Sesatnya Ahmadiyyah
(Transkrip Ceramah AQI 090608)
SESATNYA AHMADIYYAH
Oleh : Ust. Achmad Rofi’i, Lc.
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allooh سبحانه وتعالى,
Kajian kita kali ini membahas tentang suatu perkara yang mendesak yaitu tentang hebohnya kasus Ahmadiyyah.
Nampaknya kita sebagai muslim, sebagai ummat Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, sebagai Ahlussunnah wal Jamaa’ah perlu men-dudukperkara-kan suatu perkara yang sebenarnya tidak boleh dan tidak patut seorangpun ragu-ragu tentang hal tersebut. Karena kalau sampai ragu, risikonya adalah kufur, murtad, keluar dari Islam dan halal darahnya, cerai dengan isterinya, dan bila mati maka tidak disholati dan tidak boleh dikuburkan di kuburan kaum muslimin. Jadi parah sekali akibatnya.
Seandainya kaum muslimin sejak lama dididik untuk ajeg (istiqomah) diatas kebenaran yang berasal dari Firman Allooh سبحانه وتعالى (Al Qur’an) dan Sabda Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم (As Sunnah), maka tidak perlu adanya Fatwa dan sebagainya itu, tidak perlu heboh ataupun geger dan tidak perlu ada korban ataupun polemik. Karena perkaranya sudah jelas dan terang benderang. Perkara yang berkenaan dengan ‘Aqiidah adalah perkara yang tidak boleh diperselisihkan, karena ia sudah pasti. Perkara yang menimbulkan kegegeran akhir-akhir ini adalah berkenaan dengan “agama baru”, yang muncul pada abad ke-19 atau awal abad ke-20 Masehi, yaitu Ahmadiyyah.
Disebut sebagai “agama baru” karena dakwah Ahmadiyyah itu oleh Mirza Ghulam Ahmad diserukan sejak tahun 1900-an Masehi. Dan hanya dalam tempo 8 (delapan) tahun saja tokoh Ahmadiyah yang pada mulanya ia hanyalah seorang da’i biasa (muballigh Islam) di India, lalu karena ia disambut oleh umatnya ketika itu, dan hal ini pun tercium oleh imperialis Inggris yang menjajah India ketika itu; maka orang sepertinya dan kaumnya pun lantas dipergunakan oleh pihak Inggris untuk mengurangi beban perlawanan terhadap penjajahan Inggris di India. Karena pemerintah penjajah Inggris ketika itu beranggapan mereka bisa menghentikan semangat jihad fiisabiilillah kaum muslimin India, dengan suatu skenario untuk mendirikan agama baru bernama Ahmadiyyah.
Ketika itu Mirza Ghulam Ahmad sebagai seorang da’i, naik sedikit pamornya di kalangan umat Islam India, ia dielu-elukan oleh mereka. Tiba-tiba ia menyatakan dirinya sebagai Imam Mahdi. Ketika mengaku sebagai Imam Mahdi ternyata tidak ada komentar dari kaumnya dan masyarakat, maka ia pun melakukan tindakan yang lebih diluar batas dengan mengaku-ngaku dirinya sebagai Nabi. Ketika sudah mengaku sebagai Nabi, umatnya semakin mau saja menurut, maka ia bahkan lalu mengatakan bahwa dirinya itu lebih afdhol (utama) dibandingkan Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم.
Mirza Ghulam Ahmad meyakini dirinya mendapat wahyu, punya Kitab-suci sendiri, punya ajaran dan doktrin-doktrin sendiri, punya kebijakan-kebijakan sendiri karena ia merasa punya wahyu sendiri. Dikala itu di India telah ada seorang da’i dari Jam’iyyat Daaril Hadiits, yang mana tokoh muslim tersebut mengajak dan menasihati Mirza Ghulam Ahmad agar mau bertaubat: “Bertaubatlah, engkau telah sesat, engkau telah menyimpang dari jalan Allooh سبحانه وتعالى, karena itu ingatlah, dan kembalilah ke jalan yang benar, kepada Dienul Islam dimana Al Qur’an sebagai Kitabnya, dan Muhammad صلى الله عليه وسلم sebagai Rosuul-Nya”, dan seterusnya.
Tetapi Mirza Ghulam Ahmad tetap membangkang, sampai lalu terjadilah mubahalah pada tahun 1908.
Termasuk hal yang terpenting adalah pernyataan yang harus menjadi bukti kebenaran dari kedua belah pihak (antara Mirza Ghulam Ahmad dengan Tokoh Jam’iyyat Daaril Hadiits) ini, mereka lalu bersepakat untuk berdo’a, memohon kepada Allooh سبحانه وتعالى, bahwa barangsiapa diantara mereka itu yang salah maka agar mati dalam waktu beberapa hari kemudian. Demikianlah, ketika itu ternyata Allooh سبحانه وتعالى mengabulkan permintaan kedua orang tersebut, karena beberapa hari kemudian Mirza Ghulam Ahmad mati dengan sebab kolera, pada hari-hari yang disepakati.
Maka bila menurut kronoligis, kejadian itu merupakan hasil Mubahalah, bahwa ia kalah karena ia mati sesuai dengan janji (keinginan) mereka, bahwa barangsiapa yang sesat diantara mereka maka akan mati beberapa hari kemudiannya. Mirza Ghulam Ahmad pun mati di WC-nya sendiri.
Setelah berjalan beberapa tahun, dari tahun 1908 – 1974 Robithoh Al ‘Aalamil Islaami (Ikatan Dunia Islam) yang bermarkas di Ummul Quro’ di Makkah Al Mukarromah mengadakan seminar yang dihadiri oleh sekitar 124 negara. Didatangkan para tokoh Islam sedunia, dibahaslah permasalahan Ahmadiyah yang dianggap serius, lalu di-duduk-perkara-kan dan diposisikan dalam timbangan Syari’at Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Akhirnya keluarlah suatu kesimpulan bahwa Ahmadiyyah adalah ajaran yang sesat, dia patut untuk disebut agama baru dan penganutnya disebut murtad, dan kaum muslimin harus diberi peringatan untuk menjauhi dan menghindari ajaran yang sesat itu.
Namun demikian, seperti disebutkan diatas bahwa Ahmadiyyah di-inspirasi-kan oleh imperialis Inggris, yang menjajah India ketika itu masih tetap tersebar, terutama ke negera Afrika dan berikutnya ke Asia (termasuk Indonesia). Maka berkembanglah Ahmadiyyah di Indonesia. Dan berkembangnya (seperti juga di negeri lain) adalah dengan di back-up (didukung) oleh donasi yang kuat dari pihak-pihak yang sepakat dengan misi didirikannya Ahmadiyah tersebut.
Dalam bahasan kita kali ini, tidak akan dibicarakan tentang apa dan bagaimana ‘aqiidah Ahmadiyyah, sejarahnya, ajarannya, dan perkembangannya secara detail; tetapi sebagai umat Muhammad Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, sebagai orang yang meyakini Al Islam yang dibawakan oleh Nabi yang terakhir, yaituNabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, dan tidak akan ada lagi selain ajaran itu; maka adalah merupakan keniscayaan dan kemestian bagi kita untuk mengetahui posisi bagaimana jika ada seseorang di esok hari atau esok malam mengaku bahwa dirinya menerima wahyu dan berhak menjadi nabi. Sikap apakah yang harus dilahirkan oleh setiap muslim (bukan dari setiap lembaga atau negara, tetapi setiap muslim) bisa menyatakan bahwa : “Kamu telah sesat, kamu harus diikat dan harus diruqyah, serta dibacakan kepada kamu ayat Kursi, atau ayat-ayat Al Qur’an untuk mengusir syaithoon. Karena dalam dirimu sudah terjangkit syaithoon”.
Semua orang muslim harus mengatakan begitu, karena keyakinannya sudah seragam dan sama. Tidak boleh ada seorang Muslim pun yang meyakini bahwa ada atau masih akan lahir lagi nabi setelah Nabi Muhammad bin ‘Abdullooh bin ‘Abdul Mutholib صلى الله عليه وسلم.
Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allooh سبحانه وتعالى,
Janganlah meniru Ahlul Kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani, dimana adalah merupakan karakter khas mereka yaitu membelokkan, menyelewengkan Firman Allooh سبحانه وتعالى sesuai dengan hawa-nafsu mereka. Allooh سبحانه وتعالى telah meng-abadikan karakter mereka itu di dalam Al Qur’an, yakni QS. Ali ‘Imroon (3) ayat 78 :
وَإِنَّ مِنْهُمْ لَفَرِيقاً يَلْوُونَ أَلْسِنَتَهُم بِالْكِتَابِ لِتَحْسَبُوهُ مِنَ الْكِتَابِ وَمَا هُوَ مِنَ الْكِتَابِ وَيَقُولُونَ هُوَ مِنْ عِندِ اللّهِ وَمَا هُوَ مِنْ عِندِ اللّهِ وَيَقُولُونَ عَلَى اللّهِ الْكَذِبَ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
Artinya:
“Sesungguhnya diantara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al Kitab, supaya kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari Al Kitab, padahal ia bukan dari Al Kitab dan mereka mengatakan: “Ia (yang dibaca itu datang) dari sisi Allooh”, padahal ia bukan dari sisi Allooh. Mereka berkata dusta terhadap Allooh, sedang mereka mengetahui.”
Maksudnya, mereka mengetahui bahwa mereka itu berkata dusta atas nama Allooh سبحانهوتعالى. Itulah tabiat dan karakter orang-orang Yahudi dan Nasrani yang diberitakan oleh Allooh kepada kita sekalian. Maka janganlah kita kaum muslimin meniru perilaku buruk tersebut.
Allooh سبحانه وتعالى berfirman pada QS. Al Ahzaab (33) ayat 40 :
مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَكِن رَّسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيماً
Artinya:
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rosuulullooh dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allooh Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Menurut tafsir para shohabat, seperti dikatakan oleh ‘Abdullooh bin Abbas رضي الله عنه (sepupu Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم), ia ahli dalam bidang tafsiir Al Qur’an dari kalangan para shohabat. Di dalam Kitab Tafsiir Al Baghowy, dikatakan bahwa makna Khootaman Nabiyyiin (penutup nabi-nabi) adalah tidak ada lagi nabi setelah Muhammad Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Allooh سبحانه وتعالى tidak memberikan kepada beliau صلى الله عليه وسلم anak laki-laki, yang umurnya sampai mencapai usia dewasa.
Kita tahu bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم mempunyai putra bernama Ibrohim. Tetapi waktu masih kecil sudah Allooh سبحانه وتعالى cabut nyawanya, Allooh سبحانه وتعالى panggil, tidak sempat mencapai usia dewasa. Sehingga Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم tidak punya keturunan yang berasal dari garis laki-laki. Yang ada adalah keturunan dari putri beliau صلى الله عليه وسلم yakni Faathimah bintu Muhammad رضي الله عنها, yang diperisteri oleh Ali bin Abi Tholib رضي الله عنه, sepupu Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم sendiri; dan melahirkan Hasan dan Husein رضي الله عنهما. Mereka adalah keturunan dari garis perempuan (Faathimah). Jadi Hasan dan Husein Ibnaa Ali bin Abi Tholib. Jadi untuk nasab laki-laki Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم terputus dengan meninggalnya putra beliau Ibrohim.
Untuk jelasnya lagi, suatu pernyataan dari Hadits Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, diriwayatkan oleh ‘Abdullooh bin ‘Abbas رضي الله عنه. Kata ‘Abdullooh bin ‘Abbas رضي الله عنه bahwa ketika Ibrohim bin Muhammad meninggal, Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم menyolatinya lalu beliau صلى الله عليه وسلم bersabda:
إن له مرضعا في الجنة ولو عاش لكان صديقا نبيا..
Artinya:
“Dia akan memiliki yang menyusuinya di dalam surga. Kalau seandainya ia hidup, niscaya ia akan menjadi orang yang benar (Shiddiqon)dan nabi”. (Hadits Riwayat Imaam Ibnu Maajah no: 1511)
Maksudnya, seandainya Ibrohim رضي الله عنه, putra beliau صلى الله عليه وسلم berumur mencapai usia dewasa, niscaya ia akan menjadi orang yang benar. Dan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم tidak berbicara kecuali dengan wahyu. Bukan hanya sampai disitu, sabda beliau صلى الله عليه وسلم: “Ia juga Shiddiqon Nabiyyan (orang yang benar dan akan menjadi nabi).”
Hadits tersebut shohiih, di-shohiihkan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albaany رحمه الله. Maka jika dipahami, bahwa kalau saja putra beliau, Ibrohim رضي الله عنه mencapai usia dewasa, maka yang menjadi nabi bukanlah Mirza Ghulam Ahmad, melainkan Ibrohim bin Muhammad صلى الله عليه وسلم. Ternyata Ibrohim رضي الله عنه meninggal ketika masih kecil, berarti tidak ada lagi nabi setelah Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم.
Orang yang punya logika rendah-pun paham akan hal tersebut.
Itulah yang menjadi Dalil pertama yang harus kita yakini, bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah pendusta dan layak disebut “Dajjal”.
Dalil kedua, di dalam satu Hadits yang derajatnya tertinggi menurut Ahlus Sunnah wal Jamaa’ah karena diriwayatkan oleh Imaam Al Bukhoory no: 3535 dan Imaam Muslim no: 6101, dari Shohabat Abu Hurairoh رضي الله عنه, bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda :
إِنَّ مَثَلِي وَمَثَلَ الْأَنْبِيَاءِ مِنْ قَبْلِي كَمَثَلِ رَجُلٍ بَنَى بَيْتًا فَأَحْسَنَهُ وَأَجْمَلَهُ إِلَّا مَوْضِعَ لَبِنَةٍ مِنْ زَاوِيَةٍ فَجَعَلَ النَّاسُ يَطُوفُونَ بِهِ وَيَعْجَبُونَ لَهُ وَيَقُولُونَ هَلَّا وُضِعَتْ هَذِهِ اللَّبِنَةُ قَالَ فَأَنَا اللَّبِنَةُ وَأَنَا خَاتِمُ النَّبِيِّينَ
Artinya:
“Sesungguhnya perumpamaan aku dan para nabi sebelum aku seperti seorang yang membangun rumah, ia perindah rumah itu, kecuali satu tempat bata disuatu ujung kemudian orang-orang mengelilingi bangunan itu dan mengaguminya seraya mengatakan ‘Betapa seandainya disini diletakkan satu bata’.”
Beliau صلى الله عليه وسلم bersabda, “Akulah batubata itu yang terakhir pada bangunan rumah itu. Danakulah penutup nabi-nabi”.
Oleh karena itu bila ada orang mengaku menjadi nabi, mungkin orang tersebut belum membaca Hadits tersebut, atau ia seorang yang jaahil (bodoh), atau ia adalah seorang pembangkang, atau ia kerasukan jin.
Dalil ketiga, Hadits diriwayatkan oleh Imaam Al Bukhoory no: 3609 dan Imaam Muslim no: 7526, dari Shohabat Abu Hurairoh رضي الله عنه, bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَقْتَتِلَ فِئَتَانِ فَيَكُونَ بَيْنَهُمَا مَقْتَلَةٌ عَظِيمَةٌ دَعْوَاهُمَا وَاحِدَةٌ وَلَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يُبْعَثَ دَجَّالُونَ كَذَّابُونَ قَرِيبًا مِنْ ثَلَاثِينَ كُلُّهُمْ يَزْعُمُ أَنَّهُ رَسُولُ اللَّهِ
Artinya:
“Tidak akan terjadi Hari Kiamat sehingga dua kelompok orang saling berperang dan berakibat terbunuhnya banyak orang, padahal apa yang mereka seru sebetulnya satu. Dan tidak akan terjadi Hari Kiamat sampai Alloohسبحانه وتعالى bangkitkan di tengah-tengah mereka para Dajjal, para pendusta, lebih dekat bilangannya dari 30 orang, semua mereka mengaku bahwa dia adalah utusan Allooh”.
Arti kata “mengaku” (yaz’amu atau yadda’i) dalam bahasa Arab berarti ia bukanlah seperti yang di-akuinya.
Itulah Hadits dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, bahwa banyak orang yang mengaku dirinya sebagai nabi, padahal sebenarnya ia bukanlah nabi, bukanlah utusan Allooh سبحانه وتعالى. Ia hanya mengaku-ngaku saja. Berarti orang demikian itu harus di-ruqyah.
Dalil keempat, diriwayatkan oleh Imaam Muslim no: 6820, dari Shohabat Abu Huroiroh رضي الله عنه, “Aku mendengar Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda :
أَنَا أَوْلَى النَّاسِ بِعِيسَى الأَنْبِيَاءُ أَبْنَاءُ عَلاَّتٍ وَلَيْسَ بَيْنِى وَبَيْنَ عِيسَى نَبِىٌّ
Artinya:
“Aku adalah orang yang lebih berhak diutamakan daripada Isa عليه السلام. Para Nabi itu semuanya adalah anak-anak dari para ibu yang berbeda-beda, tetapi bapak mereka satu. Tidak ada Nabi antara aku dan Isa عليه السلام”.
Maksudnya, diantara Nabi Isa عليه السلام dengan Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم tidak ada nabi. Berarti beliau صلى الله عليه وسلم adalah Nabi terakhir, karena Nabi Isa عليه السلام kelak turun bukan untuk membawa ajaran. Dia turun hanya untuk membunuh Dajjal dan memusnahkan Ya’juj wa Ma’juj. Antara kurun waktu tersebut tidak ada nabi. Kalau ada orang mengaku nabi, maka ia sama julukannya dengan sebutan diatas yaitu Dajjal, pendusta.
Dalil kelima, Hadits yang diriwayatkan oleh Imaam Al Bukhoory no: 4896 dan Imaam Muslim no: 6252, dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im رضي الله عنه, bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda :
إِنَّ لِي أَسْمَاءً أَنَا مُحَمَّدٌ وَأَنَا أَحْمَدُ وَأَنَا الْمَاحِي الَّذِي يَمْحُو اللَّهُ بِيَ الْكُفْرَ وَأَنَا الْحَاشِرُ الَّذِي يُحْشَرُ النَّاسُ عَلَى قَدَمِي وَأَنَا الْعَاقِبُ الَّذِى لَيْسَ بَعْدَهُ أَحَدٌ
Artinya:
“Sesungguhnya aku memiliki banyak nama. Namaku Muhammad, namaku Ahmad dan namaku adalah Al Maahi yang denganku kekufuran terhapus, dan aku adalah Al Haasyir yaitu manusia dibangkitkan diatas aku. Dan aku ini juga bernama Al ‘Aaqib (yaitu yang tidak ada nabi setelahnyaseorangpun)”.
Maksudnya, memang benar, selama 23 tahun beliau ber-jihad fiisabiilillaah, terjadi Fathu Makkah (kemenangan Makkah), dimana Islam menjadi berjaya dan dua Negara Adikuasa ketika itu (Romawi dan Persi) takluk, menjadi hormat kepada Islam.
Al Haasyir maksudnya adalah orang yang dibangkitkan pertama kali sebelum manusia lain dibangkitkan kelak di hari Kiamat. Al ‘Aaqib artinya tidak ada nabi setelahnya.
Dengan gamblang, sampai berulang-ulang kali, beliau صلى الله عليه وسلم sabdakan.
Dalil ke-enam, Dalam Hadits Riwayat Imaam Muslim no: 6370, dari seorang Shohabat bernama Sa’ad bin Abi Waqoosh رضي الله عنه, berkata, “Telah bersabda Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم pada Ali :
أَنْتَ مِنِّى بِمَنْزِلَةِ هَارُونَ مِنْ مُوسَى إِلاَّ أَنَّهُ لاَ نَبِىَّ بَعْدِى
Artinya:
“Kamu denganku bagaikan Harun dan Musa, kecuali bahwa tidak ada Nabi setelahku.”
Dalil ke tujuh, Hadits yang diriwayatkan oleh Imaam Muslim no: 6371 dari salah seorang Shohabat bernama Saa’ad bin Abi Waqosh رضي الله عنه, berkata bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersama-sama para Shohabat, seperti kebiasaan mereka adalah pergi ke luar kota Madinah untuk ber-jihad fiisabiilillah ke kota Tabuk, lalu mengutus Ali bin Abi Tholib رضي الله عنه:
“Wahai Ali kamu tidak perlu ikut ke Tabuk bersama kami, kamu aku tugasi menunggui para wanita dan anak-anak kecil”.
Ali bin Abi Tholib رضي الله عنه berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ تُخَلِّفُنِى فِى النِّسَاءِ وَالْصِّبْيَانِ فَقَالَ « أَمَا تَرْضَى أَنْ تَكُونَ مِنِّى بِمَنْزِلَةِ هَارُونَ مِنْ مُوسَى غَيْرَ أَنَّهُ لاَ نَبِىَّ بَعْدِى
“Wahai Rasulullah, apakah engkau menyuruh aku untuk menjaga wanita dan anak-anak?”.
(– Pertanyan demikian itu diraba oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم sebagai ungkapan keberatan. Karena Ali bin Ali Tholib رضي الله عنه tentu lebih suka bersama Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم untuk ber-jihad fiisabiilillaah, mengapa disuruh menjaga perempuan dan anak-anak? –)
Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda :
“Wahai Ali, apakah kamu tidak rela untuk aku jadikan statusnya seperti halnya Harun dengan Musa? Hanya saja tidak ada nabi setelah aku”.
Maksudnya, Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم menyatakan bahwa orang seperti pasangan Musa dan Harun adalah nabi, maka disini Ali bin Abi Tholib رضي الله عنه akan disetarakan dengan nabi, tetapi karena tidak ada lagi nabi, status Ali رضي الله عنه bukanlah nabi, melainkan Kholiifah.
Itulah Hadits yang diriwayatkan oleh Imaam Al Bukhoory dan Imaam Muslim.
Dalil ke delapan, Hadits yang diriwayatkan oleh Imaam Al Bukhoory no: 3454 dan Imaam Muslim no: 4879, dari Shohabat Abu Huroiroh رضي الله عنه, bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda :
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
“Sesungguhnya mereka Bani Isroo’il dipimpin, dibimbing, diasuh, diatur oleh para nabi. Ketika seorang nabi dari kalangan Bani Isroo’il meninggal maka oleh Allooh diganti dengan nabi berikutnya. Begitu silih berganti. Dan tidak ada nabi setelah aku dan akan muncul para Khulafaa (pengganti) yang banyak.”
Maka para Shohabat bertanya : “Apa yang engkau perintahkan kepada kami?”
Beliau صلى الله عليه وسلم bersabda: “Patuhilah bai’ah satu demi satu. Tunaikan kepada mereka hak mereka, maka sesungguhnya Allooh akan menanyai mereka atas apa yang Allooh amanahkan atas kepemimpinan mereka.”
(Maka kita dengar ada Kholiifah Abubakar As Siddiq, Kholiifah ‘Umar bin Khoththoob, Kholiifah ‘Utsman bin ‘Affan, Kholifiah Ali bin Abi Tholib رضي الله عنهم. Bahkan menurut Imaam As Syaafi’I رحمه الله, Kholiifah yang kelima adalah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziiz رضي الله عنه. Dan Kholiifah itu semakin banyak, karena bila Kholiifah meninggal langsung diganti lagi, demikian seterusnya).
Dari Hadits diatas dapat diambil pelajaran bahwa sikap kita terhadap Kholiifah adalah menunaikan kewajiban kita sebagai Ro’iyyah (rakyat) dan menunaikan Hak mereka sebagai Kholiifah. Perkara urusan kita didzolimi atau tidak, biarlah Allooh سبحانه وتعالى yang akan menanyai para Kholiifah itu. Bila didzolimi, merekalah yang bertanggungjawab di sisi Allooh سبحانه وتعالى. Kalau kita tidak didzolimi, maka mereka akan mendapatkan ketinggian derajat karena mereka telah berbuat adil.
Dengan bukti-bukti Hadits tersebut diatas sudah jelas bahwa tidak ada nabi setelah Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, kecuali para Kholiifah. Dan apa sikap kita adalah seperti yang diisyaratkan oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم sebagaimana disebutkan diatas.
Dalil ke sembilan, Hadits riwayat Imaam Muslim no: 1195, berarti haditsnya adalah shohiih, dari Shohabat Abu Huroiroh رضي الله عنه, Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
فُضِّلْتُ عَلَى الأَنْبِيَاءِ بِسِتٍّ أُعْطِيتُ جَوَامِعَ الْكَلِمِ وَنُصِرْتُ بِالرُّعْبِ وَأُحِلَّتْ لِىَ الْغَنَائِمُ وَجُعِلَتْ لِىَ الأَرْضُ طَهُورًا وَمَسْجِدًا وَأُرْسِلْتُ إِلَى الْخَلْقِ كَافَّةً وَخُتِمَ بِىَ النَّبِيُّونَ
Artinya:
“Aku diutamakan, ditinggikan derajatku dari para nabi sebelumku dengan 6 perkara :
- 1. Aku diberi oleh Allooh سبحانه وتعالى untuk berbicara singkat tetapi padat dan kaya makna.
- 2. Aku ditolong oleh Allooh سبحانه وتعالى dengan dimasukkannya rasa takut kepada musuh sebelum berperang.
- 3. Untukku Ghonimah (rampasan perang) menjadi halal, sedangkan bagi nabi sebelumku hukumnya harom.
- 4. Allooh سبحانه وتعالى jadikan bumi ini suci dan masjid (tempat sujud).
- 5. Aku diutus Allooh سبحانه وتعالى untuk semua makhluk (baik jin maupun manusia)
- 6. Dan Allooh سبحانه وتعالى tutup melalui aku semua para nabi.”
Dari Hadits diatas, dapat diambil pelajaran bahwa mereka yang mengaku dirinya manusia haruslah meyakini bahwa Nabi dan Rosuul mereka adalah Muhammad Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Dan bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم adalah penutup para nabi.
Dalil ke sepuluh, Hadits diriwayatkan oleh Imaam Muslim no: 3442 dari Shohabat Abu Huroiroh رضي الله عنه, ia berkata bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda :
فَإِنِّى آخِرُ الأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ مَسْجِدِى آخِرُ الْمَسَاجِدِ
Artinya:
“Sesungguhnya aku ini nabi paling akhir dan masjidku adalah masjid terakhir”.
Dalil ke sebelas, Hadits diriwayatkan oleh Imaam At Turmudzy no: 2272 menurut Syaikh Nashiruddin Al Albaany sanadnya Shohiih dan diriwayatkan oleh Imaam Ahmad no: 13851 di dalam Musnad-nya dan berkata Syaikh Syuaib Al Arnaa’uth bahwa sanadnya Shohiih memenuhi syarat Imaam Muslim, dari Shohabat Anas bin Maalik رضي الله عنه, bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda :
إن الرسالة والنبوة قد انقطعت فلا رسول بعدي ولا نبي قال فشق ذلك على الناس فقال لكن المبشرات قالوا يا رسو الله وما المبشرات ؟ قال رؤيا المسلم وهي جزء من أجزاء النبوة
Artinya:
“Sesungguhnya kerasulan dan kenabian telah terputus. Maka tidak ada rosuul dan nabi setelah aku.”
Maka terasa beratlah yang demikian itu dirasakan oleh para shohabat, maka beliau صلى الله عليه وسلم bersabda, “Yang ada adalah berita gembira.”
Mereka bertanya, “Apakah berita gembira itu ya Rosuul?”
Beliau صلى الله عليه وسلم menjawab, “Mimpi seorang Muslim dimana yang demikian itu adalah merupakan bagian dari kenabian.”
Dalil ke duabelas, Hadits diriwayatkan oleh Imaam Ahmad no: 17441 dan terdapat dalam Sunan At Turmudzy no: 3686, dan dan berkata Syaikh Syuaib Al Arnaa’uth bahwa sanadnya Shohiih, berasal dari Shohabat ‘Uqbah bin Amir رضي الله عنه, berkata:
لو كان بعدي نبي لكان عمر بن الخطاب
“Aku mendengar Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda :
“Kalau seandainya setelah aku ada nabi, niscaya yang akan menjadi nabi adalah ‘Umar bin Khoththoob”.
Karena tidak ada lagi nabi, maka ‘Umar bin Khoththoob رضي الله عنه tidak menjadi nabi. Melainkan beliau رضي الله عنه menjadi Kholiifah, bukan nabi. Dan ketika ‘Umar رضي الله عنه bukan nabi, berarti tidak ada lagi nabi. Demikian jelasnya kita memahaminya. Dan dien ini adalah sangat mudah dan jelas.
Dalil ke tigabelas, Hadits diriwayatkan oleh Imaam Ibnu Maajah no: 1490 di dalam Sunan-nya, dari ‘Abdullooh bin ‘Abbas رضي الله عنه, bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda :
نحن آخر الأمم وأول من يحاسب . يقال أين الأمة الأمية ونبيها ؟ فنحن الآخرون الأولون
Artinya:
“Kita adalah umat terakhir, tetapi kelak setelah Hari Kiamat adalah yang pertama dihisabnya”.
Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم ditanya, “Mana ummat yang ummii dan nabinya?”
Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم menjawab, “Kita adalah ummat yang terakhir, tetapi yang pertama.”
Ini menunjukkan bahwa Muhammad صلى الله عليه وسلم adalah Nabi dan Rosuul terakhir.
Dalil ke empatbelas, Hadits diriwayatkan oleh Imaam Ibnu Maajah no: 4077 dari Abu Umaamah Al Baahily رضي الله عنه, beliau berkata bahwa, “Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم berkhutbah dihadapan kami dan terbanyak pembicaraan beliau صلى الله عليه وسلم adalah tentang Dajjal dan beliau صلى الله عليه وسلم memberikan peringatan keras pada kami tentangnya. Diantara yang beliau صلى الله عليه وسلم katakan adalah:
إنه لم تكن فتتة في الأرض منذ ذرأ الله ذرية آدم أعظم من فتنة الدجال . وإن الله لم يبعث نبيا إلا حذر أمته الدجال . وأنا آخر الأنبياء . وأنتم آخر بالأمم . وهو خارج فيكم لامحالة
Artinya:
“Sesungguhnya tidak ada fitnah di muka bumi ini sejak Allooh turunkan Adam عليه السلامyang paling besar daripada fitnah Dajjal. Sesungguhnya Allooh tidak membangkitkan nabi, kecuali nabi itu memperingatkan ummatnya dengan Dajjal. Dan aku adalah Nabi paling akhir, dan kalian adalah ummat paling akhir, dan dia (Dajjal) akan keluar ditengah-tengah kalian, tidak bisa tidak.”
Maka sudah semestinya setiap Muslim menjadi jelas, tidak perlu lagi ragu-ragu, bahwa tidak ada lagi Nabi dan Rosuul setelah Muhammad Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Maka sebenarnya tidak perlu lagi ada Fatwa, karena semuanya sudah jelas dan gamblang didalam dienul Islam.
Ketika perlu ada Fatwa tentang masalah Ahmadiyah, berarti keterlambatan informasi ini menjadi terbukti. Oleh sebab itu, marilah kita sebarkan apa yang pernah disabdakan oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم seperti tersebut dalam Hadits-Hadits diatas, bahwa sesungguhnya nabi sudah berakhir, tidak lagi ada nabi sesudah Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم.
Apabila ada orang yang masih menentang dan ngeyel setelah dalil-dalil seperti tersebut diatas jelas, terang dan gamblang seperti terangnya matahari di siang hari, akan tetapi ia masih tetap saja meyakini tentang adanya Ahmadiyah, berarti orang tersebut sudah tertutup hatinya. Lihat firman Allooh سبحانه وتعالى dalam QS. Al Baqoroh (2) ayat 7 :
خَتَمَ اللّهُ عَلَى قُلُوبِهمْ وَعَلَى سَمْعِهِمْ وَعَلَى أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ وَلَهُمْ عَذَابٌ عظِيمٌ
Artinya:
“Allooh telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.”
Hendaknya kita buka hati kita, bahwa bila mereka menyatakan punya nabi sendiri, kitab sendiri, dan mengatakan bahwa nabinya lebih afdhol dibandingkan Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, apalagi mereka mengebiri tentang prinsip jihad fiisabiilillah dan seterusnya, maka kita umat muslim tidak perlu ragu bahwa Ahmadiyah bukanlah sekte, melainkan suatu agama tersendiri. Bukan bagian dari Islam sama sekali, dan tidak berhak menyandang nama Islam.
Kalau sudah demikian, maka kita sebagai bangsa Indonesia yang 87% adalah Muslim, sudah semestinya mengatakan bahwa kalau Ahmadiyah sebagai agama, maka ubah-lah dulu undang-undangnya. Kalau mereka mengaku Ahmadiyah bukan agama, maka mereka harus bertaubat, kembali ke jalan yang benar dan jangan meyakini adanya Ahmadiyah.
Kalau lalu sekarang katanya ada pernyataan dari pemerintah (keluar SKB Tiga Menteri), yang sifatnya mengambang, dibekukan tetapi masih boleh beredar, mestinya tidak boleh terjadi demikian. Seharusnya Ahmadiyah itu tegas-tegas dilarang, karena kaum Muslimin seluruh dunia sudah menyatakan bahwa Ahmadiyah adalah kafir, keluar dari lingkaran kaum Muslimin. Mengapa tidak berani tegas saja?
Memang sering terjadi bahwa kepentingan lah yang menjadi faktor dalam mempengaruhi penetapan suatu kebijaksanaan. Tetapi bagi kita kaum Muslimin, kepentingan kita adalah Ridho Allooh سبحانه وتعالىdan kecintaan-Nya kepada kita, jangan sampai ada unsur ragu dalam hati kita. Karena bila kita sampai ragu-ragu, maka kita termasuk murtad. Ketahuilah wahai muslimin dan muslimat, siapa yang ragu terhadap kekufuran orang kaafir, maka ia kaafir. Itulah bahaya-nya!
Hendaknya ‘aqiidah kita harus kita jernihkan, agar menghadap Allooh سبحانه وتعالى dengan Qolbun Salim. Kata para ‘Ulama ketika menafsirkan Hari Kiamat adalah hari dimana tidak ada manfaatnya harta dan anak keturunan. Yang akan memberikan manfaat adalah hati yang datang bertemu Allooh سبحانه وتعالىdengan Qolbun salim. Maknanya (menurut para ‘Ulama) adalah: Tauhiid, yaitu orang yang dalam hatinya ber-Tauhiid kepada Allooh سبحانه وتعالى dan men-Tauhiid-kan kebenaran apa yang datang dari Allooh سبحانه وتعالى.
Bila urusannya Bid’ah, maka itu sebenarnya adalah : sebelumnya tidak ada, lalu diada-adakan. Tetapi itu masih dalam koridor kaum Muslimin.
Dari shohabat ‘Abdullooh bin ‘Amr رضي الله عنه, bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
تفرقت اليهود على إحدى وسبعين أو اثنتين وسبعين فرقة والنصارى مثل ذلك وتفترق أمتي ثلاث وسبعين فرقة
“Sesungguhnya Bani Isroil terpecah menjadi 72 golongan, dan akan terpecah ummatku menjadi 73 golongan, semuanya didalam Neraka kecuali satu golongan.” Lalu para Shohabat bertanya: “Wahai Rosuulullooh, siapa dia?” Beliau menjawab, “Yaitu mereka yang berada pada apa yang telah ditempuh olehku dan oleh Shohabatku.”
(Hadits Riwayat Imaam At Turmudzy no: 2640, dari Abu Hurairoh رضي الله عنه dan dihasankan oleh Syaikh Al Albaany)
Yang dimaksud oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم adalah Ahlusunnah wal Jamaah.
Jadi kalau urusannya Bid’ah itu adalah Firqoh, golongan, kelompok dalam Islam. Para ‘Ulama ketika menyikapi Asy’ariyah itu kaafir atau bukan, mereka mengatakan bukan kaafir, jadi masih tergolong Muslimin.
Mu’tazilah, Khowaarij, adalah Muslim. Para ‘Ulama mengatakan bahwa sekte-sekte yang sekian banyaknya itu masih dikategorikan sebagai Muslim.
Tetapi orang yang mengaku Ahmadiyyah adalah bukan Muslim. Jangankan seperti Ahmadiyah, hanya sekedar seperti misalnya Jahmiyah yang mengatakan bahwa:
“Allooh itu tidak dilangit, tidak juga di bumi. Allooh itu tidak hidup tetapi juga tidak mati”, maka oleh ‘Ulama ‘Abdullooh Ibnul Mubarok رحمه الله, keyakinan Jahmiyah yang plin-plan seperti itu disebutnya bukan dari kalangan kaum Muslimin.
Padahal Jahmiyah, mereka itu masih mengakui Allooh سبحانه وتعالى, dan Muhammad صلى الله عليه وسلم sebagai Rosuulullooh, lalu bagaimana dengan orang yang mengaku bahwa Muhammad صلى الله عليه وسلم bukan Rosuulnya, tetapi mengakui nabinya adalah Mirza Ghulam Ahmad ?
Maka cukuplah bagi kita kaum muslimin, hendaknya tidak usah menjadikan perkara ini sebagai polemik, tidak usah ribut, tidak usah ada korban, tidak usah berselisih, yakinilah bahwa Nabi terakhir adalah Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, dan tidak ada syari’at yang benar yang menyampaikan kita kepada Allooh سبحانه وتعالى, keberkahan dan kebahagiaan dunia dan akhirat, kecuali syari’at yang diajarkan oleh Muhammad Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
TANYA JAWAB
Pertanyaan:
Orang-orang Ahmadiyyah yang dibela oleh orang-orang Liberal, sering berkelit ketika mereka terdesak tentang pengakuan Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, mereka kemudian mengatakan: “Kami hanya mengakui Mirza itu sebagai mujaddid, Imam Mahdi,” dan semacamnya.
Bagaimana kita merespon perkataan mereka yang seperti tersebut?
Jawaban:
Sudah dikisahkan oleh Ahmad Haryadi, seorang mantan tokoh Ahmadiyyah yang telah bertaubat, ada dalam buku yang ditulis olehnya, menyatakan pada sepuluh halaman awalnya, bahwa Ahmadiyyah itu bila sudah terdesak, mereka akan berkelit seperti anda sebutkan diatas. Itulah kata-kata mereka untuk berkelit, dan mereka sudah disuruh memperbaiki pernyataan tersebut sejak bulan Februari 2008, tetapi tetap saja tidak mau memperbaikinya.
Suka berkelit memang sudah merupakan cara klasik mereka. Dan itu sudah dinyatakan oleh mantan tokohnya sendiri dalam buku yang ia tulis. Kita tidak usah mendengarkan kelit mereka, itu kata-kata klasik mereka, kita tidak butuh berkelitnya mereka, yang penting adalah bahwa mereka itu segera kembali mengakui Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلمdan harus bersyahadat lagi, serta tidak boleh lagi ada intrik-intrik meyakini ajaran yang diajarkan oleh Ahmadiyah itu. Atau kalau tidak mau, maka hendaknya konsekwen untuk keluar dari Islam dan menggunakan nama Ahmadiyah dan tidak menyatakan dirinya sebagai bagian dari kaum Muslimin.
Adapun kalimat “Mujaddid” pahamilah bahwa kata tersebut berasal dari kata “Jadiid”, menjadikan sesuatu menjadi Jadiid disebut “Tajdiid”. Menurut para ‘Ulama “Tajdiid” adalah menghidupkan kembali ajaran yang pernah ada di zaman Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم lalu membersihkannya, memperindah kembali ajaran yang asli tersebut, jangan sampai ada kotoran atau asesoris yang bukan miliknya, dikembalikan kepada wujud asli yang sesungguhnya. Upaya memulihkan seperti itu disebut Tajdiid.
Sedangkan mereka (Ahmadiyyah) bukan Tajdiid, melainkan memperkeruh, menimbulkan masalah di antara kaum Muslimin, sehingga kaum Muslimin dibuat bentrok dan sesat.
Pertanyaan:
Ada keterangan bahwa Ahmadiyyah itupun terpecah menjadi dua kelompok, benarkah demikian?
Jawaban :
Benar, bahwa Ahmadiyah terpecah menjadi dua kelompok, yaitu kelompok Ahmadiyyah Qoodianada kelompok Ahmadiyyah Bahaa’i. Kebetulan yang menyebar di Indonesia adalah Ahmadiyyah Qodiani, yang bersikukuh bahwa Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabinya.
Pertanyaan:
Hari ini telah keluar SKB Tiga Menteri (Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung), yang isinya adalah sama dengan yang dikeluarkan oleh Pakem, yaitu mengingatkan kepada orang-orang Ahmadiyyah untuk kembali kepada ajaran Islam yang benar. Tetapi hari ini juga wartawan TV telah menghubungi tokoh-tokoh mereka dan diberitakan bahwa mereka (orang-orang Ahmadiyyah) akan tetap mempertahankan keyakinan mereka seperti yang mereka anut selama ini. Artinya, bisa dibayangkan bahwa keadaan seperti sekarang ini akan tetap berjalan terus meskipun sudah dikeluarkan SKB seperti tersebut diatas.
Bagaimanakah sikap kita umat Islam menghadapi situasi seperti ini?
Jawaban:
Kita, kaum Muslimin, hidup kita adalah untuk mengabdi kepada Allooh سبحانه وتعالى. Arti “mengabdi” adalah tunduk, patuh, pasrah, taat kepada apa saja yang datang dari Allooh سبحانه وتعالى melalui Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Pernyataan, perkataan dan keputusan siapapun, aturan apa pun, kalau berada dalam koridor Allooh سبحانه وتعالى dan Rosuul-Nya صلى الله عليه وسلم, maka kita akan mentaatinya.
Kalau ada sekelompok orang yang tidak demikian, mereka bertentangan dengan koridor Allooh سبحانه وتعالى dan Rosuul-Nya صلى الله عليه وسلم, maka sesungguhnya kita hanya takut kepada Allooh سبحانه وتعالى, yang memang harus kita takuti, karena Allooh سبحانه وتعالى lah yang menghidupkan dan mematikan manusia, yang memiliki surga dan neraka, jadi seorang Muslim bukannya takut kepada makhluk Allooh سبحانه وتعالى.
Kalau mereka Ahmadiyah tetap akan melaksanakan apa yang menjadi keyakinan mereka, itu namanya ngeyel, menentang, dalam bahasa Syar’i disebut Juhuud (bukan Zuhud), artinya menentang, membangkang. Menunjukkan bahwa mereka tidak takut dengan hukuman Allooh سبحانه وتعالى sebagai orang yang murtad. Mengapa mereka sampai berani bersikap demikian, tentunya karena ada pihak-pihak yang mem-back up mereka.
Oleh karena itu umat Islam harus bersatu, bergendeng-tangan, untuk melakukan Amar Ma’ruf Nahi Munkar, sehingga masyarakat kita steril dari perkara-perkara yang sesat. Dan kalau kita melihat kemunkaran, nasihatilah teman-teman kita dengan akhlaqul kariimah.
Pertanyaan:
Bila yang membela Ahmadiyyah itu orang-orang bukan ‘Ulama, maka wajarlah. Tetapi kali ini ada orang yang katanya mengaku ‘Ulama yang Khoos, tetapi justru membela Ahmadiyyah, apakah orang demikian bisa disebut ‘Ulama ?
Jawaban:
Allooh سبحانه وتعالى berfirman dalam QS. Faathir (35) ayat 28 :
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
Artinya:
“Sesungguhnya yang takut kepada Allooh diantara hamba-hamba-Nya, hanyalah ‘Ulama. Sesungguhnya Allooh Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”
Atau dengan kata lain, seperti yang dikatakan oleh Imaam Ahmad bin Hanbal رحمه الله, bahwa kata beliau رحمه الله: “Ilmu itu takut kepada Allooh.”
Kalau ada yang tidak takut kepada Allooh سبحانه وتعالى maka ia bukanlah Ilmu. Kalau ada orang yang mengaku ‘Ulama (orang yang ber-‘ilmu) tetapi ia tidak takut kepada Allooh سبحانه وتعالى, maka sesungguhnya ia bukan ‘Ulama. Demikianlah kriteria-nya. Bukan manusia yang membuat kriteria tersebut, melainkan Allooh سبحانه وتعالى.
Pertanyaan:
Ustadz, kalau kita melihat pada sejarah Islam, adakah kejadian semisal Ahmadiyyah, dan bagaimana menyikapinya? Mohon penjelasannya.
Jawaban:
Sudah barang tentu. Gerakan Nabi Palsu ini sebenarnya sudah ada sejak zaman Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, yaitu kita kenal misalnya ada orang yang bernama Al Aswad Al ‘Aanasy, tetapi perkara tersebut terselesaikan.
Begitupun pada zaman Abu Bakar As Siddiq رضي الله عنه, terkenal dengan Nabi Palsu yang bernama Musailamah Al Kadzaab, dan Abu Bakar As Siddiq رضي الله عنه pun menuntaskannya. Dan dapat kiranya, kita pelajari oleh apa yang diriwayatkan oleh para ‘Ulama tentang sikap beliau رضي الله عنه terhadap Nabi Palsu tersebut, yaitu sebagai berikut:
وأخرج الدارقطني عن ابن عمر قال لما برز أبو بكر واستوى على راحلته أخذ علي بزمامها وقال إلى أين يا خليفة رسول الله أقول لك ما قال لك رسول الله يوم أحد شم سيفك ولا تفجعنا بنفسك وارجع إلى المدينة فوالله لئن فجعنا بك لا يكون للإسلام نظام أبدا وبعث خالدا إلى بني أسد وغطفان فقتل من قتل وأسر من أسر ورجع الباقون إلى الإسلام ثم إلى اليمامة إلى قتال مسيلمة الكذاب فالتقى الجمعان ودام الحصار أياما ثم قتل الكذاب لعنه الله قتله وحشي قاتل حمزة
Abu Bakar As Siddiq رضي الله عنه, seorang Pemimpin Kaum Muslimin dan Pemerintah Kaum Muslimin pada masanya, kita kenal sikap beliau menghadapi Nabi Palsu yaitu bernama Musailamah Al Kadzaab. Sebagaimana dinukil oleh Imaam Ibnu Hajar Al Haitamy رحمه الله, dalam Kitab beliau رحمه الله bernama “Ash Showaa’iq Al Mukhriqoh” dari Al Imaam Ad Daaruquthny رحمه الله, dari Ibnu ‘Umar رضي الله عنه, beliau berkata:
“Ketika Abu Bakar رضي الله عنه bersiaga dan menaiki kendaraannya, Ibnu ‘Umar رضي الله عنه bertanya kepadanya:
‘Mau pergi kemana, wahai Kholiifah (Pengganti) Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم?’
Beliau رضي الله عنه menjawab, “Aku berkata kepadamu, apa yang Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم katakan kepadamu pada perang Uhud: ‘Cium pedangmu, jangan sibukkan kami dengan dirimu dan pulanglah kamu ke Madinah.’
Demi Allooh, jika kamu menyibukkan kami, maka tidak ada di dalam Islam ini aturan sama sekali.”
Abu Bakar رضي الله عنه pun mengutus Kholid bin Walid رضي الله عنه pada Bani Asad dan Ghothofaan, maka dibunuh dan ditawanlah beberapa orang dan sisanya kembali kepada Islam, kemudian kembali ke Al Yamaamah untuk memerangi Musailamah Al Kadzaab, sehingga berlalu lah perlawanan sengit itu, yang pada akhirnya Musailamah Al Kadzaab (semoga Allooh سبحانه وتعالى mengutuknya) dibunuh oleh Wahsy رضي الله عنه (mantan pembunuh Hamzah رضي الله عنه)
Demikianlah berdasarkan riwayat ‘Ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah tentang ketegasan sikap Abu Bakar As Siddiq رضي الله عنه selaku Pemimpin dan Pemerintah kaum Muslimin pada masanya dalam menghadapi Nabi Palsu dan pengikut-pengikutnya.
Alhamdulillah, kiranya cukup sekian dulu bahasan kita kali ini, mudah-mudahan bermanfaat. Kita akhiri dengan Do’a Kafaratul Majlis :
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Jakarta, Senin malam, 05 Jumadil Akhir 1429 H – 09 Juni 2008 M.
——- 0O0 ——-
Silakan download PDF : Sesatnya Ahmadiyah Bag.1 AQI 090608 FNL