebihan terhadapku, sebagaimana orang Nashoro mengkultuskan ‘Isa Ibnu Maryam. Aku ini hanyalah hamba Allooh. Maka katakanlah untukku: ‘Hamba Allooh dan Rosuul-Nya’.”
Lalu dalam Hadits Riwayat Imaam Ibnu Maajah no: 3029, di-shohiihkan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albaany, dari ‘Abdullooh bin ‘Abbaas رضي الله عنه, bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
يا أيها الناس إياكم والغلو في الدين فإنه أهلك من كان قبلكم الغلو في الدين
Artinya:
“Wahai manusia, Hindarilah oleh kalian sifat Ghuluw (kultus) dalam perkara dien. Binasanya orang-orang terdahulu sebelum kalian adalah karena Ghuluw.”
Ada beberapa perkara yang menjadi fakta, bahwa Maulidan mengakibatkan kultus.
Di antaranya adalah mereka berdalil dengan hadits, kata mereka haditsnya dari Jabir bin ‘Abdillah, yang mengatakan kepada Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم: “Ya Rosuulullooh, demi bapak dan ibuku, beritahukanlah kepadaku, tentang yang pertama kali Allooh ciptakan sebelum segala sesuatu”. Maka jawab Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم: “Wahai Jabir, sesungguhnya Allooh telah menciptakan sebelum menciptakannya segala sesuatu, adalah telah menciptakan nur (cahaya) Nabimu dari cahaya-Nya (cahaya Allooh سبحانه وتعالى). Pada waktu itu tidak ada Lauhul Mahfudz, tidak ada Qolam (pena), tidak ada Jannah (surga) dan tidak ada Naar (neraka), tidak ada malaikat dan tidak ada langit, bumi, matahari dan bulan”.
Hadits tersebut diriwayatkan dalam kitab “Al Mawahid Al Laduniyah”, di tulis oleh Al Asqolaani.
Menurut Imam Al Manawi, bahwa Nama Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم mempunyai 4 huruf, yaitu huruf Hijaiyah: Mim, Ha, Mim dan Dal. Setiap huruf mempunyai kedudukan. Mim (pertama) adalah merupakan dasar diciptakannya segala sesuatu. Segala sesuatu berasal dari cahaya-Nya (Allooh سبحانه وتعالى), yang telah mengadakannya. Kalau saja tidak karena Muhammad صلى الله عليه وسلم maka tidak akan terbit, dan tidak akan ada makhluk tersebut.
Lalu dikatakan oleh Al Marghini: “Aku bersaksi bahwa Tuan (Sayyidina) Muhammad diciptakan dari Mim, namanya terbentang ke seluruh alam yang ciptakan oleh Allah Ta’ala”.
Yang demikian itu, harus kita ketahui bahwa Haditsnya adalah Hadits palsu, kedustaan terhadap Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Berarti bukan Hadits melainkan hadits yang diada-adakan. Oleh karena itu dalam satu Kitab “Majmu’Ar Rosail Wal Masail”, dikatakan bahwa: “Ini bukanlah hadits yang berasal dari Nabi صلى الله عليه وسلم. Hadits dho’iif. Tidak seorangpun dari kalangan ahlul ‘ilimi tentang hadits, yang meriwayatkan hadits tersebut dari Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم. Bahkan tidak pernah dikenal pula ada seorang Shohabat yang meriwayatkan ini.Perkataan itu tidak diketahui,siapa yang mengatakan awal pertama kalinya”
Berarti hadits yang tersebut diatas tidak jelas asal-usulnya. Haditsnya palsu.
Bahkan Al Imam As Suyuuthi رحمه الله dalam kitabnya “Al Haawi” mengatakan, seperti disebutkan dalam Al Qur’an bahwa manusia itu berasal dari anak-cucu Adam dan diciptakan dari tanah.
Juga bertentangan pula dengan firman Allooh سبحانه وتعالى dalam QS. Fushshilat (41) ayat 6:
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ
Artinya:
“Katakanlah (Wahai Muhammad): Sesungguhnya aku adalah manusia seperti kalian.” (Juga disebutkan demikian pula dalam QS Al Kahfi (18) ayat 110)
Sedangkan dalam Hadits Palsu diatas, dikatakan bahwa Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم tidak seperti manusia biasa, karena diciptakan dari cahaya sebelum segala sesuatu ini diciptakan dan seterusnya, dan seterusnya.
Padahal yang benar, seperti yang disebutkan dalam Hadits Shohiih, Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda bahwa: makhluk yang pertama kali diciptakan oleh Allooh سبحانه وتعالى adalah Pena. Sehingga menjadi kesepakatan Ahlussunnah wal Jama’ah, bahwa: “Pertama kali makhluk yang Allooh ciptakan adalah pena (Qolam).
Perhatikanlah Hadits Riwayat Al Imaam Abu Daawud no: 4702 dan Al Imaam At Turmudzy no: 3319, dari Shohabat ‘Ubaadah bin Shoomit رضي الله عنه, bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda :
إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللَّهُ الْقَلَمَ ، فَقَالَ لَهُ : اكْتُبْ قَالَ : رَبِّ وَمَاذَا أَكْتُبُ ؟ قَالَ : اكْتُبْ مَقَادِيرَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ
Artinya:
“Pertama kali yang Allooh سبحانه وتعالى ciptakan adalah Al Qalam (pena).”
Lalu Allooh سبحانه وتعالى firmankan kepada Al Qalam: “Wahai Qalam, tulislah olehmu!”
Lalu kata Qalam: “Apa yang aku tulis, ya Allooh?”
Allooh سبحانه وتعالى berfirman: “Tulislah apa yang akan terjadi sampai hari Kiamat.”
Jadi Pena adalah makhluk yang pertama kali diciptakan. Maka apa yang disebutkan dalam hadits palsu diatas adalah bertentangan dengan Hadits Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم tersebut.
Ada beberapa bait Syi’ir yang ditulis oleh Al Buushiri dalam kitabnya yang namanya Burdah. Dan itu ada juga dalam Majmu’ Syarif. Syi’ir-nya antara lain berbunyi:
Wahai manusia yang paling mulia,
Kepada siapa lagi aku akan mengadu selain kepadamu,
Ketika turun kepada kami beberapa musibah yang melanda.
Tidak akan pernah sempit dengan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم
bagi kedudukanmu melalui aku,
Ketika kemuliaan telah jelas dengan nama.
Karena dengan adanya engkau (Muhammad صلى الله عليه وسلم),
lalu adanya dunia dan seisinya.
Dan di antara ilmumu (ilmu Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم)
adalah ilmu tentang Lauh dan ilmu tentang Pena.
Itulah bentuk kultus–nya. Dikatakan bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم lah yang menyebabkan lahirnya dunia ini dan seisinya, Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم mengetahui apa yang ada dalam Lauhul Mahfudz, dan apa yang dalam Al Qolam. Semua itu termasuk Kultus, karena sesungguhnya yang demikian adalah bagian dari Syirik.
Kalau dikatakan bahwa segala kejadian akan bisa terangkat dan terselamatkan oleh adanya Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, maka itu adalah Syirik.
Karena bertentangan dengan firman Allooh سبحانه وتعالى:
وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ
Artinya:
“Dan jika Allooh menimpakan suatu bencana kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya, kecuali Dia (Allooh).” (QS. Yunus (10) ayat 107)
Sementara dari keyakinan dalam syi’ir itu, yang mengangkat dan yang mengentaskan musibah/ mudhorot adalah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Oleh karena itu, kalau dikatakan bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم mengetahui Lauhul Mahfudz dan Al Qolam, itu pun salah. Karena bertentangan dengan firman Allooh سبحانه وتعالى:
قُلْ لَا أَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ اللَّهِ وَلَا أَعْلَمُ الْغَيْبَ
Artinya:
“Katakan (Wahai Muhammad): Aku tidak mengatakan kepada kalian bahwa aku memiliki apa (pengetahuan) yang ada dalam rahasia Allooh, dan aku tidak mengetahui hal yang ghoib.” (QS. Al An ‘aam (6) ayat 50)
Juga firman Allooh سبحانه وتعالى:
قُلْ لَا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ
Artinya:
“Katakanlah (Wahai Muhammad): Aku tidak kuasa mendatangkan manfaat maupun menolak mudhorot bagi diriku, kecuali apa yang dikehendaki oleh Allooh.” (awal QS Al A’roof (7) ayat 188)
Kemudian selanjutnya :
وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ
Artinya:
“Sekiranya aku mengetahui yang ghoib, niscaya aku akan memperbanyak amalan yang shoolih”.(QS Al A’roof (7) ayat 188)
Itulah yang diungkapkan oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, atas perintah Allooh سبحانه وتعالى, untuk mengucapkannya. Maka apa yang disyi’irkan dan dinyatakan oleh syi’ir tertsebut diatas, selain suatu peng-kultus-an juga tergolong syirik.
Dalam bait-bait Syi’ir yang lainnya disebutkan:
Seluruh yang ada di alam semesta ini
karena Muhammad صلى الله عليه وسلم diciptakan.
Dunianya, akhiratnya, semuanya adalah
karena diciptakannya Muhammad صلى الله عليه وسلم.
Muhammad صلى الله عليه وسلم adalah makhluk pertama kali
yang menjadi rahasia alam semesta.
Begitu juga seluruh manusia dari awalnya.
Kalau saja bukan karena Muhammad صلى الله عليه وسلم,
Allooh سبحانه وتعالى tidak akan mengadakan apa yang ada di alam semesta ini,
Dan tidak akan terjadi apa yang ada di alam semesta ini,
kalau bukan karena kemuliaannya.
Dan masih banyak lagi syi’ir-syi’ir yang syubhat-syubhat, yang masih saja diyakini oleh sebagian besar kaum muslimin tentang masalah Maulidan, yang sebenarnya secara ilmiah tidak lah bisa dibuktikan.
Maka hendaknya kita semakin yakin bahwa Maulidan bukanlah bagian dari Sunnah dan ajaran Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Bukan bagian dari ajaran Islam. Maulidan adalah ajaran yang diada-adakan (merupakan perkara baru) dalam ajaran Islam, yang tidak dikenal sebelumnya, atau dengan kata lain disebut Bid’ah.
Maka sangat disayangkan seandainya hal itu terus berlangsung di masyarakat dan kita diam saja terhadap orang-orang disekitar kita yang melakukannya.
Kesimpulannya, bahwa Maulidan itu mempunyai beberapa efek negatif, antara lain:
1. Dari sisi ‘aqiidah:akan terjadi Syirik, Kultus dan Tawassulyang tidak benar caranya. Semua itu adalah perkarayang berat.
Dengan mengatakan bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bisa mengangkat dan mengentaskan bahaya, maka yang demikian itu adalah syirik.
Dan syirik itu akan melenyapkan seluruh nilai amalan kita.
Firman Allooh سبحانه وتعالى:
لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Artinya:
“Kalau kamu berbuat syirik, niscaya amalanmu akan gugur semuanya dan kamu di Hari Akhir termasuk orang-orang yang merugi”. (QS Az Zumar (39) ayat 65)
Itu sudah cukup membuat kita kandas, merugi dan termasuk orang yang bangkrut. Na’udzubillaahi min dzaalik.
2. Dari sisi ibadah: Ibadah yang demikian itu menjadi Bid’ah, karena tidak ada dasarnya. Orang berkorban dengan harta, waktu, tenaga dan apa yang ia miliki, menganggap bahwa Maulidan itu syi’ar Islam, menganggap itu bagian dari ritual kaum muslimin, padahal tidak ada landasannya sama sekali. Berarti perkara itu adalah perkara Bid’ah, dan Bid’ah adalah hal yang sia-sia, bahkan menjadi dosa. Bahwa orang yang menghidupkan satu bid’ah, berarti telah mematikan satu Sunnah.
3. Secara budaya: Maulidan merupakan pembiasaan yang buruk. Dari dahulu sampai sekarang bahkan sampai waktu yang akan datang terus saja dibiasakan, padahal sudah jelas-jelas tidak bisa dibuktikan landasan dalilnya.
Yang disebut dalil adalah Firman Allooh سبحانه وتعالى dan Sabda Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Kalau hanya kata kyai, kata organisasi, kata sekumpulan orang, hasil kesepakatan manusia, kebiasaan dan sebagainya, semuanya itu bukan lah dalil. Kalaupun disebut dengan Syi’ar, maka itu adalah syi’ar Islam yang palsu, karena tidak ada dasarnya. Sesuatu baru bisa dikatakan sebagai Syi’ar itu kalau ada dasarnya.
Yang dimaksud Syi’ar Islam misalnya: Sholat berjamaah, wanita berjilbab, menunaikan ibadah haji, dan seterusnya yang memang jelas ada ajarannya dan dasar (dalilnya). Kalau suatu syi’ar tidak ada ajarannya, berarti itu syi’ar palsu.
4. Dari sisi sosial: Yaitu yang menyangkut masyarakat umum. Maulidan telah membiasakan orang untuk memperingati dengan acara-acara yang maksiat. Laki-laki dan perempuan yang bukan mahromnya bercampur aduk dalam satu tempat, bahkan ada musik-musiknya, nyanyian-nyanyiannya, lalu ada joged-jogednya, dan itu adalah haram. Bahkan mungkin disitu tidak terkontrol ada unsur judinya, ada minum khamernya, maka semakin bertambah haram. Dari sini saja sudah banyak mengandung unsur madhorot.
5. Dari sisi ekonomi: Termasuk tabdziir dan isroof (mubadzir). Kalau saja setiap RT mengadakan Maulidan, per-RT menghabiskan rata-rata satu juta rupiah, maka untuk seluruh Indonesia yang sebanyak 10.000 RT, maka dana yang dihabiskan sebesar 10 milyar rupiah. Bayangkan, uang sebanyak itu dihabiskan untuk perkara yang bukan bermakna ibadah, tetapi justru bermakna tabdziir, tidak mempunyai nilai di sisi Allooh سبحانه وتعالى, bahkan berpeluang menimbulkan maksiat.
Itulah hal-hal yang harus disadari oleh kita semua, dipahami sedalam-dalamnya, bukan semata-mata diatas dasar emosi dan bertahan diatas sesuatu yang tidak ada landasan ilmunya.
Kalau ingin berbicara tentang ilmu, marilah semuanya kita kembalikan ke firman Allooh سبحانه وتعالى dan sabda Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Cukuplah bagi kita, kalau kita berpegang pada Al Qur’an dan Sunnah, maka kita akan menjadi orang yang selamat.
Ber-Islam landasannya bukan karena sedang nge-trend, atau sedang favorit atau sedang digandrungi, atau karena sudah membudaya dan sudah turun-temurun. Semua landasan tersebut tidak benar, karena Islam yang ada pada hari ini harus sesuai dengan Islam yang ada pada masa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Kalau tidak ada dalam al Qur’an, tidak ada dalam Sunnah atau ajaran Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, hendaknya berhenti dan dihentikan. Sebab semua amalan itu akan tertolak.
Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
وَمَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Artinya:
“Barangsiapa mengadakan sesuatu yang baru dalam urusan dien kami yang bukan berasal darinya, maka (perbuatan itu) tertolak.” (Hadits Riwayat Imaam Al Bukhoory no: 2697 dan Imaam Muslim no: 4589, dari ‘Aa’isyah رضي الله عنها)
Demikianlah hal-hal yang bisa dikemukakan saat ini, mudah-mudahan bisa menjadi pengajaran bagi kaum muslimin bahwa sebenarnya Acara Peringatan Maulid Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم itu tidak ada landasannya, tidak ada tuntunannya dari Sunnah Muhammad Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Karena itu, seharusnya kepada khalayak kaum muslimin dan saudara-saudara kita yang lainnya, kita sebarkan pemahaman yang benar agar setiap kita menjadi orang-orang yang selamat, kalau kelak kita meninggal.
Tanya-Jawab:
Pertanyaan:
Ada informasi lain tentang Maulid Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم katanya pertama-tama dilakukan oleh Salahudin Al Ayyubi. Karena ketika itu umat Islam semangatnya mulai lemah, tidak semangat.
Mohon penjelasan lebih lanjut tentang asal rujukan dan dari kitab apa informasi tersebut.
Jawaban:
Apa yang kami sampaikan diatas rujukannya jelas. Dari kitab-kitab yang saya sebutkan diatas. Tetapi cerita Shalahuddin Al Ayyubi adalah riwayat dari mulut ke mulut dan tidak jelas asal-usul riwayatnya. Maka kita tidak perlu terpaku dengan kisah Shalahuddin Al Ayyubi, kalau memang itu tidak ada landasannya yang jelas. Kami sendiri tidak menemukan sumber informasinya, karena riwayat itu hanya dari mulut ke mulut.Tidak jelas ke-shohiihannya. Sementara yang bisa dirujuk dari berbagai kitab adalah seperti yang disampaikan diatas.
Kalaupun itu dikatakan untuk menumbuhkan semangat kaum muslimin untuk beramal, mengamalkan ajaran Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, maka pada kenyataannya urusan tersebut tidak lah berbekas. Tidak ada hasilnya apa-apa. Maulidan dilaksanakan dari tahun ke tahun, toh tidak berbekas sama sekali. Apakah dengan Maulid lantas kaum muslimin menjadi militant untuk mengikuti ajaran Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم? Apakah menjadi semakin tergerak untuk meniru ibadahnya Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم? Semakin kental nyunnahnya, semakin berpegang teguh Islamnya? Sama sekali tidak.
Yang jelas, yang sekarang muncul malah justru pornografi, pornoaksi, dekadensi moral, seperti munculnya majalah Playboy dan sejenisnya, yang semua itu adalah pelecehan dari ajaran Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Harom hukumnya seorang wanita memperlihatkan perhiasannya. Terutama perhiasan asli tubuhnya yang Allooh سبحانه وتعالى ciptakan. Juga perhiasan buatan yang berasal dari pakaiannya, make-up, dan perhiasan lainnya. Semua itu haram untuk diperlihatkan kepada orang yang bukan mahromnya.
Bagaimana halnya dengan seorang perempuan yang memperlihatkan tubuhnya?
Ia difoto dalam pose tanpa busana atau busana yang minim, lalu dicetak sekian ribu eksemplaar. Mungkin perempuan itu dibeli dengan difoto, sekali foto upahnya 5 juta rupiah. Lalu fotonya dicetak menjadi 10 ribu eksemplar. Maka harga satu foto Rp500,–/lembar. Artinya perempuan yang difoto itu harga dirinya hanya Rp500,–(Limaratus rupiah). Dengan demikian ia sama sekali tidak punya harga diri. Hanya dihargai limaratus rupiah. Ironisnya, perempuan yang difoto itu bangga. Ia bangga karena merasa populer, padahal ia hanya bernilai limaratus rupiah. Hina sekali sebetulnya.
Belum lagi kerusakan moral yang muncul. Manusia yang waras dan sehat syahwatnya, bila diiming-imingi (sengaja atau tidak) untuk melihat aurat wanita, pasti akan tergiur. Wanita pun tertarik pada laki-laki. Apalagi laki-laki. Tentu lebih tertarik kepada wanita. Dengan demikian, foto-foto seperti itu yang disebar-luaskan, akan menyebabkan orang lain terbangkit syahwatnya untuk berbuat zina. Maka moral manusia menjadi turun drastis. Banyak terjadi sekarang anak berzina dengan orang tuanya sendiri. Ada anak dibawah umur berzina dengan sesama anak dibawah umur. Di siaran berita TV-TV setiap hari ditayangkan berita semacam itu. Itu antara lain karena adanya VCD porno, gambar porno dan majalah porno.
Maka hendaknya kita kaum muslimin berhati-hati, jangan sampai tergiur dan tertipu oleh tipu-daya syeitan.
Pertanyan tertulis:
Dalam Kitab “Al ‘Ubuudiyah” ditulis oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan bolehnya bertawasul kepada kubur Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم. Apakah hal itu benar?
Jawaban:
Saya yakin tidak ada yang mengajarkan bahwa orang boleh dan bisa bertawassul dengan kubur. Karena kubur itu adalah terdiri dari tanah, batu, nisan, dsbnya. Kalau bertawassul dengan yang ada di dalamnya, berarti orang yang dikubur, maka itu tidak lah benar.
Kalaupun misalnya ada dalam kitab yang disebut diatas, kitab apa pun kalau itu mengajarkan sesuatu yang tidak benar, maka tidak perlu dijadikan pelajaran. Kitab apa pun yang ditulis oleh orang semasyhur apa pun, kalau tidak sesuai dengan firman Allooh سبحانه وتعالى dan sabda Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, maka tidak perlu didengar.
Tawassul yang dibolehkan adalah tawassul dengan amal shoolih.Bila seseorang pernah ber-amal shoolih, maka boleh bertawassul dengan amal shoolihnya itu. Itu boleh.
Atau orang bertawassul melalui do’a orang shoolih yang masih hidup, itu juga boleh. Misalnya ada orang shoolih, ia berpegang-teguh dengan Sunnah, ia ahli ibadah, ia adalah orang taqwa, ia adalah orang waro’, dan orang tersebut masih hidup, lalu kita datangi dia, minta tolong padanya untuk mendo’akan kita, lalu orang shoolih tersebut membacakan do’a untuk kita, maka yang demikian itu adalah diperbolehkan. Itu namanya tawassul melalui do’a orang shoolih. Tetapi kalau orang shoolih itu sudah mati, maka tidak boleh lagi ber–tawassul dengannya.
Ber–tawassul dengan Asma dan Shifat Allooh سبحانه وتعالى, itu juga boleh. Allooh سبحانه وتعالى berfirman:
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا
Artinya:
“Sesungguhnya Allooh mempunyai nama-nama yang baik, maka berdoalah kamu dengan nama-nama itu”. (QS. Al A’roof (7) ayat 180)
Berarti ber-tawassul dengan Asma-Asma Allooh سبحانه وتعالى boleh. Dan itu memang diajarkan oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Tetapi ber-tawassul kepada kuburan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, maka yang seperti ini adalah tidak boleh.
Ber-tawassul dengan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, setelah beliau meninggal, juga tidak boleh. Karena beliau sudah meninggal dunia.
Adapun tidaklah sama, kalau seseorang ber-sholawat kepada beliau lalu beliau membalasnya, itu adalah Al Hayat Al Barzakhiyyah, dan itu adalah kekuasaan Allooh سبحانه وتعالى, tidak bisa disamakan dengan kehidupan kita di dunia.
Pertanyaan:
Apakah aqidah dari Imam Al Manawi, yang merupakan pen-syarah Kitab “Jaami’ush Shoghiir”, karena beliau termasuk yang menganjurkan perayaan Maulid Nabi صلى الله عليه وسلم?
Jawaban:
Imam Al Manawi adalah seorang Imam bahkan dikenal kitabnya dalam menjelaskan Kitab Imam As Suyuuthi. Namanya Kitab “Al Faidhul Qadir, syarah Al Jami ‘ush shghiir’”
Tetapi, sekali lagi, imam siapa pun kalau ia mengajarkan sesuatu yang tidak diajarkan dan disampaikan oleh shohabat, maka berarti aqidahnya mempunyai peluang sesat dan salah. Karena itu kita tidak mengikuti imam/ orang shoolih atau siapa pun bila yang disampaikannya tidak sesuai dengan tuntunan Rosuul. Karena yang harus kita ikuti adalah Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم.
Pertanyaan:
Dalam sholat berjama’ah bila shaf pertama penuh, bagaimana cara membentuk shaf kedua? Dari kanan atau dari tengah?
Jawaban:
Mulailah dari sebelah belakang kanan imam, terus berbaris ke kanan. Barulah berbaris ke kiri.
Pertanyaan:
Bolehkah sholat di masjid yang disampingnya terdapat makam (kuburan)?
Bagaimana dengan Masjid Nabawi yang didalamnya terdapat makam Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم ?
Jawaban:
Dilihat dari sejarah asalnya adalah karena makam Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم lebih dahulu ada disitu, yang dahulunya bukan masjid. Makamnya semula diluar masjid Nabawi. Makam dan rumah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم asalnya terpisah dengan masjid Nabawi oleh dinding. Kalau sekarang makamnya terdapat dalam Masjid, itu bukanlah menjadikan dalil bagi bolehnya kuburan lalu disampingnya dibangun masjid.
Pertanyaan:
Dijelaskan diatas bahwa mengadakan perayaan Maulid itu Bid’ah. Bagaimana kalau dalam perayaan Maulid itu tidak ada acara-acara yang bertentangan, kecuali hanya ceramah tabligh, apakah itu termasuk Bid’ah? Kalau dikatakan Bid’ah mengapa tidak ada ulama yang sepakat bahwa Maulid itu Bid’ah? Berarti orang-orang yang mengadakan Bid’ah itu masuk neraka, karena setiap yang baru itu sesat dan masuk neraka. Mohon penjelasan.
Jawaban:
Sekarang hendaknya diketahui dulu ilmunya dengan benar, bahwa Maulid itu secara syar’i tidak punya landasan yang benar. Anda hendaknya camkan terlebih dahulu pemahaman seperti itu.
Lalu, kalau didalam perayaan Maulid itu tidak ada acara lain kecuali ceramah. Kalau tidak acara lain, berarti tidak akan terjadi Maulidan. Maka mustahil kalau tidak ada acara apa-apa. Pasti terjadi acara apa-apa. Acaranya itu justru yang tidak ada landasannya (dalilnya).
Maka kalau ingin sesuai dengan Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, tidak usah diadakan Maulid itu. Kalau saja ada acara ceramah, dan ceramahnya membantah terhadap diadakannya Maulidan itu, tentu sebelum selesai ceramah sudah disuruh berhenti oleh panitia. Maka pasti isi ceramahnya mempertimbangkan khalayak yang mengundang dan meng-“order”-nya. Tidak mungkin untuk berbicara sebebas-bebasnya.
Maka kalau memang ingin “Nyunnah”, tidak lah usah ikut dalam acara itu. Karena Maulid itu mengada-ada sesuatu yang tidak ada dalilnya, alias Bid’ah.
Mulailah dari diri kita sendiri. Tegakkan Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم mulai dari dalm diri kita terlebih dahulu. Marilah kita bersemangat untuk selalu cinta kepada Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Apa yang ada dalam Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم kita hidupkan, apa yang tidak ada kita tidak perlu ikut-ikutan. Insya Allooh kita akan mendapat banyak pahala dan kebajikan. Mudah-mudahan Allooh سبحانه وتعالى akan memberikan ilmu kepada yang masih melaksanakan Bid’ah. Allooh سبحانه وتعالى bukakan hati mereka, ditunjukkan mereka kepada jalan yang lurus, lalu jera tidak lagi melakukan kebid’ahan itu. Tetapi kalau sudah diberitahu tentang yang benar, lalu mereka masih saja melakukan bid’ah, jangan-jangan hati mereka memang sudah tertutup sekat (Khotamalloohu ‘ala qulubihim). Berarti kita tidak bersama mereka.
Pertanyaan:
Menurut pengamatan Anda, Maulid Nabi صلى الله عليه وسلم selain dilakukan di Indonesia, dilakukan di negara mana saja?
Jawaban:
Yang namanya Bid’ah, itu tersebar di mana-mana. Jangankan di Indonesia, di negara Haramain (Saudi Arabia) sendiri, ada Maulidan. Tetapi kadar dan prosentasenya sangat kecil. Yang banyak disana adalah melaksanakan Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Sehingga, kalau ada Maulid disana tidak begitu nampak, sepertinya dilakukannya dengan sembunyi-sembunyi.Yang demikian itu tidak mustahil, karena di zaman para shohabat saja terjadi maksiat. Jadi tidak aneh, dimana saja bid’ah bisa muncul, juga di Asia.
Pertanyaan:
Tentang pernikahan massal. Sekarang menjadi model dari organisasi-organisasi sosial untuk mengadakan pernikahan massal, terutama terhadap orang-orang yang sudah hidup bersama tanpa menikah (kumpul kebo). Bagaimanakah pernikahan massal yang dimaksudkan itu dipandang dari segi aqidah ?
Jawaban:
Secara hukum, orang yang berzina adalah ibarat mayat gentayangan. Kalau orang yang berzina itu belum pernah nikah, maka memungkinkan orang tersebut dirajam tidak sampai mati. Lalu diasingkan dari negerinya (dita’zir). Tetapi bagi orang yang sudah menikah/ pernah menikah/ dalam keadaan menikah; kalau ia berzina, maka hukuman syari’at-nya adalah dirajam sampai mati.
Bila demikian adanya, maka orang yang berzina dalam keadaan sudah pernah menikah, maka mereka itu adalah laksana mayat-mayat yang bergentayangan. Karena status mereka sudah mati sebenarnya.
Tetapi di Indonesia, yang berjalan bukan lah hukum Allooh سبحانه وتعالى, melainkan hukum Hak Azasi Manusia. Jadi hukum yang berlaku semaunya, karena semua adalah Hak Azasi. Maksiat pun hak azasi. Disangkanya hak azasi itu akan menyelamatkan manusia. Padahal hak azasi seharusnya tunduk pada hak Allooh سبحانه وتعالى, yang menjadi kewajiban bagi manusia.
Dalam hadits shoohih, diriwayatkan Mu’az bin Jabal رضي الله عنه bertanya kepada Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم: “Wahai Rosuulullooh, apakah yang menjadi hak Allooh atas manusia dan apa hak manusia kepada Allooh?”
Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم menjawab bahwa ada timbal-balik antara hak hamba dengan hak Pencipta (Allooh سبحانه وتعالى). Apa yang menjadi hak Allooh سبحانه وتعالى adalah menjadi kewajiban manusia. Apa yang menjadi kewajiban manusia bukanlah kewajiban bagi Allooh سبحانه وتعالى. Karena makhluk tidak bisa mewajibkan kepada Allooh سبحانه وتعالى. Semua adalah karunia dari Allooh سبحانه وتعالى. Jika orang beramal-shoolih, maka Allooh سبحانه وتعالى akan memberikan keutamaan kepada orang tersebut.
Dengan demikian, maka manusia hidup ini tidak ada yang merdeka, semaunya sendiri, mau maksiat mau beramal, terserah, seperti hewan. Tidak demikian.
Adapun hewan itu semaunya sendiri karena hewan memang tidak mukallaf, karena tidak diberi akal. Manusia berbeda. Manusia itu diberi fitroh (Islam), diberi kemampuan yang berbeda dengan hewan, diberi syari’at, diutus Rosuul pada mereka, diberi malaikat. Semuanya untuk manusia. Oleh karena itu, maka manusia tidak bebas seperti yang diinginkan dirinya (yakni ingin sebebas-bebasnya). Tetapi, hendaknya manusia mengikuti ajaran yang Allooh سبحانه وتعالى kehendaki. Manusia bergaul dengan sesama manusia juga harus sesuai dengan aturan Allooh سبحانه وتعالى.
Oleh karena itu, manusia yang berzina, ia harus mengakui terlebih dahulu bahwa ia telah berzina. Maka ia harus bertaubat kepada Allooh سبحانه وتعالى. Astaghfirullooh wa atuubu ilaih. Langsung hentikan perbuatan zinanya. Jangan lagi berbuat zina. Kalau mereka sudah bertaubat, jangan lalu diumumkan kepada orang lain.
Kalau sudah terjadi taubat, maka barulah diadakan pernikahan.
Sekian bahasan kita, mudah-mudahan ada manfaatnya.
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Jakarta, Senin malam, 12 Rabi’ul Awwal 1427 H – 10 April 2006 M.
—–oOo—–
Silakan download PDF : Perayaan Maulid AQI 100406FNL
Peryataan bahwa perayaan maulid Nabi adalah amalan bid’ah adalah peryataan sangat tidak tepat, karena bid’ah adalah sesuatu yang baru atau diada-adakan dalam Islam yang tidak ada landasan sama sekali dari dari Al-Qur’an dan as-Sunah. Adapun maulid walaupun suatu yang baru di dalam Islam akan tetapi memiliki landasan dari Al-Qur’an dan as-Sunah.
Pada maulid Nabi di dalamya banyak sekali nilai ketaatan, seperti: sikap syukur, membaca dan mendengarkan bacaan Al-Quran, bersodaqoh, mendengarkan mauidhoh hasanah atau menuntut ilmu, mendengarkan kembali sejarah dan keteladanan Nabi, dan membaca sholawat yang kesemuanya telah dimaklumi bersama bahwa hal tersebut sangat dianjurkan oleh agama dan ada dalilnya di dalam Al-Qur’an dan as-Sunah.
Pengukhususan Waktu
Ada yang menyatakan bahwa menjadikan maulid dikatakan bid’ah adalah adanya pengkhususan (takhsis) dalam pelakanaan di dalam waktu tertentu, yaitu bulan Rabiul Awal yang hal itu tidak dikhususkan oleh syariat. Pernyataan ini sebenarnaya perlu di tinjau kembali, karena takhsis yang dilarang di dalam Islam ialah takhsis dengan cara meyakini atau menetapkan hukum suatu amal bahwa amal tersebut tidak boleh diamalkan kecuali hari-hari khusus dan pengkhususan tersebut tidak ada landasan dari syar’i sendiri(Dr Alawy bin Shihab, Intabih Dinuka fi Khotir: hal.27).
Hal ini berbeda dengan penempatan waktu perayaan maulid Nabi pada bulan Rabiul Awal, karena orang yang melaksanakan maulid Nabi sama sekali tidak meyakini, apalagi menetapkan hukum bahwa maulid Nabi tidak boleh dilakukan kecuali bulan Robiul Awal, maulid Nabi bisa diadakan kapan saja, dengan bentuk acara yang berbeda selama ada nilai ketaatan dan tidak bercampur dengan maksiat.
Pengkhususan waktu maulid disini bukan kategori takhsis yang di larang syar’i tersebut, akan tetapi masuk kategori tartib (penertiban).
Pengkhususan waktu tertentu dalam beramal sholihah adalah diperbolehkan, Nabi Muhammad sendiri mengkhusukan hari tertentu untuk beribadah dan berziaroh ke masjid kuba, seperti diriwatkan Ibnu Umar bahwa Nabi Muhammad mendatangi masjid Kuba setiap hari Sabtu dengan jalan kaki atau dengan kendaraan dan sholat sholat dua rekaat di sana (HR Bukhari dan Muslim). Ibnu Hajar mengomentari hadis ini mengatakan: “Bahwa hadis ini disertai banyaknya riwayatnya menunjukan diperbolehkan mengkhususan sebagian hari-hari tertentu dengan amal-amal salihah dan dilakukan terus-menerus”.(Fathul Bari 3: hal. 84)
Imam Nawawi juga berkata senada di dalam kitab Syarah Sahih Muslim. Para sahabat Anshor juga menghususkan waktu tertentu untuk berkumpul untuk bersama-sama mengingat nikmat Allah,( yaitu datangnya Nabi SAW) pada hari Jumat atau mereka menyebutnya Yaumul ‘Urubah dan direstui Nabi.
Jadi dapat difahami, bahwa pengkhususan dalam jadwal Maulid, Isro’ Mi’roj dan yang lainya hanyalah untuk penertiban acara-acara dengan memanfaatkan momen yang sesui, tanpa ada keyakinan apapun, hal ini seperti halnya penertiban atau pengkhususan waktu sekolah, penghususan kelas dan tingkatan sekolah yang kesemuanya tidak pernah dikhususkan oleh syariat, tapi hal ini diperbolehkan untuk ketertiban, dan umumnya tabiat manusia apabila kegiatan tidak terjadwal maka kegiatan tersebut akan mudah diremehkan dan akhirnya dilupakan atau ditinggalkan.
Acara maulid di luar bulan Rabiul Awal sebenarnya telah ada dari dahulu, seperti acara pembacaan kitab Dibagh wal Barjanji atau kitab-kitab yang berisi sholawat-sholawat yang lain yang diadakan satu minggu sekali di desa-desa dan pesantren, hal itu sebenarnya adalah kategori maulid, walaupun di Indonesia masyarakat tidak menyebutnya dengan maulid, dan jika kita berkeliling di negara-negara Islam maka kita akan menemukan bentuk acara dan waktu yang berbeda-beda dalam acara maulid Nabi, karena ekpresi syukur tidak hanya dalam satu waktu tapi harus terus menerus dan dapat berganti-ganti cara, selama ada nilai ketaatan dan tidak dengan jalan maksiat.
Semisal di Yaman, maulid diadakan setiap malam jumat yang berisi bacaan sholawat-sholawat Nabi dan ceramah agama dari para ulama untuk selalu meneladani Nabi. Penjadwalan maulid di bulan Rabiul Awal hanyalah murni budaya manusia, tidak ada kaitanya dengan syariat dan barang siapa yang meyakini bahwa acara maulid tidak boleh diadakan oleh syariat selain bulan Rabiul Awal maka kami sepakat keyakinan ini adalah bid’ah dholalah.
Tak Pernah Dilakukan Zaman Nabi dan Sohabat
Di antara orang yang mengatakan maulid adalah bid’ah adalah karena acara maulid tidak pernah ada di zaman Nabi, sahabat atau kurun salaf. Pendapat ini muncul dari orang yang tidak faham bagaimana cara mengeluarkan hukum(istimbat) dari Al-Quran dan as-Sunah. Sesuatu yang tidak dilakukan Nabi atau Sahabat –dalam term ulama usul fiqih disebut at-tark – dan tidak ada keterangan apakah hal tersebut diperintah atau dilarang maka menurut ulama ushul fiqih hal tersebut tidak bisa dijadikan dalil, baik untuk melarang atau mewajibkan.
Sebagaimana diketahui pengertian as-Sunah adalah perkatakaan, perbuatan dan persetujuan beliau. Adapun at-tark tidak masuk di dalamnya. Sesuatu yang ditinggalkan Nabi atau sohabat mempunyai banyak kemungkinan, sehingga tidak bisa langsung diputuskan hal itu adalah haram atau wajib. Disini akan saya sebutkan alasan-alasan kenapa Nabi meninggalkan sesuatu:
1. Nabi meniggalkan sesuatu karena hal tersebut sudah masuk di dalam ayat atau hadis yang maknanya umum, seperti sudah masuk dalam makna ayat: “Dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.”(QS Al-Haj: 77). Kebajikan maknanya adalah umum dan Nabi tidak menjelaskan semua secara rinci.
2. Nabi meninggalkan sesutu karena takut jika hal itu belai lakukan akan dikira umatnya bahwa hal itu adalah wajib dan akan memberatkan umatnya, seperti Nabi meninggalkan sholat tarawih berjamaah bersama sahabat karena khawatir akan dikira sholat terawih adalah wajib.
3. Nabi meninggalkan sesuatu karena takut akan merubah perasaan sahabat, seperti apa yang beliau katakan pada siti Aisyah: “Seaindainya bukan karena kaummu baru masuk Islam sungguh akan aku robohkan Ka’bah dan kemudian saya bangun kembali dengan asas Ibrahim as. Sungguh Quraiys telah membuat bangunan ka’bah menjadi pendek.” (HR. Bukhori dan Muslim) Nabi meninggalkan untuk merekontrusi ka’bah karena menjaga hati mualaf ahli Mekah agar tidak terganggu.
4. Nabi meninggalkan sesuatu karena telah menjadi adatnya, seperti di dalam hadis: Nabi disuguhi biawak panggang kemudian Nabi mengulurkan tangannya untuk memakannya, maka ada yang berkata: “itu biawak!”, maka Nabi menarik tangannya kembali, dan beliu ditanya: “apakah biawak itu haram? Nabi menjawab: “Tidak, saya belum pernah menemukannya di bumi kaumku, saya merasa jijik!” (QS. Bukhori dan Muslim) hadis ini menunjukan bahwa apa yang ditinggalkan Nabi setelah sebelumnya beliu terima hal itu tidak berarti hal itu adalah haram atau dilarang.
5. Nabi atau sahabat meninggalkan sesuatu karena melakukan yang lebih afdhol. Dan adanya yang lebih utama tidak menunjukan yang diutamai (mafdhul) adalah haram.dan masih banyak kemungkinan-kemungkinan yang lain (untuk lebih luas lih. Syekh Abdullah al Ghomariy. Husnu Tafahum wad Dark limasalatit tark)
Dan Nabi bersabda:” Apa yang dihalalakan Allah di dalam kitab-Nya maka itu adalah halal, dan apa yang diharamkan adalah haram dan apa yang didiamkan maka itu adalah ampunan maka terimalah dari Allah ampunan-Nya dan Allah tidak pernah melupakan sesuatu, kemudian Nabi membaca:” dan tidaklah Tuhanmu lupa”.(HR. Abu Dawud, Bazar dll.) dan Nabi juga bersabda: “Sesungguhnya Allah menetapkan kewajiban maka jangan enkau sia-siakan dan menetapkan batasan-batasan maka jangan kau melewatinya dan mengharamkan sesuatu maka jangan kau melanggarnya, dan dia mendiamkan sesuatu karena untuk menjadi rahmat bagi kamu tanpa melupakannya maka janganlah membahasnya”.(HR.Daruqutnhi)
Dan Allah berfirman:”Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.”(QS.Al Hasr:7) dan Allah tidak berfirman dan apa yang ditinggalknya maka tinggalkanlah.
Maka dapat disimpulkan bahwa “at-Tark” tidak memberi faidah hukum haram, dan alasan pengharaman maulid dengan alasan karena tidak dilakukan Nabi dan sahabat sama dengan berdalil dengan sesuatu yang tidak bisa dijadikan dalil!
Imam Suyuti menjawab peryataan orang yang mengatakan: “Saya tidak tahu bahwa maulid ada asalnya di Kitab dan Sunah” dengan jawaban: “Tidak mengetahui dalil bukan berarti dalil itu tidak ada”, peryataannya Imam Suyutiy ini didasarkan karena beliau sendiri dan Ibnu Hajar al-Asqolaniy telah mampu mengeluarkan dalil-dalil maulid dari as-Sunah. (Syekh Ali Jum’ah. Al-Bayanul Qowim, hal.28)
Terima Kasih
Wassalammualaikium
Ahmed
Pengikut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (Sunni) dan bukan pengikut Wahabiyyah:
Assalamu’alaikum, Ustadz selalu bermohon pada Allooh Subhaanahu wa Ta’alaa agar menetapkan ana juga kaum muslimin, baik hidup maupun mati, dalam keadaan setia mengikuti ajaran Muhammad bin ‘Abdullooh bin ‘Abdul Muththolib Sholalloohu ‘alaihi wassalam; juga para pengikut beliau yang setia dari sejak para shohabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in serta para imam yang mu’tabar hingga akhir zaman; karena:
1)
قال الله عز وجل : { وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ } (100) من سورة التوبة
ِArtinya:
“Dan para pendahulu ummat yang pertama dari kalangan Muhajirin dan Anshor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan setia, maka Allooh ridho kepada mereka dan mereka pun ridho kepada Allooh. Allooh sediakan untuk mereka syurga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai, mereka kekal didalamnya abadi selama-lamanya. Yang demikian itu adalah keberuntungan yang agung. ” (QS At Taubah ayat 100)
2)
عن مُعَاوِيَةَ بْنِ أَبِي سُفْيَانَ قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ أَهْلَ الْكِتَابَيْنِ افْتَرَقُوا فِي دِينِهِمْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَإِنَّ هَذِهِ الْأُمَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً يَعْنِي الْأَهْوَاءَ كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلَّا وَاحِدَةً وَهِيَ الْجَمَاعَةُ وَإِنَّهُ سَيَخْرُجُ فِي أُمَّتِي أَقْوَامٌ تَجَارَى بِهِمْ تِلْكَ الْأَهْوَاءُ كَمَا يَتَجَارَى الْكَلْبُ بِصَاحِبِهِ لَا يَبْقَى مِنْهُ عِرْقٌ وَلَا مَفْصِلٌ إِلَّا دَخَلَهُ وَاللَّهِ يَا مَعْشَرَ الْعَرَبِ لَئِنْ لَمْ تَقُومُوا بِمَا جَاءَ بِهِ نَبِيُّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَغَيْرُكُمْ مِنْ النَّاسِ أَحْرَى أَنْ لَا يَقُومَ بِهِ ( رواه أحمد في مسنده : 16937وقال الشيخ شعيب الأرنؤوط : إسناده حسن وحديث افتراق الأمة منه صحيح بشواهده )
Dari Mu’awiyyah bin Abi Sofyan rhodiyalloohu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya Rosuulullooh Sholalloohu ‘alaihi wassalam bersabda, ‘Sesungguhnya pengikut dua kitab (Yahudi dan Nashroni) telah berpecah belah dalam dien mereka menjadi 72 sekte (golongan), dan sesungguhnya ummat ini akan berpecah belah menjadi 73 sekte (hawa), seluruhnya didalam api neraka kecuali satu, yaitu adalah Al Jamaa’ah, dan sesungguhnya akan keluar ditengah-tengah ummatku kaum-kaum yang diseret oleh hawa-hawa nafsu mereka, sebagaimana anjing yang diseret oleh empunya, sehingga tidak tersisa satu urat atau sendi pun kecuali dimasukinya. Demi Allooh, wahai segenap Arab, jika kalian tidak menegakkan apa yang dibawa oleh Nabi kalian, maka selain kalian akan lebih tidak menegakkan dien-nya’.” (HR. Imaam Ahmad dalam Musnadnya no: 16937 dan Syaikh Syu’aib al Arnauuth mengatakan sanad hadits ini Hasan dan Hadits tentang perpecahan ummat itu adalah shohiih dengan berbagai syawahidnya)
3)
عن عبد الله بن عمرو قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ليأتين على أمتي ما أتى على بني إسرائيل حذو النعل بالنعل حتى إن كان منهم من أتى أمه علانية لكان في أمتي من يصنع ذلك وإن بني إسرائيل تفرقت على ثنتين وسبعين ملة وتفترق أمتي على ثلاث وسبعين ملة كلهم في النار إلا ملة واحدة قالوا ومن هي يا رسول الله قال ما أنا عليه وأصحابي
( رواه الترمذي : 2641 وقال الشيخ الألباني : حسن )
Dari ‘Abdullooh bin Amr rhodiyalloohu ‘anhu berkata, “Telah bersabda Rosuulullooh Sholalloohu ‘alaihi wassalam, “Sungguh benar-benar akan dialami oleh ummatku apa yang dialami oleh Bani Isroil, seperti sejajarnya sandal. Sehingga seandainya diantara mereka ada yang berzina dengan ibunya terang-terangan, maka pada ummatku akan ada yang melakukan hal itu, dan sesungguhnya Bani Isroil telah terpecah menjadi 72 sekte (golongan), dan ummatku akan terpecah menjadi 73 sekte (golongan). Seluruh mereka didalam api neraka, kecuali satu sekte (golongan).” Mereka (para shohabat ) bertanya, “Siapa dia (satu golongan itu), wahai Rosuul?” Rosuul menjawab, “Dia (Satu golongan itu) adalah yang mengikuti apa-apa yang aku dan para shohabatku diatasnya.”
4)
قال الشاطبي في الاعتصام : قال ابن الماجشون سمعت مالكا يقول من ابتدع في الاسلام بدعه يراها حسنه فقد زعم ان محمدا ( صلى الله عليه وسلم ) خان الرسالة لان الله يقول ) اليوم أكملت لكم دينكم ( فما لم يكن يومئذ دينا فلا يكون اليوم دينا
Telah berkata Al Imaam Asy Syaathiby dalam kitab “Al I’tishoom”, “Telah berkata Ibnul Maajisyuun, “Aku mendengar Imaam Maalik (– guru Imaam Asy Syaafi’iy–) berkata, ‘Tidaklah seseorang melakukan kebid’ahan dalam perkara dien, dengan mengada-ada sesuatu yang baru yang dia pandang baik, maka sesungguhnya dia telah mengklaim bahwa Muhammad Shollalloohu ‘alaihi wassalam telah mengkhianati risaalah, karena Allooh Subhaanahu wa Ta’alaa berfirman “Hari ini telah kusempurnakan dien untuk kalian“. Maka apa-apa yang pada hari itu (zaman Rosuulullooh hidup) tidak merupakan dien, maka pada hari ini tidak disebut sebagai dien.”
Jadi, Islam itu hanya satu, yaitu Islam versi Ahlus Sunnah wal Jamaa’ah.
Jadi, Islam itu seluruh ajarannya sudah baku, tidak perlu ditambah dan dikurang dengan menganggap bahwa sesuatu yang merupakan tambahan dan pengurangan itu dianggap baik.
Sebab jika suatu perkara dien itu baik, maka mereka para shohabat akan paling lebih terdahulu memelopori dalam melaksanakan perkara itu !
Assalamu’alaikum.. Ustazd afwan, minta izin untuk mengcopy. Terimakasih
Wa ‘alaikumussalaam Warohmatulloohi Wabarokaatuh, silakan saja…. Semoga bermanfaat… Barrokalloohu fiik
Assalamu’alaikum.. Ustazd afwan, minta izin untuk mengcopy juga. Terimakasih
Wa ‘alaikumussalaam Warohmatulloohi Wabarokaatuh, silakan saja selama menjaga keotentikan naskahnya, semoga bermanfaat… Barrokalloohu fiika
Assalamu’alaikum. Ustadz saya minta izin mengcopynya. Syukron.
Wa ‘alaikumussalaam Warohmatulloohi Wabarokaatuh,
Silakan saja… semoga menjadi ilmu yang bermanfaat bagi kita semua… Barokalloohu fiika