Skip to content

Al-Bid’ah

28 July 2010

(Transkrip Ceramah AQI 310105)

AL BID’AH        

                                   

oleh:

Ustadz Achmad Rofi’i, Lc.


بسم الله الرحمن الرحيم

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Muqoddimah:

Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allõh سبحانه وتعالى,

Dalam buku paket kajian kita yaitu “‘Alãmus Sunnah al Mansyũroh” dalam edisi terjemahan berjudul “200 Tanya-Jawab Akidah Islam” yang disusun oleh Syaikh Hãfidz Hakamy, di bagian akhir ditulis tentang segala sesuatu yang berkenaan dengan lawan Sunnah, yaitu “Al Bid’ah”. Dalam bab tersebut ada 7 pertanyaan dan jawaban. Dalam pembahasan kita kali ini akan diperkaya dengan rujukan kitab-kitab yang lain. Karena cukup pentingnya masalah bid’ah tersebut, maka mungkin akan kita bahas dalam beberapa kali pertemuan.

Bid’ah adalah masalah yang juga penting untuk dibahas dan banyak kaum muslimin yang masih terkecoh karenanya. Bahkan kita sering mendengar istilah “bid’ah hasanah” dan “bid’ah sayyi’ah”. Hal tersebut dalam pembahasan nanti akan kita klarifikasikan duduk perkaranya, dari mana asal usul istilah tersebut.

Perlu diinformasikan bahwa sejak abad ke-3 Hijriyyah, para ‘Ulama sudah dengan seksama dan secara tersendiri menulis kitab khusus untuk menjelaskan masalah bid’ah. Karena bid’ah itu muncul sangat dini, bahkan sudah ada sejak masa Al Khulafã’ Ar Rõsyidũn yang empat.

Dalam Hadits Riwayat Al Imãm Ibnu Hibban no: 6943, syaikh Syu’aib al-Arnaũth mengatakan sanad-nya Hasan, dari Safĩnah رضي الله عنه bahwa Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم bersabda:

الخلافة بعدي ثلاثون سنة ثم تكون ملكا

Artinya:
Kekhilafahan setelahku akan terjadi 30 tahun

Khilãfah sesudah Nabi صلى الله عليه وسلم hanya berlangsung 30 tahun juga terdapat dalam Hadits yang lain yaitu :

عن سعيد بن جمهان قال حدثني سفينة رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم الخلافة في أمتي ثلاثون سنة ثم ملك بعد ذلك ثم قال لي سفينة أمسك خلافة أبي بكر ثم قال وخلافة عمر وخلافة عثمان ثم قال لي أمسك خلافة علي قال فوجدناها ثلاثين سنة قال سعيد فقلت له إن بني أمية يزعمون أن الخلافة فيهم قال كذبوا بنو الزرقاء بل هم ملوك من شر الملوك.

Artinya:
“Sa’ĩd bin Jumhan berkata: “Safĩnah menyampaikan hadits kepadaku, bahwa Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم bersabda: “Kekhilãfahan pada umatku akan berlangsung selama tiga puluh tahun, kemudian setelah itu dipimpin oleh sistem Kerajaan.”
Lalu Safĩnah berkata kepadaku: “Hitunglah masa kekhilãfahan Abu Bakar (2 tahun), ‘Umar (10 tahun) dan ‘Utsman (12 tahun).”
Safĩnah berkata lagi kepadaku: “Tambahkan dengan masa Ali (6 tahun). Maka engkau akan temui tiga puluh tahun.”
Sa’ĩd berkata: “Aku berkata kepada Safĩnah: “Sesungguhnya Bani Umayah berasumsi bahwa khilãfah ada pada mereka.”
Safĩnah menjawab: “Mereka (Bani Umayah) telah berbohong. Justru mereka adalah para raja, yang tergolong seburuk-buruk para raja”.
(Hadits Riwayat Al Imãm Ahmad no: 21978, syaikh Syu’aib al-Arnaũth mengatakan sanad-nya Hasan dan dalam Hadits Riwayat Al Imãm At-Turmudzi no: 2226 di-shohĩh-kan oleh syaikh Nashiruddin Al Albãny)

Jadi bid’ah itu pada masa 30 tahun pertama telah muncul. Tetapi tidak sedahsyat seperti yang kita saksikan pada masa sekarang.

Ada sebuah kitab yang berjudul “Al Bã’its Fi Inkãril Hawãdits”. Kitab tersebut termasuk kitab terdahulu, ditulis oleh Al Imãm Ibnu Wahdhdhõh رحمه الله. Dan juga kitab “Al Hawãdits wal Bida’”, yang berisi penjelasan tentang masalah-masalah yang baru dan masalah bid’ah, ditulis oleh Al Imãm Abu Bakr At Thurthũsy رحمه الله, beliau hidup pada abad ke-5 Hijriyyah. Kalau sekarang sudah abad ke-15 Hijriyyah, maka berarti kitab itu sudah berumur 1000 tahun.

Disamping itu ada kitab yang isinya mendekati hati kaum muslimin Indonesia, yaitu kitab “Al Amru bil Ittibã’ wan Nahyu ‘Anil Iibtidã’” (Perintah untuk mengikuti Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم dan Larangan untuk Berbuat Bid’ah) yang ditulis oleh Al Imãm Jalãluddin As Suyũthi رحمه الله (salah seorang penulis kitab tafsir Al Qur’an, yaitu “Tafsir Al Jalãlain”). Dari segi fiqih, beliau ber-madzhab Syãfi’iy. Maka nanti akan kita tonjolkan bahwa dari kalangan Syãfi’iy sekalipun, beliau menjelaskan dengan tegas tentang masalah bid’ah.

Ada lagi sebuah kitab yang berisi contoh-contoh bagaimana para ulama menyikapi bid’ah. Salah satunya adalah kitab yang ditulis oleh seorang ‘Ulama Ahlus Sunnah pada abad ke-4 Hijriyyah yaitu Al Imãm Abu ‘Utsman bin ‘Abdur Rohman Ash Shõbuniy رحمه الله, beliau menulis Kitab “‘Aqĩdatussalaf Ash-hãbul Hadĩts”, yang sekarang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia; dan juga Kitab “Al Ibdã’ fi Kamãlisy Syar’” (kitab tentang “Kesempurnaan Syari’at”), yang ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Shõlih Al ‘Utsaimĩn رحمه الله. Beliau adalah ‘Ulama Ahlus Sunnah abad ini.

Kitab-kitab tersebut dimaksudkan sebagai referensi untuk menjelaskan bahwa sebenarnya para ulama terdahulu sudah secara serius menjelaskan masalah ini, sehingga jangan sampai kaum muslimin ummat Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم mau untuk dibelok-belokkan kepada sesuatu yang sesat. Terlihat sepertinya ber-ibadah, padahal mereka tidak dalam keadaan ber-ibadah, terlihat sepertinya ajaran Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم, padahal sesungguhnya itu hanyalah khayalan dan karangan-karangan manusia biasa. Itulah yang harus kita cermati dan waspadai.

Kitab-kitab itu sebagai acuan, dan kita akan lebih senang/ mantap kalau mendengar dari redaksinya yang asli dari kitab-kitab tersebut. Bahwa itu adalah otentik dari perkataan para Imãm.

Pada kesempatan kali ini, kita akan membahas definisi-definisi dari para ‘Ulama Ahlus Sunnah tentang perkara bid’ah. Karena masing-masing ‘Ulama tersebut berbeda-beda dalam pengutaraannya, tetapi substansi pengertiannya adalah sama. Dan nanti bisa kita bandingkan diantara para Imãm tersebut, dimanakah letak perbedaannya. Dengan demikian akan semakin jelas bagi kita dalam memahami bid’ah.

Pembahasan ini akan terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu:

1) Definisi bid’ah,
2) Larangan mendekati dan berbuat bid’ah,
3) Kapan bid’ah itu muncul,
4) Negeri mana saja di masa lalu yang menjadi sumber munculnya bid’ah,
5) Bahaya bid’ah,
6) Sebab-sebab yang memperkuat munculnya bid’ah,
7) Model-model dan jenis-jenis bid’ah yang ada pada masyarakat muslimin,
8) Apa sikap kita terhadap bid’ah dan ahlul bid’ah, yang berdasarkan syar’iy,
9) Bagaimana memberikan indikasi bahwa sesuatu itu bid’ah.

DEFINISI AL BID’AH

Kalimat “bid’ah” berasal dari bahasa Arab, dan kata bid’ah sudah diasimilasikan kedalam bahasa Indonesia. Kalau dikembalikan ke bahasa Arab, maka kata bid’ah berasal dari: bada’a yabda’ubid’atan ( بَدَعَ – يَبْدَعُ – بِدْعَة)

Maknanya tidak kurang dari empat:

1) Bid’ah adalah Al Ihdãts, artinya: hadits baru, membarui, mengada-ada dengan sesuatu yang baru
2) Bid’ah adalah Al Ibtidã’, artinya: permulaan, memulai sesuatu yang sebelumnya belum dimulai
3) Bid’ah adalah Al Insyã’, artinya: merintis, memulai
4) Bid’ah adalah Al Ikhtirõ’, artinya: penemuan-penemuan baru dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Sesuatu yang baru yang tidak pernah ada sebelumnya.

Itulah artibid’ah secara bahasa; yang maknanya: mula-mula, mengawali, tidak ada contohnya dari orang terdahulu, dan bermakna baru. Misalnya dalam Al Qur’an surat Al Bãqoroh (2) ayat 117, Allõh سبحانه وتعالى berfirman:

بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَإِذَا قَضَى أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ

Artinya:
Allõh Pencipta langit dan bumi. Apabila Dia hendak menetapkan sesuatu, Dia hanya berkata kepadanya: “Jadilah!” Maka jadilah sesuatu itu.”

Bahkan ada diantara para ‘Ulama yang mengatakan bahwa البديع (Yang Maha Memulai) adalah bagian dari sifat Allõh سبحانه وتعالى. Dialah (Allõh) yang mula-mula menciptakan langit dan bumi, berarti sebelumnya tidak ada langit dan bumi.

Misalnya lagi firman Allõh سبحانه وتعالى dalam surat Al Ahqõf (46) ayat 9:

{ قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُلِ وَمَا أَدْرِي مَا يُفْعَلُ بِي وَلَا بِكُمْ إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَى إِلَيَّ وَمَا أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ مُبِينٌ (9)} الأحقاف

Artinya:
Katakanlah,“Aku bukanlah Rosũl yang pertama diantara rosũl-rosũl dan aku tidak mengetahui apa yang akan diperbuat terhadapku dan tidak (pula) terhadapmu. Aku tidak lain hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku dan aku tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan.”

Dalam kamus “Al Muhĩth”, atau kamus “Al Mu’jam Al Washĩth” (al Fairũz Abãdy, halaman 702), ditemukan bahwa kata “bid’ah” maknanya: “al hadats (baru)”. Ada juga ‘Ulama bahasa yang mengartikan bahwa “bid’ah” adalah: “Sesuatu yang diada-adakan di dalam dĩn (Al Islãm), setelah dĩn itu sempurna.

Ada juga ‘Ulama yang mengatakan bahwa: “bid’ah adalah sesuatu yang diada-adakan setelah Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, berupa hawa nafsu atau amalan”. Maksudnya adalah hal-hal yang bersumber dari hawa nafsu, atau berbentuk amalan yang muncul setelah Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم wafat, dan hal tersebut berkaitan dengan urusan dĩn (Al Islãm), maka itulah yang disebut bid’ah.

Sedangkan berbagai alat-alat, misalnya alat tulis, spidol, kendaraan, pesawat dan segala sarana prasarana tidaklah termasuk ke dalam kategori bid’ah yang dimaksud. Yang dimaksudkan bid’ah adalah segala sesuatu yang berkaitan Dĩn (Al Islãm).

Kalaupun ada orang yang berdalil dengan ucapan shohabat ‘Umar Ibnu Al Khoththõb رضي الله عنه tentang masalah sholat at tarõwih, yaitu betapa bagusnya “bid’ah” tersebut, (– dimana ketika itu beliau mengumpulkan orang-orang yang sedang melakukan sholat tarõwih sendiri-sendiri dan kemudian memerintahkan mereka untuk melakukannya secara berjamã’ah, lalu beliau memilih Ubay bin Ka’ab رضي الله عنه sebagai imam sholat. Sehingga jadilah sholat tarõwih berjama’ah –). Maka kalau dianggap sebagai “bid’ah dalam dĩn”, itu pun tidak tepat, karena seyogyanya sholat tarõwih pernah dilakukan ber-jamã’ah di zaman Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم, sehingga bukanlah termasuk bid’ah dalam dĩn; namun yang dimaksud Shohabat ‘Umar Ibnu Al Khoththõb رضي الله عنهadalah bid’ah secara bahasa saja.

Hal ini sebagaimana :

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلاَءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَىِّ بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلاَةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ وَالَّتِي يَنَامُونَ عَنْهَا أَفْضَلُ مِنَ الَّتِي يَقُومُونَ يُرِيدُ آخِرَ اللَّيْلِ ، وَكَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ أَوَّلَه.

Artinya:
Dalam riwayat dari ‘Abdurrohmãn bin ‘Abdul Qõry رضي الله عنه, bahwa beliau berkata, “Di suatu malam di bulan Romadhõn, aku keluar menuju masjid bersama ‘Umar bin Khoththõb رضي الله عنه; ternyata ditemukan orang terbagi menjadi beberapa kelompok. Ada yang sholat sendirian. Ada yang mengimami beberapa orang. Maka ‘Umar رضي الله عنه berkata, “Sungguh aku berpendapat, kalau aku gabungkan semua mereka dipimpin satu orang Imam, maka niscaya akan lebih baik. Kemudian aku perintahkan ‘Ubay bin Ka’ab رضي الله عنه untuk menjadi Imam (sholat) bagi mereka.”
Lalu pada malam lainnya, kembali aku keluar bersama beliau (‘Umar رضي الله عنه), sedangkan orang-orang sholat dengan di-Imami oleh ‘Ubay bin Ka’ab رضي الله عنه. Maka ‘Umar رضي الله عنه pun berkata, “Sungguh ini adalah bid’ah yang baik, sedangkan mereka yang tidur (untuk sholat di akhir malam) adalah lebih baik daripada mereka yang bangun untuk melakukan Qiyamur Romadhõn di awal malam.” (Atsar Riwayat Al Imãm Al Bukhõry di dalam Shohĩh-nya no: 2010, Jilid 3 halaman 58)

Tetapi “bid’ah” yang dilakukan oleh ‘Umar Ibnu Al Khoththõb رضي الله عنه sebetulnya bukanlah bid’ah dalam n, sebab kita tidak bisa mengingkari bahwa Rosũullõh صلى الله عليه وسلم telah mencontohkan sholat tarõwih berjama’ah itu beberapa malam pada masa beliau صلى الله عليه وسلم hidup.

Ketika bulan Romadhõn, Rosũullõh صلى الله عليه وسلم sholat tarõwih di masjid. Lalu berkumpullah dibelakangnya para Shohabat mengikuti sholat tarõwih. Pada malam pertama jumlah mereka sedikit, lalu di malam kedua lebih banyak dan di malam ketiga semakin banyak lagi para Shohabat yang mengikuti beliau untuk sholat tarõwih. Karena semakin banyak yang mengikuti, beliau صلى الله عليه وسلم merasa khawatir bahwa sholat tarõwih itu dianggap sholat fardhu, maka pada malam berikutnya beliau صلى الله عليه وسلم tidak keluar lagi dari rumah beliau. Beliau صلى الله عليه وسلم ditunggu oleh para Shohabat sampai menjelang shubuh. Esok paginya beliau memberi penjelasan bahwa beliau صلى الله عليه وسلم kuatir sholat tarowih itu menjadi fardhu yang akan memberatkan ummatnya.

Hal ini sebagaimana dalam Hadits Riwayat Al Imãm Al Bukhõry no: 924, Jilid 2 halaman 13 dan Riwayat Al Imãm Muslim no: 761 sebagai berikut:

أَنَّ عَائِشَةَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم خَرَجَ ذَاتَ لَيْلَةٍ مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ فَصَلَّى فِي الْمَسْجِدِ فَصَلَّى رِجَالٌ بِصَلاَتِهِ فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا فَاجْتَمَعَ أَكْثَرُ مِنْهُمْ فَصَلَّوْا مَعَهُ فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا فَكَثُرَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ فَخَرَجَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَصَلَّوْا بِصَلاَتِهِ فَلَمَّا كَانَتِ اللَّيْلَةُ الرَّابِعَةُ عَجَزَ الْمَسْجِدُ عَنْ أَهْلِهِ حَتَّى خَرَجَ لِصَلاَةِ الصُّبْحِ فَلَمَّا قَضَى الْفَجْرَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَتَشَهَّدَ ثمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ ، فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَيَّ مَكَانُكُمْ لَكِنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ فَتَعْجِزُوا عَنْهَا.

Artinya:
‘Ã’isyah رضي الله عنها mengabarkan bahwa Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم keluar di tengah malam kemudian sholat di masjid, kemudian sholatlah para Shohabat di belakangnya. Maka orang-orang pun saling memberitahu, sehingga berkumpullah jumlah yang lebih banyak dari kelompok yang pertama (di malam berikutnya). Kemudian mereka pun saling memberitahu, sehingga semakin banyaklah jama’ah masjid di malam ketiga. Maka keluar pula Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم di malam ke-empat sedangkan masjid tidak lagi dapat menampung, karena banyaknya jama’ah. Sehingga Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم keluar untuk sholat shubuh dan setelah selesai, beliau menghadap para Shohabat dengan diawali bersyahadat, lalu mengatakan, “Amma Ba’du…”
Kemudian selanjutnya beliau bersabda, “Sungguh aku bukan takut pada kalian karena padatnya, akan tetapi aku takut kalau sholat (Qiyamur Romadhõn) ini menjadi fardhu atas kalian; sedangkan kalian akan menjadi kesulitan karenanya.”

Artinya, pelaksanaan sholat tarõwih berjama’ah itu sudah ada sejak zaman Rosũullõh صلى الله عليه وسلم. Jadi memang asalnya pun ada tuntunannya dari Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم. Kalau kemudian dirintis kembali oleh ‘Umar Ibnu Al Khoththõb رضي الله عنه maka sebenarnya bukan tergolong “bid’ah” dalam dĩn. Karena beliau رضي الله عنه tidak mengawali, melainkan hanya menghidupkan kembali sunnah Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم. Maka para ‘Ulama mengatakan bahwa pada kalimat yang dikatakan oleh ‘Umar رضي الله عنه ini adalah bid’ah lughowiyyah (bid’ah secara bahasa / bersifat etimologis) belaka, dan bukanlah bid’ah haqĩqiyyah (bid’ah secara terminologis) atau bid’ah yang sesungguhnya (yang tercela dalam dĩn / agama). Karena bid’ah secara terminologis hanya berlaku pada urusan dĩn / agama saja, yaitu permasalahan dĩn, masalah ketetapan dan kebijakan apa yang menjadi syari’at Allõh dan rosũl-Nya .

Mudah-mudahan dengan penjelasan tersebut tidak lagi ada pertanyaan apakah kalau orang pergi haji dengan pesawat terbang atau kapal laut itu bid’ah atau tidak. Tidak ada lagi pertanyaan kalau orang menggunakan speaker (pengeras suara) di masjid-masjid itu bid’ah atau tidak.

Walaupun sampai sekarang di daerah-daerah, di kampung-kampung masih ada orang yang mengatakan bahwa menggunakan speaker itu bid’ah. Bahkan ber-khutbah dengan bahasa Indonesia itu dikatakan bid’ah. Sehingga khutbahnya harus menggunakan bahasa Arab, kitab khutbahnya itu-itu saja, dan yang berkhutbah pun tidak mengerti isi khutbahnya. Itu karena memahami bid’ah tidak sebagaimana mestinya.

ARTI BID’AH SECARA TERMINOLOGIS

Arti bid’ah secara terminologis yang akan dibawakan oleh sedikitnya 8 orang ulama, yaitu:

1) Al Imãm Asy Syãthiby رحمه الله dalam kitabnya yang berjudul “Al-I’tishõm” (Jilid 1 halaman 50), yang ditahqiq oleh Syaikh Al Hilãly; beliau menjelaskan sebagai berikut:

فَالْبِدْعَةُ إِذَنْ عِبَارَةٌ عَنْ: طَرِيقَةٍ فِي الدِّينِ مُخْتَرَعَةٍ، تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوكِ عَلَيْهَا الْمُبَالَغَةُ فِي التَّعَبُّدِ لِلَّهِ سُبْحَانَهُ.

Artinya:
Bid’ah adalah cara baru dalam Islam, yang menyaingi sesuatu yang disyari’atkan; dilakukan dengan maksud melebih-lebihkan dalam beribadah kepada Allõh سبحانه وتعالى.”

Kitabnya terdiri dari 2 jilid, namun beliau رحمه الله mengatakan demikian dalam jilid pertamanya halaman 50, dimana menurut beliau: Bid’ah itu adalah cara, metode, dalam urusan dĩn (– didalamnya termasuk urusan strategis dan teknis –) yang tidak ada sebelumnya. Tetapi walaupun itu tidak ada, orang menilai bahwa itu syar’iy (ibadah). Mengapa itu dilakukan? Menurut beliau, pelaksanaan ibadah itu dilebih-lebihkan, atau karena faktor semangat beribadah kepada Allõh سبحانه وتعالى.

Contohnya: Sholawatan. Sholawatan adalah syar’iy karena memang sholawat adalah perintah Allõh سبحانه وتعالى. Allõh سبحانه وتعالى berfirman:

{ إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا }

Artinya:
Bersholawatlah kalian padanya dan berilah salam padanya.” (QS Al Ahzaab : 56)

{ … فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَىَّ صَلاَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا… }

Dan sabda Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم dalam Hadits Riwayat Al Imãm Muslim no: 384, dari Shohabat ‘Abdullõh bin ‘Amr bin al-‘Ãsh رضي الله عنه: “Siapa yang mengucapkan sholawat atasku satu kali, maka Allõh سبحانه وتعالى akan membalasnya sepuluh kali.”

{ البخيل من ذكرت عنده فلم يصل علي }

Juga sabda Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم dalam Hadits Riwayat Al Imãm At Turmudzy no: 3546, di-shohĩh-kan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albãny, dari Shohabat ‘Ali bin Abi Thõlib رضي الله عنه bahwa, “Orang yang bakhil adalah orang yang apabila mendengar namaku, ia tidak mengucapkan sholawat atasku.”

Jadi sholawat itu diperintahkan oleh Allõh سبحانه وتعالى dan oleh Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم. Lalu apa yang disebut bid’ah atas sholawatan itu? Yaitu mengenai “caranya”. Sholawatnya dilakukan dengan cara seperti apa? Sholawat mana yang sunnah dan sholawat mana yang bid’ah? Nanti in syã Allõh kita akan membahasnya.

Demikian juga thoriqoh, orang mengatakan itu syar’iy seolah-olah ibadah, padahal bukan ibadah. Juga dzikir, siapa yang mengatakan bahwa dzikir itu bukan termasuk ibadah? Padahal perhatikanlah, sebagaimana firman Allõh سبحانه وتعالى dalam QS. Al Ahzãb ayat 41:

{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا }

Artinya:
Dzikirlah (ingatlah) kalian kepada Aku dengan dzikir yang banyak.”

Maka dengan demikian dzikir adalah perintah Allõh سبحانه وتعالى. Tetapi dzikir dengan cara bagaimana yang disebut bid’ah? Itulah nanti yang akan kita bahas.

Kalau dikatakan ibadah, maka ibadah adalah tawaqquf: “Ibadah itu asalnya harom, kecuali ada dalil yang menjelaskan bahwa ibadah itu perintah”.

Kalau tidak ada perintah dan tidak ada penjelasan mengenai amalan tersebut maka amalan tersebut bukanlah ibadah. Hal itu sudah disepakati oleh mereka yang bergelut di bidang ilmu syar’iy.

Lalu ada pertanyaan, mengapa orang melakukan bid’ah seperti tersebut diatas? Karena ada maksud. Maksudnya adalah bahwa kita ini adalah cinta kepada Allõh سبحانه وتعالى, kita ingin mendapatkan pahala yang banyak, mendapatkan kebaikan yang banyak. Itu semua baik. Tetapi semangat melakukan kebaikan saja tidak cukup, kalau tidak didasarkan pada dalil. Kalau hanya semangat saja, menjadi salah. Semangat tinggi menggebu-gebu tetapi tidak didasari oleh ‘ilmu yang shohĩh, akan menjadi keliru.

Oleh karena itu semangat memang harus ada untuk menghidupkan sunnah Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم, untuk beribadah pada Allõh سبحانه وتعالى, untuk mendapatkan apa saja yang ada disisi Allõh سبحانه وتعالى, tetapi hendaknya dengan cara yang diajarkan oleh Allõh سبحانه وتعالى dan Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم.

2) Al Imãm Al Jurjãni رحمه الله dalam kitabnya yang berjudul “At Ta’rĩfãt halaman 43, beliau menjelaskan sebagai berikut:

البدعة: هي الأمر المحدث الذي لم يكن عليه الصحابة والتابعون، ولم يكن مما اقتضاه الدليل الشرعي.

Artinya:
Bid’ah adalah perkara yang diada-adakan (baru) yang tidak ada pada masa Shohabat dan Tabi’ĩn, dan tidak termasuk dari apa yang dituntut oleh dalĩl syar’i.”

Jadi menurut Al Imãm Al Jurjãni رحمه الله, Bid’ah adalah sikap menyelisihi Sunnah. Dinamakan bid’ah karena dikerjakannya itu adalah dengan mengada-ada, tanpa berlandaskan pada dalil syar’i. Dan bid’ah adalah sesuatu yang baru, yang tidak pernah ada pada masa Shohabat juga Tabi’ĩn. Jadi menurut penegasan beliau (Al Imãm Al Jurjãni رحمه الله), bisa disebut bid’ah kalau tidak ada dasarnya dari syar’iy, baik dari Al Qur’an maupun dari As Sunnah.

Bisa disebut bid’ah, kalau orang tersebut tidak melakukan dengan tepat mengikuti sesuai apa yang ada pada masa Shohabat dan Tabi’ĩn. Bisa disebut bid’ah, jika seseorang melakukan sesuatu tanpa berdasarkan pendapat seorang Imãm. Bahkan sampai pada perkataan Imãm, karena seorang Imãm itu berkata dan berbuat sesuai fiqih yang beliau dapati, yang beliau miliki tentang suatu dalĩl. Kalau itu adalah Imãm; masalahnya kalau di zaman kita sekarang ini, kita tidak punya standar kriteria tentang siapa yang layak disebut sebagai Imãm bagi kaum muslimin. Oleh karena itu, harus ditempatkan sesuai dengan porsi yang sesungguhnya. Kalau seseorang tokoh memang tidak mempunyai dasar dalam perkataan maupun dalam perbuatan, maka sesungguhnya ia telah melakukan sesuatu yang tidak berdasar, atau disebut sebagai bid’ah.

3) Al Imãm Zainuddĩn Abu Yahya As Sanĩky رحمه الله (– wafat tahun 926 H –) dalam kitab yang berjudul “Al Hudũdul Aniqoh wat Ta’rifãt Ad Daqĩqoh halaman 77, dimana beliau mendefinisikan bid’ah sebagai berikut:

الْبِدْعَة مَا لم يرد فِي الشَّرْع

Artinya:
Bid’ah adalah apa saja yang tidak tersebut dalam Syar’iy (Al Qur’an dan As Sunnah)”.

Jadi kalau Syari’at Islam tidak menyebutkannya, tidak mengajarkannya dan tidak menempatkannya dalam posisi sebagai bagian dari Syari’at Islam, lalu kemudian hal itu adalah menjadi ada atau muncul, maka itu adalah bid’ah.

4) Al Imãm Al Manãwi رحمه الله yang menulis kitab “Faidh Al Qodĩr syarh Al Jãmi’ush ShoghĩrJilid 4 halaman 371, beliau mengatakan bahwa:

البدعة وهو الرأي الذي لا أصل له من كتاب ولا سنة

Artinya:
Pendapat yang tidak ada landasannya dari Al Kitab (Al Qur’an) maupun As Sunnah.

Kitab tersebut men-takhrij dan menjelaskan tentang kitab yang ditulis oleh Al Imãm As Suyũthi رحمه الله, yang disebut dengan Kitab “Al Jãmi’ Ash Shoghĩr”. Berarti, menurut beliau رحمه الله: “Bid’ah adalah sikap atau perbuatan yang menyelisihi Sunnah”.

Pendapat beliau adalah sama dengan pendapat Al Imãm Al Jurjãni رحمه الله. Dalilnya adalah Hadits Shohĩh yang diriwayatkan oleh Al Imãm At Turmudzy dalam Sunan-nya no: 2676 dari shohabat Al Irbãd Ibnu Sãriyah رضي الله عنه sebagai berikut:

أوصيكم بتقوى الله والسمع والطاعة وإن عبد حبشي فإنه من يعش منكم يرى اختلافا كثيرا وإياكم ومحدثات الأمور فإنها ضلالة فمن أدرك ذلك منكم فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين عضوا عليها بالنواجذ

Artinya:
Aku wasiatkan kepada kalian supaya tetap bertaqwa kepada Allõh, tetaplah mendengar dan taat, walaupun yang memerintah kalian adalah seorang budak dari Habasyah. Sungguh, orang yang masih hidup diantara kalian setelahku, maka ia akan melihat perselisihan yang banyak; maka wajib atas kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan Sunnah Khulafã’ur Rosyidĩn yang mendapat petunjuk. Peganglah erat-erat dan gigitlah dia dengan gigi gerahammu. Dan jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru (dalam dĩn), karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu adalah Bid’ah. Dan setiap Bid’ah itu adalah sesat.”

5) Al Imãm At Thurthusi رحمه الله, yang menulis kitab “Al Hawãdits wal Bida’halaman 40

أصل هذه الكلمة من الاختراع، وهو الشيء يحدث من غير أصل سبق، ولا مثال احْتُذِيَ، ولا ألف مثله. ومنه قوله تعالى: {بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ} ، وقوله: {قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُلِ} ؛ أي: لم أكن أول رسول إلى أهل الأرض. وهذا الاسم يدخل فيما تخترعه القلوب، وفيما تنطق به الألسنة، وفيما تفعله الجوارح.

Artinya:
Asal arti kata ini (bid’ah) adalah mengada-ada sesuatu yang tidak pernah ada sebelumnya. Tidak ada contoh semisalnya dan 1000 misal dengannya. Seperti firman Allõh سبحانه وتعالى, “Yang mengawali penciptaan langit dan bumi” (QS. Al Bãqoroh (2) ayat 167); juga QS. Al An’ãm (6) ayat 101; dan firman Allõh سبحانه وتعالى dalam QS. Al Ahqõf (46) ayat 9, “Katakan ya Muhammad, bukanlah aku seorang Rosũl yang mengawali rosũl-rosũl…”. Yaitu bukanlah aku Rosũl pertama kali bagi penghuni bumi.
Dan ini adalah kata yang termasuk didalamnya apa-apa yang terjadi pertama kali baik dalam urusan hati, yang diucapkan oleh mulut dan yang dikerjakan oleh anggota tubuh.”

Beliau (Al Imãm At Thurthusi رحمه الله) menjelaskan kata bid’ah dari sisi pelaku; dimana menurut beliau رحمه الله munculnya bid’ah adalah karena 3 hal:

a) Bid’ah dalam masalah apa saja yang masuk ke dalam hati seseorang.
Maksudnya, kalau ada satu keyakinan dalam hati seseorang, dimana keyakinan itu tidak ada ajarannya dalam Al Qur’an dan As Sunnah, maka keyakinan tersebut termasuk keyakinan yang bid’ah.

b) Ucapan lisan, apa yang terlontar dari mulut seseorang; kalau ia tidak berlandaskan pada syar’iy, maka ucapan itu bisa disebut bid’ah.
Misalnya dzikir, sholawat, atau apa saja yang termasuk pekerjaan mulut, yang mana dikategorikan sebagai ibadah, namun tidak ada dalil-dalil syar’iy yang melandasinya, maka hal itu disebut bid’ah.

c) Apa saja yang diperbuat oleh anggota tubuh manusia, berdasarkan sesuatu yang tidak ada landasannya dalam Al Qur’an dan As Sunnah, sementara ia dikategorikan sebagai ibadah; maka hal itu juga termasuk bid’ah.

Karena iman itu sendiri juga terdiri dari 3 unsur, yaitu hati, mulut dan perbuatan (anggota tubuh); maka bid’ah pun bisa muncul dalam 3 unsur tersebut (hati, mulut dan perbuatan).

6) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله dalam Kitab yang berjudul “Kutub wa Rosã’il wa Fatãwa Ibni Taimiyah fil Fiqhi”, Jilid 23 halaman 133 menjelaskan sebagai berikut:

فالبدعة ضد الشرعة والشرعة ما أمر الله به ورسوله أمر ايجاب أو أمر استحباب

Artinya:
Maka bid’ah adalah lawan dari syari’at. Sedangkan Syari’at adalah apa-apa yang diperintahkan oleh Allõh سبحانه وتعالى dan Rosũl-Nya صلى الله عليه وسلم; baik berupa perintah wajib maupun anjuran.”

Maksud beliau رحمه الله, bid’ah itu adalah yang terjadi dalam urusan dĩn, dan tidak pernah disyari’atkan oleh Allõh سبحانه وتعالى, juga tidak pernah disyari’atkan oleh Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم, juga tidak pernah diperintahkan dalam perintah yang bermaksud penekanan, atau perintah yang bermakna anjuran (– “Anjuran” saja tidak ada, apalagi dalam bentuk “Perintah” – pent.); maka sesuatu yang tidak dianjurkan, serta tidak diperintahkan oleh syar’iy; itulah yang disebut bid’ah.

Menurut beliau رحمه الله dalam kesempatan lain, diambil dari kitab “Majmu’ Fatãwa”, bid’ah yaitu apa saja yang menyelisihi Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma’ pendahulu ummat ini; baik dalam masalah keyakinan, maupun dalam masalah ibadah.”

Seperti yang dinyatakan oleh kaum Khowarij, atau oleh orang Syi’ah, atau oleh orang Qodariyah, ataupun oleh orang Jahmiyah, dimana mereka mengatakan bahwa ibadah itu bisa dilakukan dengan cara berjoget-ria, ataupun menari-nari; demikian pula mereka melakukan dzikir dengan cara menggoyang-goyangkan kepala, bahkan berdoa / ber-sholawat dengan cara bernyanyi (berdendang) di masjid-masjid, padahal cara itu semua tidaklah ada asal usulnya dalam Syari’at Islam; maka yang demikian itu adalah termasuk bid’ah.

Juga apabila ada orang yang mengatakan bahwa mencukur jenggot adalah ibadah, itu juga termasuk bid’ah. Atau misalnya memakan hajiz (ganja) dan sejenisnya yang menyelisihi Al Qur’an dan Sunnah Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم, maka sesungguhnya semua itu adalah termasuk dalam kategori bid’ah.

Ada definisi lain dari beliau yang substansinya sama, yaitu kata beliau bahwa: “Bid’ah adalah apa saja yang tidak pernah ditetapkan oleh Allõh سبحانه وتعالى dalam urusan dĩn (Al Islam).

Maka dari itu, siapa saja yang meyakini sesuatu yang tidak ada ketetapannya dari Allõh سبحانه وتعالى, maka itu disebut bid’ah. Betapa pun orang itu sekedar berinterpretasi (men-ta’wil).

7) Al Imãm Jalãluddin As Suyũthy رحمه الله dalam Kitab yang berjudul “Al Amru bil Ittibã’ wan Nahyu ‘Anil Ibtidã’halaman 5, menjelaskan bahwa:

والبدعة عبارة عن فعلة تصادم الشريعة بالمخالفة، أو توجب التعاطي عليها بزيادة أو نقصان

Artinya:
Dan bid’ah adalah pekerjaan yang bertabrakan dengan syari’at, berupa menyelisihi atau yang menyebabkan adanya penambahan dan pengurangan.”

Jadi menurut beliau, bid’ah adalah ungkapan tentang suatu perbuatan atau sikap yang bertabrakan dengan syari’at, dengan cara menyelisishi syari’at atau membuat unsur “ziyãdah”, yaitu menambah ataupun mengurangi syari’at.

8) Asy Syaikh Muhammad bin Shõlih Al ‘Utsaimĩn رحمه الله dalam Kitab yang berjudul “At Tahdzĩr minal Bida’halaman 1, beliau menjelaskan sebagai berikut:

ذلك من البدع المحدثة في الدين ؛ لأن الرسول صلى الله عليه وسلم لم يفعله ، ولا خلفاؤه الراشدون ، ولا غيرهم من الصحابة- رضوان الله على الجميع- ولا التابعون لهم بإحسان في القرون المفضلة ، وهم أعلم الناس بالسنة ، وأكمل حبا لرسول الله صلى الله عليه وسلم ومتابعة لشرعه ممن بعدهم .

Artinya:
Termasuk Bid’ah dalam dĩn (agama) adalah karena Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم belum pernah melakukannya. Demikian pula para Al Khulafã’ Ar Rõsyidũn, demikian pula Shohabat lainnya. Dan Tabi’ĩn dalam abad-abad yang utama. Padahal mereka adalah manusia yang paling mengetahui tentang Sunnah, dan paling sempurna cintanya terhadap Rosũlulllõh صلى الله عليه وسلم. Dan paling sangat mengikuti syariatnya, dibandingkan dengan orang-orang setelah mereka.”

Saat menjelaskan tentang perayaan maulidan beliau menjelaskan:
Bid’ah adalah apa saja yang diada-adakan dalam urusan dĩn, menyelisihi Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, dan para Shohabatnya رضي الله عنهم, baik dalam bidang ‘aqĩdah maupun amaliyah.”

Dari definisi beliau ini, ada yang menjadi standar untuk menilai sesuatu itu adalah tergolong bid’ah ataukah tidak, yaitu:
a) Baru, sebelumnya tidak ada.
b) Urusannya adalah urusan dĩn / agama
c) Tidak mencontoh Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم dan para Shohabatnya رضي الله عنهم
d) Bidangnya adalah urusan ‘aqĩdah dan amaliyah.

Kalau dalam suatu perkara, ternyata ada unsur-unsur seperti tersebut diatas; maka sudah dapat dipastikan bahwa hal itu adalah bid’ah.

TANYA JAWAB:

Pertanyaan :

Diatas selalu disebut-sebut tentang urusan dĩn. Apa yang dimaksudkan “urusan dĩn” itu?

Jawaban :

Urusan dĩn” artinya “urusan Islam”. “Urusan Islam” adalah urusan yang seharusnya terpaku pada Al Qur’an, As Sunnah, dan Al-Ijma’.

Karena para ‘Ulama Ahlus Sunnah wal Jamã’ah mengatakan bahwa segala urusan yang berkenaan dengan Al-Islãm (Ad Dĩn) haruslah bersifat tauqifiyyah, yakni harus terpaku pada Al Qur’an, As Sunnah, dan Al Ijma’. Karena dalil itu, baik dalam urusan ‘aqidah maupun dalam urusan fiqih / furu’ / khilafiyah, yang sepakat seluruhnya ada 3: (1) Al Qur’an; (2) As Sunnah; (3) dan Al Ijma’.

Sedangkan dalam urusan aqĩdah tidak berlaku Al Qiyas. Tetapi dalam urusan fiqih / furu’ / khilafiyah; ada dan berlaku Al Qiyas. Dari sisi itu saja sudah berbeda. Berarti Al Qiyas hanya dipakai oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah kalau menyangkut urusan Amaliyah Khilafiyah.

Pertanyaan :

Tentang dzikir, ada dzikir untuk penyembuhan penyakit, ada dzikir yang memang untuk bertaubat dan lain sebagainya, apakah itu juga termasuk bid’ah?

Jawaban :

Dalam bahasan ini nantinya memang akan disinggung tentang beberapa model atau tampilan bid’ah yang beredar di masyarakat. Tetapi bahasan kita hari ini baru sampai kepada penjelasan mengenai “definisi bid’ah”. Maka pertanyaan diatas akan dijawab pada pembahasan yang akan datang. Namun agar ada gambaran, sedikit kami jelaskan bahwa dzikir itu adalah ibadah.

Kalau ada dzikir untuk penyembuhan, untuk kesaktian dan lain-lain, maka dzikir semacam itu tidak diajarkan oleh Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم. Dzikir-nya sendiri adalah obat secara otomatis; itu betul. Akan tetapi kalau dzikir itu untuk pengobatan, cara seperti itu tidak diajarkan oleh Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم.

Pertanyaan :

1) Sepengetahuan saya dalam hadits tidak ada apa yang disebut sholat hajat. Bagaimana pendapat ustadz?
2) Mengenai sholawat pada Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, ada yang cukup mengatakan: “Allõhumma sholli ‘alã Muhammad”. Tetapi ada juga yang mengatakan: “Allõhumma sholli ‘alã Muhammad wa ‘alã ãli wa shohbihi wa sallim”. Ada lagi yang namanya sholawat badar, dan lain-lain. Manakah yang paling benar dari sholawat-sholawat itu?

Jawaban :

Pertanyaan tersebut juga belum sampai pada bab pembahasannya. Maka jawabannya in syã Allõh nanti pada pembahasan yang akan datang.

Pertanyaan :

Mengenai bid’ah dijelaskan diatas bahwa artinya adalah mengada-ada, tidak bersandar pada Al Qur’an dan Sunnah Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم dalam masalah dĩn / agama.
Dalam masalah dĩn / agama ada 2, yaitu ibadah mahdhoh dan ibadah ghoiru mahdhoh. Yang ditanyakan adalah bid’ah itu dalam ibadah mahdhoh atau ibadah ghoiru mahdhoh?

Jawaban :

Itu juga akan dibahas nanti dalam kajian tentang masalah “jenis-jenis bid’ah”. Tetapi boleh disinggung sedikit, bahwa bid’ah itu adabid’ah dalam ibadah” dan adabid’ah dalam muamalah” (ibadah ghoiru mahdhoh).

Pertanyaan :

Seperti yang dikemukakan diatas, hadits yang menyatakan: “Kepemimpinan setelahku (Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم) hanya berlaku 30 tahun”. Setelah itu ada pemimpin-pemimpin yang sombong, congkak dan lepas dari ajaran Islam.

Untuk standar ‘Ulama yang mana yang dimaksud setelah kekhalifahan 30 tahun tersebut?

Jawaban :

Yang dimaksud ‘Ulama yang mana, adalah ‘Ulama yang Ahlus Sunnah wal Jamã’ah.

عَنِ ابْنِ سِيرِينَ قَالَ لَمْ يَكُونُوا يَسْأَلُونَ عَنِ الإِسْنَادِ فَلَمَّا وَقَعَتِ الْفِتْنَةُ قَالُوا سَمُّوا لَنَا رِجَالَكُمْ فَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ السُّنَّةِ فَيُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ وَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ الْبِدَعِ فَلاَ يُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ.

Adalah Muhammad bin Sirin رحمه الله seorang ‘Ulama Ahlus Sunnah wal Jamã’ah dari kalangan Tabi’ĩn, beliau berkata bahwa, “Orang-orang terdahulu tidak pernah bertanya tentang sanad, tetapi begitu terjadi fitnah, maka mulailah mereka berkata, “Sebutkan kepada kami siapa orang-orang yang mengatakan itu kepada kalian? Maka jika mereka dari Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah, maka diambil Hadĩtsnya. Dan jika dari Ahlul Bid’ah maka tidak diambil Hadĩtsnya.” (lihat Kitab “Shohĩh Muslim Jilid 1 halaman 11 no: 27)

Jadi menurut Al Imãm Muhammad Ibnus Sirĩn رحمه الله, dahulu mulanya tidak ada orang yang menanyakan “Siapa gurumu”, “Darimana engkau mendapatkan pemahaman ini?” Karena ketika itu orang tsiqoh (percaya dan menerima) saja. Tetapi ketika muncul fitnah berupa adanya Roofidhoh (Syi’ah), Qodariyyah, Jahmiyyah, Jabariyyah, maka mulailah secara selektif ditanyakan dari mana pemahaman dĩn ini berasal, siapakah gurunya, dan sebagainya.
Dan berikutnya beliau menegaskan bahwa, “Kalau seandainya yang menyampaikan dĩn itu dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jamã’ah, maka barulah kami mengambilnya.

Jadi yang menjadi pegangan adalah Ahlus Sunnah wal Jamã’ah. Contohnya: para Imam empat madzhab seperti Al Imãm Abu Hanĩfah, Al Imãm Mãlik, Al Imãm Asy Syãfi’iy dan Al Imãm Ahmad bin Hambal رحمهم الله, mereka semua adalah ‘Ulama Ahlus Sunnah wal Jamã’ah.

Yang dimaksud Ahlus Sunnah wal Jamã’ah yaitu yang sesuai dengan penjelasan hadits Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم :

عن أنس بن مالك قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم تفترق هذه الأمة [ على ] ثلاث وسبعين فرقة كلهم في النار إلا واحدة قالوا وما هي تلك الفرقة قال ما أنا عليه اليوم وأصحابي

Artinya:
Dari Anas bin Mãlik رضي الله عنه, beliau berkata, “Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم bersabda, “Ummat ini akan berpecah menjadi 73 golongan, semua mereka terancam masuk neraka kecuali 1 (satu) golongan.
Para Shohabat bertanya, “Golongan apa itu?
Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم menjawab, “Apa-apa yang sesuai dengan apa yang aku dan Shohabatku diatasnya hari ini.
(Lihat “Al-Ahãdiits Al-Mukhtãroh”, karya Adh Dhiyã’ Al Maqdisy رحمه الله, Jilid 3 halaman 177, no: 2733, dan beliau mengatakan sanadnya Hasan)

Dengan demikian, sebagai ilustrasi ada suatu jalan, dimana Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم berjalan diatas jalan itu, dan bukan hanya beliau صلى الله عليه وسلم saja, akan tetapi juga para Shohabatnya رضي الله عنهم.

Kalau orang itu kommit dan konsisten menjalankan seperti jalan dan pedoman yang dijalankan oleh Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم dan para Shohabatnya رضي الله عنهم, maka orang itu layak disebut Ahlus Sunnah wal Jamã’ah. Kalau tidak, maka sebenarnya ia hanyalah baru sekedar orang yang mengaku-ngaku saja.

Misalkan seperti yang dikatakan oleh Al Imãm Mãlik رحمه الله: “Apa saja yang tidak pernah menjadi dĩn / agama pada masa itu (– masa Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم –), maka tidak akan pernah menjadi dĩn / agama pada suatu masa kapanpun.”

Berarti, Islam yang kita jalankan hari ini, haruslah seperti apa yang dijalankan oleh Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم pada masa terdahulu.

Dan semestinya, jika kita ingin murni dalam menjalankan Al Islam sebagaimana yang pernah ada ajaran itu pada masa Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم sebelum keruh dengan perselisihan, perpecahan dan hawa nafsu, maka adalah seperti yang diwasiatkan oleh Abul ‘Ãliyah رحمه الله (seorang ulama Tabi’ĩn) berikut ini, sebagaimana dinukil oleh Al Imãm Abu Nu’aim Al Ashfahãny رحمه الله dalam kitab “Hilyãtul Auliyã”:

عن أبي العالية قال تعلموا القرآن فإذا تعلمتموه فلا ترغبوا عنه وإياكم وهذه الأهواء فإنها توقع بينكم العداوة والبغضاء وعليكم بالأمر الأول الذي كانوا عليه قبل أن يتفرقوا (حلية الأولياء – أبو نعين الأصبهاني )

Artinya:
Pelajarilah oleh kalian Al Qur’an dan jangan kalian membencinya, hindarkanlah kalian dari Hawa (Hawa Nafsu), sebab Hawa itu lah yang telah mencampakkan kalian berada dalam permusuhan dan kebencian. Pegang teguhlah perkara dĩn ini sebagaimana ada di masa awal dimana mereka berpegang teguh diatasnya, sebelum mereka bercerai berai.

Pertanyaan :

Dari berbagai definisi yang disampaikan diatas tidak ada terlihat perbedaan. Sehingga bisa dikatakan bahwa yang dimaksud bid’ah adalah sesuatu yang sebelumnya tidak ada dalam urusan dĩn. Apakah demikian?

Jawaban :

Anda benar. Maka di awal-awal penjelasan sudah disampaikan bahwa para ‘Ulama Ahlus Sunnah wal Jamã’ah itu hanya berbeda dalam perkara redaksi, tetapi substansinya sama. Seperti yang Anda katakan tadi. Yaitu semua adalah dalam urusan dĩn / agama, dan tidak boleh mengada-ada. Semua haruslah berdasarkan dalil.

Sekian dahulu bahasan tentang bid’ah kali ini, dan in syã Allõh akan kita lanjutkan pada pembahasan yang akan datang. Mari kita tutup dengan do’a Kafaratul Majelis :

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Jakarta, Senin malam, 20 Dzul Hijjah 1425 H – 31 Januari 2005 M.

 

——- 0O0 ——-

Silakan download PDF : Al Bid’ah AQI 310105 FNL

No comments yet

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: