Asy Syafã’ah
(Transkrip Ceramah AQI 221108)
ASY-SYAFÃ’AH
Oleh: Ustadz Achmad Rofi’i, Lc.
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allõh سبحانه وتعالى,
Kajian kali ini adalah membahas tentang apa yang diberitakan oleh Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم yaitu tentang Asy Syafã’ah. Asy Syafã’ah adalah perkara penting yang harus kita ketahui, kita yakini dan imani, serta berikutnya harus kita persiapkan. Karena setiap kita, ternyata tidak ada yang tidak membutuhkan Asy Syafã’ah. Maka dalam akhir bahasan ini atau dalam ksesempatan yang akan datang in syã Allõh akan kita bahas apa saja kiat-kiat yang bisa melapangkan jalan kita untuk mendapatkan Asy Syafã’ah tersebut.
Menurut para ‘Ulama Ahlus Sunnah, “Asy Syafã’ah” berasal dari kata “Asy Syaf’u” (الشفع). Dan kata ini terdapat dalam Al Qur’an. Kebalikan dari “Asy Syaf’u” adalah “Al Witru (Ganjil)“. Jadi “Asy Syaf’u” artinya “Genap“. Dan sekarang diartikan “Wasĩlah” (sarana, media), dan “Waththolab” (yang dicari).
Maka para ‘Ulama Ahlus Sunnah memberikan pemahaman kepada kita bahwa secara istilah, Asy Syafã’ah ada 2 (dua) definisi:
1) Definisi pertama: Asy Syafã’ah adalah “Berperantara (melalui orang lain)”.
Untuk sampai pada tujuan, maka seseorang menggunakan perantara atau media yang disebut sebagai Wasĩlah (media) atau disebut juga Wasĩthoh (perantara), penengah terhadap sampainya yang dituju; dengan cara meraih manfaat atau menolak madhorot (bahaya).
Makna yang demikian itu bisa berlaku di dunia. Contohnya adalah sebagaimana dalam Hadits Riwayat Al Imãm Al Bukhõry no: 1432, dari Shohabat Abu Mũsa Al Asy’ãry رضي الله عنه, beliau berkata bahwa seseorang datang kepada Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم untuk meminta bantuan bagi suatu keperluannya, maka beliau صلى الله عليه وسلم pun bersabda :
اشْفَعُوا تُؤْجَرُوا
Artinya:
“Berilah oleh kalian asy-syafã’ah (pertolongan), niscaya kalian akan diberi pahala kebajikan oleh Allõh سبحانه وتعالى”.
Artinya apabila seseorang memiliki kedudukan, status, “dipandang” (dihormati) orang atau memiliki kewibawaan; maka hendaknya ia menjadikan statusnya tersebut untuk membantu dan menolong orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Itulah arti dari Asy Syafã’ah (pertolongan) di dunia.
Dalam Hadits Riwayat Al Imãm Muslim no: 2699, dari Shohabat Abu Hurairoh رضي الله عنه, bahwa Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم bersabda:
وَاللَّهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيهِ
Artinya:
“Dan Allõh سبحانه وتعالى akan menolong seorang hamba, selama hamba itu menolong saudaranya”.
Maka siapa yang ingin ditolong oleh Allõh سبحانه وتعالى, hendaknya ia pun suka untuk menolong saudaranya. Islam mengajarkan prinsip menolong serta memberi manfaat kepada orang lain, semampu apa yang ia bisa.
Lalu masih dalam Hadits Riwayat Al Imãm Muslim no: 2699, dari Shohabat Abu Hurairoh رضي الله عنه, bahwa Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم bersabda :
ومن يسر على معسر يسر الله عليه في الدنيا والآخرة
Artinya:
“Barangsiapa yang memberi kemudahan kepada orang yang sedang mengalami kesulitan, maka Allõh سبحانه وتعالى akan memberikan kemudahan kepada orang itu di dunia dan di akhirat.”
Yang demikian itu diajarkan dan dianjurkan oleh Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم. Maka janganlah merasa segan untuk menolong orang lain, dan hendaknya hal tersebut dilakukan tetap pada porsi dan tempatnya. Janganlah memberikan sesuatu yang bukan pada tempatnya, karena yang demikian itu justru merupakan kedzoliman. Itulah makna Asy Syafã’ah.
2) Definisi kedua: Asy Syafã’ah adalah “Memohon, meminta kepada Allõh سبحانه وتعالى permaafan (remisi, penghapusan) dari dosa-dosa dan kesalahan untuk orang lain”.
Yang bisa menghapus dosa hanyalah Allõh سبحانه وتعالى !
Jadi apabila seseorang bisa memohonkan dan memintakan penghapusan dosa kepada Allõh سبحانه وتعالى bagi orang lain, maka itulah yang disebut sebagai Asy Syafã’ah. Dan setiap diri kita memerlukan Asy Syafã’ah dari orang lain, karena setiap diri kita ini adalah tidak lepas dari kesalahan.
Hal ini adalah sebagaimana dalam Hadits Shohĩh Riwayat Al Imãm At Turmudzy no: 2499 di-Hasan-kan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albãny, dari Shohabat Anas bin Mãlik رضي الله عنه, bahwa Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم bersabda:
كل ابن آدم خطاء وخير الخطائين التوابون
Artinya:
“Setiap anak Adam pasti bersalah, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah orang yang bertaubat”.
Kita semua ini banyak dosa dan dosa kita itu adalah perlu dan butuh untuk dihapus agar sesudahnya kita dapat masuk ke surga Allõh سبحانه وتعالى. Kelak di Hari Kiamat, setelah Allõh سبحانه وتعالى bangkitkan manusia (di Hari Kebangkitan), lalu Allõh سبحانه وتعالى kumpulkan manusia di Padang Mahsyar, dan diatas kita ada terik matahari, maka kita sungguh-sungguh sangat membutuhkan Asy Syafã’ah, karena Asy Syafã’ah tersebut akan menentukan Hisab (perhitungan), Mizan (timbangan), menentukan Al Haudh, Ash Shirõth dan perjalanan seterusnya pada Hari Kiamat.
Hakekat Asy Syafã’ah menurut para ‘Ulama Ahlus Sunnah adalah bahwa pada Hari Kiamat Allõh سبحانه وتعالى melalui Kasih-Sayang dan Kemuliaan-Nya memberikan izin kepada sebagian orang-orang shõlih dari para hamba-Nya (yaitu dari kalangan Malaikat atau para Nabi dan para Rosũl, ataupun dari kalangan kaum Mu’minin) untuk memberi Asy Syafã’ah di sisi Allõh سبحانه وتعالى, terhadap mereka orang-orang yang berdosa dari kalangan hamba-Nya yang ber-Tauhĩd.
Dalam Hadits Riwayat Al Imãm Muslim no: 199, dari Shohabat Abu Hurairoh رضي الله عنه, ia berkata bahwa Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم bersabda,
لِكُلِّ نَبِىٍّ دَعْوَةٌ مُسْتَجَابَةٌ فَتَعَجَّلَ كُلُّ نَبِىٍّ دَعْوَتَهُ وَإِنِّى اخْتَبَأْتُ دَعْوَتِى شَفَاعَةً لأُمَّتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَهِىَ نَائِلَةٌ إِنْ شَاءَ اللَّهُ مَنْ مَاتَ مِنْ أُمَّتِى لاَ يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا
Artinya:
“Setiap Nabi mempunyai do’a yang mustajab. Maka, masing-masing Nabi segera menggunakan do’a tersebut. Namun, aku menyimpan do’a itu untuk memberi Syafã’at kepada ummatku pada Hari Kiamat, yang Syafã’at tersebut in syã Allõh akan sampai pada ummatku yang mati tanpa menyekutukan Allõh dengan sesuatu apa pun.”
Orang-orang ber-Tauhĩd kepada Allõh سبحانه وتعالى, yang bagaimanapun juga mereka itu adalah manusia biasa yang tetap saja tidak luput dari kesalahan dan dosa, maka orang-orang seperti inilah yang akan diberikan Asy Syafã’ah; dimana hikmah dari hal ini adalah untuk menampakkan kemuliaan orang-orang yang memberi Asy Syafã’ah tersebut di sisi Allõh سبحانه وتعالى, dan sekaligus merupakan bentuk kasih-sayang Allõh سبحانه وتعالى terhadap orang-orang yang mendapatkan Asy Syafã’ah.
Dengan demikian, ada:
– Asy Syafã’ah (الشفاعة), yaitu: bentuk pertolongannya,
– Asy Syãfi’ (الشافع), yaitu orang yang memberikan Asy Syafã’ah,
– Al Masyhu’ (المشفوع), yaitu orang yang menerima Asy Syafã’ah
Menurut para ‘Ulama Ahlus Sunnah, Pertama bahwa Asy Syafã’ah itu adalah bentuk penampakan terhadap kemuliaan dari orang-orang yang memberikan Asy Syafã’ah, misalnya para Nabi. Ketika para Nabi memberikan Asy Syafã’ah, maka status mereka adalah mulia dan tinggi derajatnya di sisi Allõh سبحانه وتعالى. Begitu kita melihat Malaikat atau seorang Mu’min memberi Asy Syafã’ah, atau Al Qur’an memberi Asy Syafã’ah, maka hal itu menunjukkan bahwa kedudukan mereka adalah tinggi di sisi Allõh سبحانه وتعالى. Karena kalau tidak tinggi status derajatnya, tentulah tidak mungkin Allõh سبحانه وتعالى akan menghargai mereka.
Kedua, Allõh سبحانه وتعالى sayang kepada orang yang diberi Asy Syafã’ah itu, karenanya maka orang itu diberi Asy Syafã’ah melalui skenario seperti yang akan kita bahas di bawah ini.
Asy Syafã’ah adalah perkara yang harus diyakini oleh kita semua. Tidak boleh ada orang yang mengingkarinya, karena telah kuat dalil yang menjadi sandaran untuk meyakini perkara Asy Syafã’ah tersebut. Banyak dalil, baik itu berupa firman Allõh سبحانه وتعالى maupun sabda Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم.
Sebagaimana dalam Hadits Qudsi, diriwayatkan oleh Al Imãm Ahmad no: 11917 berkata Syaikh Syuaib Al Arnã’uth bahwa Hadits ini Sanadnya Shohĩh sesuai dengan syarat Shohĩh Al Imãm Al Bukhõry dan Al Imãm Muslim, dan diriwayatkan oleh Al Imãm Abdurrozãq no: 20857, dari Shohabat Abu Sã’id Al Khudry رضي الله عنه, bahwa Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم bersabda:
يقول الله شفعت الملائكة وشفعت الأنبياء وشفع المؤمنون وبقي أرحم الراحمين قال فيقبض قبضة من النار – أو قال قبضتين – ناسا لم يعملوا لله خيرا قط قد احترقوا حتى صاروا حمما قال فيؤتى بهم إلى ماء يقال له الحياة فيصب عليهم فينبتون كما تنبت الحبة في حميل السيل قال فيخرجون من أجسادهم مثل اللؤلؤ وفي أعناقهم الخاتم عتقاء الله قال فيقال لهم ادخلوا الجنة
Artinya:
“Maka Allõh سبحانه وتعالى berfirman: “Para Malaikat, para Nabi, orang-orang yang beriman memberikan Asy Syafã’ah, dan tidak ada yang tersisa kecuali lalu Allõh Yang Maha Pengasih سبحانه وتعالى akan menggenggam satu atau dua genggaman dari neraka kemudian mengeluarkan dari neraka itu kaum, yang tidak pernah dari kaum itu beramal dengan amalan yang baik sedikitpun, sedang mereka telah terbakar dan menjadi arang. Kemudian ditumpahkan pada mereka Al Hayãt (air kehidupan) sehingga mereka pun tumbuh seperti biji kecambah. Lalu keluarlah jasad mereka kembali bagaikan mutiara dan pada pundak mereka tertulis “Bebas dari neraka”, dan dikatakanlah pada mereka, “Masuklah kalian kedalam surga.”
Hadits tersebut sekaligus merupakan bantahan bagi kaum Khawarij, yang memiliki keyakinan bahwa apabila seseorang melakukan dosa besar, maka di akhirat kelak orang itu sama dengan orang kãfir yakni akan kekal di neraka. Adapun telah jelas berdasarkan Hadits tersebut diatas, bahwa Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم memberitakan kepada kita bahwa Allõh سبحانه وتعالى dengan Kasih-Sayang-Nya akan mengangkat mereka dari kalangan Ahlunnãr (penghuni neraka), diselamatkan dari api neraka dan dimasukkan ke dalam surga, padahal mereka belum pernah berbuat amal-kebajikan.
Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allõh سبحانه وتعالى,
Namun demikian, janganlah kita termasuk orang yang tidak pernah beramal-kebajikan. Karena kita tidak tahu berapakah peluang bagi kita untuk masuk kedalam surga Allõh سبحانه وتعالى.
Hadits tersebut memberikan dalil kepada kita bahwa Asy Syafã’ah itu memang ada dan Asy Syafã’ah itu diberikan oleh para Malaikat, para Nabi dan orang-orang yang beriman atas izin Allõh سبحانه وتعالى.
Meskipun demikian, harus pula tertancap dalam diri kita bahwa janganlah kita ini boleh merasa bebas untuk berbuat ma’shiyat seenaknya karena toh pada akhirnya masih ada Asy Syafã’ah di Hari Kiamat kelak. Sikap menyepelekan perbuatan dosa atau ma’shiyat tersebut jangan sampai ada pada diri kita, karena hendaknya kita sadari bahwa sesungguhnya Asy Syafã’ah itu pada hakekatnya adalah milik Allõh سبحانه وتعالى. Dan Allõh سبحانه وتعالى tidak akan memberikannya kepada seseorang, kecuali orang tersebut memenuhi syarat. Adapun orang yang tidak memenuhi syarat maka tidak akan mendapatkan Asy Syafã’ah. Karena Asy Syafã’ah adalah Hak Mutlak milik Allõh سبحانه وتعالى. Bahkan Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم sendiri pun juga tidak bisa memberikan Asy Syafã’ah, kalau Allõh سبحانه وتعالى tidak mengizinkan dan meridhoinya bagi orang yang bersangkutan. Nah, adakah kita ini termasuk golongan orang yang diridhoi Allõh سبحانه وتعالى untuk mendapatkan Asy Syafã’ah ataukah tidak ?!
Perhatikanlah firman Allõh سبحانه وتعالى dalam QS. Az Zumar (39) ayat 44 sebagai berikut :
قُل لِّلَّهِ الشَّفَاعَةُ جَمِيعاً لَّهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
Artinya:
“Katakanlah: “Hanya kepunyaan Allõh syafã’at itu semuanya. Kepunyaan-Nya kerajaan langit dan bumi. Kemudian kepada-Nyalah kamu dikembalikan.”
Jadi sebagaimana dijelaskan dalam ayat diatas, Asy Syafã’ah itu seluruhnya adalah milik Allõh سبحانه وتعالى, berarti kita ini semestinya merasa takut, karena tidak ada Asy Syafã’ah kalau tidak memperoleh izin dari Allõh سبحانه وتعالى. Allõh سبحانه وتعالى lah yang menentukan Asy Syafã’ah tersebut bisa diberikan kepada siapa diantara hamba-hamba-Nya. Mudah-mudahan saja kita tergolong orang yang mendapatkan Asy Syafã’ah. Aamiiin.
Dengan demikian dapatlah kita ambil pelajaran dari QS. Az Zumar (39) ayat 44 tersebut bahwa:
1. Asy Syafã’ah itu adalah mutlak milik Allõh سبحانه وتعالى.
2. Yang memiliki kerajaan (Yang berkuasa di langit dan di bumi) adalah Allõh سبحانه وتعالى.
3. Kita semua akan dikembalikan kepada Allõh سبحانه وتعالى.
Jelaslah bahwa yang berkuasa di langit dan di bumi itu adalah Allõh سبحانه وتعالى, bukan manusia, bukan pula rakyat. Pemberitaan Al Qur’an tersebut membantah paham demokrasi ala Barat yang menyatakan bahwa kekuasaan itu ada di tangan rakyat (yang merupakan prinsip demokrasi). Menurut ‘aqĩdah Ahlus Sunnah wal Jamã’ah, Penguasa (Raja) itu adalah Allõh سبحانه وتعالى. Allõh سبحانه وتعالى bukan hanya berkuasa di bumi, tetapi juga di langit bahkan di Akhirat nanti.
Perhatikan pula firman Allõh سبحانه وتعالى dalam QS. Az Zukhruf (43) ayat 86 sebagai berikut:
وَلَا يَمْلِكُ الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِهِ الشَّفَاعَةَ إِلَّا مَن شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
Artinya:
“Dan sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allõh tidak dapat memberi syafã`at; akan tetapi (orang yang dapat memberi syafã`at ialah) orang yang mengakui yang haq (ber-tauhĩd) dan mereka meyakini(nya).”
Dua ayat tersebut diatas menjadi bukti dan merupakan dalil bahwa yang mempunyai Asy Syafã’ah hanyalah Allõh سبحانه وتعالى. Karena itu kita harus bermohon kepada Allõh سبحانه وتعالى : “Ya Allõh, berikanlah kepada kami semua Asy Syafã’ah.”
Macam-macam Asy Syafã’at
Dalam Kitab Syarah “Al ‘Aqĩdah Ath Thohãwiyyah” halaman 34-37 karya Ibnu Abdil ‘Iz Al Hanafy رحمه الله disebutkan bahwa Asy Syafã’ah ada 6 (enam). Dalam Kitab yang lain dikatakan ada 8 (delapan), yaitu :
(1) Asy Syafã’atul ‘Udzma (Asy Syafã’ah yang Agung), yang diberikan oleh Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم (atas izin Allõh سبحانه وتعالى) terhadap manusia yang sedang dalam keadaan Mauqĩf, menghadapi Hisab (Perhitungan) Allõh سبحانه وتعالى di Padang Mahsyar. Asy Syafã’ah yang Agung ini hanya diberikan melalui Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, sementara para Nabi yang lain tidak mendapat keistimewaan ini.
(2) Syafã’at Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم yang diberikan kepada manusia yang antara kebajikan dan dosanya adalah seimbang. Orang yang sama besar (seimbang) antara kebajikan dan dosa-dosanya, maka oleh Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم dimintakan Asy Syafã’ah-nya kepada Allõh سبحانه وتعالى, sehingga orang tersebut pada akhirnya dapat masuk ke dalam surga-Nya.
(3) Syafã’at Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم yang diberikan kepada kaum yang sesungguhnya mereka itu berhak mendapatkan siksa neraka, namun karena dimintakan Asy Syafã’ah-nya oleh Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم kepada Allõh سبحانه وتعالى, maka kaum itu pun menjadi selamat dari siksaan neraka dan masuk ke dalam surga Allõh سبحانه وتعالى.
(4) Syafã’at Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم yang diberikan (atas izin Allõh سبحانه وتعالى) untuk mengangkat derajat Ahlul Jannah (penghuni Surga), dari suatu derajat ke derajat lain yang lebih tinggi di dalam surga.
(5) Syafã’at Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم yang diberikan kepada suatu kaum, agar mereka masuk ke dalam surga tanpa-hisab.
(6) Syafã’at Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم untuk meringankan adzab / siksa neraka yang Allõh سبحانه وتعالى berikan kepada mereka, seperti halnya Asy Syafã’ah Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم terhadap paman beliau yakni Abu Tholib. Sebagaimana kita pelajari dalam Siroh maka Abu Tholib adalah wafat dalam keadaan kãfir, meskipun seumur hidupnya ia mendukung, membantu serta menyokong dakwah Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم, namun sayangnya hingga akhir ajalnya ia tetap tidak mau mengucapkan: Lã ilãha ilallõh, suatu kalimat yang sebenarnya dapat menyelamatkannya dari siksa neraka. Tetapi karena ia tetap kãfir bahkan sampai meninggalnya maka ia berhak atas adzab neraka di Hari Kiamat.
Asy Syafã’ah ini hanya terjadi pada Abu Tholib, paman Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم saja, dan tidak pernah akan terulang kepada orang lain selainnya. Allõh سبحانه وتعالى berkenan memberikan Abu Tholib keringanan adzab, yaitu siksa neraka yang paling ringan.
Sebagaimana dalam Hadits Riwayat Al Imãm Muslim no: 209, dari Shohabat ‘Abdullõh bin ‘Abbas bin ‘Abdul Mutholib رضي الله عنه, bahwa ia bertanya,
يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ نَفَعْتَ أَبَا طَالِبٍ بِشَىْءٍ فَإِنَّهُ كَانَ يَحُوطُكَ وَيَغْضَبُ لَكَ قَالَ « نَعَمْ هُوَ فِى ضَحْضَاحٍ مِنْ نَارٍ وَلَوْلاَ أَنَا لَكَانَ فِى الدَّرْكِ الأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ
Artinya:
“Ya Rosũlullõh, apakah engkau akan memberi sedikit manfaat bagi Abu Tholib, karena ia pernah melindungimu dan marah apabila engkau disakiti?”
Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم menjawab, “Ya, dia berada di neraka pada bagian yang dangkal. Seandainya tidak karena aku, pastilah ia berada di dasar neraka yang paling bawah.”
Juga dalam Hadits lain Riwayat Al Imãm Muslim no: 212, dari Ibnu ‘Abbas رضي الله عنه, bahwa Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم bersabda,
أهون أهل النار عذابا أبو طالب وهو منتعل بنعلين يغلي منهما دماغه
Artinya:
“Penghuni neraka yang paling ringan siksanya adalah Abu Tholib. Ia menggunakan dua terompah yang terbuat dari api yang membuat otaknya mendidih.”
(7) Syafã’at Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم yang dengan izin Allõh سبحانه وتعالى diberikan kepada mereka yang ditakdirkan menjadi Ahlul Jannah (penghuni surga) untuk disegerakan masuk ke dalam surga.
(8) Syafã’at Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم yang atas izin Allõh سبحانه وتعالى diberikan kepada kaum Muslimin, Mu’minin, tetapi berbuat dosa besar. Apabila seharusnya mereka itu masuk kedalam neraka, namun dengan Syafã’at Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم mereka menjadi selamat dan terangkat dari api neraka.
Setelah kita mengetahui adanya delapan macam Asy Syafã’ah tersebut diatas maka hendaknya kita berencana dari sejak saat ini untuk melakukan berbagai kiat yang konkrit agar kita tergolong orang-orang yang berhak mendapatkan Asy Syafã’ah tersebut. Dan ini bukanlah hanya dengan sekedar mengucapkan berulang-ulang: “Mudah-mudahan kita mendapat Asy Syafã’ah, mudah-mudahan kita mendapatkan Asy Syafã’ah” saja, namun sehari-harinya kita enggan dan nihil dalam beramal shõlih. Maka hal yang demikian itu adalah tidak benar; karena Islam itu bukanlah khayalan, namun Islam itu menuntut suatu upaya yang nyata.
Tentang Asy Syafã’atul ‘Udzma (Asy Syafã’ah yang Agung)
Hadits berkaitan dengan Asy Syafã’ah adalah sangat banyak. Berbagai Hadits tersebut, isinya satu sama lain adalah saling melengkapi. Hadits-Hadits tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
Sebagaimana Hadits Shohĩh Riwayat Al Imãm Muslim no: 6079, dari Shohabat Abu Hurairoh رضي الله عنه, bahwa Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم bersabda:
أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَوَّلُ مَنْ يَنْشَقُّ عَنْهُ الْقَبْرُ وَأَوَّلُ شَافِعٍ وَأَوَّلُ مُشَفَّعٍ
Artinya:
“Aku adalah Tuan (Sayyid) anak Adam pada hari Kiamat. Aku adalah orang yang pertama kali kuburannya dibuka, pemberi Asy Syafã’ah pertama kali dan orang yang pertama kali diberi Asy Syafã’ah.”
Dari Hadits diatas dapatlah diambil pelajaran bahwa Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم tidak mengatakan bahwa dirinya adalah tuan (Sayyid) bagi manusia di dunia! Karena sebagaimana dalam Hadits tersebut, Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم adalah Sayyid, tetapi kelak di Hari Kiamat, dan bukan di dunia.
Inilah yang harus kita pahami dengan sejelas-jelasnya, sehingga merupakan suatu kekeliruan yang terjadi diantara sebagian kaum Muslimin yang menambahkan perkataan “Sayyidina” kepada Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم di dalam Sholawat ataupun di dalam melaksanakan ibadah mahdhoh lainnya. Sebagai contoh kekeliruan yang terjadi di masyarakat pada umumnya (dan Indonesia pada khususnya) adalah bahwa mereka mengucapkan: “Allõhumma sholli ‘ala sayyidnia Muhammadin…”, dan seterusnya. Padahal apabila kaum Muslimin mau meluangkan waktunya untuk mengecheck Kitab-Kitab Hadits yang Shohĩh, maka tidak akan mereka temui penambahan kata “Sayyidina” tersebut dalam redaksi suatu Sholawat. Tidak ada riwayat yang mengatakan demikian ! Tidak ada tuntunannya seperti itu dari Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم sendiri ! Maka apabila seseorang melazimkan bersholawat dengan menambahkan kata “Sayyidina”, maka yang demikian itu adalah bagian daripada Bid’ah.
Perhatikanlah Redaksi Sholawat dalam Hadits Shohĩh diriwayatkan oleh Al Imãm Al Bukhõry no: 6357 dan Al Imãm Muslim no: 935, melalui salah seorang Shohabat bernama Ka’ab bin ‘Ujroh رضي الله عنه, beliau berkata bahwa,
إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ عَلَيْنَا فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ عَلِمْنَا كَيْفَ نُسَلِّمُ عَلَيْكَ فَكَيْفَ نُصَلِّي عَلَيْكَ قَالَ فَقُولُوا اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
Artinya:
“Sesungguhnya Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم keluar menemui kami, lalu kami berkata:
“Ya Rosũlullõh, kami telah mengetahui bagaimana kami mengucapkan salam atas engkau. Bagaimana cara kami mengucapkan Sholawat atas engkau?”
Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم menjawab, “Katakanlah oleh kalian:
– “Allõhumma sholli ‘ala Muhammadin wa ‘ala ali Muhammadin kamã shollaita ‘ala ali Ibrõhĩma innaka hamĩdummajĩdun
(Ya Allõh, kasih sayangilah Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Engkau telah berikan kasih sayang atas keluarga Ibrohim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia).”
– “Allõhumma bãrik ‘ala Muhammadin wa ‘ala ali Muhammadin, kamã barokta ‘ala ali Ibrõhĩma innaka hamĩdummajĩdun
(Ya Allõh, berkahilah terhadap Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Engkau berkahi keluarga Ibrohim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia).”
(– Lebih lengkapnya, silakan baca kembali ceramah berjudul “Berbagai Redaksi Sholawat sesuai Tuntunan Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم” yang ada pada Blog ini –)
Sekalipun apabila kita mengucapkannya bukan dalam rangkaian suatu ibadah, melainkan hanyalah dalam percakapan keseharian, maka yang demikian itu pun tidaklah lebih utama.
Hal ini adalah disebabkan karena Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم telah mengingkari atau melarang seseorang mengucapkan “Sayyidina” terhadap diri beliau صلى الله عليه وسلم, sebagaimana dijelaskan dalam Hadits Riwayat Al Imãm Abu Dãwud no: 4808, di-shohĩhkan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albãny رحمه الله, dari Shohabat Abi Nadhrota رضي الله عنه, beliau berkata. “Aku bertindak sebagai duta Bani ‘Amĩr pada Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم, maka kami mengatakan,
فَقُلْنَا أَنْتَ سَيِّدُنَا. فَقَالَ « السَّيِّدُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى ». قُلْنَا وَأَفْضَلُنَا فَضْلاً وَأَعْظَمُنَا طَوْلاً. فَقَالَ « قُولُوا بِقَوْلِكُمْ أَوْ بَعْضِ قَوْلِكُمْ وَلاَ يَسْتَجْرِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ
Artinya:
“Wahai Rosũlullõh, engkau adalah Tuan kami (Sayyidina)”
(– Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم hendak disebut “Sayyid” oleh para Shohabat, hal tersebut karena beliau memang keturunan Quraisy, bangsawan, suku bangsa pembesar di Mekkah – pent.), tetapi Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم tidak meng-iya-kan, bahkan justru beliau صلى الله عليه وسلم bersabda,
“Yang Sayyid (Tuan) adalah Allõh Yang Maha Pemilik Berkah dan Maha Tinggi.”
Sehingga kami katakan, “Anda terbaik dari kami dan teragung dari kami.”
Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم mengatakan, “Katakanlah oleh kalian dengan perkataan kalian atau sebagian perkataan kalian, dan jangan syaithõn menyeret kalian.”
Lalu dalam Hadits Riwayat Al Imãm Al Bukhõry no: 3445, dari Shohabat Ibnu ‘Abbas رضي الله عنه, bahwa Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم bersabda,
فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ
Artinya:
“Sesungguhnya aku ini tidak lebih adalah hamba Allõh dan Utusan-Nya, maka katakan oleh kalian kepadaku (sebutlah untukku): ‘Abdullõh wa Rosũluhu (Hamba Allõh dan Rosũl-Nya).”
Jadi yang paling afdhol adalah kita mengucapkan: Rosũlunã wa Nabiyyunã, atau ‘Abdullõh wa Rosũluhu. Maka yang seperti ini adalah boleh.
Dalam Hadits Riwayat Al Imãm Muslim no: 194, dari Shohabat Abu Hurairoh رضي الله عنه, beliau berkata,
أتي رسول الله صلى الله عليه و سلم يوما بلحم فرفع إليه الذراع وكانت تعجبه فنهس منها نهسة فقال أنا سيد الناس يوم القيامة وهل تدرون بما ذاك ؟ يجمع الله يوم القيامة الأولين والآخرين في صعيد واحد فيسمعهم الداعي وينفذهم البصر وتدنو الشمس فيبلغ الناس من الغم والكرب مالا يطيقون ومالا يحتملون فيقول بعض الناس لبعض ألا ترون ما أنتم فيه ؟ ألا ترون ما قد بلغكم ؟ ألا تنظرون من يشفع لكم إلى ربكم ؟ فيقول بعض الناس لبعض ائتوا آدم فيأتون آدم فيقولون يا آدم أنت أبو البشر خلقك الله بيده ونفخ فيك من روحه وأمر الملائكة فسجدوا لك اشفع لنا في ربك ألا ترى إلى ما نحن فيه ؟ ألا ترى إلى ما قد بلغنا ؟ فيقول آدم إن ربي غضب اليوم غضبا لم يغضب قبله مثله ولن يغضب بعده مثله وإنه نهاني عن الشجرة فعصيته نفسي نفسي اذهبوا إلى غيري اذهبوا إلى غيري اذهبوا إلى نوح فيأتون نوحا فيقولون يا نوح أنت أول الرسل إلى الأرض وسماك الله عبدا شكورا اشفع لنا إلى ربك ألا ترى ما نحن فيه ؟ ألا ترى ما قد بلغنا ؟ فيقول لهم إن ربي قد غضب اليوم غضبا لم يغضب قبله مثله ولن يغضب بعده مثله وإنه قد كانت لي دعوة دعوت بها على قومي نفسي نفسي اذهبوا إلى إبراهيم صلى الله عليه و سلم
Artinya:
“Pada suatu hari Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم diberi daging, dengan disuguhkan kepada beliau صلى الله عليه وسلم bagian lengan kambing dan beliau صلى الله عليه وسلم menyukainya. Lalu, beliau صلى الله عليه وسلم menggigitnya dengan ujung giginya. Kemudian beliau صلى الله عليه وسلم bersabda: “Aku adalah pemimpin (tuan / sayyid) manusia pada Hari Kiamat. Apakah kamu sekalian mengerti mengapa demikian? Pada Hari Kiamat, Allõh mengumpulkan semua manusia, yang dahulu dan yang akhir di suatu tempat. Lalu mereka mendengar suara penyeru. Pandangan pun tiada terhalang, dan matahari pun dekat. Manusia mengalami kesedihan dan kesulitan yang tiada mampu mereka tanggung dan mereka pikul. Maka, sebagian diantara mereka berkata kepada sebagian yang lain, “Tidakkah kamu tahu apa yang kamu alami? Tidakkah kamu tahu apa yang menimpamu? Tidakkah kamu cari siapa yang dapat memberimu Asy Syafã’ah kepada Robb-mu?”
Sebagian yang lain diantara mereka pun menjawab, “Datangilah Adam عليه السلام.”
Kemudian mereka pun mendatangi Adam عليه السلام, dan berkata: “Wahai Adam, engkau adalah bapak manusia, Allõh سبحانه وتعالى telah menciptakanmu dengan Tangan-Nya. Lalu Dia tiupkan kepadamu Ruh-Nya dan memerintahkan para Malaikat agar mereka bersujud (hormat) kepadamu. Maka mintalah kepada Robb-mu Asy Syafã’ah bagi kami. Tidakkah engkau tahu apa yang sedang kami alami? Tidakkah engkau tahu apa yang menimpa kami?”.
Nabi Adam عليه السلام menjawab: “Sesungguhnya Robb-ku pada hari ini murka yang tiada pernah Dia marah sebelum dan sesudahnya seperti itu. Robb-ku pernah melarangku mendekati sebuah pohon (di surga dulu),tetapi aku berma’shiyat, melanggar larangan itu karena nafsuku. Aku (saat ini) sibuk dengan urusanku sendiri, aku sibuk dengan urusanku sendiri. Pergilah kalian kepada Nabi lain selainku. Pergilah kalian kepada Nuh عليه السلام.”
Kemudian mereka mendatangi Nabi Nuh عليه السلام, lalu berkata : “Wahai Nuh, engkau adalah rosũl pertama di bumi (– setelah banjir besar –). Allõh سبحانه وتعالى menyebutmu sebagai hamba yang sangat bersyukur. Maka mintakanlah kepada Robb-mu Asy Syafã’ah untuk kami. Tidakkah engkau tahu apa yang sedang kami alami? Tidakkah engkau tahu apa yang telah menimpa kami?”.
Nabi Nuh عليه السلام menjawab : “Sesungguhnya Robb-ku pada hari ini murka tiada tara, yang belum pernah Dia murka seperti itu sebelum dan sesudahnya. Sungguh, dahulu aku pernah mendo’akan jelek untuk kaumku. Aku (saat ini) sibuk dengan urusanku sendiri, aku sibuk dengan urusanku sendiri. Pergilah kalian kepada Ibrohim عليه السلام.”
Sebagaimana kita ketahui didalam Siroh (Sejarah), doa Nabi Nuh عليه السلام adalah dahsyat sekali: “Ya Allõh, janganlah engkau tinggalkan orang-orang kãfir diatas muka bumi ini, habisilah semuanya”.
Demikian Nabi Nuh عليه السلام berdoa, sehingga sepertinya ia tidak sayang lagi untuk berusaha menyelamatkan manusia yang kãfir. Berbeda dengan Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم yang ketika beliau صلى الله عليه وسلم disakiti oleh orang-orang kãfir, sehingga Malaikat pun menawarkan diri agar beliau صلى الله عليه وسلم meminta izin kepada Allõh سبحانه وتعالى agar Malaikat-lah yang akan menghancurkan orang-orang kãfir ketika itu, namun Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم menolak tawaran Malaikat tersebut dengan mengatakan: “Jangan, mudah-mudahan dari tulang rusuk mereka akan lahir orang-orang yang beriman kepada Allõh سبحانه وتعالى”.
Hal ini menunjukkan kemuliaan beliau صلى الله عليه وسلم serta pandangan beliau صلى الله عليه وسلم yang jauh ke depan. Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم sangatlah sayang kepada setiap manusia.
Kemudian lanjutan daripada Hadits diatas adalah sebagai berikut:
فيأتون إبراهيم فيقولون أنت نبي الله وخليله من أهل الأرض اشفع لنا إلى ربك ألا ترى إلى ما نحن فيه ؟ ألا ترى إلى ما قد بلغنا ؟ فيقول لهم إبراهيم إن ربي قد غضب اليوم غضبا لم يغضب قبله مثله ولا يغضب بعده مثله وذكر كذباته نفسي نفسي اذهبوا إلى غيري اذهبوا إلى موسى فيأتون موسى صلى الله عليه و سلم فيقولون يا موسى أنت رسول الله فضلك الله برسالاته وبتكليمه على الناس اشفع لنا إلى ربك ألا ترى إلى ما نحن فيه ؟ ألا ترى ما قد بلغنا ؟ فيقول لهم موسى صلى الله عليه و سلم إن ربي قد غضب اليوم غضبا لم يغضب قبله مثله ولن يغضب بعده مثله وإني قتلت نفسا لم أومر بقتلها نفسي نفسي اذهبوا إلى عيسى صلى الله عليه و سلم فيأتون عيسى فيقولون يا عيسى أنت رسول الله وكلمت الناس في المهد وكلمة منه ألقاها إلى مريم وروح منه فاشفع لنا إلى ربك ألا ترى ما نحن فيه ؟ ألا ترى ما قد بلغنا ؟ فيقول لهم عيسى صلى الله عليه و سلم إن ربي قد غضب اليوم غضبا لم يغضب قبله مثله ولن يغضب بعده مثله ولم يذكر له ذنبا نفسي نفسي اذهبوا إلى غيري اذهبوا إلى محمد صلى الله عليه و سلم فيأتوني فيقولون يا محمد أنت رسول الله وخاتم الأنبياء وغفر الله لك ما تقدم من ذنبك وما تأخر اشفع لنا إلى ربك ألا ترى ما نحن فيه ؟ ألا ترى ما قد بلغنا ؟ فأنطلق فآتي تحت العرش فأقع ساجدا لربي ثم يفتح الله علي ويلهمني من محامده وحسن الثناء عليه شيئا لم يفتحه لأحد قبلي ثم يقال يا محمد ارفع رأسك سل تعطه اشفع تشفع فأرفع رأسي فأقول يا رب أمتي أمتي فيقال يا محمد أدخل الجنة من أمتك من لا حساب عليه من الباب الأيمن من أبواب الجنة وهو شركاء الناس فيما سوى ذلك من الأبواب والذي نفس محمد بيده إن ما بين المصراعين من مصاريع الجنة لكما بين مكة وهجر أو كما بين مكة وبصرى
Artinya:
Kemudian manusia mendatangi Nabi Ibrohim عليه السلام, dan berkata: “Engkau adalah Nabi Allõh dan Kekasih-Nya dari penduduk bumi.Mintakanlah Asy Syafã’ah kepada Robb-mu untuk kami. Tidakkah engkau tahu apa yang sedang kami alami? Tidakkah engkau tahu apa yang sedang menimpa kami?”.
Kemudian Nabi Ibrohim عليه السلام-pun menjawab, “Sesungguhnya Robb-ku pada hari ini murka tiada tara, yang belum pernah Dia murka seperti itu sebelum dan sesudahnya.”
Nabi Ibrohim عليه السلام menyebutkan dusta yang telah dialaminya (– ketika ia menghancurkan berhala –). Nabi Ibrohim عليه السلام berkata, “Aku (saat ini) sibuk dengan urusanku sendiri, aku sibuk dengan urusanku sendiri. Pergilah kalian kepada Nabi lain selainku. Pergilah kalian kepada Musa عليه السلام.”
Maka mereka pun mendatangi Nabi Musa عليه السلام, lalu berkata: “Wahai Musa, engkau adalah utusan Allõh سبحانه وتعالى. Allõh سبحانه وتعالى telah memberimu keutamaan dengan risalah-Nya, dan firman-Nya kepadamu melebihi manusia lain. Maka mintakanlah Asy Syafã’ah kepada Robb-mu untuk kami. Tidakkah engkau tahu apa yang sedang kami alami? Tidakkah engkau tahu apa yang telah menimpa kami?”.
Nabi Musa عليه السلام menjawab: “Sesungguhnya Robb-ku pada hari ini murka tiada tara, yang belum pernah Dia murka seperti itu sebelum dan sesudahnya. Sesungguhnya aku pernah membunuh seseorang yang aku tidak diperintahkan untuk membunuhnya. Aku (saat ini) sibuk dengan urusanku sendiri, aku sibuk dengan urusanku sendiri. Pergilah kalian kepada ‘Isa عليه السلام.”
Lalu mereka mendatangi Nabi ‘Isa عليه السلام, seraya berkata: “Wahai Isa, engkau adalah utusan Allõh سبحانه وتعالى (*catatan pent.: — hal ini tidak seperti anggapan orang Nashroni yang menganggap bahwa ‘Isa عليه السلام adalah Tuhan dan anak Allõh –). Engkau telah berbicara kepada manusia ketika engkau baru lahir. Engkau terwujud dengan kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam dengan tiupan roh dari-Nya. Maka, mintakanlah Asy Syafã’ah kepada Robb-mu untuk kami. Tidakkah engkau tahu apa yang sedang kami alami? Tidakkah engkau tahu apa yang sedang menimpa kami?”.
Nabi ‘Isa عليه السلام menjawab: “Sesungguhnya Robb-ku pada hari ini murka tiada tara, yang belum pernah Dia murka seperti itu sebelum dan sesudahnya.”
Nabi ‘Isa عليه السلام tidak menyebutkan dosa yang pernah dialaminya.
Kata Nabi ‘Isa عليه السلام selanjutnya, “Aku (saat ini) sibuk dengan urusanku sendiri, aku sibuk dengan urusanku sendiri. Pergilah kalian kepada Muhammad عليه السلام.”
Kemudian mereka mendatangiku, dan berkata : “Wahai Muhammad, engkau adalah utusan Allõh سبحانه وتعالى, engkau adalah Penutup para Nabi, Allõh سبحانه وتعالى telah memberikan ampunan atas dosa yang telah engkau lakukan (seandainya ada). Maka, mintakanlah Asy Syafã’ah kepada Robb-mu untuk kami. Tidakkah engkau tahu apa yang sedang kami alami? Tidakkah engkau tahu apa yang sedang menimpa kami?”.
Maka aku (Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم) pergi dan mendatangi Tahtal ‘Arsy (kebawah Al ‘Arsy). Lalu aku bersujud kepada Robb-ku. Kemudian Allõh سبحانه وتعالى memberiku pertolongan dan pemberitahuan yang tidak pernah Dia berikan kepada seseorang sebelum aku. Dia berfirman, “Wahai Muhammad, angkatlah kepalamu. Mintalah, maka engkau akan diberi. Mintalah Asy Syafã’ah, maka engkau akan diizinkan untuk memberi Asy Syafã’ah.”
Lalu aku mengangkat kepalaku, dan aku mengatakan : “Ya Allõh, tolonglah ummatku! Tolonglah ummatku!”
Aku dijawab: “Wahai Muhammad, masukkanlah ke surga ummatmu yang bebas hisab dari pintu kanan surga, dan selain mereka lewat pintu yang lain lagi.” Demi Allõh yang menguasai diri Muhammad, sesungguhnya antara dua daun pintu di surga sebanding antara Mekkah dan Hajar (– daerah Palestina – pent.), atau antara Mekkah dan Bashra (– Iraq – pent.).”
Hadits yang panjang tersebut merupakan dali bagi kita tentang apa yang disebut Asy Syafã’atul ‘Udzma (Asy Syafã’ah yang Agung) yang tidak dimiliki oleh seorang Nabi pun, kecuali Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم.
Kesimpulan yang dapat kita petik dari Hadits tersebut adalah sebagai berikut:
(1) Muhammad Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم adalah Sayyidunnãs Yaumal Qiyãmah (Tuan manusia di Hari Kiamat). Menunjukkan bahwa kedudukan beliau صلى الله عليه وسلم adalah tertinggi di hadapan Allõh سبحانه وتعالى, bahkan diatas seluruh makhluk. Jangankan manusia biasa, bahkan diantara para Rosũl, para Nabi ‘Ulul Azmi, Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم adalah yang paling baik, paling dekat dan paling tinggi derajatnya di sisi Allõh سبحانه وتعالى.
(2) Ternyata Nabi-Nabi عليهم السلام sebelumnya, pernah melakukan sesuatu hal yang merupakan kekeliruan yang tidak kecil disisi Allõh سبحانه وتعالى.
Kecuali yang tidak disebutkan dalam Hadits diatas, adalah Nabi ‘Isa عليه السلام. Sedangkan kesalahan Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم yang lalu sudah diampuni dan yang akan datang juga sudah diampuni. Jadi Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم dalam perkara ini adalah Ma’shum, tidak pernah punya salah dan dosa terhadap Allõh سبحانه وتعالى.
(3) Bahwa ada yang disebut dengan Mahsyar, dimana Mahsyar itu sangat-sangatlah dahsyat. Mataharinya demikian dekat dengan manusia, panasnya luar biasa dan tidak ada yang bisa menaungi atau meringankan panasnya dan pada saat demikian itu lah kita perlu dengan Asy Syafã’ah.
(4) Bahwa Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم adalah satu-satunya yang diberi izin oleh Allõh سبحانه وتعالى untuk bersujud kepada Allõh سبحانه وتعالى di bawah ‘Arsy, dan permohonan beliau صلى الله عليه وسلم dikabulkan, dipenuhi oleh Allõh سبحانه وتعالى. Hal itu merupakan kedudukan yang paling tinggi di sisi Allõh سبحانه وتعالى.
.
Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allõh سبحانه وتعالى,
Kita sebagai manusia biasa tentu tidak lah Ma’shum. Oleh karena itu hendaknya kita banyak bermohon ampunan kepada Allõh سبحانه وتعالى, ber-istighfar dan bertaubat.Banyak menabung amalan yang shõlih, agar amalan kita yang baik tersebut mudah-mudahan dapat menghapus dosa-dosa kita di sisi Allõh سبحانه وتعالى, dan kemudian menjadi Asy Syafã’ah pula bagi diri kita.
Yang perlu kita camkan adalah bahwa Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم itu orang yang paling tinggi statusnya, orang yang telah diampuni dosanya yang telah lalu maupun yang akan datang, orang yang akan membuka pintu surga pertama kali, dan berbagai kelebihan dalam ibadahnya kepada Allõh سبحانه وتعالى yang tidak ada seorang pun yang bisa menyainginya. Meskipun demikian Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم tetap ber-istighfar kepada Allõh سبحانه وتعالى. Apalagi diri kita ini yang apabila direnungkan, maka kita semuanya ini belum mendapatkan nomor antrian yang pasti untuk masuk surga? Karena sesungguhnya kita tidak tahu amalan mana yang pernah kita lakukan yang diterima oleh Allõh سبحانه وتعالى dan berapa “skor” (nilai) ibadah kita saat ini disisi Allõh سبحانه وتعالى. Oleh karena itu, marilah kita terus-menerus beramal shõlih serta berusaha memperbaiki kualitas dan kuantitas amalan kita. Janganlah bosan melakukan hal tersebut sampai pada suatu masa kematian menjemput diri kita. Hendaknya kita selalu berusaha meningkatkan Iman dan Taqwa kita pada Allõh سبحانه وتعالى.
TANYA JAWAB
Pertanyaan:
Di kalangan sebagian umat Islam Indonesia, ada yang beranggapan bahwa para Habĩb yang ada sekarang itu bisa memberikan Asy Syafã’ah. Benarkah hal tersebut?
Jawaban:
Tidak ada satu nash Hadits pun yang menyatakan bahwa para Habĩb itu bisa memberikan Asy Syafã’ah. Tetapi yang jelas adalah sebagaimana yang diberitakan di dalam Hadits yang telah kita bahas diatas, bahwa yang dapat memberikan Asy Syafã’ah atas izin Allõh سبحانه وتعالىitu adalah para Malaikat, para Nabi, dan kaum Mu’min.
Walaupun seorang Habĩb sekalipun, namun kalau ia dari kalangan orang-orang yang fãsiq, atau bahkan misalnya dari kalangan pelaku Bid’ah, maka tidaklah mungkin mereka memberikan Asy Syafã’ah kepada orang lain. Karena seyogyanya ia sendiri pun memerlukan Asy Syafã’ah dari orang lain atas dosa-dosanya.
Ahlus Sunnah wal Jamã’ah tidak membedakan status seseorang, apakah ia seorang Habĩb ataukah bukan. Bahkan di zaman Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم tidak ada julukan Habĩb itu. Julukan (sebutan) Habĩb itu hanya ada di Indonesia saja.
Dalam Hadits Shohĩh Riwayat Al Imãm Muslim : 204, dari Shohabat Abu Hurairoh رضي الله عنه, ia berkata,
لما أنزلت هذه الآية { وأنذر عشيرتك الأقربين } [ 26 / الشعراء / الآية – 214 ] دعا رسول الله صلى الله عليه و سلم قريشا فاجتمعوا فعم وخص فقال يا بني كعب بن لؤي أنقذوا أنفسكم من النار يا بني مرة بن كعب أنقذوا أنفسكم من النار يا بني عبد شمس أنقذوا أنفسكم من النار يا بني عبد مناف أنقذوا من النار يا بني هاشم أنقذوا أنفسكم من النار يا بني عبدالمطلب أنقذوا أنفسكم من النار يا فاطمة أنقذي نفسك من النار فإني لا أملك لكم من الله شيئا غير أن لكم رحما سأبلها ببلالها
Artinya:
“Ketika QS. Asy-Syũro ayat 214 ini diturunkan, ‘Berilah peringatan kepada kerabat dekatmu’, maka Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم mengundang suku Quraisy, lalu mereka berkumpul. Kemudian Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم berbicara untuk umum dan untuk orang tertentu (– antara lain adalah putrinya, Fãthimah رضي الله عنها — pent.): “Hai bani Ka’ab bin Lu’ay! Selamatkanlah dirimu dari neraka! Hai bani Murroh bin Ka’ab! Selamatkanlah dirimu dari neraka! Hai bani ‘Abdu Manaf! Selamatkanlah dirimu dari neraka! Hai bani Hasyim! Selamatkanlah dirimu dari neraka!
(Yaa Fãthimatu, anqidzĩ nafsaki minannãri, fa inna lã amlikum minallõhi tsuy-an ghoiro anna lakum rohimã sa abbuhã bibalã lihã)
Hai Fãthimah! Selamatkanlah dirimu dari neraka! Karena sesungguhnya aku tidak bisa melindungimu dari adzab Allõh sedikit pun. Hanya saja kamu sekalian memiliki hubungan kerabat yang akan aku sambung.”
Bayangkan, Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم yang sedemikian tinggi kedudukannya di sisi Allõh سبحانه وتعالى saja, tetap beliau صلى الله عليه وسلم tidak bisa menjanjikan untuk melindungi Fãthimah رضي الله عنها (putri kesayangan beliau صلى الله عليه وسلم) dari adzab Allõh سبحانه وتعالى sedikit pun. Bagaimana pula terhadap orang lain?
Pertanyaan:
Dalam kajian yang Ustadz sampaikan tadi, ketika Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم bersujud di hadapan Allõh سبحانه وتعالى di bawah ‘Arsy, beliau صلى الله عليه وسلم mengatakan : Ummati, ummati. Kalau tidak salah dalam Hadits ketika beliau صلى الله عليه وسلم menjelang wafat juga menyebutkan “Ummati, ummati” atau “Sholati, sholati”. Manakah yang shohĩh diantara keduanya?
Jawaban:
Tentang ucapan : “Ummati, ummati”, ada beberapa Hadits yang meriwayatkan bahwa akhir hayat Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم tentu tidaklah terjadi hanya dalam sekejap saja, tetapi ada kurun waktunya. Oleh karena itu ada riwayat yang mengatakan bahwa pada saat-saat tertentu beliau صلى الله عليه وسلم bersabda: “Ash Sholah, ash Sholah”, dan pada saat yang lainnya beliauصلى الله عليه وسلم pun bersabda : “Ummati, ummati”.
In syã Allõh kedua-duanya adalah riwayat yang shohĩh. Itu simbol bahwa Rosũlullõhصلى الله عليه وسلم sangatlah sayang kepada ummatnya, melebihi terhadap keluarga beliau صلى الله عليه وسلم sendiri. Menjelang akhir hayatnya yang beliau صلى الله عليه وسلم ingat itu bukanlah harta atau keluarganya, melainkan apakah ummatnya selamat ataukah tidak. Maka hendaknya kita ber-qudwah dan ber-uswah kepada Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم, dan hendaknya sebelum kita meninggal, tanyakanlah kepada diri kita masing-masing bekal apakah yang akan kita bawa ke alam kubur. Dan hendaknya kita berpikir pula apakah yang kita tinggalkan untuk generasi Muslimin berikutnya karena yang demikian itu tidaklah boleh kita abaikan.
Pertanyaan:
Dalam Hadits disebutkan, Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم bersabda bahwa orang yang akan masuk surga tanpa dihisab berjumlah 70.000 (tujuhpuluh ribu) orang. Apakah yang dimaksudkan memang sejumlah itu saja ataukah bisa berarti lebih dari jumlah itu, atau dalam arti “banyak orang”?
Jawaban:
Dalam Hadits memang telah disebutkan secara jelas jumlah yang tertentu itu (70.000 orang) sebagaimana dalam Hadits Riwayat Al Imãm Muslim no: 220 dari Shohabat Ibnu ‘Abbas رضي الله عنه, bahwa Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم bersabda, “Allõh سبحانه وتعالى berfirman:
هَذِهِ أُمَّتُكَ وَمَعَهُمْ سَبْعُونَ أَلْفًا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلاَ عَذَابٍ
Artinya:
“Ini adalah ummatmu, dari mereka terdapat 70.000 yang akan masuk kedalam surga tanpa hisab dan tanpa adzab.”
Demikianlah Haditsnya dan karena sudah disebutkan dengan jelas-jelas angkanya, yaitu 70.000 (tujuhpuluh ribu) orang, maka kita tidak boleh menambah atau menguranginya dari jumlah tersebut. Kalau misalnya ada yang beranggapan, bisa jadi jumlahnya “tujuhpuluh ribu satu”, maka anggapan yang seperti itu adalah keliru. Tetapi bila seseorang memiliki keinginan agar dirinya termasuk orang yang ke-tujuhpuluh ribu tersebut, maka sungguh Alhamdulillah. Yang penting berupayalah semoga dapat masuk ke dalam gologan orang-orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab. Tentu ada persyaratannya bila hendak masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab itu.
Sebagaimana dalam Hadits Riwayat Al Imãm Al Bukhõry no: 6541, dari Shohabat ‘Abdullõh bin Abbãs رضي الله عنه, bahwa Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم bersabda:
عُرِضَتْ عَلَيَّ الأُمَمُ فَأَخَذَ النَّبِيُّ يَمُرُّ مَعَهُ الأُمَّةُ وَالنَّبِيُّ يَمُرُّ مَعَهُ النَّفَرُ وَالنَّبِيُّ يَمُرُّ مَعَهُ الْعَشَرَةُ وَالنَّبِيُّ يَمُرُّ مَعَهُ الْخَمْسَةُ وَالنَّبِيُّ يَمُرُّ وَحْدَهُ فَنَظَرْتُ فَإِذَا سَوَادٌ كَثِيرٌ قُلْتُ يَا جِبْرِيلُ هَؤُلاَءِ أُمَّتِي قَالَ : لاََ وَلَكِنِ انْظُرْ إِلَى الأُفُقِ فَنَظَرْتُ فَإِذَا سَوَادٌ كَثِيرٌ قَالَ هَؤُلاَءِ أُمَّتُكَ وَهَؤُلاَءِ سَبْعُونَ أَلْفًا قُدَّامَهُمْ لاَ حِسَابَ عَلَيْهِمْ ، وَلاَ عَذَابَ قُلْتُ وَلِمَ قَالَ كَانُوا لاَ يَكْتَوُونَ ، وَلاَ يَسْتَرْقُونَ ، وَلاَ يَتَطَيَّرُونَ ، وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ فَقَامَ إِلَيْه عُكَّاشَةُ بْنُ مِحْصَنٍ فَقَالَ ادْعُ اللَّهَ أَنْ يَجْعَلَنِي مِنْهُمْ قَالَ اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ مِنْهُمْ ثُمَّ قَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ آخَرُ قَالَ ادْعُ اللَّهَ أَنْ يَجْعَلَنِي مِنْهُمْ قَالَ سَبَقَكَ بِهَا عُكَّاشَةُ
Artinya:
“Ditampakkan padaku ummat-ummat. Ada Nabi yang bersamanya ummat (pengikut) yang banyak. Ada Nabi yang bersamanya hanya beberapa orang. Ada Nabi yang bersamanya sepuluh (orang). Ada Nabi yang bersamanya lima (orang). Ada Nabi yang tak berpengikut.
Lalu aku melihat hitam yang kelam (– banyak pengikutnya – pent.), dan aku bertanya pada Jibril, “Mereka ummatku?”
Jibril عليه السلام menjawab, “Bukan, akan tetapi lihatlah ke ujung ufuk.”
Lalu aku melihat hitam yang banyak, dan Jibril عليه السلام berkata, “Mereka adalah ummatmu. Ditengah mereka 70.000 orang tidak dihisab, tidak diadzab.”
Aku bertanya, “Mengapa?”
Jibril عليه السلام menjawab, “Mereka (ketika di dunia – pent.) tidak melakukan Kay (berobat dengan menggunakan api, sekarang listrik – pent.), mereka tidak minta diruqyah, mereka tidak melakukan thiyaroh (mengundi nasib, meyakini sesuatu melalui burung – pent.), dan mereka bertawakkul hanya kepada Allõh.”
Maka bangunlah ‘Ukkãsyah bin Mihshon رضي الله عنه kepada Nabi dan berkata, “Berdoalah pada Allõh agar menjadikanku dari mereka.”
Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم menjawab, “Ya Allõh, jadikanlah dia bagian dari mereka.”
Kemudian ada orang lain kembali datang kepada Nabi صلى الله عليه وسلم dan berkata, “Berdoalah agar menjadikanku bagian dari mereka.”
Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم pun menjawab, “Kamu sudah didahului oleh ‘Ukkãsyah.”
Bukan berarti tidak punya peluang, tetapi doa Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم untuk orang kedua tersebut tidak bisa diulang. Cukup untuk satu orang.
Hal ini menjadi pelajaran bagi kita bahwa hendaknya kita berlomba-lomba dalam perkara kebajikan.
Pertanyaan:
1. Ketika seseorang datang masuk ke masjid hendak ia sholat. Di dalam masjid ada orang yang sedang sholat Sunnah. Bolehkah orang yang baru datang itu ber-ma’mum kepada orang yang sholat Sunnah itu, padahal ia berniat sholat Fardhu?
2. Apabila terdapat dua atau lebih pendapat hukum, bagaimanakah sikap kita? Melaksanakan ibadah berdasarkan hukum yang mana? Atau bolehkah kita memakai kedua pendapat hukum itu sebagai dalil bagi kita beribadah?
Jawaban:
1. Ada kaidah bahwa boleh seseorang yang sedang sholat Sunnah menjadi Imãm sholat untuk orang yang sholat Fardhu. Dan sholat yang demikian adalah sah, karena terdapat riwayat dalam Hadits bahwa ketika itu Mu’adz bin Jabal رضي الله عنه sudah sholat ber-ma’mum Sholat Isya bersama Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم di masjid Nabawi. Karena Mu’adz bin Jabal رضي الله عنه adalah seorang tokoh pada kabilahnya, maka ketika ia pulang sampai di lingkungan kabilahnya, ternyata ia ditunggu oleh kaumnya dan diantara kaumnya tidak ada yang berani menggantikan posisinya sebagai Imãm sholat yang biasa dilakukan oleh Mu’adz bin Jabal رضي الله عنه. Maka ketika Mu’adz bin Jabal رضي الله عنه datang, dikumandangkanlah iqomat hendak melaksanakan sholat berjama’ah dengan Imãm sholatnya yakni Mu’adz bin Jabal رضي الله عنه. Maka sholat yang kedua oleh Mu’adz bin Jabal رضي الله عنه itu dihukumi sebagai sholat Sunnah baginya. Dan sholatnya itu adalah sah.
Dalilnya adalah Hadits Riwayat Al Imãm Al Bukhõry no: 700 dan Al Imãm Muslim no: 465 dan ini adalah lafadz dari Al Imãm Muslim, dari Shohabat Jãbir bin ‘Abdillah رضي الله عنه, bahwa :
أن معاذ بن جبل كان يصلي مع رسول الله صلى الله عليه و سلم العشاء الآخرة ثم يرجع إلى قومه فيصلي بهم تلك الصلاة
Artinya:
“Mu’adz bin Jabal sholat Isya bersama Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم, kemudian pulang kepada kaumnya, lalu sholat Isya kembali bersama mereka.”
2. Yang menjadi pedoman bagi kita adalah: Jika ada beberapa pendapat dalam perkara khilafiyah, maka sikap kita adalah mengikuti dalil yang paling shohĩh dari riwayat Hadits yang ada. Jadi jangan sekedar ikut-ikutan, mana saja boleh diikuti. Tidak demikian.
Alhamdulillah, kiranya cukup sekian dulu bahasan kita kali ini, mudah-mudahan bermanfaat. Kita akhiri dengan Do’a Kafaratul Majlis :
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Senin malam, 25 Dzulhijjah 1429 H – 22 Desember 2008 M.
—– 0O0 —–
Silahkan download PDF : Asy Syafaa’at AQI 221208 FNL
Assalamu’alaikum pak ustadz, semoga Alloh melindungi dan memberikan ampunan kepada ustadz, dan agar terus berkarya… Amin ya Robb wassalamu’alaikum