Skip to content

Amar Ma’ruf Nahi Munkar

16 September 2010

(Transkrip Ceramah AQI 280610)

AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR

Oleh:  Ustadz Achmad Rofi’i, Lc.


بسم الله الرحمن الرحيم

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allooh سبحانه وتعالى,

Bahasan kali ini adalah tentang Amar Ma’ruf Nahi Munkar, dan bagaimana kita menyikapinya. Perkara ini bukanlah perkara kecil, karena Amar Ma’ruf Nahi Munkar adalah perkara Iman. Orang yang tidak melaksanakan Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar, bisa dipastikan bahwa orang tersebut bukan mu’min (bukan orang yang beriman). Maka Amar Ma’ruf Nahi Munkar adalah penting sekali. Bahkan menjadi perkara yang sangat penting dalam ajaran Islam, adalah menegakkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar.

Berikut akan kita buktikan bahwa Amar Ma’ruf Nahi Munkar adalah sesuatu yang sangat berbahaya bila ditinggalkan. Bila diabaikan Amar Ma’ruf Nahi Munkar itu, akan mengancam bukan saja terhadap orang yang mengabaikannya, tetapi bahkan bagi keselamatan dunia pada umumnya. Terbukti bahwa berbagai kasus, berbagai kegoncangan, bencana dan musibah yang pernah kita alami, atau pernah kita membaca beritanya tentang saudara-saudara kita yang mengalaminya, sesungguhnya merupakan akibat terabaikan Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Bahkan dalam sesi berikutnya kita akan bahas tentang bagaimana Syari’at Islam memberikan sikap dan menyikapi tentang Amar Ma’ruf Nahi Munkar yang seharusnya.

Agar dipahami secara benar tentang Amar Ma’ruf Nahi Munkar, berikut ini adalah beberapa ungkapan para ulama tentang apa yang dimaksud dengan Ma’ruf dan apa yang dimaksud dengan Munkar. Sehingga setiap kita bisa memastikan sesuatu itu termasuk kategori Ma’ruf atau Munkar.

DEFINISI AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR

Dari sisi bahasa, dalam kamus Lisaanul ‘Arob (Ensiklopedi kamus bahasa Arab yang mu’tabar di kalangan ahli ilmu), yang ditulis oleh Ibnu Mandzur, kata “Ma’ruf” berasal dari kata “Arofa” yang artinya “Mengetahui (pengetahuan)”.

Kata “Munkar” berasal dari tiga kata: Nakaro – yankiru – nakron. Kemudian: Ankaro – Yunkiru – Inkaaron – munkarun (munkirun).

Kalau kita jelajahi arti kata dari tiga huruf itu, maka bisa kita singkat bahwa menurut Ibnu Mandzur ketika mendefinisikan “Ma’ruf dan Munkar” adalah sebagai berikut :

Ma’ruf adalah apa saja yang tercakup dalam setiap apa yang dikenal (diketahui) merupakan bagian dari taat kepada Allooh سبحانه وتعالى.

Munkar adalah apa saja yang bersifat maksiat kepada Allooh سبحانه وتعالى.

 

Taqorrub adalah mendekatkan diri kepada Allooh سبحانه وتعالى.Maka kalau ada usaha mendekatkan diri kepada Allooh سبحانه وتعالى berarti itu Ma’ruf. Sebaliknya, bila menjauhkan diri dari Allooh سبحانه وتعالى berarti Munkar.

Contoh kecil menjauhkan diri dari Allooh سبحانه وتعالى: Tergila-gila menonton (tayangan di TV) sepakbola. Berapa lama permainan sepakbola di TV? Mungkin 1 jam 30 menit.  Kalau waktu selama itu digunakan untuk membaca Al Qur’an (tanpa membaca terjemahannya), minimal akan selesai 1 Juz. Bahkan bila membacanya dengan lancar, dengan maad dan makhroj yang benar, waktu yang 1 jam 30 menit itu akan bisa selesai membaca Al Qur’an sebanyak 3 Juz.

Orang membaca Al Qur’an satu halaman saja tidak mau, tetapi melihat tayangan sepak bola berjam-jam, mau dan kuat melakukannya. Bahkan di beberapa tempat, pesawat TV-nya di keluarkan di halaman, untuk menonton bareng, di depan toko, di restoran, dsb. Itulah da’wahnya sepakbola. Itu bukan saja menjauhkan orang dari Allooh سبحانه وتعالى, tetapi juga bagian dari mengundi nasib, bagian dari judi.

Al ihsan ilannaas, artinya berbuat baik kepada manusia. Kata beliau Imaam Ibnu Mandzur bahwa bila sesuatu itu bermakna berbuat baik (kebajikan) kepada manusia, maka itu adalah Ma’ruf. Sebaliknya berbuat keburukan, kejelekan kepada manusia berarti Munkar. Dalam kaidah, sesuatu itu diketahui dengan kebalikannya. Apa saja, yaitu setiap perkara yang dianjurkan oleh Syar’i berarti Ma’ruf. Sebaliknya, apa saja yang dilarang atau diancam oleh Syar’i,  maka itu pasti Munkar.

 

Ibnu Mandzur berbicara dari sisi bahasa. Dari sisi bahasa saja, sudah terasa betapa tegasnya apa yang dimaksud dengan Ma’ruf dan apa  yang dimaksud Munkar.

Munkar adalah lawan Ma’ruf. Munkar adalah setiap apa saja yang dianggap buruk oleh Syar’i, dicela dan diharamkan oleh Syar’i, dan lebih dari itu Munkar adalah dibenci oleh Syari’at. Itulah definisi dari beliau Ibnu Mandzur dan itu sudah berlaku beratus-ratus tahun. Tidak ada yang baru. Perkara Dien tidak ada yang baru. Dien adalah semua dari para pendahulu kita yang shoolih.

Dalam Kitab Faathul Baari tulisan dari Ibnu Hajar Al Asqolaany As Syafi’i, kitabnya Ma’ruf, sekarang sudah mulai diterjemahkan, aslinya tidak kurang dari 14 Jilid.

Dalam Kitab tersebut, kata beliau bahwa yang dimaksud dengan Ma’ruf dan Munkar, beliau menukil dari perkataan Ibnu Abi Hamzah, yang dimaksud dengan Ma’ruf adalah apa saja yang dikenal melalui dalil-dalil Syar’i, baik itu dikerjakan oleh manusia maupun tidak biasa dikerjakan. Maka sesuatu yang dikerjakan oleh manusia atau tidak, bila ada ajarannya, ada dalilnya, maka itu adalah Ma’ruf.

Misalnya menurut ajaran Syari’at Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bahwa emas dan sutera, adalah haroom bagi laki-laki. Maka kita patuh dan taat. Karena kita sudah ber-syahadat (bersaksi) bahwa Muhammad صلى الله عليه وسلم adalah hamba Allooh dan Rosuul-Nya, maka kita taat dan patuh.

Misalnya tentang Cadar bagi wanita, katakan saja: “Sebaiknya wanita bercadar”. Karena hanya ada dua pendapat ahli Fiqih, yaitu ada yang mengatakan bahwa Cadar adalah wajib bagi wanita, kalau ia buka cadar, ia berdosa. Pendapat kedua adalah: Wanita itu dianjurkan bercadar (menutup wajahnya).

Kalau itu ada dalilnya, walaupun orang jarang memakainya, maka itu adalah Ma’ruf.

 

Ibnul ‘Atsir dalam Kitab beliau yang terkenal: An Nihaayah Fi Ghoriibil Hadiitsi Wal Atsr, menjelaskan tentang makna-makna kata dalam Hadits.

Beliau Ibnu ‘Atsir menjelaskan bahwa Ma’ruf adalah apa saja yang dikenal merupakan ketaatan kepada Allooh, merupakan pendekatan kepada Allooh, merupakan perbuatan baik kepada manusia atau apa saja yang dianjurkan oleh Syari’at, dan ia adalah bersifat mayoritas yaitu yang dikenal Ma’ruf di antara manusia, jika mereka melihatnya tidak mengingkarinya.

Definisi tersebut untuk zaman sekarang ada riskannya. Seperti kita mengenal Hadits bahwa: “Apa yang dikenal orang muslim bahwa sesuatu itu buruk, maka itu adalah buruk. Apa yang dikenal oleh muslim bahwa sesuatu itu baik, maka itu adalah baik.”

Tetapi muslim zaman sekarang dibandingkan dengan muslim zaman para shohabat tentu berbeda. Oleh karena itu tidak mustahil bahwa apa yang dikatakan oleh muslimin pada zaman para shohabat adalah baik, belum tentu oleh muslim di zaman sekarang itu baik. Sebaliknya apa yang dikatakan muslim di zaman para shohabat adalah buruk, oleh muslim di zaman sekarang dikatakan baik.

Contoh: ‘Aisyah رضي الله عنها menjelaskan kepada kita tentang wanita ketika Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم masih hidup adalah berbeda dengan wanita setelah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم wafat. Sudah berbeda kriterianya.

Intinya, yang disebut Ma’ruf adalah jika dikenal sebagai sesuatu yang baik oleh Syari’at, walaupun orang mengatakannya tidak baik.

Demikian sebaliknya sesuatu yang Munkar. Kata beliau Ibnu ‘Atsir menjelaskan bahwa ada kesamaan definisi tentang Munkar dengan yang dijelaskan oleh Ibnu Mandzur.

Misalnya lagi, Ibnu Hajar Al Haitsami penulis Kitab Az Zawaajir, tentang Dosa Besar. Beliau mengatakan bahwa yang dimaksud Amar Ma’ruf adalah perkara-perkara yang diwajibkan oleh Syar’i, sedangkan Munkar adalah apa-apa yang diharamkan Syar’i.

Menurut beliau, Ma’ruf adalah jika diperintah oleh Allooh سبحانه وتعالى dan Munkar jika dilarang oleh Allooh سبحانه وتعالى. Apa yang diperintahkan Allooh berarti Ma’ruf dan apa yang dilarang-Nya berarti Munkar.

Kesimpulannya, yang dimaksud Amar Ma’ruf Nahi Munkar adalah antara lain sebagai berikut :

Dalam  Kitab Al Amru bil Ma’ruf  wa Nahyi anil Munkar yang ditulis oleh Imaam Jalaluddin Al ‘Umari, beliau mengatakan: Kalimat Ma’ruf dan Kalimat Munkar tidak boleh setiap orang dengan mudah mengucapkan dan menghukuminya sesuai dengan kehendaknya sendiri. Menghukumi sesuatu itu Ma’ruf atau Munkar bukan urusan manusia, akan tetapi itu adalah Syari’at Allooh سبحانه وتعالى.

Maka barangsiapa yang meng-klaim bahwa seseorang mempunyai hak untuk mem-vonis (menghukumi) bahwa sesuatu itu Ma’ruf atau Munkar selain Syari’at Allooh, maka ia sama dengan telah menempatkan dirinya sebagai Penetap Syari’at di atas Allooh سبحانه وتعالى (Artinya ia telah kufur).

Oleh karena itu hendaknya diyakini bahwa sebagaimana perkataan para ‘Ulama terdahulu bahwa Amar Ma’ruf Nahi Munkar bukanlah urusan kita, melainkan dalil, dan dalil adalah urusan Allooh سبحانه وتعالى dan Rosuul-Nya.

 

Kesimpulannya:

 

Ma’ruf adalah apa yang disyari’atkan oleh Allooh سبحانه وتعالى, apakah berbentuk perintah, anjuran ataukah Allooh menjanjikan pahala jika kita mengamalkannya, ataukah Allooh memuji orang yang mengamalkannya.

 

Munkar adalah apa saja yang dilarang oleh Syari’at, apakah Allooh سبحانه وتعالى mengatakan haroom tentang perbuatan itu ataukah Allooh سبحانه وتعالى mengatakan dosa, ataukah Allooh سبحانه وتعالى mengatakan celaaan terhadap orang yang melakukan itu, ataukah Allooh سبحانه وتعالى mengancam dengan siksa api neraka pada hari Kiamat.

Amar Ma’ruf Nahi Munkar adalah upaya berda’wah kepada jalan Allooh سبحانه وتعالى. Oleh karena itu melaksanakan Amar Ma’ruf Nahi Munkar tidak lepas dari unsur da’wah, mengajak orang agar sesuai dengan ajaran Allooh سبحانه وتعالى. Nahi Munkar berarti mencegah orang agar jauh dan takut berbuat kemunkaran.

URGENSI  AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR

I.  Amar Ma’ruf Nahi Munkar adalah eksistensi keimanan seseorang

 

Mengapa kaum muslimin harus memandang bahwa melakukan Amar Ma’ruf Nahi Munkar adalah perkara yang penting?

Ada beberapa perkataan Ulama :

Perkataan Imam Al Ghodzali dari Kitab Ihyaa ‘Uluumuddiin, adalah bahwa kutub Dien  (agama) ada pada Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Dia adalah misi dimana Allooh سبحانه وتعالى membangkitkan para nabi semuanya, yaitu untuk melaksanakan Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Jika Amar Ma’ruf Nahi Munkar digulung (berhenti), tidak berperan, atau pengertian pembelajaran tentang pentingnya Amar Ma’ruf Nahi Munkar berhenti, diabaikan,  atau kegiatan  Amar Ma’ruf Nahi Munkar itu ditinggalkan;  maka yang terjadi ada beberapa perkara :

  1. Kenabian menjadi tidak berfungsi
  2. Agama (Dien) menjadi mengecil, hina dan kalah.
  3. Kekosongan orang dari Dien, dari Syari’ah dan pedoman hidup merata di mana-mana, seolah-olah di dunia ini tidak ada Islam.
  4. Tersebarlah di dunia ini kesesatan.

Apakah Amar Ma’ruf Nahi Munkar di dunia ini di zaman sekarang masih kuat atau sudah loyo? Kalau sudah loyo, tidak ada Amar Ma’ruf Nahi Munkar, maka wajar kalau kesesatan terjadi di mana-mana. Yang tersebar adalah Jahalah (kebodohan), sehingga kemunkaran yang seharusnya dicegah, bahkan dibeli.

 

Contoh: Di bulan-bulan belakangan ini, di negeri ini sedang heboh tentang video porno  yang sulit untuk dibendung. Kalau sudah masuk Internet, maka dalam waktu sesaat saja sudah langsung banyak orang men-down load, lalu orang menyimpannya di HP masing-masing,  lalu dikirimkan dengan Blue Tooth kepada teman-temannya, direkam dll, lalu bagaimana untuk mencegahnya? Bayangkan “kerusakan” semacam itu dibeli, Video-nya dibeli, Flashdisk-nya dibeli untuk merekam  segala unsur “kerusakan” itu.

Kerusakan dan maksiat di zaman sekarang sudah dibeli, diperdagangkan.

Padahal seharusnya bila orang akan mencari ridho Allooh, mencari surga Allooh, ia akan membeli apa yang ada pada sisi Allooh سبحانه وتعالى,  yaitu membeli dengan harta, dengan nyawa, sehingga mendapatkan surga. Namun di zaman sekarang, yang dibeli orang adalah perkara-perkara yang menjembatani orang kepada murka Allooh سبحانه وتعالى. Jangan dianggap enteng, karena mungkin saja hal tersebut sudah sampai ke anak-cucu kita sekarang. Kalau itu terjadi, betapa kerusakan moral anak-cucu kita, mereka sudah melihat, memandang, menonton adegan (perkara) yang tidak sesuai dengan Syari’at, bahkan dikutuk, dan yang demikian itu sudah sulit untuk mereka lupakan begitu saja.  Bagi para pendidik (guru dan orang tua) adalah sulit sekali menghapus memori keburukan itu.

Akibatnya: Perkara-perkara yang buruk, semrawut, menjadi meluas, melebar, negeri-negeri menjadi rusak, manusia (Hamba Allooh ) menjadi binasa. Dan sadarnya akan hal tersebut setelah terjadi hari Kiamat, apakah itu Kiamat Sughro (mati)  ataukah Kiamat Qubro (Kiamat Besar). Bayangkan bila orang dalam keadaan maksiat lalu Allooh cabut nyawanya, meninggal (mati). Barulah ia sadar bahwa ia dalam keadan maksiat, lalu kapan bertaubat? Tidak ada waktu lagi untuk bertaubat, karena nyawanya sudah di kerongkongan.  Na’uudzubillaahi min dzaalik !

Dalam Hadits Shohiih, Abu Sa’id Al Khudri رضي الله عنه, dalam suatu kejadian mengatakan bahwa orang yang mengingatkan agar sholat dahulu lalu kemudian khutbah ketika sholat ‘Ied, karena ketika ada sholat ‘Ied maka khutbahnya didahulukan daripada sholatnya, dan ini adalah ke-bid’ahan yang dilakukan oleh Marwan bin Maalik (salah seoorang Khaliifah pemerintahan Islam ketika itu), tetapi dijawab oleh Marwan bin Maalik:“Telah ditinggalkan yang demikian itu”, maka seseorang yang mengingatkan Marwan itu adalah telah melakukan apa yang semestinya ia lakukan. Urusan berhasil atau tidak bukanlah urusan dia. Tetapi ketika melihat kemungkaran, ingkarilah !

Kejadian seperti dalam Hadits tersebut, sekarang juga sering terjadi. Ketika seseorang melakukan ke-bid’ahan, lalu ia dingatkan (diluruskan) agar sesuai dengan contoh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, maka ia malah menjawab: “Itu kan zaman dulu, sekarang sudah  berubah, sudah modern, sudah lain lagi”. Dianggapnya bahwa Syari’at Islam itu hanyalah berlaku pada waktu dulu saja, dan sekarang tidak. Jadi Islam itu harus sesuai dengan kehendak orang itu, demikian anggapannya.

Paham demikian memang sudah ada pada zaman sekarang. Islam yang mengacu kepada dalil, mengacu pada Sunnah Rosuul,  pada apa yang dikatakan oleh shohabat, karena tidak sesuai dengan geografisnya, paham teritorialnya ataupun paham nasionalnya, lalu dikatakan: “Itu Islam zaman onta, terbelakang, tidak tahu peradaban,” dsbnya. Maka berhati-hatilah. 

Selanjutnya Abu Sa’id Al Khudri رضي الله عنه berkata:  Aku mendengar Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ

Artinya:

Barangsiapa di antara kalian melihat kemunkaran, maka ubahlah kemunkaran itu dengan tangannya. Dan jika ia tidak mampu, maka ingkarilah dengan lisannya. Dan jika tidak mampu juga dengan lisannya, maka ingkarilah dengan hatinya. Dan mengingkari dengan hati itu adalah iman yang sangat lemah (selemah-lemahnya iman)”. (Hadits Riwayat Imaam Muslim no: 186)

 

Jadi Amar Ma’ruf Nahi Munkar itu penting dilaksanakan, jika kita tidak ingin dikatakan iman kita loyo (lemah). Kalau iman seseorang itu kuat, tunjukkan kepekaan kepada Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Itu merupakan indikator adakah iman seseorang itu atau tidak. Kalau seseorang itu dingin-dingin atau acuh tak acuh saja terhadap Amar Ma’ruf Nahi Munkar, berarti imannya loyo. Mudah-mudahan kita tidak loyo imannya. Maka kita harus tahu apa itu Ma’ruf dan apa itu Munkar, sehingga kita bisa menentukan dan melahirkan suatu sikap.

Dalam Hadits riwayat Imaam Muslim, dari ‘Abdullooh bin Mas’uud رضي الله عنه, Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda :

نْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ مَا مِنْ نَبِىٍّ بَعَثَهُ اللَّهُ فِى أُمَّةٍ قَبْلِى إِلاَّ كَانَ لَهُ مِنْ أُمَّتِهِ حَوَارِيُّونَ وَأَصْحَابٌ يَأْخُذُونَ بِسُنَّتِهِ وَيَقْتَدُونَ بِأَمْرِهِ ثُمَّ إِنَّهَا تَخْلُفُ مِنْ بَعْدِهِمْ خُلُوفٌ يَقُولُونَ مَا لاَ يَفْعَلُونَ وَيَفْعَلُونَ مَا لاَ يُؤْمَرُونَ فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِلِسَانِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنَ الإِيمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ

 

Artinya:

“Tidaklah seorang Nabi pun sebelum aku yang Allooh utus kepada suatu umat,kecuali  setiap Nabi itu ada para penolong dan para sahabatnya yang para pengikutnya itu mengambil sunnahnya dan mengikuti atas apa yang diperintahkan oleh Nabinya itu. Kemudian datang menyusul setelah mereka orang yang khuluf (orang yang mengatakan sesuatu yang tidak mereka kerjakan, dan mengerjakan apa yang tidak diperintahkan). Barangsiapa yang memerangi mereka, maka ia adalah mu’min (orang beriman),dan siapa yang berjihad dengan lisannya, maka ia adalah mu’min. Barangsiapa yang berjihad dengan hatinya, maka ia adalah mu’min”. (Hadits Riwayat Imaam Muslim no: 188)

Dalam Hadits tersebut disabdakan oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bahwa Amar Ma’ruf Nahi Munkar dikatakan dengan kata “Jihad”. Maka jika ada orang yang tidak mengkari kemunkaran sedikitpun dalam hatinya, maka ia adalah orang yang tidak ada imannya meskipun hanya sebesar biji sawi. Dengan kata lain: Orang itu tidak punya iman sebiji sawi pun kalau orang itu tidak terusik hatinya ketika melihat (mendengar) kemungkaran.

Amar Ma’ruf Nahi Munkar itu adalah kewajiban kita bersama. Tidak mudah mengingkari kemungkaran, terutama bagi orang timur seperti kita ini. Misalnya sudah ada larangan merokok, lalu ada orang merokok dalam kendaraan umum, jarang ada orang yang berani mengatakan (mengingatkan) kepada orang yang merokok itu secara langsung bahwa merokok itu haroom, merokok itu mengganggu kesehatan dst. Karena memang ada unsur perasaan, terutama bagi yang terpengaruh jiwa feodal, sehingga sulit menghilangkan perasaan itu. Karena bila dikatakan secara langsung, maka orang yang mengingatkan (mengatakan) itu malah lalu dituduh: Inilah orang Islam yang tidak beres. Padahal, orang tersebut justru bermaksud ingin mengingkari kemunkaran.

Jadi melaksanakan Amar Ma’ruf Nahi Munkar merupakan eskistensi keimanan sese-orang. Orang yang tidak melaksanakan Amar Ma’ruf Nahi Munkar adalah orang yang nyaris tidak punya iman. Itu adalah sabda Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, bukan perkataan siapa-siapa.

II. Sifat orang shoolih (beriman) adalah: Amar Ma’ruf Nahi Munkar

 

Lihat Surat Ali ‘Imroon ayat 113 – 114 :

 

لَيْسُواْ سَوَاء مِّنْ أَهْلِ الْكِتَابِ أُمَّةٌ قَآئِمَةٌ يَتْلُونَ آيَاتِ اللّهِ آنَاء اللَّيْلِ وَهُمْ يَسْجُدُونَ ﴿١١٣﴾ يُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَأُوْلَـئِكَ مِنَ الصَّالِحِينَ ﴿١١٤

Artinya:

113. Mereka itu tidak sama; di antara ahli kitab itu ada golongan yang berlaku lurus*], mereka membaca ayat-ayat Allooh pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sholat malam)).

 

114. Mereka beriman kepada Allooh dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang Ma’ruf, dan mencegah dari yang Munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) berbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang shoolih.

 

*] Yakni: golongan ahli kitab yang telah memeluk agama Islam.

Berdasarkan ayat tersebut, maka siapa yang ingin dikatakan sebagai orang, lakukan karakter yang ada dalam sifat sebagai berikut:

  1. Beriman kepada Allooh سبحانه وتعالى,
  2. Beriman kepada Hari Akhir (Kiamat),
  3. Amar Ma’ruf Nahi Munkar
  4. Bersegera dalam beramal yang baik-baik.

Berarti Amar Ma’ruf Nahi Munkar adalah jatidiri keshoolihan seseorang. Padahal secara definisi, Shoolih berbeda dengan Mushlih. Sifat Shoolih adalah cenderung pada dirinya sendiri, misalnya ia beribadah, membaca Al Qur’an, sholat malam, shaum. Pada dirinya baik tetapi kepada orang lain ia diam, tidak peduli. Sedangkan Mushlih adalah orang yang mengadakan perbaikan kepada orang lain, di luar dirinya.

Perhatikan ayat diatas, bahwa ternyata orang yang dianggap shoolih adalah jika ia diantaranya melakukan Amar Ma’ruf Nahi Munkar.

Jadi bisa dipastikan bahwa orang yang mengabaikan, apriori, masa bodoh terhadap Amar Ma’ruf Nahi Munkar, maka ia belum lah tergolong orang yang shoolih.

Amar Ma’ruf Nahi Munkar merupakan identitas umat. Umat Islam disebut oleh Allooh سبحانه وتعالى sebagai Khoiro Ummah (umat yang paling baik). Apa rahasianya maka disebut demikian? Karena umat Islam melakukan Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Maka kalau umat Islam tidak melakukan Amar Ma’ruf Nahi Munkar, berarti bukan termasuk umat yang baik.

Lihat Surat Ali Imroon ayat 110 :

 

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْراً لَّهُم مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ

 

Artinya:

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allooh. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, diantara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasiq.

 

Surat At Taubah ayat 71 :

 

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللّهَ وَرَسُولَهُ أُوْلَـئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللّهُ إِنَّ اللّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

 

Artinya:

Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain.Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allooh dan Rosuul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allooh; Sesungguhnya Allooh Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

 

Maksudnya, Allooh-lah yang mengeluarkan manusia ke muka bumi, dan keberadaan kita (manusia) di muka bumi ini antara lain adalah untuk ber-Amar Ma’ruf Nahi Munkar.

Abu Hurairah رضي الله عنه mengatakan ketika menafsirkan ayat

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ

 

”Kuntum Khoiro Ummah”, maknanya adalah: “Jadilah kalian manusia terbaik untuk manusia QS 3:110

yang kalian datangi mereka dalam keadaan terikat, tertbelenggu, sehingga mereka terlepas dari belenggu itu dan mereka masuk ke surga Allooh سبحانه وتعالى.

 

Amar Ma’ruf Nahi Munkar adalah shodaqoh. Maka siapa yang ingin bershodaqoh tanpa modal harta,  hendaknya  minimal ikut serta dalam Amar Ma’ruf Nahi Munkar.

Dalam Hadits shohiih diriwayatkan oleh Imaam Muslim, dari salah seorang shohabat bernama Abu Dzaar Al Ghifaary رضي الله عنه, ada seorang dari shohabat berkata kepada  Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم:

عَنْ أَبِى الأَسْوَدِ الدِّيلِىِّ عَنْ أَبِى ذَرٍّ أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالُوا لِلنَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- يَا رَسُولَ اللَّهِ ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِالأُجُورِ يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّى وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ. قَالَ أَوَلَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ مَا تَصَّدَّقُونَ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلِّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلِّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْىٌ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةٌ وَفِى بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ

Artinya:

Ya Rosuulullooh, telah pergi dengan bangga mereka orang-orang kaya dengan banyak pahala. Kami sholat, orang kaya juga sholat, kami shaum, mereka juga shaum, mereka mengeluarkan shodaqoh dengan hartanya”.

Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bertanya:Tidakkah kalian tahu bahwa Allooh pun memberikan kesempatan kepada kalian untuk dapat bershodaqoh? Tasbih, Tahmid dan Takbir serta menyuruh orang untuk berbuat baik (Ma’ruf) dan mencegah orang berbuat Munkar adalah shodaqoh”. (Hadits Riwayat Imaam Muslim no: 2376)

 

Berdasarkan Hadits tersebut, maka Amar Ma’ruf Nahi Munkar adalah shodaqoh. Maka petakanlah (buatlah peta) masing-masing, dengan apa kita akan menebus surga dan membeli apa yang ada di sisi Allooh سبحانه وتعالى. Dan ini perlu motivasi yang serius, dan motivasi itu adanya adalah pada Iman.

Amar Ma’ruf Nahi Munkar adalah penghapus dosa.

Siapa yang ingin menghapus dosa-dosanya, ikutlah serta dalam Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar. Dalam Hadits riwayat Imaam Al Bukhoory, dari salah seorang shohabat, Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:

فِتْنَةُ الرَّجُلِ فِى أَهْلِهِ وَمَالِهِ وَنَفْسِهِ وَوَلَدِهِ وَجَارِهِ يُكَفِّرُهَا الصِّيَامُ وَالصَّلاَةُ وَالصَّدَقَةُ وَالأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْىُ عَنِ الْمُنْكَرِ

 

Artinya:

“Ujian seseorang ada pada keluarganya, pada hartanya, Dirinya dan anaknya dan tetangganya dan kaffaarohnya (pennghapusnya) adalah shiyaam, sholat, shodaqoh dan amar ma’ruf dan nahi mungkar”. (Hadits Riwayat Imaam Muslim no: 7450 dan Imaam Al Bukhooryno: 525)

Maksudnya, bahwa manusia itu diuji oleh keluarganya, oleh hartanya dan oleh tetangganya. Menghapus dosa-dosa dari fitnah (ujian) yang barangkali kita gagal menghadapinya, maka menghapusnya dengan sholat, shodaqoh, dan melakukan Amar Ma’ruf Nahi Munkar.

Sekian bahasan tentang Amar Ma’ruf Nahi Munkar, mudah-mudahan bermanfaat.

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْك

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته


Jakarta, Senin malam, 16 Rojab 1431 H  –  28 Juni 2010

—–0O0—–

Silakan download PDF : Amar Ma’ruf Nahi Munkar AQI 280610 FNL

7 Comments leave one →
  1. 2 January 2011 8:02 am

    Assalamu’alaikum Ustadz…

    Saya ada sedikit kemusykilan mengenai hadith.. “Barangsiapa yang melihat kemungkaran….”

    http://www.al-fikrah.net/index.php?name=Forums&file=viewtopic&p=638216#638216

    Saya tanyakan forum ni dan ada sahabat yang quote penulisan Ustaz. Tapi masih tak berapa faham. Harap Ustdaz boleh komen.

    Jazakallahu khairan

    • 4 January 2011 10:50 am

      Wa ‘alaikumussalaam Warrohmatulloohi Wabarokaatuh,

      Maksud dari penjelasan:
      Jika ada orang yang tidak mengkari kemunkaran sedikitpun dalam hatinya, maka ia adalah orang yang tidak ada imannya meskipun hanya sebesar biji sawi. Dengan kata lain: Orang itu tidak punya iman sebiji sawi pun kalau orang itu tidak terusik hatinya ketika melihat (mendengar) kemungkaran

      Adalah:
      Misalkan orang normal lagi sehat, jika dia sedikit dilukai maka pastilah dia akan sensitifnya berjalan dan bereaksi seketika, bahkan dia tidak terima dan dalam bentuk mungkin berteriak kesakitan, mungkin membalas memukul orang yang melukainya atau mungkin berteriak minta pertolongan orang lain. Tetapi jika orang itu, sedang dalam keadaan sakit, bahkan terbius, maka dia tidaklah sadar; bahkan orang itu badannya disayat pun ia tidak akan merasakan apa-apa. Lebih parah lagi, jika seseorang sudah menjadi bangkai, mati tak bernyawa, maka betapapun dipotong-potong bahkan tubuh yang satu dengan yang lain dipisahkan dan dijauhkan pun, ia tidak akan merasakan apa-apa.
      Demikian pula dengan HATI dan IIMAAN seseorang.

      Namun, tentu ada beberapa kategori:

      1) Bagi orang yang kaafir (mati dan terkunci hatinya), bahkan kekufuran dan kemunkaran bagi dia adalah kehidupan dan kesenangannya

      2) Bagi orang muslim yang bodoh, tak pernah tahu tentang kebenaran dan tak pernah mendapat pelajaran tentang mana yang benar dan mana yang salah; maka orang ini dalam keadaan hatinya tak beda dengan orang buta, yang tidak tahu bagaimana menyikapi kebaikan dan kemunkaran.

      3) Bagi seorang muslim yang faasiq, maka dia bisa jadi tahu bahwa sesuatu itu adalah harom atau munkar, akan tetapi karena hawa nafsu yang mengendalikan dan diikutinya, maka dia tidak mustahil menjadi “dingin”, tidak sensitif bahkan mungkin saja justru tenggelam dalam kemunkaran, walau dalam hatinya terdapat secercah sinar yang mengatakan bahwa apa yang dia perbuat adalah munkar

      4) Bagi seorang mu’min yang cukup suplai ilmu dan hidayah dari Allooh Subhaanahu Wa Ta’alaa, maka dia justru merasa demam dan tidak bisa tenang dalam hidup ketika kemunkaran dan kema’shiyatan mendekat padanya.

      Adapun lafadz tadi bahwa “Jika ada orang yang tidak mengkari kemunkaran sedikitpun dalam hatinya, maka ia adalah orang yang tidak ada imannya meskipun hanya sebesar biji sawi“, maka itu memang Ustadz kutip dari penjelasan Syaikh ‘Athiiyyah bin Muhammad Saalim rohimahullooh ta’alaa dalam Syarah Arba’iin Nawawiyyah dalam tema bahasan “Urgensi Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar” yang menyatakan bahwa barangsiapa tidak mampu mengingkari kemunkaran dengan mulut, maka ingkari dengan hatinya. Yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iimaan.
      Tambah beliau, “Dalam suatu riwayat: TIDAK ADA DIBALIK ITU SEBIJI SAWIT DARI IIMAAN“.

      Artinya: Jika seseorang merasa ridho terhadap kemunkaran atau dingin atau membiarkan atau tidak merasa tersentak hatinya untuk menyatakan bahwa itu adalah munkar, atau tidak ada kebencian di dalam hatinya terhadap kemunkaran itu maka orang tersebut bisa terkategorikan “TIDAK BER-IIMAAN”…. Nauudzubillaahi min dzaalik….

  2. 5 January 2011 6:33 am

    Jazakallahu khairan

  3. Adri Azhari Al Qisthi permalink
    30 October 2011 8:19 pm

    Assalaamu’alaikum,ustadz izin copy di blog ana di

    http://manhajsalafushsholiihashshohiihah.blogspot.com/

    • 1 November 2011 7:56 am

      Wa ‘alaikumussalaam Warohmatulloohi Wabarokaatuh,
      Silakan saja… antum boleh mengcopy paste sebagian ataupun seluruh artikel ataupun mendownload seluruh suara audio ceramah yang ada pada Blog ini… selama menjaga keotentikan naskahnya…. Barokalloohu fiika

  4. 22 July 2013 8:46 am

    ijin copas tad!

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: