Skip to content

Misi Rosũl (Wadzoif Ar-Rosũl), Kajian-3

6 September 2015

(Transkrip Ceramah AQI 29092014)

 

MISI ROSŨLULLÕH (WADZOIF AR ROSŨL) (Kajian-3)
Oleh: Ustadz Achmad Rofi’i, Lc.M.M.Pd.

Misi Rosuul #3

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allõh سبحانه وتعالى,

Kita ummat Islam sebagai pengikut Muhammad Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم tentunya wajib ber-Ittiba’ (mengikuti) beliau صلى الله عليه وسلم. Oleh karena itu hendaknya kita mawas diri, melakukan introspeksi pada diri kita masing-masing, apakah kita sudah benar-benar ber-Ittiba’ (mengikuti) beliau صلى الله عليه وسلم ataukah belum ?

Pada kajian yang lalu, pembahasan kita sudah sampai pada Misi Rosũlullõh (Wadzoif Ar Rosũl) yang ke- 6 yakni berdakwah, menyeru, memanggil manusia kepada Allõh سبحانه وتعالى. Berikut ini kita bahas kelanjutannya, yakni misi beliau صلى الله عليه وسلم yang ke-7 berupa “Tilãwatil Ãyãh Wat Ta’lim Wat Tazkiyah” (تلاوة الآيات والتعليم والتزكية), jadi Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم diberi misi oleh Allõh سبحانه وتعالى untuk membacakan ayat-ayat Allõh سبحانه وتعالى yang disebut sebagai Ãyãtun Syar’iyyah (آيات شرعية).

VII. Tilãwatil Ãyãt (Membacakan Ayat-Ayat Al Qur’an)

Ãyãt” artinya adalah “Tanda”. Tanda-tanda yang dibacakan oleh Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم sebagai misi beliau adalah “Ãyãtun Syar’iyyah”.

Disamping “Ãyãtun Syar’iyyah” yang menjadi misi Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم, maka ada pula ayat-ayat lain yang disebut sebagai “Ãyãtun Kauniyyah” (آيات كونية); yakni: Tanda-Tanda Kekuasaan Allõh سبحانه وتعالى berupa alam semesta seperti matahari, bulan, bintang, siang, malam dan sebagainya.

Adapun pembahasan kita kali ini adalah difokuskan lebih kepada Ãyãtun Syar’iyyah yang menjadi salah satu diantara misi Rosũl.

Pelajaran yang perlu kita petik dari misi beliau ini adalah bahwa sebagai ummat Islam yang hendak mengikuti Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم, dalam perkara “Tilãwatil Ãyãh Wat Ta’lim Wat Tazkiyah”, maka kita hendaknya berusaha mewujudkan 3 perkara berikut ini:
a) Terampil Membaca Al Qur’an
b) Terbiasa Membaca Al Qur’an
c) Mengajarkan Al Qur’an

a) Terampil Membaca Al Qur’an:

Hendaknya sebagai pengikut Muhammad Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم, kita berupaya untuk terampil dalam membaca Al Qur’an.

Sebagaimana dalam Hadits Shohĩh Riwayat Al Imãm Muslim no: 804, dari shohabat Abu Umamah Al-Bahili رضي الله عنه, beliau berkata: “Aku mendengar Rosûlullõh صلى الله عليه وسلم bersabda :

اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لأَصْحَابِه

Artinya:
Bacalah oleh kalian Al-Qur`an. Karena ia (Al-Qur`an) akan datang pada Hari Kiamat kelak sebagai pemberi syafa’at bagi orang-orang yang membacanya.”

Dengan demikian, Al Qur’an dapat menjadi pemberi syafa’at bagi pembacanya di hari Kiamat kelak. Namun, sangatlah disayangkan bahwa di zaman sekarang masih banyak diantara kaum Muslimin yang ternyata tidak bisa membaca Al Qur’an. Oleh karena itu semestinya diadakan suatu gerakan nasional dalam memberantas buta huruf Al Qur’an.

Perhatikan pula Hadits Shohĩh Riwayat Al Imãm Al Bukhõry no: 4937 dan Al Imãm Muslim no: 798, dari Ummul Mu`minin ‘Ã’isyah رضي الله عنها, bahwa Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم bersabda :

الَّذِي يَقْرَأُ القُرْآنَ وَهُوَ مَاهِرٌ بِهِ مَعَ السَّفَرَةِ الكِرَامِ البَرَرَةِ، وَالَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيهِ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أجْرَانِ

Artinya:
Barangsiapa yang membaca Al-Qur`an dan dia mahir membacanya, maka dia bersama para malaikat yang mulia. Dan barangsiapa yang membaca Al-Qur`an sedang dia terbata-bata, maka baginya dua pahala.”

Dengan demikian, orang yang mahir membaca Al-Qur`an adalah orang yang bagus dan tepat bacaannya. Meskipun demikian, Hadits diatas memberikan motivasi bagi setiap Muslim untuk tetap rajin belajar membaca Al Qur’an, oleh karena orang yang tidak tepat dalam membacanya serta masih mengalami kesulitan / terbata-bata sekalipun, maka baginya ada dua pahala yakni: (a) pahala tilawah, dan (b) pahala atas keletihan dan kesulitan yang ia alami dalam upayanya belajar membaca Al Qur’an.

b) Terbiasa Membaca Al Qur’an:

Bukan saja bisa dan terampil membaca Al Qur’an, maka kita kaum Muslimin hendaknya terbiasa membaca Al Qur’an.

Sebagai contoh: hendaknya setiap hari kita minimal sanggup membaca 2 halaman mushaf Al Qur’an. Apabila mushaf Al Qur’an itu ada sekitar 600 halaman, maka dalam setahun paling tidak kita akan bisa khatam Al Qur’an 1 X. Kalau saja 2 halaman mushaf Al Qur’an itu bisa dibaca dalam waktu 5 menit, maka mengapakah kita tidak bisa menyediakan waktu barang 5 menit saja seharinya untuk membaca Al Qur’an; sementara waktu yang dihabiskan oleh sebagian kalangan kaum Muslimin di depan TV dalam kesia-siaan dan kelalaian, menonton siaran sepakbola itu bahkan bisa hingga berjam-jam lamanya ?

Padahal, alangkah besarnya pahala kebajikan yang diberikan Allõh سبحانه وتعالى bagi orang yang membaca bahkan hanya 1 huruf saja dari Al Qur’an, hal ini sebagaimana sabda Rosũlullõhصلى الله عليه وسلم dalam Hadits Shohĩh Riwayat Al Imãm At Turmudzy no: 2910, dari Shohabat ‘Abdullõh bin Mas’ũd رضي الله عنه sebagai berikut:

من قرأ حرفا من كتاب الله فله به حسنة والحسنة بعشر أمثالها لا أقول آلم حرف ولكن ألف حرف ولام حرف وميم حرف

Artinya:
Siapa yang membaca satu huruf saja dari Al Qur’an, maka ia berhak atasnya kebajikan satu. Dan satu kebajikan itu dilipatgandakan oleh Allõh سبحانه وتعالى menjadi sepuluh kali. Aku tidak katakan Alif-Lam-Mim itu satu huruf, melainkan Alif satu huruf, Lam satu huruf dan Mim satu huruf.

Sungguh merugi apabila pahala kebajikan yang sedemikian besar itu tergantikan oleh kelalaian menonton TV berjam-jam lamanya.

Disamping itu, orang yang terbiasa membaca Al Qur’an dan orang yang di dalam hatinya ada memory hafalan Al Qur’an maka in syã Allõh jin akan takut kepada orang yang demikian. Karena orang yang terbiasa membaca Al Qur’an itu sangatlah memahami bahwa tidaklah jin dan syaithõn itu dapat mengganggu dirinya apabila ia ber-iman dan ber-tawakkul kepada Allõh سبحانه وتعالى, sebagaimana firman-Nya dalam QS. An Nahl (16) ayat 99 :

إِنَّهُ لَيْسَ لَهُ سُلْطَانٌ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

Artinya:
Sungguh, syaithõn itu tidak akan berpengaruh terhadap orang yang beriman dan bertawakkul kepada Robb-nya.”

Jadi, kalau saja pada diri setiap Muslim itu ada memory hafalan Al Qur’an dan ia terbiasa membaca Al Qur’an maka secara otomatis ia telah me-ruqyah dirinya sendiri setiap hari. Tidak perlu bantuan orang lain untuk me-ruqyah diri kita, tidak perlu ada Ruqyah secara Nasional. Karena setiap Muslim in syã Allõh dapat memproteksi dirinya dengan terbiasa membaca Al Qur’an, menghafal Al Qur’an dan menanamkan ‘aqîdah yang kuat di dalam dirinya.

Hendaknya memperbanyak pula berdo’a kepada Allõh سبحانه وتعالى dengan do’a yang diajarkan oleh Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم sebagaimana dalam Hadits Riwayat Al Imãm Muslim no: 2708, dari Shohabiyah Khoulah binti Hakim As Sulamiyyah رضي الله عنها, berikut ini:

أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ

Artinya:
Aku berlindung dengan kalimat Allõh yang sempurna dari kejahatan mahluk-Nya.”

Juga perlu disadari oleh kaum Muslimin bahwa janganlah kita hanya sekedar membaca tanpa berusaha memahami serta mengamalkan kandungan yang terdapat di dalamnya, oleh karena terdapat pula peringatan dari Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم, sebagaimana dalam Hadits Riwayat Al Imãm Muslim no: 223, dari shohabat Abu Mãlik Al Asy’ari رضي الله عنه sebagaimana berikut ini :

والقرآن حجة لك أو عليك

Artinya:
Dan Al-Qur`an itu bisa menjadi pembelamu atau penghujatmu.”

Dari hadits diatas dapatlah diambil suatu pelajaran bahwa tujuan terpenting dari diturunkannya Al-Qur`an adalah untuk diamalkan. Hal ini sesuai pula dengan firman Allõh سبحانه وتعالى dalam QS. Shõd (38) ayat 29:

كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الألْبَابِ

Artinya:
Kitab (Al Qur’an) yang Kami turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka menghayati ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal sehat mendapat pelajaran.”

Dan dalam Hadits Riwayat Al Imãm Al Bukhõry no: 5420 dan Al Imãm Muslim no: 797, dari shohabat Abu Musa Al-Asy’ari رضي الله عنه, bahwa Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم bersabda :

مَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي يَقْرَأُ القُرْآنَ مَثَلُ الأُتْرُجَّةِ : رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا طَيِّبٌ ، وَمَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي لاَ يَقْرَأُ القُرْآنَ كَمَثَلِ التَّمْرَةِ : لاَ رِيحَ لَهَا وَطَعْمُهَا حُلْوٌ ، وَمَثلُ المُنَافِقِ الَّذِي يقرأ القرآنَ كَمَثلِ الرَّيحانَةِ : ريحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ ، وَمَثَلُ المُنَافِقِ الَّذِي لاَ يَقْرَأُ القُرْآنَ كَمَثلِ الحَنْظَلَةِ : لَيْسَ لَهَا رِيحٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ

Artinya:
Perumpamaan seorang mu`min yang membaca Al-Qur`an adalah seperti buah Al-Atrujah : baunya harum dan rasanya enak. Perumpamaan seorang mu`min yang tidak membaca Al-Qur`an adalah seperti buah tamr (kurma) : tidak harum tapi manis rasanya. Perumpamaan seorang munãfiq namun ia membaca Al-Qur`an adalah seperti buah Raihanah : baunya harum, pahit rasanya. Sedangkan perumpamaan seorang munãfiq yang tidak membaca Al-Qur`an adalah seperti buah Handzolah : tidak berbau, bahkan rasanya pun pahit.”

Dengan demikian, seorang mu`min yang membaca Al-Qur`an itu adalah laksana buah Al-Atrujah, yaitu buah yang baunya harum dan rasanya enak. Ia memiliki hati dan jiwa yang baik, serta bisa memberikan kebaikan kepada orang lain disekitarnya. Adapun seorang mu’min yang tidak membaca Al-Qur`an adalah laksana buah kurma. Walau rasanya enak namun tidak berbau harum. Bisa jadi ia baik bagi dirinya sendiri, namun kurang memberikan kebaikan kepada orang lain di sekitarnya. Jadi seorang mu’min yang rajin membaca Al-Qur`an tentunya jauh lebih utama dibandingkan mu’min yang tidak membaca Al-Qur`an. Tidak membaca Al-Qur`an dalam artian ia tidak mengerti bagaimana membaca Al-Qur`an, dan tidak pula berupaya untuk mempelajarinya.

Sedangkan perumpamaan seorang munãfiq yang membaca Al-Qur`an adalah seperti buah Raihanah: baunya harum, namun rasanya pahit. Karena orang munãfiq itu menampakkan dirinya sebagai muslim, akan tetapi sesungguhnya hatinya adalah kafir. Kaum munãfiq ini sebagaimana firman Allõh سبحانه وتعالى dalam QS. Al Baqoroh (2) ayat 8-10 :

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ (٨) يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ (٩) فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ (١٠

Artinya:
(8) “Di antara manusia ada yang mengatakan: “Kami beriman kepada Allõh dan Hari Akhir,” padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.
(9) Mereka hendak menipu Allõh dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar.
(10) Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allõh tambah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.”

Alangkah mengerikannya, sekalipun memiliki kemampuan membaca Al Qur’an dengan bacaan yang bagus dan tepat, namun orang yang tergolong munãfiq itu digambarkan keadaannya oleh Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم adalah sebagaimana dalam Hadits Riwayat Al Imãm Al Bukhõry no: 7432, dari shohabat Abu Sa’ĩd A Khudry رضي الله عنه, yakni :

يَقْرَؤُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ

Artinya:
Mereka membaca Al-Qur`an, namun bacaan mereka tidak melampaui kerongkongan mereka.”

Artinya, Al Qur’an yang dibacanya itu hanya sampai di kerongkongannya belaka, tidaklah sampai menembus ke hatinya sehingga tidak mampu menjadikan hatinya beriman kepada Allõh سبحانه وتعالى.

Kemudian ada pula orang munãfiq yang tidak membaca Al Qur’an, maka ini bahkan lebih buruk lagi, karena ia diibaratkan seperti buah Handzholah yang selain ia tidak berbau, bahkan rasanya pun pahit. Bukan saja tidak membawa kebaikan bagi dirinya, bahkan ia menebarkan keburukan bagi orang lain di sekitarnya.

Pada intinya, janganlah hanya membaca Al Qur’an tanpa berusaha memahami makna yang terkandung di dalamnya; dan jangan pula bacaan Al Qur’an itu berlalu begitu saja tanpa ada upaya untuk mengamalkannya.

c) Mengajarkan Al Qur’an:

Dalam artian, membacakan, mengajarkan cara membaca Al Qur’an serta menyampaikan tafsîr Al Qur’an secara benar dan tepat. Ketika seseorang hendak mengajarkan Al Qur’an maka ia harus menguasai metode / cara untuk mengajarkan Al Qur’an tersebut sehingga mudah diterima serta mudah dipahami oleh orang yang diajarinya. Ia harus pula memiliki ‘ilmu, alat / sarana agar jangan sampai orang lain yang diajarinya salah dalam memahami tafsĩr Al Qur’an.

Dalam Hadits Riwayat Al Imãm Al Bukhõry no: 5027, dari shohabat ‘Utsman bin ‘Affan رضي الله عنه, bahwa Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم bersabda :

خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ

Artinya:
Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Al-Qur`an dan mengajarkannya.”

Nah, sudahkah kita kaum Muslimin melaksanakan 3 poin diatas? Kalau belum, maka marilah kita berusaha untuk ber-ittiba’ kepada Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم dengan mengikuti misi beliau صلى الله عليه وسلم diatas, yakni: Terampil, Terbiasa & Mengajarkan Al Qur’an. Tidak ada kata terlambat, mari setiap diri kita memulainya dari sekarang.

VIII. At Ta’lim (التعليم)

Misi Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم berikutnya adalah “At Ta’lim”, artinya: memindahkan (mentransformasikan) ilmu (diin) kepada orang lain.

Bila kita hendak Ittiba’ terhadap Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم, maka kita pun harus berpartisipasi dalam misi beliau صلى الله عليه وسلم ini. Namun sebelum mentransformasikan ‘ilmu (diin) kepada orang lain, maka kita pun hendaknya ber-‘ilmu terlebih dahulu. Setiap Muslim harus belajar ‘ilmu (diin). Jangan sampai untuk urusan dunia yang belum tentu mendatangkan kebaikan bagi akheratnya itu ia bisa menghabiskan waktunya siang dan malam; namun untuk urusan diin / agama yang justru dapat menuntunnya selamat baik di dunia maupun di akherat itu, ia malah lalai.

Dalam Hadits Riwayat Al Imãm Al Bukhõry no: 3461 dari shohabat ‘Abdullõh bin ‘Amr رضي الله عنه, bahwa Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم bersabda:

بَلِّغُوا عَنِّى وَلَوْ آيَةً

Artinya:
Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat.”

Walaupun hanya satu ayat yang dituntut untuk disampaikan kepada orang lain, namun dalam menyampaikan ayat tersebut kita harus menyampaikannya secara benar. Pemahaman dari ayat tersebut haruslah benar dan tepat sesuai apa yang dipahami oleh para Shohabat Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم, Tabi’ũn, Tabi’ut Tabi’ĩn dan para ‘Ulama yang mu’tabar dari kalangan ummat ini. Menyampaikan ayat dengan pemahaman yang keliru, justru dapat berbahaya karena dapat membuat sesat orang lain; dan hal ini telah kita bahas dalam kajian lalu yakni berkenaan dengan Hadits yang meng-khobar-kan tentang adanya para da’i penyeru di pintu api neraka jahannam.

Dan perlu pula diingat, kalaupun seseorang itu telah menguasai ‘ilmu (diin), ia hendaknya harus tetap bersikap tawaadhu’. Bila ia mendapati ‘ilmu (diin) disampaikan kepadanya dari orang yang bisa jadi secara ke-‘ilmu-an adalah lebih rendah kedudukan ke-‘ilmu-annya daripada dirinya, hendaknya ia tetap menerima dan mendengarkannya.

Hal ini sebagaimana dalam Hadits Riwayat Al Imãm Abu Dãwud no: 3662, dari shohabat Zaid bin Tsãbit رضي الله عنه, beliau berkata, “Aku mendengar Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم bersabda:

نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيثًا فَحَفِظَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيهٍ

Artinya:
Semoga Allõh mencerahkan wajah seseorang yang mendengar dari kami satu hadits, lalu menghafalnya, kemudian dia menyampaikannya, maka bisa jadi dia membawa fiqh (meriwayatkan hadits) kepada orang yang lebih faqih (paham) darinya. Dan bisa jadi seorang pembawa fiqh (perowi hadits) tetapi dia tidak paham (terhadap hadits yang diriwayatkan-nya).”

Berarti, seorang yang ber-‘ilmu itu tetaplah harus bersikap tawadhu’, ia tetap mau menerima dan mendengarkan terlebih dahulu ‘ilmu yang disampaikan kepadanya, walaupun ‘ilmu itu datang dari orang yang tidak lebih faqih daripada dirinya sekalipun. Hal ini merupakan cerminan kemuliaan akhlaq seorang ‘Ulama.

IX. At Tazkiyah (التزكية)

Diantara misi Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم adalah “At Tazkiyah”, artinya adalah: mensucikan (menjadikan suci) rohani (jiwa), bebas daripada syirik. Diantara dalîlnya (sebagaimana telah kita bahas dalam kajian lalu) adalah QS. Al Jumu’ah (62) ayat 2 dan QS. Ãli ‘Imrõn (3) ayat 164. Tidak boleh ada ketergantungan kepada sesuatu apapun, selain hanyalah bergantung kepada Allõh سبحانه وتعالى. Tidak boleh ada keyakinan di dalam dirinya bahwa ada sesuatu yang lebih berhak untuk diibadahi, selain hanyalah Allõh سبحانه وتعالى. Proses untuk membersihkan jiwa dari keyakinan dan sikap seperti itulah yang disebut “At Tazkiyah”.

Dalîl lain adalah firman Allõh سبحانه وتعالى dalam QS. Al Baqoroh (2) ayat 151:

كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولا مِنْكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ

Artinya:
Sebagaimana (kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu seorang Rosûl dari kalangan kamu yang membacakan ayat-ayat Kami, menyucikan kamu dan mengajarkan kepadamu kitab (Al Qur’an) dan Al-Hikmah, serta mengajarkan apa yang belum kamu ketahui.”

Termasuk pula kedalam perkara “At Tazkiyah” adalah mensucikan rohani (jiwa) dan diri seseorang dari perilaku tercela dan berbagai penyakit hati, seperti misalnya: Ujub (bangga diri), Sombong, Riya’, Sum’ah, Rakus / Tamak, dan sebagainya. Hal ini sebagaimana diriwayatkan dalam Hadits yang terdapat dalam Kitab “Silsilah Hadits Shohĩhah” no: 45 karya Syaikh Nashiruddin Al Albãny, dari Shohabat Abu Hurairoh رضي الله عنه, bahwa Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم bersabda:

إِنَّمَابُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ

Artinya:
Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”

Inilah diantara misi Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم. Berarti apabila kita hendak ber-Ittiba’ kepada Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم, maka kita hendaknya mengikuti beliau صلى الله عليه وسلم pula dalam misi yang satu ini.

Nah, yang menjadi permasalahan adalah, bagaimana kita akan membersihkan (mensucikan) orang lain, apabila diri kita sendiri pun tidak terlebih dahulu kita upayakan untuk berusaha menjadi suci, bersih dari syirik dan berbagai penyakit hati serta perilaku yang tercela ?

Ternyata, ber-Ittiba’ (mengikuti) Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم tidaklah sesederhana seperti yang kita duga. Namun, setiap Muslim tetap saja harus berusaha. Mulailah dari diri kita sendiri masing-masing, bagaimana caranya agar kita senantiasa berusaha untuk mensucikan baik rohani maupun fisik kita dari syirik, berbagai penyakit hati maupun perilaku yang tercela. Oleh karena kita memiliki misi untuk mensucikan orang lain sesudahnya.

Bila setiap Muslim memiliki spirit (semangat) seperti itu, maka in syã Allõh ma’ruf akan tersebar dalam masyarakat.

X. Amar Ma’ruf Nahi Mungkar (الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر)

Perhatikanlah firman Allõh سبحانه وتعالى dalam QS. Al A’rõf (7) ayat 157:

الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الأمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِنْدَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالإنْجِيلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالأغْلالَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ فَالَّذِينَ آمَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُوا النُّورَ الَّذِي أُنْزِلَ مَعَهُ أُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Artinya:
(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rosũl (Muhammad), Nabi yang ummi (tidak bisa baca tulis) yang (nama dan sifatnya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada pada mereka, yang menyuruh mereka berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, dan yang menghalalkan segala yang baik bagi mereka dan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka, dan membebaskan beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Adapun orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang (Al Qur’an) yang diturunkan kepadanya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

Dari ayat diatas dapat diambil pelajaran bahwa Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم memiliki tugas:

a) Menyuruh mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mengerjakan yang mungkar.

Dalam kitab-kitab sejarah (siroh), bisa kita baca bahwa Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم itu sepanjang hidupnya aktif melaksanakan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Kalau ada diantara kita kaum Muslimin yang mengaku sebagai pengikut Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, lalu enggan ber-amar ma’ruf, apalagi ber-nahi mungkar; maka bisa jadi kita ini baru sebatas “mengaku” saja sebagai pengikut beliau صلى الله عليه وسلم. Kita belum benar-benar mempraktekkan dalam amal perbuatan kita apa yang menjadi misi Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم ini. Semoga Allõh سبحانه وتعالى menolong kita agar dimudahkan untuk dapat ber-Ittiba’ kepada Nabi kita صلى الله عليه وسلم dalam perkara amar ma’ruf dan nahi mungkar.

b) Menghalalkan segala yang baik, mengharamkan segala yang buruk.

Berarti, apa yang diperintahkan syari’at sudah pasti baik, sudah pasti maslahat bagi kaum Muslimin; dan apa yang dilarang syari’at sudah pasti buruk bagi kaum Muslimin. Poin ini harus dicamkan sungguh-sungguh dalam hati kita. Jangan ada diantara kaum Muslimin yang mengaku sebagai pengikut Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, tetapi dalam kenyataannya ketika disodorkan pada dirinya syari’at Islam maka ia menolak, tidak mau menerima dengan berbagai alasannya. Berarti pengakuannya sebagai pengikut Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم perlu dipertanyakan, apakah itu pengakuan yang benar ataukah dusta?

Sebagai contoh: apabila kita sampaikan bahwa “Merokok itu Harom”, tidak jarang diantara kaum Muslimin yang membantahnya, berkilah dengan berbagai macam alasan. Padahal, bukankah para dokter / ahli kesehatan telah menyatakan bahwa “Merokok itu berbahaya bagi kesehatan, karena dapat menyebabkan kanker paru-paru, serangan jantung, impotensi….” dsbnya, dsbnya. Dengan demikian terkait dengan ayat ini, maka apabila Merokok itu secara medis memang terbukti buruk bagi kesehatan manusia, maka sangat jelas mengapa ia diharomkan. Karena apa saja yang buruk itu pastilah diharomkan dalam syari’at Islam.

c) Membuang beban-beban dan belenggu yang ada

Apa yang menjadi beban bagi kaum Muslimin telah dihilangkan oleh Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم. Namun sangatlah disayangkan bahwa kaum Muslimin di zaman sekarang ini kembali mengalami sebagaimana apa yang dialami kaum di masa jahiliyyah dahulu. Apabila di zaman Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم dahulu riba maupun pajak telah dihilangkan, dan di masa itu yang diberdayakan adalah justru zakat, infaq dan shodaqoh yang dicintai Allõh سبحانه وتعالى; maka di zaman sekarang bahkan yang terjadi adalah sebaliknya. Dimana-mana riba digalakkan. Bank-bank ribawi menjamur. Kaum Muslimin masih pula dikenakan beban berupa pajak yang semakin hari semakin tinggi nilainya. Sehingga semua ini menjadi beban-beban dan belenggu yang menghimpit dan memberatkan bagi kaum Muslimin. Allõhul musta’ãn.

Untuk ber-Ittiba’ (mengikuti) Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم dalam misi beliau ini, kaum Muslimin sebelumnya harus ber-‘ilmu (diin) terlebih dahulu. Kaum Muslimin harus tahu mana yang ma’ruf dan mana yang mungkar, mana yang halal dan mana yang harom, mana yang menjadi beban / belenggu bagi mereka dan mana yang tidak.

Harus pula ada diantara kaum Muslimin yang memikirkan tentang kaderisasi ummat. Tentu tidak semua kaum Muslimin sudah mencapai tahapan dalam kemampuan untuk membentuk kaderisasi ummat. Oleh karenanya, hal itu merupakan suatu Fardhu Kifayah. Namun bagi yang telah memiliki kemampuan dalam hal ini hendaknya ia berpikir bagaimana ia harus membentuk kaderisasi ummat Islam, agar ummat Islam tidak menjadi ummat yang lemah di masa depannya.

Perhatikanlah firman Allõh سبحانه وتعالى dalam QS. At Taubah (9) ayat 122 :

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

Artinya:
Tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan diantara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali agar mereka dapat menjaga dirinya.

Dengan demikian, berarti harus ada pembagian tugas. Sebagai contoh, harus ada kaum muslimin yang dikader untuk spesialis memerankan amar ma’ruf nahi mungkar, ada pula kaum muslimin yang dikader untuk spesialis berdakwah menjelaskan kepada ummat mana yang halal dan mana yang harom, ada pula kaum muslimin yang dikader untuk berjuang membangun sistem ekonomi Islam, dan lain sebagainya. Setiap kader ini harus saling bersinergi, agar kaum Muslimin terbentuk menjadi suatu bangunan yang kokoh, satu sama lain saling menolong, masing-masing mengambil peran sesuai porsi / bidang kemampuannya, bagaimana caranya agar ummat Islam menjadi ummat yang kuat dan berjaya. Bukan justru saling bertengkar, saling berselisih diantara satu sama lainnya, yang dapat menjadi penyebab semakin melemahnya ummat ini.

Kelalaian dalam melakukan kaderisasi ummat dapat membawa akibat sebagaimana yang diperingatkan Allõh سبحانه وتعالى dalam QS. Maryam (19) ayat 59 berikut ini:

فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا

Artinya:
Maka datanglah sesudah mereka, generasi yang menyia-nyiakan sholat dan memperturutkan hawa nafsunya. Maka mereka kelak akan menemui kesesatan.”

Artinya, hendaknya kita kaum Muslimin berpikir, berencana dan kemudian berusaha agar janganlah kita meninggalkan generasi ke depan yang lemah, baik lemah dalam ‘aqĩdah-nya, lemah ibadah-nya, lemah ekonomi-nya, lemah dalam siyassah syar’iyyah, lemah akhlaq-nya, dan lemah dalam berbagai perkara lainnya; akibat dari kita sebagai generasi tua (sebelumnya) melalaikan upaya untuk meng-kaderisasi ummat ini.

XI. Al Bayãn / Memberi Penjelasan (البيان)

Misi Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم yang berikutnya adalah “Al Bayãn”, yakni menjelaskan tentang Al Islãm, menerangkan kepada ummat berbagai perkara dalam diin ini (yang semula tidak jelas hingga menjadi jelas) bagi ummat.

Perhatikanlah firman Allõh سبحانه وتعالى dalam QS. An Nahl (16) ayat 44:

بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

Artinya:
(Mereka Kami utus) dengan membawa keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan Adz Dzikr (Al Qur’an) kepadamu, agar kamu (Muhammad) menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan.

Al Qur’an disebut sebagai “Adz Dzikr”, karena didalamnya berisi seluruh perkara yang menjadi kebutuhan seorang hamba Allõh سبحانه وتعالى, baik dalam urusan diin, dunia maupun akhiratnya.

Adapun Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم diutus untuk “menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka”; maksudnya: Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم diperintah Allõh سبحانه وتعالى untuk menjelaskan kepada manusia tentang berbagai perintah maupun larangan Allõh سبحانه وتعالى, serta tentang berbagai aturan / hukum Allõh سبحانه وتعالى (syari’at Islam). Dalam ayat ini terkandung pula pelajaran bahwa fungsi As Sunnah adalah untuk menerangkan Al Qur’an, dan ayat ini merupakan bantahan yang nyata bagi kaum yang “Ingkar Sunnah” (yakni kaum yang menolak Sunnah Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, kaum yang tidak mau berpedoman dengan Hadits-Hadits yang shohĩh dari Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم). Padahal jelas dalam ayat ini bahwa Al Qur’an itu butuh kepada Sunnah Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم.

Dalĩl yang berikutnya adalah firman Allõh سبحانه وتعالى dalam QS. Al Mã’idah (5) ayat 15-16 dan 19 sebagai berikut:

يَا أَهْلَ الْكِتَابِ قَدْ جَاءَكُمْ رَسُولُنَا يُبَيِّنُ لَكُمْ كَثِيرًا مِمَّا كُنْتُمْ تُخْفُونَ مِنَ الْكِتَابِ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ قَدْ جَاءَكُمْ مِنَ اللَّهِ نُورٌ وَكِتَابٌ مُبِينٌ (١٥) يَهْدِي بِهِ اللَّهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَهُ سُبُلَ السَّلامِ وَيُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِهِ وَيَهْدِيهِمْ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (١٦

Artinya:
(15) “Wahai Ahli Kitab! Sesungguhnya Rosũl Kami telah datang kepadamu, menjelaskan kepadamu banyak hal dari isi kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allõh, dan kitab yang menjelaskan,
(16) Dengan kitab itulah Allõh memberi petunjuk kepada orang yang mengikuti keridho’an-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allõh mengeluarkan orang itu dari gelap gulita kepada cahaya dengan izin-Nya, dan menunjukkan ke jalan yang lurus.”

يَا أَهْلَ الْكِتَابِ قَدْ جَاءَكُمْ رَسُولُنَا يُبَيِّنُ لَكُمْ عَلَى فَتْرَةٍ مِنَ الرُّسُلِ أَنْ تَقُولُوا مَا جَاءَنَا مِنْ بَشِيرٍ وَلا نَذِيرٍ فَقَدْ جَاءَكُمْ بَشِيرٌ وَنَذِيرٌ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Artinya:
(19) “Wahai Ahli Kitab! Sungguh, Rosũl Kami telah datang kepada kamu, menjelaskan (syari’at Kami) kepadamu ketika terputus (pengiriman) rosũl-rosũl agar kamu tidak mengatakan, “Tidak ada yang datang kepada kami baik seorang pembawa berita gembira maupun seorang pemberi peringatan.” Sesungguhnya telah datang kepadamu pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Allõh Mahakuasa atas segala sesuatu.”

Ahli Kitab” yang dimaksud dalam ayat diatas adalah “orang-orang Yahudi dan Nashroni”. Dalam QS. Al Mã’idah (5) ayat 15 Allõh سبحانه وتعالى meng-khobarkan kepada kita bahwa Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم telah diutus kepada kaum Yahudi dan Nashroni untuk menjelaskan kepada mereka tentang isi Taurat dan Injil yang ayat-ayatnya banyak disembunyikan oleh mereka (kaum Yahudi dan Nashroni). Dan Al Qur’an yang diturunkan itu menjadi penjelas atasnya.

Dari ayat diatas dapatlah diambil pelajaran bahwa orang yang akan menjelaskan kepada kaum Yahudi dan Nashroni itu hendaknya tahu seluk-beluk tentang Taurat dan Injil sehingga ia bisa menjelaskan dimana letak ke-otentikan Taurat dan Injil dan dimana letak ketidak-otentikan Taurat dan Injil. Jadi dibutuhkan Muslim yang dapat meng-counter kekeliruan ajaran kaum Yahudi dan Nashroni, yang di zaman sekarang disebut sebagai “Kristolog”. Bila perlu ada Muslim yang dikader untuk menghadapi kaum Yahudi dan Nashroni, dan untuk hal ini dibutuhkan ‘ilmu (diin) yang cukup dan mumpuni.

Pelajaran lain dari ayat diatas adalah bahwa diantara misi Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم yaitu menjelaskan tentang syari’at Islãm. Sebagai contoh adalah tentang Sholat. Di dalam Al Qur’an tidak ada penjelasan bagaimana tata cara sholat, bahwa sholat fardhu itu 5 kali sehari semalam. Tidak ada penjelasan seperti itu. Akan tetapi, penjelasan tentang tatacara Sholat dapat ditemui dalam Sunnah atau Hadits-Hadits yang shohĩh dari Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم. Bahkan beliau صلى الله عليه وسلم bersabda secara jelas agar kaum Muslimin mengikuti cara beliau sholat, sebagimana dalam Hadits Riwayat Al Imãm Al Bukhõry no: 631, dari Shohabat Mãlik bin Al Huwairits رضي الله عنه:

وَصَلُّوا كَمَا رَأَيتُمُوْنِي أُصَلِي

Artinya:
Dan sholatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku sholat.”

Kita sebagai kaum Muslimin yang hidup di zaman sekarang, bagaimana kita tahu tatacara Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم sholat? Tentu kita bisa mengetahui tatacara beliau صلى الله عليه وسلم sholat adalah melalui Hadits-Hadits yang shohĩh. Ada di Kitab-Kitab Hadits, ada di Kitab-Kitab Fiqh; sudah sangat lengkap. Apabila ada ummat Islam yang tidak tahu, maka itu bukan karena Islam yang kurang, bukan pula karena Sunnah yang kurang; melainkan karena orang tersebut kurang mempelajari Sunnah Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, kurang membaca maupun mendalami Kitab-Kitab Hadits. Oleh karena itu, hendaknya disamping memiliki Al Qur’an maka kaum Muslimin pun perlu melengkapi diri dan keluarganya dengan kitab-kitab Hadits yang shohĩh agar ia dapat mengamalkan ajaran Islam ini secara benar.

Telah sedemikian lengkapnya Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم menjelaskan Al Islam kepada ummatnya sampai-sampai dalam suatu khutbah sebagaimana dalam Hadits Shohĩh Riwayat Al Imãm Muslim no: 7445, dari shohabat Hudzaifah Ibnul Yaman رضي الله عنه diriwayatkan sebagai berikut :

عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ قَامَ فِينَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَقَامًا مَا تَرَكَ شَيْئًا يَكُونُ فِى مَقَامِهِ ذَلِكَ إِلَى قِيَامِ السَّاعَةِ إِلاَّ حَدَّثَ بِهِ حَفِظَهُ مَنْ حَفِظَهُ وَنَسِيَهُ مَنْ نَسِيَهُ قَدْ عَلِمَهُ أَصْحَابِى هَؤُلاَءِ.

Artinya:
“Telah berdiri Rosũl صلى الله عليه وسلم di hadapan kami, ketika itu Rosũl صلى الله عليه وسلم menyebutkan sehingga tidak ada yang tertinggal sedikit pun dari perkara diin ini sampai dengan hari kiamat, kecuali Rosũl صلى الله عليه وسلم menyampaikannya. Hafal bagi yang hafal, lupa bagi yang lupa. Dimana para shohabat-shohabatku telah mengetahuinya.”

Kemudian dikatakan pula oleh shohabat Abu Dzar Al Ghifãri رضي الله عنه, sebagaimana dalam Hadits Riwayat Al Imãm Ahmad no: 21399 sebagai berikut:

قَالَ أَبُو ذَرٍّ لَقَدْ تَرَكَنَا مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا يُحَرِّكُ طَائِرٌ جَنَاحَيْهِ فِي السَّمَاءِ إِلَّا أَذْكَرَنَا مِنْهُ عِلْمًا

Artinya:
Sungguh Rosũl Muhammad صلى الله عليه وسلم telah meninggalkan (bagi) kita, bahkan sampai burung yang menggerakkan kedua sayapnya di langit, kecuali telah Rosũl صلى الله عليه وسلم sebutkan ‘ilmu tentangnya.”

Berarti Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم telah melaksanakan misi beliau untuk menjelaskan Al Islam secara lengkap kepada ummatnya. Berikutnya menjadi kewajiban kita lah kaum Muslimin untuk ber-Ittiba’ (mengikuti) Nabi kita Muhammad صلى الله عليه وسلم, dalam melaksanakan misi beliau ini yakni dengan menyampaikan penjelasan tentang Al Islam tersebut (sebagaimana Rosũl kita telah menjelaskannya) kepada keluarga kita, dan kepada orang-orang di sekitar kita (baik itu Muslim maupun orang kãfir) agar mereka dapat memahami diin ini secara benar. Hal ini bisa kita lakukan sesuai kemampuan kita masing-masing, misal dengan berpartisipasi membagikan Al Qur’an dan terjemahannya di daerah-daerah rawan pemurtadan, atau memberikan kitab-kitab Hadits shohĩh kepada saudara-saudara yang hendak kita dakwahi, dan lain sebagainya.

Secara garis besar diantara “Peran serta umumnya kaum Muslimin dalam dakwah”, antara lain adalah :

(a) Mempelajari Islam dengan benar sehingga diharapkan ilmu diin mereka dapat melahirkan keyakinan, perkataan dan perbuatan yang mendatangkan perkara yang ma’ruf bagi diri mereka, serta menghindarkan mereka dari perkara yang mungkar

(b) Mensyi’arkan yang ma’ruf tersebut seperti mengamalkan perkara-perkara yang sesuai Sunnah Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم, dari mulai cara berpakaian, memakmurkan masjid dengan sholat berjama’ah, mendawamkan tilawatil Qur’an dan dzikir, berlaku jujur, berakhlaq yang baik, dan lain sebagainya.

(c) Mengingkari segala perbuatan yang mungkar, baik dalam keluarga maupun masyarakat dengan cara yang hikmah, seperti misalnya: menegur dan menasehati secara baik-baik orang yang merokok – orang yang berjudi – atau pelaku rentenir, menegur dan menasehati secara lemah lembut wanita yang belum berjilbab sehingga ia pada akhirnya mau berjilbab, dan lain sebagainya.

XII. Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم Diutus Untuk Ditaati (حق الطاعة)

Misi Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم berikutnya adalah menjelaskan kepada ummat manusia agar manusia taat kepada Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم. Dan yang demikian itu bukan semata-mata keinginan dan kehendak beliau صلى الله عليه وسلم, melainkan atas instruksi dari Allõh سبحانه وتعالى.

Perhatikanlah firman Allõh سبحانه وتعالى dalam QS. An Nisã’ (4) ayat 64:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا

Artinya:
Dan Kami tidak mengutus seorang rosûl melainkan untuk ditaati dengan izin Allõh. Sungguh, sekiranya mereka setelah menzalimi dirinya datang kepadamu (Muhammad), lalu memohon ampunan kepada Allõh, dan Rosũl pun memohonkan ampunan untuk mereka, niscaya mereka mendapati Allõh Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.”

Juga firman-Nya dalam QS. An Nisã’ (4) ayat 80:

مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا

Artinya:
Barang siapa yang menaati Rosũl (Muhammad), maka sesungguhnya dia telah menaati Allõh. Dan Barang siapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka (ketahuilah) Kami tidak mengutusmu (Muhammad) untuk menjadi pemelihara bagi mereka.”

Maknanya, Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم itu wajib ditaati oleh seluruh ummat manusia. Kalau tidak taat pada Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم, artinya kita sudah melanggar aturan Allõh سبحانه وتعالى.

Adapun kalau ada orang yang tidak taat kepada Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم, lalu ia sadar akan kekeliruannya, dan memohon ampun kepada Allõh سبحانه وتعالى, maka sesungguhnya Allõh سبحانه وتعالى itu Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. Maka tidak ada kata terlambat, mulai dari sekarang marilah kita berupaya untuk senantiasa taat kepada Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم.

Dalam kenyataannya, Islam sudah berlangsung sejak 1435 tahun yang lalu sampai dengan sekarang, terdapat begitu banyak hikmah yang dapat digali, mengapa dan apa yang terkandung dalam Syari’at Islam tersebut jika kita ummat manusia melaksanakannya. Dan ketika manusia berpaling dari Syari’at Islam, maka bisa kita rasakan sendiri akibatnya. Contohnya saja di negeri kita ini, dimana Syari’at Islam banyak yang masih ghoib, belum diterapkan; maka betapa musibah demi musibah silih berganti merundung bangsa dan negeri kita ini. Diantaranya adalah karena kaum Muslimin di negeri ini belum menerapkan Syari’at Islam secara benar sebagaimana yang Allõh سبحانه وتعالى perintahkan.

Adapun dalam perkara yang sederhana saja, yakni contohnya tentang Sunnah Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم untuk memakan dengan menggunakan tangan, tidak memakai sendok atau sumpit; hal ini sebagaimana dalam Hadits Riwayat Al Imãm Al Bukhõry no: 5376 dan Al Imãm Muslim no: 2202, dari Shohabat ‘Umar bin Abi Salamah رضي الله عنه, bahwa Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم bersabda:

يَا غُلَامُ سَمِّ اللَّهَ وَكُلْ بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ

Artinya:
Wahai anakku, sebutlah nama Allõh, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah makanan yang berada di dekatmu.”

Atau dalam Hadits yang lain, yakni Hadits Shohĩh Riwayat Al Imãm Muslim no: 2032, dari Shohabat Ka’ab bin Mãlik رضي الله عنه, beliau berkata :

كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْكُلُ بِثَلَاثِ أَصَابِعَ، وَيَلْعَقُ يَدَهُ قَبْلَ أَنْ يَمْسَحَهَا

Artinya:
Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم itu makan dengan menggunakan tiga jari(*), dan menjilati jari-jari tersebut, sebelum membasuhnya.”

(*) yaitu: Ibu jari, telunjuk dan jari tengah.[1]

Nah, ternyata setelah diteliti maka makan dengan memakai tangan adalah lebih besar manfaatnya. Karena enzim yang ada pada tangan akan mempercepat proses pencernaan makanan dalam perut kita. Dan yang meneliti hal tersebut bukanlah orang Islam, akan tetapi para ahli gizi dari Barat.[2]

Ini suatu pelajaran yang sederhana, betapa Syari’at Islam itu pastilah maslahat bagi ummat manusia; karena ia diturunkan oleh Allõh سبحانه وتعالى yang menciptakan diri manusia itu sendiri, yang tentunya tahu apa yang terbaik bagi hamba-Nya. Perkara makan dengan menggunakan tangan tersebut itu salah satu contoh sederhananya, dan masih banyak lagi contoh-contoh lainnya. Kalau saja manusia mau tunduk, patuh, taat pada Allõh سبحانه وتعالى dengan taat mengikuti Sunnah Nabi-Nya Muhammad صلى الله عليه وسلم; sekalipun ia tidak mengetahui maslahat suatu syari’at pada masa hidupnya saat itu, dan kemaslahatan baru bisa ditemukan oleh kemajuan teknologi berabad-abad kemudian sesudahnya, maka ketaatan pada Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم pastilah membawa kebaikan bagi ummat manusia itu sendiri. Sekalipun akalnya belum bisa menjangkaunya di masa hidupnya saat itu. Namun yang dibutuhkan dari ummat manusia adalah IMAN kepada Allõh سبحانه وتعالى.

Berikutnya, perhatikanlah QS. An Nisã’ (4) ayat 59 :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا

Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allõh dan taatilah Rosũl (Muhammad), dan ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allõh (Al Qur’an) dan Rosũl (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allõh dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Berarti KETAATAN MUTLAK hanyalah kepada Allõh سبحانه وتعالى dan Rosũl -Nya صلى الله عليه وسلم. Adapun ketaatan kepada Ulil Amri TIDAK lah MUTLAK, sehingga apabila terjadi perselisihan antara Ulil Amri dan rakyat maka sebagaimana dalam ayat diatas, kaum Muslimin diperintahkan untuk mengembalikan perkara tersebut kepada Allõh سبحانه وتعالى dan Rosũl -Nya صلى الله عليه وسلم (menghukuminya sesuai dengan Al Qur’an dan As Sunnah), bukan semata-mata mutlak mengikuti kemauan Ulil Amri.

Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم sudah melaksanakan misinya. Tinggallah kita sebagai ummat beliau صلى الله عليه وسلم, adakah kita sudah turut ambil bagian dalam upaya untuk melaksanakan misi beliau صلى الله عليه وسلم sebagai bentuk Ittiba’ kita ataukah belum. Apa yang akan kita jawab kelak dihadapan Allõh سبحانه وتعالى di hari amal-amal kita dihisab oleh-Nya, bila kita mengaku sebagai pengikut Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم akan tetapi dalam kenyataannya kita tidak menjalankan apa yang menjadi misi beliau صلى الله عليه وسلم, enggan menegakkan syari’at yang telah diperintahkan-Nya. Sungguh hari penghisaban amal itu akan tiba, dan sebelum hari itu tiba maka banyak-banyaklah kita melakukan introspeksi pada diri kita masing-masing, sudah seberapa jauh kita berusaha untuk ber-Ittiba’ kepada Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم. Karena semakin kita berikut-serta dalam mewujudkan misi beliau صلى الله عليه وسلم, akan semakin solid (utuh) pula lah Ittiba’ kita kepada Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم.

Sekian dulu bahasan kita kali ini, Misi Rosũlullõh صلى الله عليه وسلم yang lainnya akan kita bahas dalam pertemuan yang akan datang, mudah-mudahan bermanfaat. Dan kita akhiri dengan Do’a Kafaratul Majlis :

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْك
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Jakarta, Senin malam, 4 Dzulhijjah 1435 H – 29 September 2014 M.

—– oOo —–

[1] Tentang hadist di atas, Ibnu Utsaimin رحمه الله mengatakan: “Dianjurkan untuk makan dengan tiga jari, yaitu jari tengah, jari telunjuk, dan ibu jari, karena hal tersebut menunjukkan ke-tidak rakus-an dan ketawadhu’an. Akan tetapi hal ini berlaku untuk makanan yang bisa dimakan dengan menggunakan tiga jari.”

Adapun makanan yang tidak bisa dimakan dengan menggunakan tiga jari, maka diperbolehkan untuk menggunakan lebih dari tiga jari, misalnya nasi. Namun, makanan yang bisa dimakan dengan menggunakan tiga jari maka hendaknya kita hanya menggunakan tiga jari saja, karena hal itu merupakan sunnah Nabi صلى الله عليه وسلم.” (Syarah Riyãdhus Shõlihĩn Juz VII hal 243)

[2] Sebuah penelitian telah dilakukan oleh Dr Charles Gerba dari University of Arizona. Ia mengatakan bahwa kita tidak mungkin menghalangi kuman dan bakteri masuk ke dalam lingkungan kita. Namun kita bisa memerangi kuman dengan cara mencuci tangan setiap sebelum dan selesai beraktivitas.

Dan, seperti dipublikasikan oleh: paparetta.wordpress.com, pada bulan Oktober 2010 silam. Disebutkan, makan menggunakan tangan terbukti lebih menyehatkan. Karena dalam tangan, terdapat enzim RNAse yang dapat mengikat bakteri, sehingga tingkat aktivitasnya sangat rendah ketika masuk bersama makanan ke saluran pencernaan tubuh.

Pada dasarnya, tujuan utama enzim RNAse ini digunakan dalam analisis genetik, dengan tujuan mendegradasi RNA, sehingga yang tinggal dari sebuah sel hidup adalah DNA-nya. Enzim ini selalu terkandung dalam jari-jari dan telapak tangan manusia, sehingga –dengan asumsi sudah dilakukan upaya menghigieniskan tangan sebelumnya– proses penyuapan makanan ke dalam saluran pencernaan akan mengikutkan enzim yang bisa mengikat sel bakteri agar aktivitasnya tidak maksimal.

Begitu makanan masuk ke saluran pencernaan, maka enzim ini akan ikut mengikat pergerakan bakteri hingga ke saluran pembuangan. Sebaliknya, jika manusia makan menggunakan alat perantara seperti sendok, maka tidak ada yang bisa menahan laju aktivitas bakteri yang terkandung, baik di makanan atau alat makan itu sendiri.

(Sumber: http://www.kompasiana.com/afsee/apa-benar-makan-dengan-tangan-lebih-sehat_550092d0813311c91dfa7ae2 dan https://pappareta.wordpress.com/2010/10/24/makan-pakai-tangan-lebih-bersih-daripada-pakai-sendok/ dan
http://www.mobio.com/pages/services-rnase.html dan https://www.facebook.com/permalink.php?id=103930943014245&story_fbid=373761932697810 )

—–0O0 —–

 

Silahkan download PDF : misi-rosuul-bagian-3-aq29092014-fnle

No comments yet

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: