Skip to content

Meningkatkan Diri di Bulan Romadhoon

28 July 2012

(Transkrip Ceramah AQI 040711)

MENINGKATKAN DIRI DI BULAN ROMADHOON

Oleh: Ust. Achmad Rofi’i, Lc.M.Mpd.

بسم الله الرحمن الرحيم

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allooh سبحانه وتعالى,

Beberapa hari lagi insya Allooh akan memasuki bulan Romadhoon. Mudah-mudahan Allooh سبحانه وتعالى mengampuni segala dosa-dosa kita yang kecil, maupun yang besar, yang sudah lalu maupun yang akan datang. Mudah-mudahan Allooh سبحانه وتعالى menyempurnakan kekurangan kita, karena kita ini banyak kekurangannya. Mudah-mudahan Allooh سبحانه وتعالى menggolongkan kita ke dalam golongan orang-orang yang beruntung di dunia dan di Hari Akhir. Mudah-mudahan Allooh سبحانه وتعالى berkahi kehidupan dan langkah kita, keluarga dan anak-keturunan kita. Mudah-mudahan Allooh سبحانه وتعالى melimpahkan kasih-sayang-Nya kepada kita.  Aamiiin ya Robbal ‘alamiin.

Tema bahasan kali ini adalah Kiat Meningkatkan Kualitas Diri di bulan Romadhoon. Berikut disampaikan 9 langkah (kiat), yang mudah-mudahan bisa menjadi pengingat untuk kita semua. Sebetulnya kita sudah tahu kiat-kiat tersebut, hanya tinggal perlu diingatkan saja. Namun sebelum kita membahasnya maka perlu dibahas hal-hal berikut ini sebagai Muqoddimah, bahwa dalam memasuki bulan Sya’ban ini ada beberapa perkara yang menjadi petunjuk Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.

Setidaknya ada 2 (dua) Hadits yang disampaikan di sini dan beberapa perkataan para ’Ulama Ahlus Sunnah, yang mudah-mudahan bisa menjadi bekal bagaimana seharusnya kita menyikapi bulan Sya’ban sesuai dengan petunjuk Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.

Dalam Hadits Riwayat Al Imaam Al Bukhoory no: 1969 dan Al Imaam Muslim no: 1156, dari ‘Aa’isyah رضي الله عنها, beliau berkata:

كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يَصُومُ فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ

Artinya:

Adalah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلمshoum sehingga kami mengatakan beliau  صلى الله عليه وسلم tidak berbuka, tetapi di waktu yang lain beliau صلى الله عليه وسلمberbuka sehingga kami berkata  bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم tidak shoum. Aku tidak melihat Rosuulullooh صلى الله عليه وسلمmenyempurnakan shoum satu bulan kecuali di bulan Romadhoon, dan aku tidak melihat beliau terbanyak shoum kecuali pada bulan Sya’ban.

Maksudnya, karena banyaknya Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم shoum di bulan Sya’ban sehingga ‘Aa’isyah رضي الله عنها (istri beliau صلى الله عليه وسلم) mengatakan bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم tidak berbuka. Tetapi di kali lain karena Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم berbuka, lalu ‘Aisyah رضي الله عنها mengatakan bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم tidak shoum. Dan ‘Aisyah رضي الله عنها tidak melihat Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم shoum satu bulan penuh, kecuali di bulan Romadhoon.

Berarti Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم memperbanyak shoum di bulan Sya’ban dan hanya sedikit hari saja beliau صلى الله عليه وسلم tidak shoum di bulan tersebut. Dan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم terbanyak melakukan shoum pada bulan Sya’ban dibanding pada bulan-bulan lainnya. Tentu di bulan Romadhoon beliau صلى الله عليه وسلم seutuhnya shoum 1 (satu) bulan penuh, tetapi selain Romadhoon yang paling sering beliau صلى الله عليه وسلم melakukan shoum adalah di bulan Sya’ban. Berarti di bulan Rojab, bulan Jumaddal ’Uula, dan bulan-bulan yang lainnya adalah tidak demikian. Yang terbanyak shoum Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم adalah di bulan Sya’ban, dan shoum seutuhnya satu bulan penuh adalah di bulan Romadhoon; demikian itu adalah Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.

Hadits tersebut mengingatkan bahwa kalau kita bisa, kalau tidak mengganggu aktivitas keseharian kita, maka merupakan Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bahwa kita itu dianjurkan memperbanyak shoum di bulan Sya’ban. Misalnya saja dalam bulan Sya’ban melakukan shoum Sunnah 16 hari sampai 20 hari, atau pokoknya lebih dari setengah bulan tetapi tidak sampai satu bulan penuh di bulan Sya’ban. Hari shoumnya boleh berurutan boleh tidak urut. Kalau tidak terbiasa shoum, maka jangan melakukan shoum Sya’ban dari pertengahan bulan sampai akhir bulan Sya’ban. Tetapi kalau memang sudah terbiasa shoum Sunnah, maka boleh kita melakukan shoum, bahkan dari awal sampai akhir Sya’ban, kecuali beberapa hari saja tidak.

Jadi jangan seutuhnya shoum sebulan penuh di bulan Sya’ban, karena yang demikian itu malah bukan merupakan Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.

Bagi siapa yang sudah terbiasa Shoum Daawud, silakan diteruskan shoum Daawud-nya. Bagi yang terbiasa shoum pertengahan bulan, silakan teruskan shoum pertengahan bulannya. Demikian pula yang terbiasa shoum Senin-Kamis, silakan lakukan shoum Senin-Kamis-nya. Ditambah dengan shoum khusus bulan Sya’ban.

Jadi sifatnya fleksibel, dan shoum tersebut hukumnya Sunnah. Kalau ada sesuatu yang fardhu yang mesti ditunaikan, lalu dengan shoum tersebut menjadi terlalaikan; maka shoum tersebut tidaklah lebih diutamakan daripada perkara yang fardhu.

Hikmah Memperbanyak Shoum di bulan Sya’ban

Hikmahnya mengapa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم memperbanyak shoum di bulan Sya’ban, adalah sebagaimana diriwayatkan dalam Hadits oleh Al Imaam An Nasaa’i no: 2357, menurut Syaikh Nashiruddin Al Albaany Hadits ini Hasan, dari Shohabat Usamah bin Zaid رضي الله عنه, dimana beliau رضي الله عنه bertanya kepada Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم :

يا رسول الله لم أرك تصوم شهرا من الشهور ما تصوم من شعبان قال ذلك شهر يغفل الناس عنه بين رجب ورمضان وهو شهر ترفع فيه الأعمال إلى رب العالمين فأحب أن يرفع عملي وأنا صائم

Artinya:

Ya Rosuulullooh, aku tidak pernah melihat engkau shoum sebanyak di bulan Sya’ban ini, mengapa?

Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم menjawab: “Bulan Sya’ban itu banyak manusia yang lalai, bulan ini adalah bulan antara Rojab dan Romadhoon, padahal pada bulan Sya’ban itu amalan-amalan diangkat kepada Allooh Robbul ’aalamiin. Maka aku cinta (senang) seandainya amalanku diangkat (disetorkan) kepada Allooh lalu aku tercatat dalam keadaan shoum”. 

Sebaiknya kita meniru Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم yang hidupnya selalu dalam keadaan beribadah kepada Allooh سبحانه وتعالى dan tidak ingin dalam keadaan lalai.

Adakah Nishfu Sya’ban dalam Sunnah Rosuul ?

Satu hal lagi di bulan Sya’ban yang sudah merupakan tradisi turun-temurun di sebagian masyarakat Indonesia, yaitu tentang perkara Nishfu Sya’ban. Dimana-mana, di setiap Sya’ban orang melakukan acara Nishfu Sya’ban. Padahal hendaknya kaum Muslimin semestinya bersikap cermat, adakah acara tersebut merupakan Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم ataukah tidak. Adakah dalil yang shohiih berkaitan dengan acara tersebut ataukah tidak.

Maka dengan ini disampaikan pernyataan para ’Ulama Ahlus Sunnah antara lain adalah Syaikh Abdul ’Aziz bin Baaz رحمه الله dalam Kitab Fatawaa-nya, bahwa setelah dilakukan penelitian maka beliau رحمه الله mengatakan sebagai berikut:

Tentang Nishfu Sya’ban (malam pertengahan bulan Sya’ban) maka tidak ada Hadits yang shohiih tentang itu, bahkan semua Hadits yang berkenaan dengan Nishfu Sya’ban adalah maudhu’ah (palsu) dan lemah. Tidak ada asalnya dari Muhammad bin Abdillah صلى الله عليه وسلم. Sholat malam Nishfu Sya’ban itu tidak ada perkara yang khas (khusus) tentangnya, apakah dalam bentuk bacaan, apakah dalam bentuk sholat khusus ataupun jamaahnya. Adapun perkataan sebagian ’Ulama bahwa malam itu mempunyai kekhususan maka perkataan itu adalah perkataan yang lemah. Tidak boleh kita mengkhususkan sesuatu tentangnya, dan itulah yang benar. 

Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allooh سبحانه وتعالى,

Tidak ada sesuatu acara apapun dari Sunnah Rosuul dalam rangka Nishfu Sya’ban. Tidak di malam harinya, dan tidak pula di siang harinya. Para ’Ulama Ahlus Sunnah telah menegaskan hal ini. Para ’Ulama Ahlus Sunnah tersebut antara lain adalah Imaam Ibnul Jauzi رحمه الله dalam kitabnya Al Maudhuu’at, Imaam Ibnul Qoyyim Al Jauziyyah رحمه الله dalam kitabnya Al Manaarul Muniif, bahkan Imaam Abu Syamah Asy Syafi’iy رحمه الله dalam kitabnya Al Baa’its ‘Ala Inkaril Bida’ wal Hawadits, Imaam Al Iroqi رحمه الله (beliau bermadzhab Syafi’iy) dalam Takhrij Ihyaa ‘Uluumuddin (beliau رحمه الله meneliti kedudukan Hadits-Hadits yang terdapat dalam Kitab Ihyaa ‘Uluumuddin karya Imaam Al Ghodzaali رحمه الله), termasuk juga Syaikhul Islaam Ibnu Taimiyyah رحمه الله menjelaskan bahwa riwayat-riwayat yang berkenaan tentang Nishfu Sya’ban, semuanya adalah baathil (tertolak, tidak ajarannya dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم).

Maka kalau tidak ada ajarannya dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, janganlah diada-adakan; janganlah ajaran Rosuul itu diberi tambahan ini dan itu secara kreatif. Yang demikian ini adalah tidak boleh dan merupakan Bid’ah.

Suatu kaidah yang ditekankan oleh Rosusulullooh صلى الله عليه وسلم sendiri sebagaimana diriwayatkan dalam suatu Hadits Riwayat Imaam Muslim no: 4590, dari ‘Aaisyah رضي الله عنها, yakni:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

(Man ‘amila ‘amalan laisa ‘alaihi amrunaa fahuwa roddun)

Artinya:

Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintah kami atasnya, maka amalan tersebut tertolak.

Bukankah merupakan suatu kerugian apabila kita telah mengerahkan tenaga, waktu, dana dan sebagainya, sambil berharap mendapatkan pahala kebajikan dari Allooh سبحانه وتعالى; namun ternyata amalan kita itu tidak diterima oleh Allooh سبحانه وتعالى karena amalan tersebut tidak ada contohnya dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم? Daripada merugi seperti itu, mengapa kaum Muslimin tidak memfokuskan diri saja untuk melaksanakan amalan-amalan yang memang ada dalil dan landasannya yang shohiih, ada perintah dan contohnya dari Rosuululllooh صلى الله عليه وسلم; agar amalannya yang telah dibarengi dengan keikhlasan tersebut dapat diterima oleh Allooh سبحانه وتعالى?

Imaam An Nawawy رحمه الله dalam kitab beliau Al Majmuu’ yaitu suatu Kitab yang menjadi ujung-tombak dan referensi yang mu’tabar (valid) bagi kaum Muslimin yang ber-madzhab Asy Syafi’iy, beliau (Imaam An Nawaawy رحمه الله) mengatakan:

Sholat yang dikenal dengan Sholat Roghoib sebanyak 12 rokaat yang dilakukan antara Maghrib sampai ‘Isya pada malam Jum’at pertama di bulan Rojab, dan sholat Malam Nishfu Sya’ban (pertengahan bulan Sya’ban) sebanyak 100 raka’at, maka dua sholat tersebut adalah dua Bid’ah yang munkar.

Maka janganlah kaum Muslimin mengerjakan perkara yang munkar. Demikian itu Imaam An Nawaawy رحمه الله mengatakannya dalam Kitab Al Majmuu’. Kata beliau رحمه الله selanjutnya:

Jangan tertipu (terpedaya) dengan penyebutan sholat Malam Jum’at Pertama di bulan Rojab (sholat Roghoib) dan sholat Malam Nishfu Sya’ban itu dalam Kitab Quuthul Quluub dan Kitab Ihyaa‘Uluumuddin (yakni dua Kitab yang ditulis oleh Imaam Al Ghodzaali رحمه الله). Tidak usah terpengaruh dengan disebutkannya dua kitab tersebut, bahkan tidak usah tergiur oleh Hadits yang ditulis dalam dua kitab tersebut, sebab semuanya itu adalah baathil.”

Itulah yang dikatakan oleh Imam An Nawaawy رحمه الله, orang yang lebih ‘aalim (lebih berilmu) dibanding para ’Ulama yang ada di masa kini. Beliau رحمه الله dengan Kitabnya Al Majmuu’ saja, menunjukkan betapa dalamnya ilmu dien beliau رحمه الله. Siapa ulama-ulama zaman sekarang yang bisa menyaingi ilmu dan kapasitas seperti beliau رحمه الله itu?

Kata beliau (Imam An Nawaawy رحمه الله) selanjutnya:

Dan juga tidak perlu tergiur dengan hukum dari sebagian para Imaam yang menulis beberapa lembar kertas tentang anjuran yang demikian, karena itu adalah salah.”

Yang perlu dipahami oleh kaum Muslimin dan menjadi dalil mengapa kita ini tidak boleh beribadah secara kreatif, misalnya mengkhususkan bilangan tertentu, atau tempat tertentu, atau waktu tertentu dan seterusnya, karena hal itu ada batasan-batasannya. Dan perkara Ibadah hendaknya dibatasi oleh Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.

Di dalam Hadits Shohiih riwayat Al Imaam Muslim no: 1144, dari Abu Hurairoh رضي الله عنه, bahwa Rosuululloohصلى الله عليه وسلم bersabda:

لاَ تَخْتَصُّوا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِى وَلاَ تَخُصُّوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَامٍ مِنْ بَيْنِ الأَيَّامِ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ فِى صَوْمٍ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ

Artinya:

Janganlah kalian khususkan malam Jum’at dengan melakukan Qiyam dibanding dengan malam-malam yang lain dan janganlah kalian khususkan hari Jum’at-nya dengan shoum, sedangkan hari lain tidak, kecuali dia dalam suatu shoum yang selalu salah satu dari kalian melakukannya.

Maksudnya, misalkan saja seseorang telah terbiasa melakukan Shoum Dawud (sehari shoum, sehari berbuka), dan suatu saat tepat ketika ia melakukan shoum Dawud itu adalah jatuh pada hari Jum’at, maka lakukanlah shoum Dawud itu karena memang ia sudah terbiasa melakukan shoum Dawud secara rutin. Tetapi kalau ia bukanlah seseorang yang biasa melakukan shoum Sunnah, lalu tiba-tiba ia mengkhususkan untuk shoum hanya pada hari Jum’at saja karena menganggap hari Jum’at itu memiliki kekhususan untuk shoum, maka yang seperti ini adalah tidak boleh. Apalagi di hari-hari lainnya, maka tidaklah boleh mengkhususkan suatu hari tertentu untuk beribadah kecuali apabila ada nash / dalil yang memerintahkannya. Demikian pula perkara ini dengan Nishfu Sya’ban, adalah tidak boleh mengkhususkan sholat di malam Nishfu Sya’ban tanpa ada dalil yang shohiih yang memerintahkannya.

Lalu ada sebagian kalangan yang mengatakan atau berpedoman seperti ini: “Ah.. Boleh saja melakukannya. Walaupun Haditsnya dho’iif, tapi dho’iif – dho’iif itu kan juga Hadits, jadi boleh saja lah untuk digunakan…

Perlu untuk dipahami dan disampaikan apa yang menjadi perkataan para ’Ulama Ahlus Sunnah dari kalangan peneliti Hadits, antara lain Syaikh Ahmad Syaakir رحمه الله, dimana beliau رحمه الله berkata sebagai berikut:

Tidak ada beda antara perkara Hukum dan perkara Fadhoilul A’mal (amal-amal yang utama), yakni untuk tidak mengambil, tidak ber-argumentasi, serta tidak menjadikan landasan dengan menggunakan riwayat-riwayat (Hadits) yang Dho’iif (Lemah). Bahkan tidak ada daliil (hujjah) yang patut dijadikan landasan, kecuali apabila ia berasal Shohiih dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Jadi hendaknya Haditsnya Shohiih atau Hasan”.

Yang dimaksudkan oleh beliau adalah  kalau Haditsnya Shohiih dan Hasan maka boleh dipakai sebagai dasar / landasan. Kalau tidak shohiih, hasan pun juga tidak, maka tidak boleh digunakan sebagai landasan (hujjah).

Jadi hanya ada 4 kategori Hadits yang dapat digunakan sebagai hujjah / landasan, yakni :

  1. Shohiih lidzaatihi
  2. Shohiih lighoirihi
  3. Hasan lidzaatihi 
  4. Hasan lighoirihi 

Kalau suatu Hadits termasuk ke dalam kategori ke-4 saja (Hasan lighoirihi), maka Hadits tersebut terangkat dan masuk kedalam golongan Hadits yang Maqbuul (diterima).Jadi 4 jenis Hadits tersebut di atas adalah tergolong Hadits Maqbuul (diterima). Selain dari 4 golongan Hadits tersebut adalah disebut Marduud (palsu, tertolak).

Bulan ini adalah saat-saat awal memasuki bulan Romadhoon. Hendaknya kaum Muslimin janganlah melakukan dosa-dosa, dimana ia sudah tahu bahwa itu baathil (dan Bid’ah) tetapi masih juga dikerjakannya. Sudah tahu suatu Hadits itu Dho’iif (Lemah), bahkan Maudhuu’ (Palsu), tetapi masih saja dipakainya. Maka sikap yang demikian itu adalah tidak benar dan berdosa. Maka marilah kita berdo’a memohon kepada Allooh سبحانه وتعالى agar hati kita dibuka untuk menerima kebenaran. Bukan sekedar untuk melewatkan kebenaran.

Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allooh سبحانه وتعالى,

Jika Allooh سبحانه وتعالى memberikan panjang umur dan mudah-mudahan kita diberi panjang umur, agar Romadhoon ini seutuhnya Allooh سبحانه وتعالى berikan dengan berbagai keutamaan kepada kita semua. Aamiiin ya Robbal ‘aalamiin. Maka hendaknya kita perhatikan berbagai perkara berikut ini.

Perkara-perkara yang harus kita upayakan agar Romadhoon menjadi efektif

Sudah sering kita dengar dan biasanya diawali dengan Al Qur’an Surat Al Baqoroh (2) ayat 183 :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Artinya:

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu shoum (berpuasa), sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.

Shoum Romadhoon targetnya adalah Taqwa. Untuk itu ada 9 perkara yang harus kita upayakan :

  1. Sadari bahwa usia kita pendek, bahkan hanya satu kali hidup di dunia dan kita tidak tahu kapan berakhir.
  2. Yakini bahwa Allooh سبحانه وتعالى menawarkan Rahmat, Maghfiroh dan pembebasan diri dari api neraka di bulan Romadhoon, lebih daripada bulan-bulan yang lainnya.
  3. Ketahuilah bahwa pintu kebajikan dan amal shoolih sangat banyak di bulan Romadhoon.
  4. Ketahuilah bahwa bulan Romadhoon sangat kondusif untuk seseorang menjadi lebih baik.
  5. Berencanalah dan ber-agendalah agar berbagai amal-shoolih dapat terwujud.
  6. Selesaikanlah perkara-perkara duniawi sebelum Romadhoon tiba.
  7. Periksa kembali perlengkapan Ibadah di bulan Romadhoon.
  8. 8.      Hindari dan tinggalkan perkara-perkara yang sia-sia dan tidak bermanfaat, terlebih lagi perkara yang menyelisihi Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم (Bid’ah).
  9. Ikut-sertalah dalam berdakwah dan ber-Amar Ma’ruf Nahi Munkar sejauh kemampuan.

Penjelasan:

1.  Sadari bahwa usia kita pendek, hanya sekali hidup di dunia, tidak tahu kapan kita mati.

Kalau ingat poin tersebut, sebetulnya kita akan sepakat ingin bersegera, bergegas beribadah dan beramal shoolih. Umur manusia zaman sekarang rata-rata sekitar 63 tahun, itu menurut Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Hal ini adalah sebagaimana diriwayatkan dalam Hadits oleh Al Imaam Al Bukhoory no: 6419, dari Shohabat Abu Hurairoh, menurut beliau صلى الله عليه وسلم jugajika Allooh سبحانه وتعالى memberikan usia sampai 60 tahun berarti itu sudah memberikan kesempatan seluas-luasnya untuk beribadah dan mohon ampun kepada Allooh سبحانه وتعالى.

أَعْذَرَ اللَّهُ إِلَى امْرِئٍ أَخَّرَ أَجَلَهُ حَتَّى بَلَّغَهُ سِتِّينَ سَنَةً 

Artinya:

Allooh memberikan permakluman pada seseorang yang ditangguhkan umurnya hingga berusia 60 tahun.”

Allooh سبحانه وتعالى berfirman dalam Al Qur’an Surat Luqman (31) ayat 34 :

إِنَّ اللَّهَ عِندَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْأَرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَّاذَا تَكْسِبُ غَداً وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Artinya:

Sesungguhnya Allooh, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allooh Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

Dalam ayat tersebut ada kalimat : Tidak seorang pun yang tahu di bumi mana ia akan mati.

Maka tidak usah menjadi urusan di mana kita akan mati, tetapi yang paling penting adalah apa yang akan kita bawa mati. Kalau orang itu matinya di medan perang fiisabiilillah, maka ia beruntung, mudah-mudahan matinya Syahid. Tetapi di luar itu, perlu kita jaga agar mati kita adalah Husnul Khootimah. Maka hendaknya kita berusaha agar selalu dalam keadaan Hasanah.

Allooh سبحانه وتعالى berfirman dalam Al Qur’an Surat Yunus (10) ayat 49 :

قُل لاَّ أَمْلِكُ لِنَفْسِي ضَرّاً وَلاَ نَفْعاً إِلاَّ مَا شَاء اللّهُ لِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ إِذَا جَاء أَجَلُهُمْ فَلاَ يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلاَ يَسْتَقْدِمُونَ

Artinya:

Katakanlah: “Aku tidak berkuasa mendatangkan kemudharatan dan tidak (pula) kemanfa`atan kepada diriku, melainkan apa yang dikehendaki Allooh.” Tiap-tiap umat mempunyai ajal. Apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak (pula) mendahulukan(nya).

Saat ini kita sama-sama menghadapi bulan Romadhoon 1432 H, bahwa kepada kita ditawarkan kesempatan usia sampai bisa memasuki Romadhoon, mudah-mudahan Allooh سبحانه وتعالى memberikan kepada kita segala keutamaan. Aamiiin!

2. Yakini bahwa Allooh سبحانه وتعالى menawarkan kepada kita Rahmat, Maghfiroh dan pembebasan dari api neraka

Sebetulnya bukan saja di bulan Romadhoon, di bulan lain pun Allooh سبحانه وتعالى juga menawarkan hal yang sama. Tetapi di bulan Romadhoon ini adalah memang istimewa.

Ada Hadits yang sebenarnya Dho’iif (Lemah), tetapi biasanya sebagian kalangan masyarakat selalu mengungkapkan Hadits ini pada bulan Romadhoon. Dikatakannya bahwa “Romadhoon itu awalnya (sepuluh hari pertama) adalah Rahmah (kasih-sayang Allooh), ditengahnya (sepuluh hari kedua) adalah ampunan Allooh, dan akhirnya (sepuluh hari ketiga) adalah pembebasan dari api neraka.

Lalu diakhiri pula dengan pemahaman yang salah seperti ini: “Apabila Iedul Fitri berarti kita telah menang, terbebas dari segala dosa.”

Hal tersebut, dua-duanya adalah salah, yaitu :

  1. Berdalil pada Hadits yang Lemah (Dho’iif)
  2. Berdasar pada pemahaman yang sebenarnya tidak ada dasarnya sama sekali.

Oleh karena itu hendaknya kaum Muslimin memperhatikan Hadits Shohiih berikut ini :

Hadits Shohiih diriwayatkan oleh Imaam At Turmudzy no: 682, dishohiihkan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albaany, dari Shohabat Abu Hurairoh رضي الله عنه, bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda :

إذا كان أول ليلة من شهر رمضان صفدت الشياطين ومردة الجن وغلقت أبواب النار فلم يفتح منها باب وفتحت أبواب الجنة فلم يغلق منها باب وينادي مناد يا باغي الخير أقبل ويا باغي الشر أقصر ولله عتقاء من النار وذلك كل ليلة

Artinya:

Jika malam pertama bulan Romadhoon maka syaithoon diikat, demikian pula jin yang membangkang. Lalu pintu-pintu neraka ditutup, tidak ada yang dibuka. Dan dibukalah pintu-pintu surga, tidak satu pintu (surga) pun yang ditutup. Kemudian ada (malaikat) yang memanggil : ’Wahai pencari kebaikan, mari sambut bulan Romadhoon yang penuh kebaikan. 

Lalu kata Penyeru (Malaikat) :’Wahai orang yang mencari kejahatan, berhenti, bertaubatlah. Allooh سبحانه وتعالى memiliki orang-orang yang akan dilepas, dibebaskan dari api neraka. Yang demikian itu Allooh tawarkan setiap malam (dari bulan Romadhoon). 

Maka Hadits Dho’iif yang mengatakan bahwa: “Pada awal Romadhoon diberikan Rahmat, pada pertengahan Romadhoon diberikan maghfiroh dan pada sepertiga terakhir Romadhoon dibebaskan dari api neraka”, bertentangan dengan Hadits Shohiih Riwayat Imaam Ibnu Maajah dari Shohabat Abu Hurairoh رضي الله عنه diatas. Karena berdasarkan Hadits yang Shohiih maka Rahmat, Maghfiroh dan pembebasan dari api neraka adalah ditawarkan untuk diberikan oleh Allooh سبحانه وتعالى pada setiap malam di bulan Romadhoon. Jadi tidaklah seperti yang diutarakan oleh Hadits Dho’iif yang mengatakan bahwa barulah di sepertiga terakhir bulan Romadhoon dibebaskan dari api neraka. Tidak begitu !! Hadits itu Lemah !! Tetapi yang shohiih adalah setiap malam sejak awal bulan Romadhoon hingga akhir bulan Romadhoon dibebaskan dari api neraka.

Hilaal Romadhoon dan Hilaal Syawwal

Selanjutnya tentang kapankah jatuhnya 1 Romadhoon, maka ketentuannya adalah di tangan  Allooh سبحانه وتعالى. Bukan di tangan para penghitung astronomi atau pengusung ilmu hisab falaki.

Sesungguhnya yang mudah bagi kaum Muslimin adalah Ru’yatul Hilaal, yakni Hilaal yang dilihat oleh mata telanjang. Oleh karena itu yang menjadi ketentuan Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم adalah Ru’yah, bukanlah Hisab. Hisab boleh saja dilakukan, tetapi itu hanyalah untuk mempermudah, tetapi tidak boleh dijadikan sebagai landasan dan keputusan.

Perhatikanlah firman Allooh سبحانه وتعالى dalam Al Qur’an Surat Al Baqoroh (2) ayat 185 berikut ini:

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ‏فَلْيَصُمْهُ

Artinya:

Maka barangsiapa di antara kalian yang telah menyaksikan/melihatnya (hilaal Romadhon) maka hendaklah ia shoum pada bulan itu.

Imaam An Nawawy رحمه الله dalam Syarah Shohiih Muslim yang beliau tulis, mengatakan:

قال الإمام النووي في شرحه لصحيح مسلم : باب وجوب صوم رمضان لرؤية الهلال والفطر لرؤية الهلال وأنه إذا غم في أوله أو آخره أكملت عدة الشهر ثلاثين يوما .

قوله – صلى الله عليه وسلم -: « لا تصوموا حتى تروا الهلال ولا تفطروا حتى تروه فإن أغمي عليكم فاقدروا له » (1)

وفي رواية: « فاقدروا له ثلاثين » (2)

وفي رواية: « إذا رأيتم الهلال فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا فإن غم عليكم فاقدروا له » (3)

وفي رواية: « فإن غم عليكم فصوموا ثلاثين يوما » (4)

وفي رواية: « فإن غمي عليكم فأكملوا العدد » (5)

وفي رواية: « فإن غمي عليكم الشهر فعدوا ثلاثين » (6)

وفي رواية: « فإن أغمي عليكم فعدوا ثلاثين » (7) . هذه الروايات كلها في الكتاب على هذا الترتيب .

وفي رواية للبخاري : « فإن غبي عليكم فأكملوا عدة شعبان ثلاثين » (8)

(1) صحيح البخاري الصوم (1807),صحيح مسلم الصيام (1080),سنن النسائي الصيام (2121),سنن أبو داود الصوم (2319),مسند أحمد بن حنبل (2/63),موطأ مالك الصيام (634),سنن الدارمي الصوم (1684).

(2) صحيح مسلم الصيام (1080),سنن ابن ماجه الصيام (1654),موطأ مالك الصيام (634),سنن الدارمي الصوم (1684).

(3) صحيح البخاري الصوم (1810),صحيح مسلم الصيام (1081),سنن الترمذي الصوم (684),سنن النسائي الصيام (2119),سنن ابن ماجه الصيام (1655),مسند أحمد بن حنبل (2/259),سنن الدارمي الصوم (1685).

(4) صحيح البخاري الصوم (1801),صحيح مسلم الصيام (1080),سنن النسائي الصيام (2121),سنن أبو داود الصوم (2320),مسند أحمد بن حنبل (2/5),موطأ مالك الصيام (634),سنن الدارمي الصوم (1684).

(5) صحيح مسلم الصيام (1081).

(6) صحيح مسلم الصيام (1081),سنن الدارمي الصوم (1685).

(7) صحيح البخاري الصوم (1810),صحيح مسلم الصيام (1081),سنن الترمذي الصوم (684),سنن النسائي الصيام (2119),سنن ابن ماجه الصيام (1655),مسند أحمد بن حنبل (2/497),سنن الدارمي الصوم (1685).

(8) صحيح البخاري الصوم (1810).

Artinya:

Perkataan Imam Muslim, ‘Bab Wajibnya Shoum Romadhoon karena Melihat Bulan dan ber-Iedul Fithri karena Melihat Bulan dan bahwa jika tertutup oleh awan pada awal atau akhirnya maka hitungan bulan disempurnakan menjadi 30 hari’.

Sabda Rosuul yang artinya:

1) ‘Jangan kalian shoum sehingga kalian melihat Hilaal dan jangan kalian berbuka sehingga kalian melihat Hilaal, dan jika pandangan kalian terhalang oleh awan maka tentukanlah oleh kalian.”

2) Maka tentukanlah menjadi 30 hari

3) dalam riwayat lain: ‘Jika kalian melihat Bulan, maka shoumlah. Dan jika kalian melihat Bulan maka ber-Iedul Fithri lah. Jika pandangan kalian terhalang, maka tentukanlah.’

4) dalam riwayat lain: ‘Jika pandangan kalian terhalang awan, maka shoumlah 30 hari.’

5) dalam riwayat lain: ‘Jika pandangan kalian terhalang oleh awan, maka sempurnakanlah bilangan Bulan.’

6) dalam riwayat lain: ‘Jika pandangan kalian terhalang oleh awan, maka sempurnakanlah bilangan Bulan 30 hari.’

7) dalam riwayat lain: ‘Jika pandangan kalian terhalang oleh awan, maka hitunglah bulan 30 hari.’

Demikianlah riwayat-riwayat ini terdapat dalam kitab Shohiih Muslim dan

8) Dalam riwayat Imaam Bukhoory: ‘Jika pandangan kalian terhalang oleh awan, maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban 30 hari’

Berdasarkan pada sekian banyak redaksi Hadits yang diriwayatkan oleh baik Al Imaam Muslim رحمه الله maupun Al Imaam Al Bukhoory رحمه الله diatas ditambah dengan beberapa hadits lain dari sumber-sumber lain, dapatlah difahami dengan mudah oleh kita sekalian bahwa perintah shoum dan larangan shoum di bulan Romadhoon sangat terkait dengan penglihatan (dengan mata telanjang) terhadap Bulan (Hilaal). Dan inilah yang harus kita ikuti. Karena pada mulanya pengertian dari Melihat Bulan” itu adalah “Melihat Bulan dengan Mata Telanjang”, betapa pun bersamaan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka banyak kaum muslimin yang melihat bulan menggunakan alat teropong sebagai pengintai bulan dari jarak jauh. Pada intinya, hisab falaki boleh saja kita pakai untuk membantu ke-akuratan penglihatan mata, asalkan selaras dan tidak bertentangan dengan keputusan Allooh سبحانه وتعالى melalui penglihatan (dengan mata telanjang) terhadap munculnya bulan di awal atau di akhir Romadhoon.

Menjadi suatu kesalahan dan bertentangan dengan Sunnah Muhammad Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, apabila Hisab lah yang dijadikan sebagai penentu utama, sementara kesaksian Muslimin yang melihat Hilal dengan mata telanjang dikesampingkan. Seperti yang terjadi di sebagian kalangan di negara kita Indonesia, dimana Ru’yatul Hilal dibatasi dengan standard 2 derajat. Pemberian standard 2 derajat ini adalah cara Hisab, yang tidak ada dalam Sunnah Muhammad Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم sendiri idak pernah menentukan 2 derajat atau derajat-derajat tertentu sebagai batasan suatu Ru’yatul Hilaal. Maka apabila kaum Muslimin mengidamkan persatuan, hendaknya persatuan itu haruslah diatas Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, bukan diatas Bid’ah; harus diatas Tauhiid dan bukan diatas Syirik, harus berdasarkan Al Haq (Al Qur’an dan As Sunnah) dan bukan diatas demokrasi (suara terbanyak).

Hendaknya kaum Muslimin kembali kepada Sunnah Muhammad Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Karena melihat Hilaal dengan mata telanjang memiliki suatu Hikmah, bahwa Syari’at Islam adalah syari’at yang mudah, hukum-hukumnya bersifat universal, berlaku bagi seluruh umat manusia dengan berbagai status sosial mereka, baik dari kalangan orang-orang yang berilmu maupun dari kalangan yang tidak bisa baca tulis, baik mereka yang tinggal di perkotaan maupun di pelosok desa.

Dengan keragaman itu lah Allooh سبحانه وتعالى telah memberi kemudahan bagi mereka dalam cara mengetahui waktu-waktu ibadah mereka. Allooh سبحانه وتعالى telah menjadikan berbagai tanda yang bisa dikenali oleh siapa pun terkait dengan masuk dan keluarnya waktu-waktu ibadah mereka.

Misalnya, Allooh سبحانه وتعالى menjadikan tenggelamnya matahari sebagai tanda masuknya waktu Maghrib dan juga sebagai tanda telah keluarnya waktu Ashar. Allooh سبحانه وتعالى menjadikan hilangnya mega (cahaya merah setelah matahari tenggelam) sebagai tanda masuknya waktu Isya.

Allooh سبحانه وتعالى juga telah menjadikan ru`yatul hilal – setelah hilangnya bulan pada akhir bulan (yakni bulan mati) – sebagai tanda awal bulan (qomariyah) dan berakhir nya bulan sebelumnya.

Allooh سبحانه وتعالى tidak membebani kita untuk mengetahui awal masuknya bulan qomariyah itu dengan suatu cara yang tidak diketahui kecuali oleh segelintir manusia, yakni dengan ilmu astronomi atau ilmu hisab falaki.

Karena itulah telah ada dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang mensyari’atkan ru`yatul hilal dan menyaksikannya sebagai tanda dimulainya waktu bershoum Romadhon bagi kaum muslimin dan untuk mengakhiri shoumnya (’Iedul Fithri) juga dengan cara melihat hilal (ru`yatul hilal) Syawwal.

Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم dengan jelas telah bersabda:

إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموهفأفطروا فإن غم عليكم فأكملوا العدةثلاثين

Artinya:

Jika kalian telah melihat hilal (Romadhon) maka laksanakanlah shoum Romadhon, dan jika telah melihat hilal (Syawwal) maka ber’Iedul Fithri lah. Jika kalian terhalangi melihatnya maka sempurnakanlah bilangan bulannya menjadi 30 hari.”

Maka beliau صلى الله عليه وسلم mensyariatkan dalam memulai waktu shoum berdasarkan kepastian ru`yatul hilal Romadhoon, dan ber’Iedul Fithri berdasarkan kepastian ru`yatul hilal Syawwal. Beliau صلى الله عليه وسلم tidak mengaitkan penentuan hal tersebut dengan hisab astronomi dan peredaran bintang-bintang.

Di atas cara inilah penerapan yang berlangsung pada masa Nabi صلى الله عليه وسلم dan masa para Khulafaa`ur Rosyidiin, demikian pula pada masa para Imaam yang empat, dan pada tiga generasi pertama dari kalangan umat ini yang telah dipersaksikan keutamaan dan kebaikannya oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.

Maka menetapkan bulan-bulan Qomariyah dengan merujuk kepada ilmu astronomi dalam memulai ibadah dan juga ketika mengakhirinya, dan meninggalkan cara ru`yatul hilal, merupakan kebid’ahan yang tidak ada kebaikan padanya, dan tidak ada landasannya dari syari’at.

3. Ketahuilah bahwa pintu kebajikan dan amal shoolih sangat banyak dibulan Romadhoon

Dalam bulan Romadhoon kita berlomba untuk berbuat kebajikan dan beramal shoolih, karena balasannya berlipat-ganda di bandingkan pada bulan lainnya. Kecuali orang yang sedang Nifas, Haid, anak yang belum baligh, orang dalam Safar (perjalanan jauh), atau orang sakit.

Maka bila orang tidak mau melaksanakan shoum di bulan Romadhoon, maka orang tersebut dimasukkan golongan orang sedang mengalami Nifas, atau sedang Haid, atau anak yang belum baligh,atau orang sakit,atau sedang Safar.

Shoum bukan saja menahan lapar dan dahaga, tetapi menurut Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم berapa banyak orang yang shoum tidak mendapatkan balasan apapun kecuali mendapat lapar dan dahaga. Itulah orang yang merugi.

Dari Ibnu ‘Umar رضي الله عنه berkata, “Telah bersabda Rosululullooh,

رب صائم حظه من صيامه الجوع والعطش ورب قائم حظه من قيامه السهر

Artinya:

Bisa jadi seseorang yang shoum itu, yang didapat dari shoumnya sekedar lapar dan haus dan bisa jadi orang yang tahajjud yang diraihnya hanya begadang’.” (Hadits Riwayat Imaam Ath Thobroony, dishohiihkan oleh Syaikh Al Albaany dalam Shohiih al Jaami’ush Shoghiir)

Juga dari Abu Hurairoh رضي الله عنه, bersabda Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم:

ليس الصيام من الأكل والشرب إنما الصيام من اللغو والرفث فإن سابك أحد أو جهل عليك فلتقل : إني صائم إني صائم

Artinya:

Shoum itu bukan hanya dari makan dan minum, melainkan shoum dari perkara yag sia-sia dan perbuatan dosa; maka jika ada yang mencacimu atau berbuat konyol padamu maka katakanlah ‘sesungguhnya aku sedang shoum.” (Hadits Riwayat Ibnu Huzaimah dishohiihkan oleh Al A’dzomi dan Syaikh Al Albaany)

Selanjutnya Qiyaamul Lail (sholat Taroowiih), yang benar adalah 11 (sebelas) rokaat.

Sebagaimana diriwayatkan dalam Hadits oleh Al Imaam Al Bukhoory no: 2013 dan Al Imaam Muslim no: 738, dari Shohabat Abu Salamah bin ’Abdurrohman رضي الله عنه ketika beliau bertanya kepada ’Aa’isyah رضي الله عنها tentang bagaimana sholat Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم di bulan-bulan Romadhoon maka ’Aa’isyah رضي الله عنها menjawab bahwa:

كَيْفَ كَانَتْ صَلاَةُ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي رَمَضَانَ فَقَالَتْ مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ ، وَلاَ فِي غَيْرِهَا عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلاَثًا ، فَقُلْتُ : يَا رَسُولَ اللهِ أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ قَالَ يَا عَائِشَةُ إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ ، وَلاَ يَنَامُ قَلْبِي 

Artinya:

Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم tidak menambah baik di bulan Romaadhon maupun selainnya dari 11 rokaat tersebut, beliau صلى الله عليه وسلم sholat 4 (empat) rokaat dan jangan kau bertanya tentang baik dan panjangnya, kemudian beliau صلى الله عليه وسلم sholat 4 (empat) rokaat dan jangan kau bertanya tentang baik dan panjangnya, kemudian sholat 3 (tiga) rokaat lalu aku bertanya: ”Wahai Rosuulullooh, apakah engkau tidur sebelum Witir?

Lalu beliau صلى الله عليه وسلم menjawab, “Hai ’Aa’isyah, dua mataku tidur, tetapi hatiku tidak tidur.

Kalau bisa sebaiknya Sholat Isya dan At Taroowiih itu mulainya diundurkan sedikit dari waktu ‘Isya, misalkan saja kira-kira jam 20.00 WIB (sekitar sejam); hal ini adalah untuk memberi kesempatan agar makanan berbuka tercerna dengan cukup.

Sholat berjamaah, sholat-sholat sunnah yang lain, ta’jil, memberikan makan kepada orang untuk berbuka dan sebagainya; semua itu adalah perbuatan kebajikan di bulan Romadhoon. Termasuk menyegerakan berbuka (Ta’jiil) pun adalah suatu kebaikan.

Dalam Hadits Riwayat Imaam Ahmad dari Abu Dzar رضي الله عنه, dishohiihkan oleh Syaikh Al Albaany رحمه الله, bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:

لا تزال أمتي بخير ما عجلوا الإفطار وأخروا السحور

Artinya:

Ummatku ini senantiasa dalam keadaan baik selama menyegerakan ifthoor (berbuka) dan mengakhirkan sahuur.”

Bahkan kalau bisa usahakan sholat Taroowiih dimulai tengah malam. Rosuulullooh صلى الله عليه وسلمsholat melaksanakan Qiyaamul Lail (Taroowiih) sesudah tengah malam (sekitar pukul 2 malam).

Qiroo’atul Qur’aan, maka persiapkan Al Qur’an dan catatan hari ini sampai juz sekian, dan seterusnya, sehingga bulan Romadhoon minimal tamat 30 Juz Al Qur’an. Dan berbagai amal-shoolih lainnya, bulan Romadhoon adalah bulan “Panen amal-shoolih”.

Zakat, mungkin zakat Tijarah (perdaganagan), zakat Maal, atau zakat pertanian, dan sebagainya. Hendaknya siapa saja yang mempunyai harta yang cukup, maka keluarkanlah zakatnya. Zakat adalah Harta Allooh سبحانه وتعالى yang harus dikeluarkan dan dibagi kepada 8 Ashnaaf.

Shodaqoh,  adalah pengeluaran sebagian harta yang sifatnya sunnah, banyaknya seikhlas kita, untuk diberikan kepada fakir-miskin dan kaum dhu’afa.

Memberi makan untuk berbuka kepada orang lain. Bahkan kalau perlu tetangga atau teman diajak makan berbuka di rumah.

Silaturrohim, dengan tetangga, teman, kerabat ketika Romadhoon sangatlah baik untuk dilakukan, pahalanya besar sekali.

Bergegas mengejar keutamaan Lailatul Qodar. Harus dipersiapkan dengan baik sehingga kita mendapatkan pahala Seribu Bulan.

Sholat Iedul Fitri, yang merupakan acara penutup sesudah kita melaksanakan ibadah di bulan Romadhoon.

4.Ketahuilah bahwa bulan Romadhoon sangat kondusif untuk seseorang menjadi lebih baik.

Orang tidak shoolih-pun merasa malu pada bulan Romadhoon. Orang fasiq-pun juga merasa malu pada bulan Romadhoon. Maka orang shoolih pasti berlomba-lomba beramal untuk menjadi lebih baik, karena bulannya sangat kondusif.

Masjid, tempat ibadah, bahkan rumah-rumah padat dengan acara peribadatan. Perusahaan, pabrik, instansi-instansi banyak mengadakan “Berbuka Bersama” dan ceramah Romadhoon. Artinya, banyak kesempatan kita menjadi lebih baik. Media elektronik, media cetak beramai-ramai mereka menggema-serta untuk Romadhoon. Maka mudah-mudahan kita bisa menjadi lebih baik.

5. Rencanakan dengan baik apa-apa yang harus dilakukan di bulan Romadhoon.

Ber-agenda-lah agar berbagai amal-shoolih bisa terwujud.

6. Selesaikan perkara-perkara duniawi, mungkin pinjam-meminjam, hutang-piutang, dan sebagainya.

7. Periksa kembali alat-alat perlengkapan ibadah bulan Romadhoon, termasuk perlengkapan masak-memasak. Termasuk unsur pendukung shoum Romadhoon, seperti supplement, vitamin, dan sebagainya. Perlengkapan sholat Taroowiih pun perlu dipersiapkan, sehingga sholatnya bisa lebih khusyu’. Al Qur’an dan terjemahannya jangan lupa juga telah disiapkan. Juga uang untuk shodaqoh hendaknya dipersiapkan. Semua itu sebagai rasa syukur kita kepada Allooh سبحانه وتعالى.

8. Hindari dan tinggalkan perkara-perkara yang tidak bermanfaat, lebih-lebih perkara yang menyelisihi Sunnah. Perkara yang sia-sia misalnya menonton TV, Sinetron, main gaple, catur, dan sebagainya jangalah dilakukan.  Hindari shoum “Balas-dendam” (Ketika buka shoum makan sebanyak-banyaknya; makan segala yang diinginkannya dari sejak siang harinya). Hindari jalan-jalan selepas sahur, yang bisa menimbulkan ma’shiyat.

Hindari peringatan hari besar Islam (PHBI), misalnya Nuzuulul Qur’an. Tidak ada contoh dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم tentang hal ini dan tidak ada perintah untuk mengadakan peringatan Nuzuulul Qur’an. Kalau hal tersebut dilaksanakan maka menjadi Bid’ah.

Lihat Firman Allooh سبحانه وتعالى dalam Al Qur’an Surat Al Maa-idah (5) ayat 44 (akhir ayat) :

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

Artinya:

“… Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allooh, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.

JugaAl Qur’an Surat Al Maa-idah (5) ayat 45 (akhir ayat) :

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Artinya:

Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allooh, maka mereka itu adalah orang-orang yang dzolim.

DanAl Qur’an Surat Al Maa-idah (5) ayat 47 (akhir ayat) :

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

Artinya:

Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allooh, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasiq.

Jadi  kalau kita tidak berhukum kepada Hukum Allooh سبحانه وتعالى (Al Qur’an), maka tinggal pilih, mau Kaafir, Dzolim atau Faasiq?

Allooh سبحانه وتعالى berfirman dalam Surat An Nisaa’ (4) ayat 60 :

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُواْ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحَاكَمُواْ إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُواْ أَن يَكْفُرُواْ بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُضِلَّهُمْ ضَلاَلاً بَعِيداً

Artinya:

Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thoghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thoghut itu. Dan syaithoon bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.

Maksud ayat tersebut :

Hukum selain Hukum Allooh سبحانه وتعالى (Al Qur’an) adalah hukum Thoghut (Hukum Iblis, Syaithoon).

Juga Allooh سبحانه وتعالى berfirman dalam Surat Al Maa-idah (5) ayat 50 :

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللّهِ حُكْماً لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ

Artinya:

Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allooh bagi orang-orang yang yakin?

Kemudian firman-Nya dalam Surat Al Maa-idah (5) ayat 48 :

وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقاً لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِناً عَلَيْهِ فَاحْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءهُمْ عَمَّا جَاءكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجاً وَلَوْ شَاء اللّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَـكِن لِّيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُم فَاسْتَبِقُوا الخَيْرَاتِ إِلَى الله مَرْجِعُكُمْ جَمِيعاً فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ

Artinya:

Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allooh turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allooh menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allooh hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allooh-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.

Inti dari ayat tersebut adalah: Berhukum dengan bukan Hukum Allooh سبحانه وتعالى (Al Qur’an) berarti mengikuti Hukum Hawa Nafsu.

Dan diturunkannya Al Qur’an dan Al Islam itu adalah sebagai Way of Life, sebagai Syari’at. Maka yang lebih penting daripada hanya sekedar ritual peringatan turunnya Al Qur’an (Nuzuulul Qur’an) adalah: Bagaimana agar Al Qur’an yang merupakan Syari’at itu dapat berwujud bentuk amaliyah dan karakter bagi kaum Muslimin dalam kesehariannya. Bukan hanya sekedar perayaan Hari Peringatan Nuzuulul Qur’an. Peringatan diadakan setiap tahun, tetapi Hukum Allooh سبحانه وتعالى (Al Qur’an) dibelakangi, disingkirkan, diabaikan dan diselisihi, maka yang demikian itu sama saja dengan tidak memperingati. Apabila dikatakan “Marilah berhukum dengan Hukum Allooh سبحانه وتعالى, marilah menjadikan Syari’at Islam sebagai dasar kenegaraan kita”; maka tidak sedikit diantara kaum Muslimin yang ketakutan terhadap Syari’at Islam. Sikap demikian itu sama saja dengan tidak memperingati turunnya Al Qur’an. Walaupun tiap tahun ia senantiasa mengadakan ritual peringatan Nuzuulul Qur’an sekalipun, namun pada kenyataannya ia tidak bersedia apabila Syari’at Islam dijadikan sebagai dasar penyelenggaraan kenegaraan, sebagai way of life dari kaum Muslimin.

Oleh karena itu, khusus mengenai Peringatan Hari Nuzuulul Qur’an secara ritual, adalah tidak ada ajarannya dari Rosulullooh Muhammad صلى الله عليه وسلم.

Justru yang lebih penting adalah bagaimana Syari’at yang Allooh سبحانه وتعالى turunkan dari langit ke bumi untuk kita (Al Qur’an), seharusnya kita jalankan dalam kehidupan kita, kita jadikan sebagai landasan kenegaraan, karena kita adalah orang yang yakin terhadap Hukum Allooh سبحانه وتعالى dan tidak rela dengan Hukum Jahiliyah atau Hukum Hawa Nafsu atau Hukum Thoghut.

10. Ikut-sertalah dalam berdakwah dan berAmar Ma’ruf Nahi Munkar sejauh kemampuan di bulan Romadhoon. Jangan diam saja, dan bersikap masa bodoh. Jangan berkata: “Ah urusan dakwah, serahkan saja kepada orang lain, kepada para Ustadz, dan Kyai..”. Jangan bersikap begitu, tetapi bergeraklah wahai kaum Muslimin, beraksilah, berdakwah-lah. Karena dakwah dan Amar Ma’ruf Nahi Munkar adalah tugas dan tanggung-jawab kita semua (seluruh kaum Muslimin). Apalagi di zaman sekarang dimana setiap pelosok, setiap tempat sudah dijelajahi oleh kemungkaran. Ikut-sertalah berdakwah dan melakukan Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Paling tidak (minimal) lakukanlah 2 (dua) macam :

a)      Mengajak keluarga dan orang lain untuk memakmurkan Romadhoon dengan Ibadah (Sholat Taroowiih berjama’ah di masjid, tilaawatul Qur’an, banyak bershodaqoh, dan sebagainya).

b)      Ikut serta menyebarkan Media Dakwah dan Ta’lim, atau Taddarus Al Qur’an. Sehingga Islam ini menjadi menyebar, meluas kepada yang lain.

Inti dan missi Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم adalah Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar.

Lihat Surat Al A’roof (7) ayat 157 :

الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوباً عِندَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالإِنْجِيلِ يَأْمُرُهُم بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَآئِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالأَغْلاَلَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ فَالَّذِينَ آمَنُواْ بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُواْ النُّورَ الَّذِيَ أُنزِلَ مَعَهُ أُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Artinya:

(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rosuul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma`ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharomkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung.

Maksud daripada ayat tersebut, adalah telah diceritakan dalam Taurat dan Injil bahwa diantara yang dikerjakan oleh Rosulullooh Muhammad صلى الله عليه وسلم adalah Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Menghalalkan yang baik dan mengharomkan yang buruk. Itulah tugas beliau صلى الله عليه وسلم dan semuanya sudah tuntas dikerjakan oleh Muhammad Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.

Karena itu kalau kita ingin mengikuti Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, ikut-sertalah pula dalam ber-Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Jangan katanya kita ini pengikut setia dan cinta kepada Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, tetapi ber-Amar Ma’ruf Nahi Munkar-nya tidak mau dan tidak ikut serta. Apabila mengaku cinta Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, maka ikut-sertalah dalam amar ma’ruf nahi munkar, sebagaimana yang Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم ajarkan.

TANYA JAWAB:

Pertanyaan:

Ustadz, berkenaan dengan Hilal di awal dan di akhir Romadhoon, telah terjadi keadaan dimana kesaksian kaum Muslimin yang bersumpah melihat Hilal itu tidak diterima oleh Pemerintah kita, padahal di lokasi tersebut sudah ada wakil dari Departemen Agama. Lagipula kesaksian kaum Muslimin yang melihat Hilal itu tidak hanya terjadi di satu lokasi, tetapi di beberapa lokasi di Indonesia.

Pertanyaan saya:

a)  Apa boleh Pemerintah kita tidak menerima kesaksian kaum Muslimin yang sudah bersumpah melihat Hilal itu, karena seingat saya (kalau tidak salah) ada suatu Hadits yang menyatakan bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم menerima kesaksian dari seorang Arab Badui yang melihat Hilal?

b) Lalu mohon dijelaskan juga, apa yang menjadi syarat sahnya Sumpah Muslimin itu?

c) Menyikapi keadaan yang seperti ini, kami mesti bagaimana Ustadz? Apa kami mesti ikut jadwal yang dari Pemerintah saja dan mengabaikan sumpah Muslimin tadi, atau bagaimana?

Jawab:

(a)    Berkaitan dengan masalah Hilaal di awal dan di akhir Romadhoon, memang:

1. Sikap yang seharusnya itu justru adalah sebaliknya, bahwa Departemen Agama itu semestinya mengadakan sayembara kepada kaum Muslimin dimana saja di seluruh Indonesia, agar kaum Muslimin yang memiliki kesempatan itu hendaknya ia berupaya untuk melihat Hilal. Dan yang melihat agar bersaksi serta melaporkannya kepada Pemerintah melalui instansi Departemen Agama terdekat. Demikian yang seharusnya. Dan tidak ada keharusan monopoli dimana yang melihat itu hanya boleh wakil dari Departemen Agama saja atau orang yang dipercaya oleh Departemen Agama saja. Karena sudah barang tentu SDM-nya terbatas.

2. Kemudian jika sudah ada orang yang mengaku melihat Hilal, maka Pemerintah dalam hal ini Departemen Agama menerima informasi itu kemudian mengambil sumpah dari orang tersebut untuk kemudian dijadikan informasinya sebagai dasar sikap Pemerintah terhadap pengumuman awal atau akhir Romadhoon.

Sebagai contoh: semestinya Pemerintah kita menghadirkan saksi-saksi yang telah bersumpah melihat Hilaal tersebut kedalam sidang itsbaat, lalu mengambil sumpah ulang dari mereka itu sebagai tindakan untuk mencari kebenaran atas persaksian mereka, dan selanjutnya menjadikan informasi tersebut sebagai dasar untuk mengumumkan awal atau akhir Romadhoon.

3. Jika hal ini dilakukan dan ke-validan berita sudah diambil, maka Pemerintah bertanggung-jawab untuk mengumumkan sekaligus menginstruksikan tentang kapan 1 Romadhoon dan 1 Syawwal; dengan catatan bahwa awal 1 Romadhoon cukup 1 orang Muslim yang menjadi saksi melihat Hilaal. Jika lebih dari 1 orang saksi, atau lebih dari 1 lokasi; maka ke-validan informasi tersebut berarti semakin kokoh dan tegas. Kemudian untuk 1 Syawwal adalah 2 orang Muslim yang menjadi saksi melihat Hilaal.

Dalil bahwa awal Romadhoon hanya cukup 1 orang saksi adalah sebagaimana dalam Hadits Riwayat Imaam Abu Daud no: 2342, dan Syaikh Nashiruddin Al Albaany mengatakan bahwa hadits ini shohiih, dari Shohabat Ibnu ‘Umar رضي الله عنهما,

تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلاَلَ فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنِّى رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ

Artinya:

Orang-orang berusaha untuk melihat hilaal, kemudian aku beritahukan kepada Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bahwa aku telah melihatnya. Kemudian beliau shoum dan memerintahkan orang-orang agar shoum.

Sedangkan dalil bahwa untuk Hilaal Syawwal adalah dengan 2 orang saksi adalah sebagaimana dalam Hadits Riwayat Imaam An Nasaa’i no: 2116, dan Syaikh Nashiruddin Al Albaany mengatakan bahwa Hadits ini Shohiih, dari ‘Abdurrohman bin Zaid bin al Khoththoob رحمه الله, bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم  bersabda:

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ وَانْسُكُوا لَهَا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا ثَلَاثِينَ فَإِنْ شَهِدَ شَاهِدَانِ فَصُومُوا وَأَفْطِرُوا

Artinya:

Shoumlah kalian karena melihatnya (melihat Hilaal), berbukalah kalian karena melihatnya (melihat Hilaal) dan sembelihlah kurban karena melihatnya pula. Jika -hilaal- itu tertutup dari pandangan kalian, sempurnakanlah menjadi tiga puluh hari, jika ada dua orang saksi, shoum dan berbukalah kalian.”

(b)   Adapun kriteria Saksi Ru’yatul Hilaal yang dapat diterima persaksiannya adalah jika memenuhi antara lain sebagai berikut:

–          Muslim

–          Berakal sehat

–          Baligh, apalagi dewasa

–          Adil, artinya: minimal melaksanakan sholat dan menjauhi kefasiqan.

–          Diutamakan jika dia ber-ilmu dan berpengalaman dalam melihat Hilaal.

Dan jika kriteria saksi telah terpenuhi, maka Pemerintah tidak ada alasan lain untuk menolak; karena menolak persaksian seorang Muslim berarti menuduh atau menghukumi orang yang bersaksi tersebut sebagai orang faasiq / orang kaafir. Dan sikap seperti itu adalah Dosa Besar yang lainnya.

(c)

–   Pertama, adalah bahwa Pemerintah harus terlebih dahulu menetapi aturan dari Al Qur’an dan As Sunnah dalam hal ini menggunakan Ru’yatul Hilaal (melihat Hilaal dengan mata telanjang) sebagai titik tolak dan bukan Hisab (– yakni yang mana memberi ketetapan 2 derajat atau derajat-derajat tertentu terhadap Ru’yatul Hilaal, dengan berdasar pada astronomi atau ilmu Hisab Falaki –).

Apabila Pemerintah kita menentukan bahwa Ru’yatul Hilal yang diterima mereka hanya yang sudah 2 derajat saja, lalu menolak kesaksian Muslimin yang bersumpah melihat Hilaal dengan mata telanjang dengan alasan bahwa Hilaal tersebut belum 2 derajat; maka sikap yang seperti ini tidaklah sesuai dengan Al Qur’an dan As Sunnah karena hal tersebut adalah berarti menjadikan Hisab sebagai landasan utama.

–   Kedua, jika Pemerintah menetapkan berdasarkan Ru’yatul Hilaal (melihat Hilaal dengan mata telanjang), maka seluruh Muslimin Indonesia wajib mentaatinya. Karena taat pada pemerintah dalam Al Haq (kebenaran) adalah berarti taat pada Allooh سبحانه وتعالى.

–  Ketiga, akan tetapi jika Pemerintah menggunakan Hisab sebagai landasan, maka hukum awalnya adalah: “Tidak ada kewajiban taat kepada siapa pun dalam melakukan ma’shiyat kepada Allooh سبحانه وتعالى.”

Perhatikanlah firman Allooh سبحانه وتعالى dalam Al Qur’an Surat An Nisaa’ (4) ayat 59 berikut ini:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً

Artinya:

Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allooh dan ta`atilah Rosuul-(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allooh (Al Qur’an) dan Rosuul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allooh dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Dalam ayat diatas dijelaskan, bahwa kewajiban taat pada ulil amri itu adalah tidak mutlak. Karena apabila terjadi perselisihan antara Pemerintah sebagai ulil amri dan rakyat atau apabila terjadi perselisihan antara rakyat dengan rakyat, maka hukum asalnya adalah hendaknya kita mengembalikan atau menghukumi perkara tersebut dengan apa yang menjadi ketetapan Allooh سبحانه وتعالى dan Rosuul-Nya terlebih dahulu.

Kemudian perhatikan pula Hadits Riwayat Imaam  Ibnu Maajah no: 2865, di-Shohiihkan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albaany رحمه الله dalam Shohiih Sunnan Ibnu Maajah, dari Shohabat ‘Abdullooh bin Mas’uud رضي الله عنه bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda,

سَيَلِيأُمُورَكُمْبَعْدِي،رِجَالٌيُطْفِئُونَالسُّنَّةَ،وَيَعْمَلُونَبِالْبِدْعَةِ،وَيُؤَخِّرُونَالصَّلاَةَعَنْمَوَاقِيتِهَافَقُلْتُ: يَارَسُولَاللهِ،إِنْأَدْرَكْتُهُمْ،كَيْفَأَفْعَلُ؟قَالَ : تَسْأَلُنِييَاابْنَأُمِّعَبْدٍكَيْفَتَفْعَلُ؟لاَطَاعَةَ،لِمَنْعَصَىاللَّهَ

Artinya:

Akan mengurusi perkara kalian orang-orang setelah aku, dimana mereka memadamkan sunnah, mereka mengerjakan Bid’ah, mereka mengakhirkan sholat dari waktu-waktunya.”
Lalu aku (‘Abdullooh bin Mas’uud رضي الله عنه) bertanya, “Wahai Rosuulullooh, jika aku mengalami zaman mereka, bagaimanakah aku harus berbuat?
Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم menjawab, “Wahai Ibnu ummi ‘abdin, engkau bertanya apa yang harus engkau perbuat? Tidak ada ketaatan terhadap siapapun yang berma’shiyat pada Allooh سبحانه وتعالى.”

Juga perhatikan Hadits Riwayat Al Imaam Al Bukhoory no: 7144, dari ‘Abdullooh bin ‘Umar رضي الله عنه bahwa:

قال النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم : السمع والطاعة على المرء المسلم، فيما أحب وكره، ما لم يؤمر بمعصية، فإذا أمر بمعصية؛ فلا سمع ولا طاعة

Artinya:

Nabi صلى الله عليه وسلم telah bersabda, “Mendengar dan taat itu wajib atas seorang Muslim, baik dalam perkara yang dia suka, maupun yang dia benci; selama tidak diperintah dengan ma’shiyat. Jika diperintah ma’shiyat, maka tidak ada kewajiban untuk mendengar dan taat.

Alhamdulillah, kiranya cukup sekian dulu bahasan kita kali ini, mudah-mudahan bermanfaat. Kita akhiri dengan Do’a Kafaratul Majlis :

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Senin malam, 3 Sya’ban 1432 H  –  4 Juli 2011 M.

—– 0O0 —–

Silakan download PDF : Meningkatkan Diri di Bln Romadhon AQI 040711 FNL

3 Comments leave one →
  1. 30 July 2012 1:04 pm

    Ustadz saya mau bertanya…
    Diatas dijelaskan bahwa sholat tarawih 11 rakaat (4 rakaat, 4 rakaat, dan 3 rakaat). Apakah 3 rakaat tersebut termasuk tarawih atau witir?

    Bagaimana dengan tarawih yang 20 / 23 rakaat, apa itu juga boleh dikerjakan?
    Mohon penjelasannya..

    Jazakumullah Khoiron…

    • 4 August 2012 4:55 pm

      1) Ibadah yang anda tanyakan ini sebenarnya dikenal dengan 4 penamaan:
      Didalam bulan Romadhoon, ia dikenal sebagai Sholat Taroowih / Qiyamu Romadhoon,
      Diluar bulan Romadhoon, ia dikenal sebagai Sholat Tahajud / Qiyamu lail.
      Semua itu sama saja.

      * Bahwa melakukan sholat di malam hari adalah tidak lebih dari 11 rokaat (baik Sholat Taroowih maupun Qiyamu Lail) adalah sebagaimana diutarakan dalam Hadits berikut:

      Dalam Hadits Riwayat Al Imaam Al Bukhoory no: 2013 dan Al Imaam Muslim no: 738, dari Shohabat Abu Salamah bin ’Abdurrohman رضي الله عنه ketika beliau bertanya kepada ’Aa’isyah رضي الله عنها tentang bagaimana sholat Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم di bulan-bulan Romadhoon maka ’Aa’isyah رضي الله عنها menjawab bahwa:

      كَيْفَ كَانَتْ صَلاَةُ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي رَمَضَانَ فَقَالَتْ مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ ، وَلاَ فِي غَيْرِهَا عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلاَثًا ، فَقُلْتُ : يَا رَسُولَ اللهِ أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ قَالَ يَا عَائِشَةُ إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ ، وَلاَ يَنَامُ قَلْبِي

      Artinya:

      Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم tidak menambah baik di bulan Romaadhon maupun selainnya dari 11 rokaat tersebut, beliau صلى الله عليه وسلم sholat 4 (empat) rokaat dan jangan kau bertanya tentang baik dan panjangnya, kemudian beliau صلى الله عليه وسلم sholat 4 (empat) rokaat dan jangan kau bertanya tentang baik dan panjangnya, kemudian sholat 3 (tiga) rokaat lalu aku bertanya: ”Wahai Rosuulullooh, apakah engkau tidur sebelum Witir?

      Lalu beliau صلى الله عليه وسلم menjawab, “Hai ’Aa’isyah, dua mataku tidur, tetapi hatiku tidak tidur.”

      * Atau terhitung 13 rokaat jika diperhitungkan dengan ditambah 2 rokaat ringan sebelumnya. Sebagaimana dituntunkan dalam Hadits berikut ini:

      عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا قَامَ مِنَ اللَّيْلِ لِيُصَلِّىَ افْتَتَحَ صَلاَتَهُ بِرَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ

      Artinya:
      “Dari ‘Aa’isyah رضي الله عنها, bahwa bila Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bangun malam hari untuk sholat, maka beliau صلى الله عليه وسلم membuka sholatnya dengan dua roka’at ringan”. (Hadits Riwayat Imaam Muslim no: 1842)

      * Berarti kalo dibedakan maka Sholat Tarowihnya yang (4 rokaat, 4 rokaat) 8 rokaat itu dilaksanakan dengan 4 kali salam, sebagaimana diutarakan penjelasannya dalam Hadits berikut ini:

      Sholat malam itu roka’atnya dilaksanakan dua roka’at – dua roka’at. Yaitu dua roka’at salam, dua roka’at salam. Dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Imaam Al Bukhoory dan Imaam Muslim dari ‘Abdullooh bin ‘Umar رضي الله عنه, sabda Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم,

      « صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خَشِىَ أَحَدُكُمُ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى »

      Artinya:
      Sholat malam itu dua-dua. Jika salah seorang dari kalian khawatir terlambat dengan sholat Shubuhnya, maka sholatlah satu roka’at witir atas sholat yang telah ia lakukan.” (Hadits Riwayat Imaam Muslim no: 1782 dari ‘Abdullooh bin ‘Umar رضي الله عنه)

      * Sedangkan 3 rokaat itu adalah Witirnya. Adapun Witir bisa dilakukan dengan:
      – 2 rokaat salam lalu ditambah 1 rokaat lagi atau
      – 3 rokaat sekaligus lalu salam.

      2) Adapun 20 / 23 rokaat adalah tidak sesuai contoh Rosuulullooh Sholalloohu ‘Alaihi Wassallam sebagaimana diutarakan dalam Hadits Shohiih dari ‘Aa’isyah rhodiyalloohu ‘anha diatas bahwa Rosuulullooh Sholalloohu ‘Alaihi Wassallam TIDAK MENAMBAH (BAIK DI BULAN ROMADHOON MAUPUN DILUAR BULAN ROMADHOON) dari 11 rokaat (11 rokaat ini diluar 2 rokaat sholat ringan yang dikemukakan dalam Hadits diatas).

      Demikianlah semoga menjadi jelas adanya… Barokalloohu fiika

  2. 30 May 2016 6:40 pm

    Alhamdulillah bertambah ilmu yg disertai dalil dan hadist shohih.
    Trimakasih ustadz. Saya share yah

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: