Skip to content

Al-Qonthoroh, Al-Qishosh dan Asy-Syafã’ah

8 June 2012

(Transkrip Ceramah AQI 300309)

AL QONTHOROH – AL QISHOSH – ASY SYAFÃ’AH

Oleh: Ustadz Achmad Rofi’i, Lc.

 

بسم الله الرحمن الرحيم

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allõh سبحانه وتعالى,

Berkenaan dengan bahasan pekan lalu yaitu Ash Shirõth, maka kali ini kita membahas tentang Al Qonthoroh, Al Qishosh dan kemudian adalah Asy Syafã’ah.

Al Qonthoroh menurut para ‘Ulama Ahlus Sunnah berarti: “Jembatan yang letaknya di penghujung Ash Shirõth”. Setelah Al Qonthoroh dan Al Qishosh, akan ada Asy Syafã’ah; dan sesudahnya ummat Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم yang dapat melaluinya, akan diberi hak untuk masuk Surga pertama kali sebelum ummat-ummat Nabi dan Rosũl lainnya. Mudah-mudahan Allõh سبحانه وتعالى memasukkan kita kedalam golongan orang-orang yang masuk Surga tanpa banyak rintangan.

Allõh سبحانه وتعالى memberikan suatu kesempatan bagi 70.000 orang dari kalangan hamba-hamba-Nya yang ingin masuk Surga tanpa hisab dan tanpa ‘adzab, dimana untuk menjadi bagian dari komunitas 70.000 orang yang masuk Surga tanpa hisab dan tanpa ‘adzab itu kriterianya bisa dikatakan ringan, bisa pula dikatakan berat. Itu semua tergantung Hidayah dan Taufiq Allõh سبحانه وتعالى. Apabila Allõh سبحانه وتعالى memberikan Hidayah dan Taufiq kepada kita, maka tentulah kita tidak merasa berat untuk memenuhi kriteria tersebut. Tetapi apabila Allõh سبحانه وتعالى menjauhkan kita dari Hidayah dan Taufiq-Nya, maka kita akan sulit untuk menjangkaunya. Oleh karena itu, kita lebih membutuhkan Hidayah dan Taufiq Allõh سبحانه وتعالى dibandingkan sekedar hanya makan dan minum.

Sebagaimana dalam Hadits Riwayat Al Imãm Muslim no: 220 dari Shohabat Ibnu ‘Abbas رضي الله عنه, bahwa Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم bersabda, “Allõh سبحانه وتعالى berfirman:

هَذِهِ أُمَّتُكَ وَمَعَهُمْ سَبْعُونَ أَلْفًا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلاَ عَذَابٍ

Artinya:
Ini adalah ummatmu, dari mereka terdapat 70.000 yang akan masuk kedalam surga tanpa hisab dan tanpa adzab.”

Ketika kita kelak menyeberangi (meniti) Al Qonthoroh, kita akan mengalami apa yang disebut dengan Al Qishosh; dimana di saat tersebut kita semestinya memiliki rasa khawatir dan was-was, karena bisa jadi seseorang tertahan dari masuk surga karena adanya Al Qishosh. Al Qishosh adalah keadilan yang Allõh سبحانه وتعالى tegakkan di Hari Akhirat, dimana akan terjadi peristiwa balas-membalas. Apabila seseorang mengambil hak atau menyakiti orang lain di dunia, lalu orang yang teraniaya tersebut tidak memaafkannya dan meminta balasan atas perbuatan aniaya tersebut, maka dikala itulah Allõh سبحانه وتعالى memberikan kesempatan bagi orang yang teraniaya untuk meminta kembali apa yang menjadi haknya. Oleh karena itu alangkah mengerikannya apabila seseorang berbuat dzolim atas banyak orang, maka dikala itu ia akan menjadi orang yang merugi. Semua itu akan terjadi ketika kita berada di tempat Al Qishosh.

Tidak ada yang bisa membela kita. Bahkan harta, istri, anak, kerabat yang kita miliki tidaklah bisa membela diri kita di kala itu. Tidak ada suap-menyuap, tidaklah seseorang dapat menghindar dari keadilan yang Allõh سبحانه وتعالى tegakkan di masa tersebut. Hanya saja sayangnya, perkara ini jarang diingat oleh manusia dan kaum Muslimin pada umumnya, sehingga mereka bersikap tenang-tenang saja. Menganggap seolah-olah berbuat dzolim, mengambil hak saudaranya, berkilah dari Hukum Allõh سبحانه وتعالى di dunia itu adalah tidak berkonsekwensi pada kerugian dirinya di Hari Akhirat kelak.

Oleh karena itu dengan mengkaji masalah Al Qishosh ini, semoga dapat mengingatkan diri kita dan kaum Muslimin pada umumnya agar janganlah merasa tenang dikala berbuat dzolim atau aniaya atas orang lain, karena sesungguhnya kita tidaklah mengetahui apakah kita akan tergolong dari orang-orang yang dapat selamat dalam melalui Al Qishosh ataukah tidak. Dapatlah dikatakan bahwa jika seseorang itu belum masuk kedalam Surga, maka ia belum bisa mengatakan bahwa dirinya memperoleh “kemenangan” atau keberhasilan.

Adakah dirinya sanggup menyeberangi Ash Shirõth, Al Qonthoroh dan melalui perkara Al Qishosh? Adakah dirinya termasuk lulus dari Al Qishosh ataukah ia justru tergolong orang-orang yang merugi akibat perbuatannya sendiri ketika ia hidup di dunia? Hendaklah setiap diri kita banyak merenungkan tentang hal ini serta memperbaiki kesalahan yang pernah dilakukan di masa lalu dan mengembalikan hak orang-orang yang pernah merasa teraniaya.

Bahasan Tentang Al Qonthoroh, Al Qishosh dan Asy Syafã’ah

Dalam mengkaji masalah ini tentulah kita akan membahasnya berdasarkan Wahyu. Karena berkaitan dengan urusan Iman (‘Aqĩdah) tidak ada tempat bagi akal kita (manusia) untuk berfikir, kecuali akal itu hanyalah sebagai pendukung saja. Oleh karena itu maka setiap kajian tentang perkara dien selalu diperpadat dengan Nushus Syar’iyyah (diperkaya dengan dalil-dalil) agar kaum Muslimin semakin yakin bahwa perkara ini bukan perkara nalar (akal), melainkan perkara dien adalah berkaitan dengan Wahyu dari Allõh سبحانه وتعالى. Yang ada dalilnya dari Allõh سبحانه وتعالى dan Rosũl-Nya صلى الله عليه وسلم maka akan kita bahas. Adapun perkara yang tidak ada dalilnya, maka kita akan “tutup mulut”, karena hal tersebut bukanlah wewenang diri kita sama sekali.

Dalam Hadits Riwayat Al Imãm Al Bukhõry no: 6535, dari Shohabat Abu Sã’id Al Khudry رضي الله عنه, bahwa Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم bersabda:

يَخْلُصُ الْمُؤْمِنُونَ مِنَ النَّارِ فَيُحْبَسُونَ عَلَى قَنْطَرَةٍ بَيْنَ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ فَيُقَصُّ لِبَعْضِهِمْ مِنْ بَعْضٍ مَظَالِمُ كَانَتْ بَيْنَهُمْ فِي الدُّنْيَا حَتَّى إِذَا هُذِّبُوا وَنُقُّوا أُذِنَ لَهُمْ فِي دُخُولِ الْجَنَّةِ فَوَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لأَحَدُهُمْ أَهْدَى بِمَنْزِلِهِ فِي الْجَنَّةِ مِنْهُ بِمَنْزِلِهِ كَانَ فِي الدُّنْيَا

Artinya:
Orang-orang yang beriman akan terhindar dari api neraka, mereka akan dipisahkan dari jembatan antara surga dan neraka, lalu satu sama lain di-qishosh tentang penganiayaan diantara mereka di dunia sehingga apabila telah terbebas dan bersih maka mereka diizinkan untuk masuk surga. Maka demi Yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, sungguh salah seorang di antara mereka lebih mengetahui tempat tinggalnya di surga daripada tempat tinggalnya di dunia.”

Sebagaimana dikatakan oleh Al Hãfidz Ibnu Hajar Al ‘Asqolãny رحمه الله dalam Kitab “Fat-hul BãriJilid 11 halaman 399, beliau menjelaskan bahwa Para ‘Ulama Ahlus Sunnah berbeda pendapat tentang Jembatan (Al Qonthoroh).

Pendapat pertama mengatakan bahwa Al Qonthoroh itu merupakan jembatan ujung penyempurna dari Ash Shirõth, dan setelah itu adalah langsung Surga. Al Hãfidz Ibnu Hajar Al ‘Asqolãny رحمه الله berkata,

الذي يظهر أنها طرف الصراط مما يلي الجنة ويحتمل أن تكون من غيره بين الصراط والجنة

Artinya:
Yang tampak bahwasannya Al-Qonthoroh adalah ujung dari Ash-Shirõth sebelum surga. Dan ada kemungkinan bahwa Al-Qonthoroh adalah jembatan tersendiri antara Ash-Shirõth dan surga.”

Sedangkan Pendapat kedua menyatakan bahwa Al Qonthoroh merupakan dua jalan yang berbeda dari Ash Shirõth. Dan yang berpendapat seperti ini adalah Al Imãm Al Qurthuby رحمه الله. Al Imãm Al Qurthuby رحمه الله berkata:

وقال مقاتل: إذا قطعوا جسر جهنم حبسوا على قنطرة بين الجنة والنار

Artinya:
“Muqatil (bin Hayyan) رحمه الله berkata, ‘Jika mereka (orang mukmin) telah melewati jembatan (diatas) Jahannam (Ash Shirõth), mereka akan ditahan (berhenti) di Al-Qonthoroh diantara surga dan neraka.’” [Tafsir Al-Qurthubi 15/286]

Tetapi terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, pendapat kedua tampaknya lebih tepat karena sebagaimana dijelaskan oleh Al Hasan Al Basri رحمه الله (seorang Tãbi’ĩn) dalam Kitab “Ad Durrul Mantsur fit Tafsĩri bil Ma’tsũr Jilid 6 halaman 393 adalah bahwa: “Penghuni surga akan dikumpulkan terlebih dahulu setelah mereka menyeberangi Ash Shirõth, hingga satu sama lain mereka saling membalas (Qishosh) terhadap apa yang pernah mereka lakukan ketika di dunia, sampai antara mereka benar-benar bersih hatinya, tidak ada yang menggerutu, barulah mereka masuk Surga.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله pun menjelaskan dalam “Majmu’ Fatãwa” 14/345 sebagai berikut,”Yang dimaksud dengan dibersihkan (hatinya) adalah dimurnikan sebagaimana dilakukan terhadap emas, sehingga mereka bebas dari rasa dendam. Maka jelaslah bahwa surga hanyalah dimasuki oleh orang-orang yang beriman setelah dibersihkan dari sisa-sisa dosa, maka bagaimanakah dengan mereka yang tidak punya kebaikan setelah menyeberang As-Shiroth.”

Hal ini adalah persis sebagaimana yang difirmankan pula oleh Allõh سبحانه وتعالى dalam Al Qur’an Surat Al Hijr (15) ayat 47 sebagai berikut:

وَنَزَعْنَا مَا فِي صُدُورِهِم مِّنْ غِلٍّ إِخْوَاناً عَلَى سُرُرٍ مُّتَقَابِلِينَ

Artinya:
Dan Kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan.”

Yang dimaksud dengan “Ghillin” (غِلٍّ) atau “dendam” menurut Al Imãm Al Baghowy رحمه الله adalah bermakna 4 macam yaitu: kebencian, permusuhan, dengki dan iri. Semuanya itu akan hilang, sirna, dan diantara mereka tidak ada lagi perasaan seperti itu. Mereka semua akan merasa bersaudara, saling berhadap-hadapan serta tidak ada lagi yang saling membelakangi.

Berarti akan ada dua kali qishosh, qishosh yang pertama adalah Al-Qishosh yang terjadi di Padang Mahsyar yang sifatnya adalah umum, yaitu yang akan terjadi diantara calon penduduk surga dengan calon penduduk neraka, atau yang akan terjadi diantara sesama calon penduduk neraka. Al-Qishosh ini terjadi sebagaimana dalam Hadits “Muflis”, yakni dengan menyerahkan pahala kepada pihak yang didzolimi; dan jika pahalanya sudah habis, maka dosa pihak yang didzolimi akan diserahkan kepada pihak yang mendzolimi. Sedangkan qishosh di Al-Qonthoroh hanya terjadi diantara orang-orang beriman (setelah mereka selamat melewati Ash-Shirõth) yang berfungsi untuk menyucikan hati mereka sebelum masuk ke dalam surga (sebagaimana dalam Al Qur’an Surat Al Hijr (15) ayat 47 diatas).

Syaikh Muhammad bin Shõlih Al-‘Utsaimin رحمه الله menjelaskan tentang hal tersebut dalam “Syarh ‘Aqĩdah as-Safariniyyah 1/477 sebagai berikut,

فإذا وصلوا إلى الجنة لم يجدوها مفتوحة الأبواب، على خلاف أهل النار، فإنهم إذا وصلوا إلى النار فتحت الأبواب ليسوءهم العذاب والعياذ بالله، أما الجنة فلا تكون مفتوحة الأبواب، وإنما يوقفون هناك على قنطرة، وهي الجسر الصغير فيقتص لبعضهم من بعض اقتصاصاً غير الاقتصاص الأول الذي في عرصات القيامة، فيقتص لبعضهم من بعض اقتصاصاً يزيل ما في صدورهم من الغل والحقد؛ لأن الاقتصاص الذي في عرصات القيامة اقتصاص تؤخذ فيه الحقوق، وربما يبقى في النفوس ما يبقى، لكن هذا الأخير اقتصاص للتطهير والتهذيب والتنقية، حتى يدخلوا الجنة وما في صدورهم من غل.

Artinya:
Jika mereka sampai ke surga, pintu surga masih tertutup. Berbeda dengan penduduk neraka. Ketika mereka sampai di neraka, pintu neraka terbuka agar adzab melahap mereka. Adapun surga, maka pintunya tertutup. Mereka ditunggu di Al-Qonthoroh, yaitu suatu jembatan yang kecil untuk dilakukan qishosh satu dengan yang lain, dengan qishosh yang berbeda dari qishosh yang pertama yang terjadi di padang Mahsyar. Mereka diqishosh untuk menghilangkan rasa dendam dan rasa dengki. Hal ini karena qishosh yang terjadi di padang Mahsyar untuk mengembalikan hak (– yang didzolimi atau dirampas, pen. –), dan terkadang masih tersisa rasa (dendam) di hati. Qishosh yang ke dua ini adalah qishosh untuk mensucikan dan membersihkan (apa yang ada di dalam hati), sehingga mereka pun masuk surga dengan tidak ada rasa dengki dalam hati mereka.

Syaikh Muhammad bin Shõlih Al-‘Utsaimin رحمه الله kemudian melanjutkan penjelasannya sebagai berikut:

وبهذا نجمع بين النصوص الواردة بأن هنا اقتصاصين، الاقتصاص الأول في العرصات ويقصد منه أخذ الحقوق، وهذا الاقتصاص الأخير والمقصود به التنقية والتطهير من الغل.
فإن قال قائل: أفلا يحصل ذلك بأخذ الحقوق؟ قلنا: لا، فلو أن رجلاً اعتدى عليك في الدنيا ثم أخذت حقك منه، فإنه قد يزول ما في قلبك عليه وقد لا يزول، فإحتمال أنه لا يزول وارد، لكن إذا هذبوا ونقوا بعد عبور الصراط ودخلوا الجنة على إكمال حال، قال تعالى: (وَنَزَعْنَا مَا فِي صُدُورِهِمْ مِنْ غِلٍّ إِخْوَاناً عَلَى سُرُرٍ مُتَقَابِلِينَ) (الحجر:47

Artinya:
Dengan demikian, dapat kita gabung dalil-dalil tersebut bahwa terdapat dua qishosh. Qishosh pertama terjadi di padang Mahsyar untuk mengambil hak (– dari pihak yang mendzolimi, pen. –). Qishosh yang ke dua (di Al-Qonthoroh) untuk membersihkan dan mensucikan (hati) dari rasa dendam. Jika ada yang bertanya, bukankah hilangnya dendam sudah terwujud dengan dikembalikannya hak? Kami katakan, tidak. Seandainya ada seseorang di dunia yang merampas hakmu, kemudian engkau mengambil kembali hakmu dari orang tersebut, maka terkadang hilanglah apa yang ada dalam hatimu (– misalnya rasa dendam / dengki, pen. –) dan terkadang tidak hilang. Maka ada kemungkinan bahwa belum hilang (– rasa dendam tersebut, pen. –). Akan tetapi, jika rasa dendam ini dibersihkan dan dihilangkan, maka mereka pun masuk surga dalam keadaan yang sempurna. Allõh Ta’ãlã berfirman (QS. Al Hijr (15) ayat 47) (yang artinya), ‘Dan kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan.

Al Qishosh

Al Qishosh pasti akan kita alami, karena Allõh سبحانه وتعالى tidak akan menyembunyikan sekecil apapun kedzoliman. Kalau itu merupakan kebajikan maka Allõh سبحانه وتعالى akan lipat-gandakan, dan akan diberikan sesuatu yang terbaik dari sisi-Nya.

Sebagaimana Allõh سبحانه وتعالى berfirman dalam QS. Ãli ‘Imrõn (3) ayat 25 sebagai berikut:

فَكَيْفَ إِذَا جَمَعْنَاهُمْ لِيَوْمٍ لَا رَيْبَ فِيهِ وَوُفِّيَتْ كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ

Artinya:
Bagaimanakah nanti apabila mereka Kami kumpulkan di Hari (Kiamat) yang tidak ada keraguan tentang adanya. Dan disempurnakan kepada tiap-tiap diri balasan apa yang diusahakannya sedang mereka tidak dianiaya (dirugikan).”

Juga firman-Nya dalam QS. Al Baqoroh (2) ayat 281 berikut ini:

وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللَّهِۖ ثُمَّ تُوَفَّىٰ كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ

Artinya:
Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allõh. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).”

Kemudian dalam ayat yang lain Allõh سبحانه وتعالى berfirman bahwa pada hari itu (Hari Akherat) adalah hari di mana setiap jiwa dibalas oleh Allõh سبحانه وتعالى dengan apa yang telah mereka perbuat. Tidak ada kedzoliman pada hari tersebut. Dan Allõh سبحانه وتعالى memutuskan dengan seadil-adilnya dan sebenar-benarnya.

Hal itu adalah sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al Mu’min (40) ayat 17 berikut ini:

الْيَوْمَ تُجْزَىٰ كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ ۚ لَا ظُلْمَ الْيَوْمَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ

Artinya:
Pada hari ini tiap-tiap jiwa diberi balasan dengan apa yang diusahakannya. Tidak ada yang dirugikan pada hari ini. Sesungguhnya Allõh amat cepat hisabnya.”

Perkara Al Qishosh ini pun diriwayatkan pula dalam berbagai Hadits Shohĩh antara lain adalah sebagaimana dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Al Imãm Al Bukhõry no:6845 dan Al Imãm Muslim no: 1678, bahwa Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم bersabda :

أَوَّلُ مَا يُقْضَى بَيْنَ النَّاسِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِى الدِّمَاءِ

Artinya:
Pertama kali yang akan diputuskan oleh Allõh سبحانه وتعالى antara sesama manusia adalah urusan ‘Addima (darah, pembunuhan).”

‘Addima (الدماء) berasal dari kata “Dam” (دم) yang artinya adalah: “Darah”, maksudnya adalah: “Pembunuhan”. Siapapun yang pernah membunuh sesama manusia dengan cara yang tidak benar, maka hendaknya ia mengingat akan adanya Al Qishosh. Demikian pula dengan perkara yang lebih dahsyat daripada pembunuhan yaitu Al Fitnatu (Fitnah), dimana seseorang dipermalukan oleh saudaranya sehingga orang itu dicaci, dimaki, diolok-olok oleh masyarakat padahal ia tidaklah bersalah; maka hendaklah orang yang menebarkan fitnah atas orang yang tidak bersalah tersebut takut akan adanya Al Qishosh. Kedzoliman yang terjadi diantara sesama manusia ketika hidup di dunia, antara lain adalah pembunuhan, merupakan perkara yang pertama kali akan dihisab oleh Allõh سبحانه وتعالى dan menjadi bahan pertimbangan apakah seseorang diputuskan masuk kedalam Surga ataukah kedalam Neraka.

Dalam Hadits yang lain, diriwayatkan oleh Al Imãm Al Bukhõry no : 6534, dari Shohabat Abu Hurairoh رضي الله عنه, bahwa Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم bersabda:

مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَظْلَمَةٌ لأَخِيهِ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهَا ، فَإِنَّهُ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ ، وَلاَ دِرْهَمٌ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُؤْخَذَ لأَخِيهِ مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ أَخِيهِ فَطُرِحَتْ عَلَيْه

Artinya:
Barangsiapa ada diantara kalian yang memiliki kedzoliman terhadap saudaranya, segeralah minta dihalalkan hari ini juga, karena tidak akan ada dinar dan dirham yang akan dibayarkan untuk saudara (– yang didzoliminya itu – pen.) dari kebaikannya.”

Sebagai contoh si A adalah seorang yang memiliki banyak kebajikan, tetapi disisi lain si A ini juga pernah mendzolimi si B. Sementara si B adalah orang yang tidak banyak kebajikannya (dibandingkan dengan si A). Karena si A mendzolimi si B, maka si B kelak tatkala Al Qishosh ditegakkan, maka ia akan meminta bayaran (ganti rugi) karena pernah diperlakukan dzolim oleh si A. Sehingga kedzoliman itu pun akan dijadikan sebagai tagihan untuk saudaranya (si A), dimana kebajikan yang dimiliki oleh si A akan diberikan kepada si B. Dengan demikian si B pun menjadi naik dan baik kedudukannya disisi Allõh سبحانه وتعالى dan si A yang menjadi buruk kedudukannya. Demikianlah yang dimaksud dengan Al Qishosh.

Dalam Hadits “Muflis” Riwayat Al Imãm Muslim no: 2581 dari Shohabat Abu Hurairoh رضي الله عنه, bahwa Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم bertanya:

أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ ». قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ. فَقَالَ « إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِى يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِى قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِى النَّارِ

Artinya:
Tahukah kalian siapa orang bangkrut?”.
Shohabat menjawab : “Orang yang bangkrut ialah orang yang tidak punya dirham tidak punya kekayaan di dunia”.
Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم bersabda : “Orang yang bangkrut ialah orang dari ummatku yang datang pada Hari Kiamat membawa pahala sholat, shoum, zakat padahal ia telah mencaci maki si Fulan, menuduh si Fulan, memakan harta si Fulan, membunuh si Fulan, dan menganiaya si Fulan. Maka kebaikannya akan diberikan pada si Fulan dan si Fulan sehingga apabila telah habis kebaikannya, sedangkan belum dapat membalas pada mereka, maka akan diambillah kesalahan si Fulan dan si Fulan kemudian akan ditimpakan padanya, lalu dia akan dicampakkan kedalam neraka.

Itu adalah Hadits yang shohĩh, yang semestinya menggetarkan hati kita. Tetapi terkadang kita sebagai manusia seringkali lupa akan hal tersebut. Kita bersikap seolah tenang-tenang saja tatkala menyakiti orang lain, dan tidak ingat bahwa perbuatan tersebut kelak dapat berdampak mendatangkan balasan yang pedih di Hari Akhirat.

Itu semua adalah perkara yang pasti. Siapa yang tidak meyakini Hadits tersebut berarti ia tidak beriman pada Hari Kiamat. Siapa yang tidak meyakini Hari Kiamat berarti ia telah kãfir, keluar dari Al Islãm. Dan ia bukan lagi bagian dari kaum Muslimin, dimana hal ini merupakan kerugian yang nyata.

Berhati-hatilah wahai kaum Muslimin. Siapa yang beriman kepada Allõh سبحانه وتعالى dan Hari Akhir, maka aplikasikanlah keimanan itu dalam bentuk sikap hidup yang positif, jangan suka menyakiti atau menganiaya orang lain, serta jangan pula bersikap rakus dan tamak terhadap dunia yang dapat menyebabkannya berlaku dzolim.

Jangankan terhadap orang lain, bahkan terhadap keluarga terdekat sekalipun, yang sekiranya mereka itu memiliki hak dari diri kita, lalu hak tersebut tidaklah kita tunaikan dengan semestinya; maka semua itu akan menjadi bagian dari kemungkinan adanya Qishosh terhadap diri kita di Hari Kiamat. Na’ũdzu billãhi min dzãlik.

Asy Syafã’ah

Asy Syafã’ah (Syafa’at), seperti dikemukakan oleh para ‘Ulama Ahlus Sunnah maknanya adalah Al Wasĩlah (perantara, koneksi). Sebagai contoh: seseorang hendak melamar pekerjaan. Apabila ia semata-mata mendatangi suatu kantor, mungkin ia tidak dikenal oleh orang-orang yang ada di kantor tersebut. Ia akan mendapatkan kesulitan. Bahkan sejak di pintu depan kantor pun ia sudah ditolak untuk masuk ke kantor itu, dengan dikatakan bahwa di kantor itu tidak ada lowongan pekerjaan. Tetapi apabila ia membawa semacam surat rekomendasi agar ia dilayani dengan baik, maka ia akan dipersilakan masuk, bahkan bisa jadi diterima bekerja di kantor itu. Ini contoh sederhananya.

Demikian pula dengan Asy-Syafã’ah di Hari Akherat nanti. Asy Syafã’ah (Syafa’at) tentu saja ada syaratnya. Ada yang diperbolehkan dan ada yang tidak diperbolehkan (di-harom-kan).

Misalnya, bila sifatnya adalah hanya karena kekerabatan atau kolusi semata-mata, maka itu hukumnya adalah harom. Akan tetapi bila orang yang diberikan syafa’at itu memang orang yang berhak untuk dibantu karena ia memiliki akhlaq yang baik dan seterusnya, maka syafa’at yang demikian itu adalah dianjurkan oleh Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم, sepertti beliau صلى الله عليه وسلم sabdakan, sebagaimana dalam Hadits Riwayat Al Imãm Al Bukhõry no: 1432, dari Shohabat Abu Mũsa Al Asy’ãry رضي الله عنه, beliau berkata bahwa seseorang datang kepada Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم untuk meminta bantuan bagi suatu keperluannya. Maka beliau صلى الله عليه وسلم pun bersabda :

اشْفَعُوا تُؤْجَرُوا

Artinya:
Berilah oleh kalian asy-syafã’ah (pertolongan), niscaya kalian akan diberi pahala kebajikan oleh Allõh سبحانه وتعالى”.

Maka hendaknya janganlah berlaku bakhĩl (kikir). Apabila seseorang memiliki status, jabatan, kedudukan yang terhormat maka hendaknya ia menjadikan status/jabatannya tersebut untuk membantu dan menolong orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Bantulah orang-orang yang baik yang sedang membutuhkan pertolongan. Minimal dengan memberikan keterangan bahwa orang tersebut patut untuk diperlakukan dengan baik, dan seterusnya. Yang demikian itu diajarkan oleh Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم.

Asy Syafã’ah (Syafa’at) secara bahasa maknanya adalah: “Genap” (kebalikan dari “Ganjil”). Berarti apabila ada seseorang diberi Syafa’at maka maknanya adalah: “Digenapkan”. Sebagai contoh: Seseorang memiliki nilai 5,8 padahal standar kelulusan adalah 6,0. Maka bila ia diberi Syafa’at dengan digenapkan nilainya keatas menjadi 6,0 sehingga ia dapat lulus ujian. Itulah Asy Syafã’ah (Syafa’at) dalam arti bahasa.

Secara istilah, menurut Ibnul Atsĩr رحمه الله dalam kitabnya yang berjudul “An Nihayah fĩ Ghorĩbil HadĩtsJilid 2 halaman 485, beliau رحمه الله mengatakan bahwa Asy Syafã’ah (Syafa’at) artinya adalah “Permintaan agar dibebaskan daripada dosa dan ma’shiyat”. Seharusnya dosa dan ma’shiyat yang telah dilakukannya tersebut dihitung, dihisab, bahkan dihukum; karena merupakan bagian daripada Keadilan Allõh سبحانه وتعالى adalah apabila manusia berbuat dosa itu maka ia akan dihukum. Tetapi karena ia mendapatkan Asy Syafã’ah (Syafa’at), maka ia tidak jadi dihukum melainkan dibebaskan dari dosa-dosanya, tidak mendapatkan adzab bahkan diperkenankan untuk masuk ke dalam surga Allõh سبحانه وتعالى. Oleh karena itu seseorang yang mendapatkan surga disebut Fadhlun (فضل) yang artinya adalah “Diutamakan”. Setiap manusia tidaklah mampu untuk membeli Surga. Surga yang seluas langit dan bumi dengan segala kenikmatan yang tidak terbayangkan oleh manusia itu tidak akan bisa dibeli oleh siapa pun, karena pada dasarnya manusia masuk surga itu adalah semata-mata karena Fadhlun (keutamaan) yang diberikan oleh Allõh سبحانه وتعالى.

Menurut Ahlus Sunnah Wal Jamã’ah, sebagaimana dinukil dari kitab “’Aqĩdah Ahlis Sunnah wal Jamã’ah”, yang ditulis oleh Syaikh Sa’ĩd Musfir, bahwa Asy Syafaa’ah (Syafa’at) itu adalah benar adanya dan bisa dilakukan oleh Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم atau oleh selain beliau صلى الله عليه وسلم atas izin Allõh سبحانه وتعالى. Asy Syafã’ah (Syafa’at) juga dapat dilakukan oleh para Malaikat, bahkan oleh orang-orang beriman sebagaimana yang tertera dalam Al Qur’an dan Sunnah Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم. Betapapun demikian, kita tidak mengimani atau tidak membenarkan akan adanya jenis Syafa’at, yang mana jenis Syafa’at itu ditiadakan atau diingkari oleh Al Qur’an maupun As Sunnah. Jadi Asy Syafã’ah (Syafa’at) itu ada dua macam, yaitu Syafa’at yang yang disyariatkan dan Syafa’at yang dilarang (diharomkan).

Pada intinya, Asy Syafã’ah (Syafa’at) itu bisa dilakukan oleh para Nabi (termasuk Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم), juga oleh Malaikat dan orang-orang shõlih, yang mana mereka itu disebut sebagai: Asy Syãfi’ (الشافع), yaitu “yang memberikan Asy Syafã’ah”. Sedangkan Al Masyhu’ (المشفوع), yaitu “orang yang menerima Asy Syafã’ah” adalah Muslimun, Mu’minun, Shõlihun, Shoddiqun, dan seterusnya. Hal ini adalah merupakan keyakinan Ahlus Sunnah Wal Jamã’ah. Bahkan berdasarkan penjelasan para ‘Ulama Ahlus Sunnah, dalil tentang Asy Syafã’ah (Syafa’at) itu adalah Muttawatir, baik dari ayat-ayat Al Qur’an maupun Hadits-Hadits Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم.

Perhatikanlah dalil tentang Asy Syafã’ah sebagaimana terdapat dalam Al Qur’an Surat An Najm (53) ayat 26 :

وَكَم مِّن مَّلَكٍ فِي السَّمَاوَاتِ لَا تُغْنِي شَفَاعَتُهُمْ شَيْئاً إِلَّا مِن بَعْدِ أَن يَأْذَنَ اللَّهُ لِمَن يَشَاءُ وَيَرْضَى

Artinya:
Dan berapa banyaknya malaikat di langit, syafã`at mereka sedikitpun tidak berguna kecuali sesudah Allõh mengizinkan bagi orang yang dikehendaki dan diridhoi-(Nya).”

Jadi Asy-Syafã’ah itu ada syaratnya, ia hanya berlaku bagi siapa yang diidzinkan dan diridhoi Allõh سبحانه وتعالى. Dengan kata lain, Asy Syafã’ah (Syafa’at) itu bisa saja ada, akan tetapi menjadi tidak bermanfaat; apabila Asy Syafã’ah (Syafa’at) itu tidaklah memenuhi prosedurnya yakni bila ia tidak diizinkan dan tidak diridhoi oleh Allõh سبحانه وتعالى. Malaikat memang memiliki Asy Syafã’ah (Syafa’at), tetapi bila Allõh سبحانه وتعالى tidak mengizinkan atau meridhoinya bagi si Fulan dan si Fulan, maka Asy Syafã’ah (Syafa’at) Malaikat itu tetaplah tidak berguna bagi si Fulan.

Perhatikan pula firman-Nya dalam Al Qur’an Surat Thohã (20) ayat 109 :

يَوْمَئِذٍ لَّا تَنفَعُ الشَّفَاعَةُ إِلَّا مَنْ أَذِنَ لَهُ الرَّحْمَنُ وَرَضِيَ لَهُ قَوْلاً

Artinya:
Pada hari itu tidak berguna syafa`at, kecuali (syafa`at) orang yang Allõh Maha Pemurah telah memberi izin kepadanya, dan Dia (Allõh) telah meridhoi perkataannya.”

Kemudian perhatikan pula Ayat Kursi (QS. Al Baqoroh (2) ayat 255) sebagai berikut:

اللّهُ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلاَ نَوْمٌ لَّهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ مَن ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلاَ يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِّنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَاء وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ وَلاَ يَؤُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ

Artinya:
Allõh, tidak ada Tuhan (yang berhak diibadahi /disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya lah apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa`at di sisi Allõh tanpa izin-Nya. Allõh mengetahui apa-apa yang dihadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allõh melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allõh meliputi langit dan bumi. Dan Allõh tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allõh Maha Tinggi lagi Maha Besar.

Adapun Hadits-Hadits yang berkenaan dengan Asy Syafã’ah (Syafa’at) pun adalah Muttawatir (tidak bisa disangkal lagi). Sehingga apabila ada seseorang yang mengingkari Hadits yang Muttawatir seperti perkara Asy Syafã’ah (Syafa’at) ini, maka sama saja dengan ia telah mengingkari Al Qur’an.

Di dalam suatu Hadits yang sangat panjang, namun secara ringkasya adalah bahwa suatu hari kelak di Hari Kiamat, Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم akan didatangi oleh semua umat manusia, bahkan manusia sejak zaman Nabi ‘Adam عليه السلام. Hal ini disebabkan karena ketika menghadapi kedahsyatan Hari Kiamat, mereka membutuhkan bantuan (Syafa’at). Mula-mula manusia akan mendatangi Nabi ‘Adam عليه السلام,ternyata Nabi ‘Adam عليه السلام tidak sanggup memberikan Syafa’at. Lalu Nabi Adam عليه السلام mengisyaratkana agar manusia mendatangi Nabi lain selain beliau. Maka manusia pun beralih mendatangi Nabi Nuh عليه السلام. Ternyata Nabi Nuh عليه السلام juga tidak bisa memberikan Syafa’at, maka manusia pun mendatangi Nabi ‘Ibrohim, kemudian Nabi Musa, lalu Nabi ‘Isa عليهم السلام. Namun bahkan sampai dengan Nabi ‘Isa عليه السلام pun, beliau seakan berkata : “Nafsi-nafsi (masing-masing) sajalah, aku tidak bisa memberi Syafa’at kepada kalian tetapi pergilah kalian kepada Muhammad صلى الله عليه وسلم.”
Semua Nabi dikala itu tidak bisa memberikan Syafa’at, tetapi mereka menyarankan agar mendatangi Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم dan akhirnya manusia pun berbondong-bondong mendatangi Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم. Lalu sebagaimana diberitakan dalam Hadits, Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم pun memberi Syafa’at atas izin Allõh سبحانه وتعالى. Itulah yang disebut dengan Asy Syafã’atu Al ‘Udzma.

Hal tersebut adalah sebagaimana dalam Hadits Riwayat Al Imãm Muslim no: 194, dari Shohabat Abu Hurairoh رضي الله عنه, beliau berkata,

أتي رسول الله صلى الله عليه و سلم يوما بلحم فرفع إليه الذراع وكانت تعجبه فنهس منها نهسة فقال أنا سيد الناس يوم القيامة وهل تدرون بما ذاك ؟ يجمع الله يوم القيامة الأولين والآخرين في صعيد واحد فيسمعهم الداعي وينفذهم البصر وتدنو الشمس فيبلغ الناس من الغم والكرب مالا يطيقون ومالا يحتملون فيقول بعض الناس لبعض ألا ترون ما أنتم فيه ؟ ألا ترون ما قد بلغكم ؟ ألا تنظرون من يشفع لكم إلى ربكم ؟ فيقول بعض الناس لبعض ائتوا آدم فيأتون آدم فيقولون يا آدم أنت أبو البشر خلقك الله بيده ونفخ فيك من روحه وأمر الملائكة فسجدوا لك اشفع لنا في ربك ألا ترى إلى ما نحن فيه ؟ ألا ترى إلى ما قد بلغنا ؟ فيقول آدم إن ربي غضب اليوم غضبا لم يغضب قبله مثله ولن يغضب بعده مثله وإنه نهاني عن الشجرة فعصيته نفسي نفسي اذهبوا إلى غيري اذهبوا إلى غيري اذهبوا إلى نوح فيأتون نوحا فيقولون يا نوح أنت أول الرسل إلى الأرض وسماك الله عبدا شكورا اشفع لنا إلى ربك ألا ترى ما نحن فيه ؟ ألا ترى ما قد بلغنا ؟ فيقول لهم إن ربي قد غضب اليوم غضبا لم يغضب قبله مثله ولن يغضب بعده مثله وإنه قد كانت لي دعوة دعوت بها على قومي نفسي نفسي اذهبوا إلى إبراهيم صلى الله عليه و سلم

فيأتون إبراهيم فيقولون أنت نبي الله وخليله من أهل الأرض اشفع لنا إلى ربك ألا ترى إلى ما نحن فيه ؟ ألا ترى إلى ما قد بلغنا ؟ فيقول لهم إبراهيم إن ربي قد غضب اليوم غضبا لم يغضب قبله مثله ولا يغضب بعده مثله وذكر كذباته نفسي نفسي اذهبوا إلى غيري اذهبوا إلى موسى فيأتون موسى صلى الله عليه و سلم فيقولون يا موسى أنت رسول الله فضلك الله برسالاته وبتكليمه على الناس اشفع لنا إلى ربك ألا ترى إلى ما نحن فيه ؟ ألا ترى ما قد بلغنا ؟ فيقول لهم موسى صلى الله عليه و سلم إن ربي قد غضب اليوم غضبا لم يغضب قبله مثله ولن يغضب بعده مثله وإني قتلت نفسا لم أومر بقتلها نفسي نفسي اذهبوا إلى عيسى صلى الله عليه و سلم فيأتون عيسى فيقولون يا عيسى أنت رسول الله وكلمت الناس في المهد وكلمة منه ألقاها إلى مريم وروح منه فاشفع لنا إلى ربك ألا ترى ما نحن فيه ؟ ألا ترى ما قد بلغنا ؟ فيقول لهم عيسى صلى الله عليه و سلم إن ربي قد غضب اليوم غضبا لم يغضب قبله مثله ولن يغضب بعده مثله ولم يذكر له ذنبا نفسي نفسي اذهبوا إلى غيري اذهبوا إلى محمد صلى الله عليه و سلم فيأتوني فيقولون يا محمد أنت رسول الله وخاتم الأنبياء وغفر الله لك ما تقدم من ذنبك وما تأخر اشفع لنا إلى ربك ألا ترى ما نحن فيه ؟ ألا ترى ما قد بلغنا ؟ فأنطلق فآتي تحت العرش فأقع ساجدا لربي ثم يفتح الله علي ويلهمني من محامده وحسن الثناء عليه شيئا لم يفتحه لأحد قبلي ثم يقال يا محمد ارفع رأسك سل تعطه اشفع تشفع فأرفع رأسي فأقول يا رب أمتي أمتي فيقال يا محمد أدخل الجنة من أمتك من لا حساب عليه من الباب الأيمن من أبواب الجنة وهو شركاء الناس فيما سوى ذلك من الأبواب والذي نفس محمد بيده إن ما بين المصراعين من مصاريع الجنة لكما بين مكة وهجر أو كما بين مكة وبصرى

Artinya:
“Pada suatu hari Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم diberi daging, dengan disuguhkan kepada beliau صلى الله عليه وسلم bagian lengan kambing dan beliau صلى الله عليه وسلم menyukainya. Lalu, beliau صلى الله عليه وسلم menggigitnya dengan ujung giginya.
Kemudian beliau صلى الله عليه وسلم bersabda: “Aku adalah pemimpin (tuan / sayyid) manusia pada Hari Kiamat. Apakah kamu sekalian mengerti mengapa demikian? Pada Hari Kiamat, Allõh mengumpulkan semua manusia, yang dahulu dan yang akhir di suatu tempat. Lalu mereka mendengar suara penyeru. Pandangan pun tiada terhalang, dan matahari pun dekat. Manusia mengalami kesedihan dan kesulitan yang tiada mampu mereka tanggung dan mereka pikul. Maka, sebagian diantara mereka berkata kepada sebagian yang lain, “Tidakkah kamu tahu apa yang kamu alami? Tidakkah kamu tahu apa yang menimpamu? Tidakkah kamu cari siapa yang dapat memberimu Asy Syafã’ah kepada Robb-mu?
Sebagian yang lain diantara mereka pun menjawab, “Datangilah ‘Adam عليه السلام.”
Kemudian mereka pun mendatangi Nabi ‘Adam عليه السلام, dan berkata: “Wahai ‘Adam, engkau adalah bapak manusia, Allõh سبحانه وتعالى telah menciptakanmu dengan Tangan-Nya. Lalu Dia tiupkan kepadamu Ruh-Nya dan memerintahkan para Malaikat agar mereka bersujud (hormat) kepadamu. Maka mintalah kepada Robb-mu Asy Syafã’ah bagi kami. Tidakkah engkau tahu apa yang sedang kami alami? Tidakkah engkau tahu apa yang menimpa kami?”.
Nabi ‘Adam عليه السلام menjawab: “Sesungguhnya Robb-ku pada hari ini murka yang tiada pernah Dia marah sebelum dan sesudahnya seperti itu. Robb-ku pernah melarangku mendekati sebuah pohon (di surga dulu),tetapi aku berma’shiyat, melanggar larangan itu karena nafsuku. Aku (saat ini) sibuk dengan urusanku sendiri, aku sibuk dengan urusanku sendiri. Pergilah kalian kepada Nabi lain selainku. Pergilah kalian kepada Nuh عليه السلام.”
Kemudian mereka mendatangi Nabi Nuh عليه السلام, lalu berkata : “Wahai Nuh, engkau adalah rosũl pertama di bumi (– setelah banjir besar –). Allõh سبحانه وتعالى menyebutmu sebagai hamba yang sangat bersyukur. Maka mintakanlah kepada Robb-mu Asy Syafã’ah untuk kami. Tidakkah engkau tahu apa yang sedang kami alami? Tidakkah engkau tahu apa yang telah menimpa kami?
Nabi Nuh عليه السلام menjawab : “Sesungguhnya Robb-ku pada hari ini murka tiada tara, yang belum pernah Dia murka seperti itu sebelum dan sesudahnya. Sungguh, dahulu aku pernah mendo’akan jelek untuk kaumku. Aku (saat ini) sibuk dengan urusanku sendiri, aku sibuk dengan urusanku sendiri. Pergilah kalian kepada ‘Ibrohim عليه السلام.”
Kemudian manusia mendatangi Nabi ‘Ibrohim عليه السلام, dan berkata: “Engkau adalah Nabi Allõh dan Kekasih-Nya dari penduduk bumi.Mintakanlah Asy Syafã’ah kepada Robb-mu untuk kami. Tidakkah engkau tahu apa yang sedang kami alami? Tidakkah engkau tahu apa yang sedang menimpa kami?”.
Kemudian Nabi ‘Ibrohim عليه السلام-pun menjawab, “Sesungguhnya Robb-ku pada hari ini murka tiada tara, yang belum pernah Dia murka seperti itu sebelum dan sesudahnya.”
Nabi ‘Ibrohim عليه السلام menyebutkan dusta yang telah dialaminya (– ketika ia menghancurkan berhala –). Nabi ‘Ibrohim عليه السلام berkata, “Aku (saat ini) sibuk dengan urusanku sendiri, aku sibuk dengan urusanku sendiri. Pergilah kalian kepada Nabi lain selainku. Pergilah kalian kepada Musa عليه السلام.”
Maka mereka pun mendatangi Nabi Musa عليه السلام, lalu berkata: “Wahai Musa, engkau adalah utusan Allõh سبحانه وتعالى. Allõh سبحانه وتعالى telah memberimu keutamaan dengan risalah-Nya, dan firman-Nya kepadamu melebihi manusia lain. Maka mintakanlah Asy Syafã’ah kepada Robb-mu untuk kami. Tidakkah engkau tahu apa yang sedang kami alami? Tidakkah engkau tahu apa yang telah menimpa kami?”.
Nabi Musa عليه السلام menjawab: “Sesungguhnya Robb-ku pada hari ini murka tiada tara, yang belum pernah Dia murka seperti itu sebelum dan sesudahnya. Sesungguhnya aku pernah membunuh seseorang yang aku tidak diperintahkan untuk membunuhnya. Aku (saat ini) sibuk dengan urusanku sendiri, aku sibuk dengan urusanku sendiri. Pergilah kalian kepada ‘Isa عليه السلام.”
Lalu mereka mendatangi Nabi ‘Isa عليه السلام, seraya berkata: “Wahai ‘Isa, engkau adalah utusan Allõh سبحانه وتعالى (catatan pent.: — hal ini tidak seperti anggapan orang Nashroni yang menganggap bahwa ‘Isa عليه السلام adalah Tuhan dan anak Tuhan Allõh –). Engkau telah berbicara kepada manusia ketika engkau baru lahir. Engkau terwujud dengan kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam dengan tiupan roh dari-Nya. Maka, mintakanlah Asy Syafã’ah kepada Robb-mu untuk kami. Tidakkah engkau tahu apa yang sedang kami alami? Tidakkah engkau tahu apa yang sedang menimpa kami?”.
Nabi ‘Isa عليه السلام menjawab: “Sesungguhnya Robb-ku pada hari ini murka tiada tara, yang belum pernah Dia murka seperti itu sebelum dan sesudahnya.”
Nabi ‘Isa عليه السلام tidak menyebutkan dosa yang pernah dialaminya.
Kata Nabi ‘Isa عليه السلام selanjutnya, “Aku (saat ini) sibuk dengan urusanku sendiri, aku sibuk dengan urusanku sendiri. Pergilah kalian kepada Muhammad عليه السلام.”
Kemudian mereka mendatangiku, dan berkata : “Wahai Muhammad, engkau adalah utusan Allõh سبحانه وتعالى, engkau adalah Penutup para Nabi, Allõh سبحانه وتعالى telah memberikan ampunan atas dosa yang telah engkau lakukan (seandainya ada). Maka, mintakanlah Asy Syafã’ah kepada Robb-mu untuk kami. Tidakkah engkau tahu apa yang sedang kami alami? Tidakkah engkau tahu apa yang sedang menimpa kami?”.
Maka aku (Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم) pergi dan mendatangi Tahtal ‘Arsy (kebawah Al ‘Arsy). Lalu aku bersujud kepada Robb-ku. Kemudian Allõh سبحانه وتعالى memberiku pertolongan dan pemberitahuan yang tidak pernah Dia berikan kepada seseorang sebelum aku.
Dia berfirman, “Wahai Muhammad, angkatlah kepalamu. Mintalah, maka engkau akan diberi. Mintalah Asy Syafã’ah, maka engkau akan diizinkan untuk memberi Asy Syafã’ah.”
Lalu aku mengangkat kepalaku, dan aku mengatakan : “Ya Allõh, tolonglah ummatku! Tolonglah ummatku!
Aku dijawab: “Wahai Muhammad, masukkanlah ke surga ummatmu yang bebas hisab dari pintu kanan surga, dan selain mereka lewat pintu yang lain lagi.” Demi Allõh yang menguasai diri Muhammad, sesungguhnya antara dua daun pintu di surga sebanding antara Mekkah dan Hajar (– daerah Palestina – pent.), atau antara Mekkah dan Bashra (– Iraq – pent.).”

Hadits yang panjang tersebut merupakan dalil bagi kita tentang apa yang disebut Asy Syafã’atul ‘Udzma (Asy Syafã’ah yang Agung) yang tidak dimiliki oleh seorang Nabi pun, kecuali Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم.

Dalam Hadits lain yaitu Hadits Riwayat Al Imãm Muslim no: 196, dari Shohabat Anas bin Mãlik رضي الله عنه, bahwa Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم bersabda :

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَنَا أَوَّلُ النَّاسِ يَشْفَعُ فِى الْجَنَّةِ وَأَنَا أَكْثَرُ الأَنْبِيَاءِ تَبَعًا

Artinya:
Aku adalah manusia yang pertama kali memberi Syafa’at di dalam Surga dan aku adalah diantara Nabi-Nabi yang terbanyak pengikutnya.”

Pelajaran yang dapat kita petik dari Hadits tersebut adalah bahwa Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم adalah manusia pertama yang diberi izin oleh Allõh سبحانه وتعالى untuk memberikan Asy Syafã’ah (Syafa’at).

Juga sebagaimana dalam Hadits Riwayat Al Imãm Muslim no: 199, dari Shohabat Abu Hurairoh رضي الله عنه, ia berkata bahwa Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم bersabda,

لِكُلِّ نَبِىٍّ دَعْوَةٌ مُسْتَجَابَةٌ فَتَعَجَّلَ كُلُّ نَبِىٍّ دَعْوَتَهُ وَإِنِّى اخْتَبَأْتُ دَعْوَتِى شَفَاعَةً لأُمَّتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَهِىَ نَائِلَةٌ إِنْ شَاءَ اللَّهُ مَنْ مَاتَ مِنْ أُمَّتِى لاَ يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا

Artinya:
Setiap Nabi mempunyai do’a yang mustajab. Maka, masing-masing Nabi segera menggunakan do’a tersebut. Namun, aku menyimpan do’a itu untuk memberi Syafã’at kepada ummatku pada Hari Kiamat, yang Syafã’at tersebut in syã Allõh akan sampai pada ummatku yang mati tanpa menyekutukan Allõh dengan sesuatu apa pun.”

Syirik (menyekutukan Allõh سبحانه وتعالى) adalah sangat berbahaya. Bahkan bahaya daripada Syirik itu adalah akan menghalangi seorang manusia untuk mendapatkan Syafa’at dari Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم. Maka hendaknya kaum Muslimin menjaga diri dari Syrik. Hanya saja Syirik itu tidaklah mudah, karena Syirik itu ada dua jenis. Jenis yang pertama adalah Syirik Akbar (Syirik Besar) dan jenis yang kedua adalah Syirik Asghor (Syirik Kecil).

Syirik Akbar dapat menyebabkan seseorang keluar dari Al Islam (Murtad) dan terancam hukuman kekal di dalam neraka. Adapun Syirik Asghor (Syirik Kecil), maka jenis Syrik ini pun haruslah kita waspadai, karena ternyata ia adalah jenis Syirik yang lebih halus (lembut) dan lebih tersembunyi. Maka hendaklah kita semua berhati-hati, karena terkadang suatu amalan dianggap oleh manusia dapat menambah pahala bagi dirinya, padahal sesungguhnya dalam pandangan Allõh سبحانه وتعالى amalan tersebut adalah sia-sia, bahkan merugikan dirinya, karena adanya Riya’ dan sebagainya.

Pernyataan para ‘Ulama Ahlus Sunnah tentang Asy Syafaa’ah

Menurut Al Imãm Ahmad bin Hanbal رحمه الله (beliau رحمه الله adalah murid dari Al Imãm Asy Syafi’iy رحمه الله). Beliau رحمه الله berkata bahwa Allõh سبحانه وتعالى akan mengeluarkan banyak kaum dari dalam neraka, karena Syafa’at Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم.

Adapun menurut Al Imãm Ãjurri رحمه الله dalam Kitabnya “Asy Syarĩ’ahhalaman 331 (beliau رحمه الله termasuk ‘Ulama Ahlus Sunnah abad ke-3, yaitu hidup di sekitar tahun 240-an Hijriyah). Beliau رحمه الله berkata dalam kitab itu bahwa merupakan kewajiban bagi kita untuk mengimani tentang adanya Asy Syafã’ah. “Meng-imani Asy Syafã’ah” dalam hal ini janganlah diartikan sekedar percaya, tetapi juga berarti “membenarkannya” dalam arti yang lebih mendalam daripada sekedar percaya. Kata beliau: “Ketahuilah oleh kalian, semoga Allõh سبحانه وتعالى menyayangi kalian, bahwa orang yang mengingkari Asy Syafã’ah adalah meng-klaim bahwa orang yang masuk ke dalam neraka, maka mereka tidak akan keluar dari neraka tersebut. Ini adalah pemahaman Mu’tazilah, yaitu paham yang mendustakan Asy Syafã’ah dengan berbagai dalil, yang akan saya sebutkan berikut ini : Mereka (Mu’tazilah) mengingkari berbagai pokok dan fondasi yang tertera dalam Kitabullõh dan Sunnah-Sunnah Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم, Sunnahnya para Shohabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan setia, bahkan mereka mengingkari perkataan-perkatan para Fuqoha dari kalangan kaum Muslimin. Orang Mu’tazilah menyelisihi semua ini (– menyelisihi Ahlus Sunnah –) yang diajarkan oleh Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم. Juga tidak memperhatikan Sunnahnya para Shohabat. Mereka menemui dan menghadapkan ayat tentang masalah Hadits dengan ayat-ayat yang Muhtasyabihat dalam Al Qur’an dan yang dikedepankan adalah akal (pendapat) mereka.”

Kata beliau Al Imãm Ãjurri رحمه الله selanjutnya : “Orang yang mengingkari adanya Asy Syafã’ah, orang yang mengikuti adanya pendapat Mu’tazilah (Rasionalisme) adalah mereka yang bukan mengikuti jalannya kaum Muslimin, tetapi justru mereka adalah tersesat dari jalan yang Al Haq (yang benar), mereka telah dipermainkan oleh syaithõn. Allõh سبحانه وتعالى telah memberikan kewaspadaan kepada kita dari sifat seperti itu (mengingkari adanya Asy Syafã’ah). Demikian pula para Nabi dan juga kaum Muslimin, baik itu yang dahulu mapun zaman sekarang (– yaitu zamannya Al Imãm Ãjurri رحمه الله — pen.).”

Dan zaman kita sekarang juga masih tetap, para penerus Ahlus Sunnah wal Jamã’ah menyatakan bahwa : “Wahai kaum muslimin, berimanlah bahwa besok ada yang namanya Asy Syafã’ah, maka bergegaslah untuk mendapatkan Asy Syafã’ah tersebut.”

Jenis Asy Syafã’ah (Syafa’at)

Asy Syafã’ah ada beberapa macam, disini disebutkan ada 6 perkara :

1. Asy Syafã’atul ‘Udzma (Asy Syafã’ah yang Agung), yang diberikan oleh Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم (atas izin Allõh سبحانه وتعالى) terhadap manusia yang sedang dalam keadaan Mauqĩf, menghadapi Hisab (Perhitungan) Allõh سبحانه وتعالى di Padang Mahsyar, yaitu ketika Allõh سبحانه وتعالى kelak akan datang menemui kita untuk memastikan dan mem-vonis tentang kemana dan bagaimana nasib kita selanjutnya. Asy Syafã’ah yang Agung ini hanya diberikan melalui Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, sementara para Nabi yang lain tidak mendapat keistimewaan ini. Itulah yang kemudian disebut dengan Al Maqõmul Mahmud.
2. Syafã’at Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم yang diberikan kepada manusia yang antara kebajikan dan dosanya adalah seimbang. Orang yang sama besar (seimbang) antara kebajikan dan dosa-dosanya, maka oleh Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم dimintakan Asy Syafã’ah-nya kepada Allõh سبحانه وتعالى, sehingga orang tersebut pada akhirnya dapat masuk ke dalam surga-Nya.
3. Syafãat Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم yang diberikan kepada kaum yang sesungguhnya mereka itu berhak mendapatkan siksa neraka, namun karena dimintakan Asy Syafã’ah-nya oleh Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم kepada Allõh سبحانه وتعالى, maka kaum itu pun menjadi selamat dari siksaan neraka dan masuk ke dalam surga Allõh سبحانه وتعالى. Demikian sayangnya Allõh سبحانه وتعالى kepada kita. Dan di sisi lain menunjukkan betapa tingginya kedudukan Rosũl Muhammad صلى الله عليه وسلم dalam pandangan Allõh سبحانه وتعالى.
4. Syafã’at Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم yang diberikan (atas izin Allõh سبحانه وتعالى) untuk mengangkat derajat Ahlul Jannah (penghuni Surga), dari suatu derajat ke derajat lain yang lebih tinggi di dalam surga.
5. Syafã’at Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم yang diberikan kepada suatu kaum, agar mereka masuk ke dalam surga tanpa-hisab.
6. Syafã’at Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم untuk meringankan adzab / siksa neraka yang Allõh سبحانه وتعالى berikan kepada mereka, seperti halnya Asy Syafã’ah Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم terhadap paman beliau yakni Abu Tholib. Sebagaimana kita pelajari dalam Siroh maka Abu Tholib adalah wafat dalam keadaan kãfir, meskipun seumur hidupnya ia mendukung, membantu serta menyokong dakwah Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم, namun sayangnya hingga akhir ajalnya ia tetap tidak mau mengucapkan: “Asyhadu an Lã ilaha ilallõh wa asyhadu anna Muhammadur Rosũlullõh”, suatu kalimat yang sebenarnya dapat menyelamatkannya dari siksa neraka. Tetapi karena ia tetap kãfir bahkan sampai meninggalnya maka ia berhak atas adzab neraka di Hari Kiamat.

Asy Syafã’ah jenis ini hanya terjadi pada Abu Tholib, paman Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم saja, dan tidak pernah akan terulang kepada orang lain selainnya. Allõh سبحانه وتعالى berkenan memberikan Abu Tholib keringanan adzab, yaitu siksa neraka yang paling ringan.

Itulah Syafa’at-Syafa’at yang bisa kita dengar, seperti dikatakan oleh Ibnu Abdil ‘Iz Al Hanafy رحمه الله dalam menjelaskan Kitab Syarah “Al ‘Aqĩdah Ath Thohãwiyyahhalaman 34-37. Namun perlu kita ketahui agar kita tidak bersikap tenang-tenang saja karena merasa akan mendapatkan Syafa’at, adalah bahwa untuk mendapatkan Syafa’at ternyata tidaklah dengan mudah begitu saja, tetapi ada syaratnya. Syaratnya adalah Idzin dan Ridho dari Allõh سبحانه وتعالى. Ternyata tidak ada yang bisa memberikan Syafa’at di sisi Allõh سبحانه وتعالى (sebagaimana telah disebutkan dalam Ayat Kursi diatas), kecuali itu adalah atas idzin Allõh سبحانه وتعالى sebagaimana firman-Nya: “Tiada yang dapat memberi syafa`at di sisi Allõh tanpa izin-Nya”.

Idzin Allõh سبحانه وتعالى itulah yang harus “kita cari”. Bagaimana caranya agar Idzin Allõh سبحانه وتعالى turun kepada kita untuk mendapatkan Syafa’at dari Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, maka itulah yang harus kita pelajari dan kita lakukan introspeksi diri terlebih dahulu adakah diri kita ini telah tergolong orang-orang yang berhak mendapatkannya ataukah tidak.

Ridho Allõh سبحانه وتعالى juga adalah sesuatu yang harus kita upayakan. Allõh سبحانه وتعالى lah yang akan me-ridhoi adakah seseorang itu boleh diberi Syafa’at oleh Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم ataukah tidak. Jadi dalam memberikan Syafa’at, Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم hanyalah berperan untuk menyampaikan Syafa’at saja. Syafa’at tersebut bukanlah benar-benar berasal dari Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم, dimana beliau صلى الله عليه وسلم lantas boleh memberikan Syafa’at sesuai keinginannya sendiri. Hal itu adalah tidak demikian. Melainkan, beliau صلى الله عليه وسلم adalah dapat memberikan Syafa’at apabila telah memperoleh idzin dari Allõh سبحانه وتعالى terhadap orang-orang yang Allõh سبحانه وتعالى ridhoi. Jadi Ridho Allõh سبحانه وتعالى -lah yang menjadi kunci terjadinya Asy Syafã’ah.

Kunci agar Asy Syafã’ah (Syafa’at) bisa kita raih

Dari kajian kita diatas, maka kita mengetahui bahwa yang bisa memberikan Syafa’at adalah banyak, tetapi hal itu pun terpulang kepada diri kita masing-masing. Kalau kita tergolong orang-orang yang beriman (ber-Tauhĩd dengan benar) dan beramal shõlih, serta tergolong orang yang taat kepada Allõh سبحانه وتعالى, maka mudah-mudahan kita berhak untuk mendapatkan Asy Syafã’ah (Syafa’at).

Berikut ini adalah beberapa kiat untuk mendapatkan Asy Syafaa’ah (Syafa’at):

1. Kalau kita ingin tergolong orang yang bukan saja mendapatkan Syafa’at tetapi juga bisa memberikan Syafa’at kepada orang lain, maka diantara kiatnya adalah kita harus mau berjihad fĩ sabĩlillah, berperang untuk meninggikanLã ilaha Ilallõh”, mengorbankan tidak hanya harta, tetapi bahkan darah / nyawa dalam rangka men-dzohir-kan Syari’at Muhammad Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم, memerangi orang-orang yang memerangi Allõh سبحانه وتعالى, lalu siap mati di medan-laga dengan kematian yang syahid. Orang yang demikian itu akan bisa memberikan Syafa’at kepada orang lain.

Menurut Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم di antara enam kelebihan bagi orang yang mati syahid adalah : Orang itu akan diberikan keleluasaan dan keutamaan oleh Allõh سبحانه وتعالى untuk memberikan Syafa’at kepada 70 (tujuh puluh) orang dari anggota keluarganya; sebagaimana dalam Hadits Riwayat Al Imãm Ibnu Mãjah no: 2789, dari Shohabat Almiqdãm bin Ma’dĩkarib رضي الله عنه, bahwa Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم bersabda:

لِلشَّهِيدِ عِنْدَ اللَّهِ سِتُّ خِصَالٍ يَغْفِرُ لَهُ فِي أَوَّلِ دُفْعَةٍ مِنْ دَمِهِ وَيُرَى مَقْعَدَهُ مِنْ الْجَنَّةِ وَيُجَارُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَيَأْمَنُ مِنْ الْفَزَعِ الْأَكْبَرِ وَيُحَلَّى حُلَّةَ الْإِيمَانِ وَيُزَوَّجُ مِنْ الْحُورِ الْعِينِ وَيُشَفَّعُ فِي سَبْعِينَ إِنْسَانًا مِنْ أَقَارِبِهِ

Artinya:
Orang yang mati syahid mendapatkan enam hal di sisi Allõh: Diampuni dosa-dosanya sejak pertama kali darahnya mengalir, diperlihatkan kedudukannya di surga, diselamatkan dari siksa kubur, dibebaskan dari ketakutan yang besar, dihiasi dengan perhiasan iman, dikawinkan dengan bidadari dan dapat memberikan syafaat kepada 70 (tujuh puluh) orang kerabatnya.”

2. Do’a setelah Wudhu, dan do’a setelah mendengarkan Adzan, merupakan wasilah bagi diri kita agar bisa mendapatkan Syafa’at dari Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم.
3. Membaca Al Qur’an merupakan penyebab agar kita mendapatkan Syafa’at.
4. Dengan ke-Iman-an yang kokoh juga bisa pula berpeluang memberikan Syafa’at kepada orang lain.

Semuanya itu hanya bisa terjadi, terpulang kepada diri kita masing-masing. Hendaknya kaum Muslimin harus beriman, ber-amal-shõlih, ber-jihad fĩ sabĩllah, maka in syã Allõh akan bisa mendapatkan bahkan bisa memberikan Syafa’at kepada orang lain atas idzin Allõh سبحانه وتعالى.

TANYA JAWAB

Pertanyaan:

Diatas dijelaskan bahwa ada Hadits yang shohĩh, yang menyatakan bahwa merugilah seseorang yang mendzolimi orang lain, sampai-sampai ia bisa menjadi bangkrut, bukan hanya merugi di Hari Kiamat. Dari mulai yang tadinya ia memiliki banyak pahala namun pahala itu menjadi habis karena ia banyak pula mendzolimi orang lain.

Pertanyaan saya adalah :
1. Bagaimana bila orang lain yang didzolimi itu adalah orang kãfir? Bukankah dalam ayat Al Qur’an disebutkan bahwa orang itu tidak akan dibebani dosa orang lain?
2. Berapa lama (berapa tahun) antara waktu : Dibangkitkan – Hisab – Mizan – Syafa’at?

Jawaban:

1. Bagimana bila yang didzolimi adalah orang Kãfir? Bahwa orang kãfir termasuk tidak akan dan tidak berhak untuk mendapatkan Asy Syafã’ah (Syafa’at). Bahkan kalaupun orang kãfir itu berbuat baik dalam pandangan manusia, maka amalnya itu tetap ditolak oleh Allõh سبحانه وتعالى, sebagaimana yang difirmankan-Nya dalam Al Qur’an bahwa barangsiapa yang mencari dien (agama) selain Islam, lalu ia beramal diatasnya, maka amalannya tersebut tidaklah akan diterima oleh Allõh سبحانه وتعالى.

Perhatikan firman Allõh سبحانه وتعالى dalam QS. Ãli ‘Imrõn (3) ayat 85:

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Artinya:
Barangsiapa mencari pedoman hidup selain Islam, maka dia akan ditolak, dan di akhirat dia akan tergolong orang-orang yang dzolim.”

Jadi amal orang kãfir tidak akan diterima oleh Allõh سبحانه وتعالى, disebabkan karena keyakinan mereka yang keliru.

Bahkan di akhirat ia termasuk orang yang merugi. Itu sudah ketentuan Allõh سبحانه وتعالى, tidak bisa diubah oleh siapapun. Oleh karena itu orang kãfir (Yahudi, Nashroni, dan kaum Musyrikin lainnya) justru dijanjikan oleh Allõh سبحانه وتعالى dengan Jahannam, tidak akan bisa mendapat kebaikan dari yang lain, tidak akan pula mendapatkan kebaikan dari kaum Muslimin.

2. Berapa lamanya manusia dari sejak Dibangkitkan – Hisab – Mizan – Syafa’at, maka tidak ada keterangan dalil tentang hal tersebut. Semua itu alamnya sudah berbeda dengan alam dunia, dan disebut alam Akhirat; dimana tidak ada alam lain sesudahnya. Dan itu semua tidaklah bisa dibahas dengan akal manusia, tetapi haruslah berdasarkan Wahyu (Al Qur’an dan As Sunnah). Apabila tidak ada dalil tentang hal itu, maka kita hanyalah bisa mengatakan Wallõhu a’lam bishshowãb.

Pertanyaan :

1. Bila seseorang didzolimi temannya, lalu ia memaafkan. Apakah orang yang mendzolimi itu kelak di Akhirat akan tetap di-qishosh, walaupun ia sudah dimaafkan?

2. Ada Hadits yang mengatakan bahwa Abu Jahal, paman Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, kelak akan diringankan siksanya di akhirat karena ketika Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم lahir maka Abu Jahal merasa bahagia di kala itu. Bagaimanakah kedudukan Hadits tersebut, shohĩh-kah atau dho’ĩf ?

Jawaban:

1. Bila seseorang didzolimi temannya dan ia sudah memaafkan, maka tidak akan terjadi qishosh. Hanya masalahnya ia yang mendzolimi itu bertaubat kepada Allõh سبحانه وتعالى ataukah tidak. Karena berbuat dzolim itu dimaafkan atau tidak, maka yang mendzolimi tetap berdosa. Dalam Hadits Riwayat Al Imãm Muslim no: 2578, dari Shohabat Jãbir bin ‘Abdillah رضي الله عنه, bahwa Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم bersabda:

اتَّقُوا الظُّلْمَ فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Artinya:
Hindarilah oleh kalian kedzoliman, sebab kedzoliman itu penyebab kegelapan pada hari kiamat.”

Artinya perbuatan dzolim itu akan menyempitkan dan merugikaan dirinya sendiri, terlepas dari orang lain dirugikan ataukah tidak. Kalau ada orang lain yang dirugikan. maka orang yang berbuat dzolim itu dobel dosanya. Kalau yang didzolimi sudah memaafkan, maka orang yang memaafkannya akan mendapat pahala, sedang pihak yang mendzolimi tinggal satu masalah, sudah bertaubatkah ia kepada Allõh سبحانه وتعالى ataukah belum. Karena berbuat dzolim adalah perbuatan ma’shiyat, perbuatan dosa. Maka janganlah berbuat dzolim.

2. Hadits tentang Abu Jahal akan mendapatkan keringanan di akhirat, maka itu tidak bisa dipercaya, tidak shohĩh.

Bahkan bila dipikirkan secara akal saja, ketika Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم dilahirkan, maka tidak seorangpun yang tahu akan menjadi apa bayi yang baru lahir itu, tidak seorang pun tahu bahwa ia kelak akan menjadi Rosũl. Tetapi yang jelas, ketika Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم sudah menjadi Rosũl, maka Abu Jahal mencaci-maki beliau صلى الله عليه وسلم: “Celakalah kamu hai Muhammad…” dan seterusnya, sehingga turunlah Surat Al Lahab. Oleh karena itu maka Hadits tersebut tidak perlu dipercaya.

Pertanyaan:

Bila seseorang berbuat dzolim kepada orang lain, dan ia tidak sempat meminta maaf hingga orang yang didzoliminya meninggal dunia, maka bagaimana caranya orang yang mendzolimi itu meminta maaf kepada orang yang didzolimi (padahal ia sudah meninggal)? Bisakah ia dimaafkan?

Jawaban:

Bila seseorang yang didzolimi sudah meninggal terlebih dahulu, sehingga orang yang mendzoliminya tidak sempat meminta maaf, maka yang demikian itu menjadi pelajaran bagi kita semua. Artinya janganlah menunda-nunda meminta maaf dan jangan pula menyepelekan suatu dosa. Jangan sampai orang belum sempat memperbaiki kesalahannya, maka orang yang didzoliminya sudah meninggal. Tetapi ada suatu cara untuk memperbaiki diri, yakni :

Pertama, kalau kedzolimannya berupa materi (harta, uang), maka harus dikembalikan kepada ahli waris orang yang didzolimi itu, dan meminta maaf kepada ahli waris-nya.

Kedua, orang yang mendzolimi itu harus memintakan ampun kepada Allõh سبحانه وتعالى atas dosa-dosa orang yang didzolimi, sampai ia merasa sudah bisa membayar kepada orang yang didzolimi itu.

Pertanyaan:

Bagimanakah dengan Muslim yang setiap harinya melakukan Bid’ah sampai akhir hayatnya, apakah termasuk yang mendapat Syafa’at dari Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم kelak di Akhirat ?

Jawaban:

Bila seseorang selama hidupnya mendarah daging melakukan Bid’ah, maka harus dilihat dulu Bid’ah-nya itu apa.

Karena Bid’ah itu ada dua macam : Bid’atun Mukaffiroh (Bid’ah yang menjadikan seseorang menjadi kãfir, murtad), dan Bid’atun Mufassiqoh (Bid’ah yang menjadikan orang masuk dalam kategori Fãsiq).

Bid’ah yang menyebabkan kãfir, misalnya adalah Bid’ahnya orang-orang Syi’ah, dimana mereka mengatakan bahwa para Shohabat Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم adalah Kãfir. Bid’ah yang seperti itulah Bid’ah Mukaffiroh, karena bahkan didalam Al Qur’an jelas-jelas Allõh سبحانه وتعالى telah meridhoi para Shohabat Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم.

Perhatikanlah firman Allõh سبحانه وتعالى dalam QS. At Taubah (9) ayat 100:

وَالسَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللّهُ عَنْهُمْ وَرَضُواْ عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَداً ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Artinya:
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allõh ridho kepada mereka dan merekapun ridho kepada Allõh dan Allõh menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.

Dengan demikian, apabila Syi’ah mengkafirkan para Shohabat Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم berarti mereka itu tidak percaya kepada Al Qur’an dan Hadits. Bahkan mereka (Syi’ah) mengatakan bahwa Al Qur’an yang ada sekarang ini hanya sepertiga saja. Berarti mereka menyatakan bahwa Al Qur’an itu masih kurang, padahal Allõh سبحانه وتعالى jelas-jelas sudah menyatakan bahwa Islam sudah sempurna, yang berarti bahwa Al Qur’an itu juga sudah sempurna.

Hal ini adalah sebagaimana firman Allõh سبحانه وتعالى dalam QS. Al Mã’idah (5) ayat 3 berikut ini :

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا

Artinya:
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu dien-mu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhoi Islam itu jadi dien bagimu.”

Tetapi kaum Syi’ah membantahnya dan mengingkarinya, mereka mengatakan kurang. Dengan demikian, berarti mereka telah kãfir terhadap ayat Allõh سبحانه وتعالى. Itulah Bid’atun Mukaffiroh. Orang yang mati dalam keadaan seperti itu tentunya akan masuk neraka dan kekal di dalamnya. Na’ũdzu billãhi min dzãlik.

Tetapi bila seseorang melakukan Bid’atun Mufassiqoh, yakni berbuat Bid’ah karena fãsiq saja, maka seperti dinyatakan dalam Hadits (yang telah pernah kita bahas dalam kajian yang lalu), meskipun ia masuk neraka terlebih dahulu, namun karena di dalam hatinya ada iman maka suatu ketika ia akan mendapatkan Syafa’at dan diangkat dari neraka serta dimasukkan dalam Sungai Kehidupan, yang pada akhirnya in syã Allõh akan dimasukkan ke dalam Jannah (Surga). Hal tersebut sebagaimana dalam Hadits Qudsi, diriwayatkan oleh Al Imãm Ahmad no: 11917 berkata Syaikh Syuaib Al Arnã’uth bahwa Hadits ini Sanadnya Shohĩh sesuai dengan syarat Shohĩh Al Imãm Al Bukhõry dan Al Imãm Muslim, dan diriwayatkan oleh Al Imãm Abdurrozãq no: 20857, dari Shohabat Abu Sã’id Al Khudry رضي الله عنه, bahwa Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم bersabda:

يقول الله شفعت الملائكة وشفعت الأنبياء وشفع المؤمنون وبقي أرحم الراحمين قال فيقبض قبضة من النار – أو قال قبضتين – ناسا لم يعملوا لله خيرا قط قد احترقوا حتى صاروا حمما قال فيؤتى بهم إلى ماء يقال له الحياة فيصب عليهم فينبتون كما تنبت الحبة في حميل السيل قال فيخرجون من أجسادهم مثل اللؤلؤ وفي أعناقهم الخاتم عتقاء الله قال فيقال لهم ادخلوا الجنة

Artinya:
Maka Allõh سبحانه وتعالى berfirman: Para Malaikat, para Nabi, orang-orang yang beriman memberikan Asy Syafã’ah, dan tidak ada yang tersisa kecuali lalu Allõh Yang Maha Pengasih سبحانه وتعالى akan menggenggam satu atau dua genggaman dari neraka kemudian mengeluarkan dari neraka itu kaum, yang tidak pernah dari kaum itu beramal dengan amalan yang baik sedikitpun, sedang mereka telah terbakar dan menjadi arang. Kemudian ditumpahkan pada mereka Al Hayãt (air kehidupan) sehingga mereka pun tumbuh seperti biji kecambah. Lalu keluarlah jasad mereka kembali bagaikan mutiara dan pada pundak mereka tertulisBebas dari neraka”, dan dikatakanlah pada mereka, “Masuklah kalian kedalam surga.”

Juga sebagaimana diberitakan dalam Hadits Riwayat Al Imãm Al Bukhõry no: 44 dan Al Imãm Muslim no: 193, dari Shohabat Anas bin Mãlik رضي الله عنه bahwa Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم bersabda:

يَخْرُجُ مِنَ النَّارِ مَنْ قَالَ : لاََ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَفِي قَلْبِهِ وَزْنُ شَعِيرَةٍ مِنْ خَيْرٍ ، وَيَخْرُجُ مِنَ النَّارِ مَنْ قَالَ : لاََ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَفِي قَلْبِهِ وَزْنُ بُرَّةٍ مِنْ خَيْرٍ ، وَيَخْرُجُ مِنَ النَّارِ مَنْ قَالَ : لاََ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَفِي قَلْبِهِ وَزْنُ ذَرَّةٍ مِنْ خَيْرٍ

Artinya:
Akan keluar dari api neraka barangsiapa yang mengucapkan Lã ilaha illallõh dan dalam hatinya terdapat sebiji sawit kebajikan, dan akan keluar dari api neraka barangsiapa yang mengucapkan Lã ilaha illallõh dan dalam hatinya terdapat sebesar butir padi kebajikan, dan akan keluar dari api neraka barangsiapa yang mengucapkan Lã ilaha illallõh dan dalam hatinya terdapat sebesar biji jagung kebajikan.”

Namun demikian kita tetaplah harus merasa sayang (terutama kepada saudara kita yang masih suka melakukan ke-Bid’ah-an), meskipun ia melakukan ke-Bid’ah-an (Bid’atun Mufassiqoh) maka hukum asal sikap kita kepada mereka adalah harus Rohmah, harus penuh kasih sayang kepada mereka. Dalam arti janganlah putus asa dan jangan pula merasa bosan untuk menyadarkannya, mengajaknya kepada kebenaran, mendakwahinya, sehingga ia lurus diatas jalan Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم dan selamat bisa masuk surga. Hendaknya kita berdakwah dengan cara yang santun dan baik, karena bagaimana pun mereka itu adalah saudara se-Iman, sesama Ahlus Sunnah wal Jamã’ah; yang memiliki hak persaudaraan dari diri kita.

Alhamdulillah, kiranya cukup sekian dulu bahasan kita kali ini, mudah-mudahan bermanfaat. Kita akhiri dengan Do’a Kafaratul Majlis :

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Senin malam, 4  Rabbi’ul Akhir 1430 H – 30 Maret 2009 M.

—– 0O0 —–

Silakan download PDF :Al Qonthoroh & Al Qishosh AQI 300309 FNLE

One Comment leave one →
  1. Abdurrahman HRD permalink
    10 June 2012 6:21 am

    Reblogged this on Percikan Kehidupan.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: